Oleh Multatuli
Crita ini meruakan bagian dari novel Max Havelaar yang ditulis Multatuli 1859.
Saijah merupakan seorang anak laki-laki yang berasal dari
keluarga petani sederhana di wilayah Lebak. Suatu ketika kerbau milik ayah
Saijah, dirampas oleh Kepala Distrik Parangkujang. Sebagai orang desa, ayah
saijah tidak kuasa dan tidak berani melawan kehendak pemimpinnya.
Hilangnya kerbau, membuat ayah saijah kuatir dia tidak bisa
menggarap sawahnya dan tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Dia
kemudian menjual keris harta pusakanya untuk kemudian dibelikan kerbau. Kerbau
baru dirawat penuh kasih oleh Saijah, dan kerbau itu menjadi penurut ditangan
Saijah dan sangat giat bekerja.
Tak berapa lama, saat usia Saijah sembilan tahun, kerbau
tersebut dirampas lagi oleh kepala Distrik Parangkujang. Ayah saijah tak kuasa
melawan, dan hanya bisa merelakan kerbaunya berpindahtangan. Ayah saijah
kemudian menjual harta pusaka laiinya untuk membeli kerbau lagi. Walau kerbau
barunya lebih kecl, saijah berusaha merawatnya sebaik mungkin. Kerbau tersebut
juga tahu diri dengan majikannya dan membantu menyelamatkan Saijah ketika
Saijah akan diterkam harimau.
Namun kerbau inipun dirampas kembali oleh Kepala Distrik
Parang Kujang. Ibu Saijah kemudian sakit-sakitan karena hartanya selalu
dirampas pemimpin daerahnya. Ayah Saijah pun ikut frustasi dan lari ke daerah
lain di Bogor. Namun nasib malang menimpanya karena dia tertangkap kembali dan
dihukum cambuk karena meninggalkan kampong halamannya tanpa ijin. Ayah Saijah
kemudian dijebloskan ke penjara dan meninggal disana.
Saijah yang yatim piatu, kemudian bertekad merantau ke
Batavia untuk mengumpulkan modal guna membeli kerbau. Sebelum berangkat
merantau, Saijah berpamitan kepada Adinda. Adinda merupakan seorang gadis
tetangganya dan sudah dijodohkan dengan Saijah oleh orangtuanya. Adindapun
ternyata juga menaruh hati kepada Saijah.Mereka saling berjanji setia untuk
bertemu di bawah pohon ketapang di pinggir desa setelah 3 tahun ke depan.
Saijah yang anak kampong terheran-heran melihat majunya kota
Pandeglang, Serang, Tangerang dan Batavia. Keluguan dan tekadnya untuk bekerja
keras telah mengantarnya untuk bekerja pada sebuah keluarga. Sikapnya yang
rajin membuat saijah disukai oleh keluarga itu dan mendapatkan gaji yang
memadai. Sampai tahun ke tiga, Saijah merasa tabungannya sudah cukup untuk
membeli kerbau untuk modal berumahtangga dengan Adinda. Saijah kemudian
mengundurkan diri untuk pulang ke kampong halamannya dan bertemu Adinda kekasih
hatinya.
Rasa rindunya kepada Adinda, membuat Saijah tak sabar ingin
segera sampai di kampungnya. Ditunggunya Adinda di bawah pohon ketapang di
batas desa. Namun dari fajar hingga mentari tenggelam, Adindanya tidak
menampakkan batang hidungnya. Saijah
memasuki kampungnya dan dia terkejut rumahnya dan rumah Adinda-nya telah musnah
dan hanya tonggak-tonggak yang tersisa. Dari penuturan tetangga, diketahui ayah
Adinda melarikan diri beserta anak-anaknya setelah kerbaunya dirampas kepala
Distrik Parangkujang 2 tahun setelah kepergian Saijah untuk merantau.
Ditengarai, ayah Adinda kabur dengan perahu ke wilayah Lampung.
Demi cintanya, Saijah kemudian memburu ke Lampung. Di sana
dia mendapatkan ayah dan adik-adik Adinda sudah menjadi jazad di bawah tikaman
bayonet tentara Belanda. Dia juga mendapati jenazah Adinda yang tanpa busana
dan telah dianiaya dengan penuh kebiadaban. Saijah menjadi beringas dan
menuntut balas. Dibunuhnya tentara Belanda dan dia sendiripun akhirnya tewas
dalam upaya menuntut balas nyawa kekasihnya......
No comments:
Post a Comment