Ada seorang pemahat batu yang rajin
namun berupah kecil. Dia tidak puas dengan
upahnya, sehingga dia berteriak: “oh seandainya aku kaya, aku bisa
istirahat di atas bale-bale dengan kelambu sutera”. Teriakannya terdengar oleh
malaikat yang turun dari langit, dan dikabulkannya.
Ketika dia beristirahat di atas
bale-bale , lewatlah seorang raja yang mengendarai kereta kencana dipayungi
payung emas. Pemahat batu berkeluh kesah: “alangkah enaknya bila aku jadi raja
kemana-mana bisa berkereta dan diiring pasukan.”. Malaikat di langit
mendengarkan keluhnya dan mengabulkannya menjadi raja.
Suatu ketika musim kemarau yang
terik melanda kerajaannya. Sinar mentari membuat tanaman di kerajaannya menjadi
layu dan gersang. Sang raja berkeluh kesah; “ seandainya aku jadi matahari, aku
akan menjadi terkuat di dunia.” Malaikatpun berbaik hati mengabulkan
permintaannya menjadi matahari.
Matahari berlaku seenaknya dan
membakar bumi. Suatu ketika awan datang dan menghalangi sinar teriknya.
Mataharipun kecewa karena ada lawan yang
lebih kuat darinya. Mataharipun berkata; “aku ingin jadi awan yang sangat
kuat”. Malaikatpun mengujinya dengan menjadikannya sebagai awan.
Awan kemudian memamerkan
kekuatannya. Dihimpunnya uap air dan diturunkan menjadi hujan deras yang
menyebabkan banjir bandang. Bangunan, pohon, jembatan dan semua diterjang.
Namun awan terkesima ketika melihat sebuah batu yang tegak kokoh berdiri tak
bergeming dari banjir. Awan berpikir, batu lebih kuat darinya. “jadikanlah aku
menjadi batu” teriaknya. Malaikatpun
menuruti kehendaknya menjadi batu.
Batu menikmati keberadaannya yang
kokoh, tapi suatu ketika dia merasa kesakitan ketika ada seorang pemahat datang
dan membelahnya. Batu tersadar bahwa ada pihak lain yang lebih kuat darinya.
“Jadikanlah aku seorang pemahat”, jeritnya. Malaikatpun kembali menyetujui
pintanya menjadi pemahat batu.
Sejak saat itu si pemahat batu
tersadar bahwa keinginan manusia tidak akan pernah ada putusnya. Kebahagiaan
hanya akan bisa dicapainya bila dia bisa mengelola rasa cukup dan syukurnya. Sejak sata itu di menjadi pemahat yang rajn
bekerja, tapi dia merasa puas dengan hasil kerjanya walau upahnya tetap kecil
dan tiada jauh berbeda dengan awalnya. (Dikutip
dari buku Max Havelaar karya Multatuli , 1859 yang edisi bahasa Indonesia terbit tahun 2014)
Sudahkah puasa Ramadhan kali ini
membuat kita menjadi seorang pemahat batu yang sudah mengalami pencerahan sehingga bisa lebih bersyukur dan merasa
cukup atas rejeki yang kita peroleh?
No comments:
Post a Comment