Oleh Multatuli
Penerbit Narasi
Yogyakarta, 2014
396 halaman
ISBN 979-168-088-4 atau
978-979-168-088-2
Buku ini ditulis oleh Multatuli
di Belgia tahun 1859. Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker. Dia
adalah anggota Dewan Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda yang ditempatkan di
Batavia tahun 1840. Tahun 1842, dia dipindahkan ke Sumatera Barat terus ke
Sumatera Utara. Setelah itu dia ditempatkan di Lebak - Banten sebagai Asisten
Residen. Cerita ini merupakan novel tetapi didalamnya banyak cerita yang
berawal dari kisah nyata yang dibuat fiksi.
Pada saat penjajahan Belanda,
pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jendral. Gubernur
Jenderal dibantu oleh Residen (seperti kepala provinsi). Dan di bawah Kabupaten
terdapat Asisten Residen (Pengawas Tingkat Divisi/Kabupaten). Jabatan Gubernur
Jendral, Residen dan Asisten Residen diisi oleh orang-orang Belanda. Di tingkat
divisi, Asisten Residen lebih merupakan pengawas karena pimpinan daerahnya
biasanya berasal dari bangsawan local
yang bergelar adipati atau sering disebut “Regen”. Di sinilah kecerdikan
pemerintah Belanda yang menyadari masyarakat Hindia Belanda adalah
paternalistic maka mereka menggunakan pemimpin local sebagai pimpinan daerah
dan mereka mengendalikan pemimpin local dengan menggunakan pengawas (Asisten
Residen).
Tokoh utama cerita ini yakni Max
Havelaar merupakan seorang tokoh idealis, cerdas dan mempunyai empati tinggi
terhadap masyarakat di wilayah tugasnya. Sikap empatinya tercermn dengan
kehidupannya yang sederhana dan punya banyak hutang demi membantu sahabat atau
warga di lingkungannya. Namun sikap idealismenya dirasa mengganggu kedamaian
“atasannya” sehingga dia dibuang ke daerah-daerah yang minus dan bergolak
seperti Natal – Sumatera Utara dan Lebak – Banten.
Sebagai Asisten Residen di
Lebak, Max Havelaar bertugas untuk
mendongkrak pendapatan daerah dari pajak dan hasil bumi, memobilisasi
sumberdaya tenaga masyarakat untuk kepentingan penjajah, melindungi masyarakat
local dari pemerasan yang dilakukan pejabat local (adipati dan keluarganya)
serta mencegah dan mengendalikan pemberontakan di wilayahnya. Selama sebulan
bekerja di Lebak, Max dihadapkan pada fakta bahwa kemiskinan penduduk Lebak
masih tinggi sehingga pendapatan daerah dari pajak relative kurang
memadai. Fakta lain yang dijumpai adalah
penduduk usia produktif di Lebak relative sedikit disbanding divisi lainnya.
Dari penyelidikan yang dilakukan, Max menemukan bahwa adipati dan kroninya seringkali merampas
ternak penduduk (missal kerbau) sehingga penduduk tidak bisa mengolah lahannya
secara optimal. Perbuatan lain dari
adipati adalah mengerahkan tenaga penduduk untuk mengolah lahan sang adipati,
sehingga penduduk tidak cukup punya waktu mengelola lahan pertanian miliknya
sendiri. Tidak adanya ternak untuk
mengelola lahan pertanian dan terbatasanya waktu untuk mengelola lahannya
sendiri berakibat produksi pertanian mereka rendah produktivitasnya. Untuk menggenjot pendapatan dari pajak, sang
adipati memberikan pajak yang tinggi dan tidak jarang disertai hukuman bagi
yang menunggaknya. Hal inilah yang
memicu banyak warga Lebak pindah ke daerah lain yang pemimpin daerahnya
relative lebih akomodatif. Dengan
kondisi jumlah warga yang terbatas yang bisa dimobilisasi untuk gotong royong,
tidak mengherankan pembangunan infrastruktur seperti jalan menjadi terabaikan.
Menghadapi situasi tersebut, Max
melaporkan kepada Residen Banten selaku atasannya. Namun Residen Banten merasa terusik
ketenangan dan prestasinya dengan laporan itu. Residen Banten malah memojokkan
Max. Max tidak putus asa dan melaporkan
kasusnya kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Namun Gubernur Jenderal yang
berada di ambang pension malah mengacuhkan Max karena laporan Max dianggap
berpotensi merusak reputasinya. Max kemudian “dibuang” dan akan dipindahkan ke Ngawi Jawa Timur. Max
yang merasa diperlakukan tidak adil karena tidak diberi kesempatan membeberkan
kasus dan melakukan pembelaan diri secara terbuka, secara ksatria kemudian
minta dipecat dengan hormat dari jabatannya.
Max yang diberhentikan dengan
hormat kemudian melanjutkan perjuanganya melalui tulisan. Dia sadar bahwa
selama ini banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah Belanda di Hindia
Belanda. Warga Belanda di Eropa, saat itu hanya mendengar cerita manis tentang perlakuan
pemerintah Belanda untuk membuat warga Hindia Belanda supaya lebih
beradab. Padahal kenyataannya jauh
berbeda karena pemerintah Belanda di Hindia Belanda banyak melakukan pembiaran terhadap ulah
pejabat pribumi yang menyalahgunakan jabatan untuk merampas harta masyarakat
dan menguras tenaga rakyat untuk kepentingan pribadinya. Tulisan dari Max kemudian memperoleh sambutan
yang luar biasa yang menggugah kesadaran warga Belanda di Eropa terhadap sikap
perilaku pemerintahnya di negara jajahan.
Secara umum, cerita dalam buku
ini cukup menarik walau terkadang ada beberapa bagian yang susah dipahami.
Mungkin ini disebabkan factor penterjemahan karya yang sudah seabad lebih
sehingga Bahasa Belanda yang digunakan
saat itu berbeda dengan Bahasa Belanda saat ini, selain itu context cerita saat
itu juga sudah berbeda sehingga sulit untuk membayangkan context yang ada saat
itu.
No comments:
Post a Comment