Penulis: Hery Santoso dan Edi Purwanto
Penerbit; Tropenbos Indonesia dan Interlude, Yogyakarta
Tahun 2021
192 halaman
Buku setebal 192 halaman ini
berkisah tentang sejarah Perhutanan Sosial di Indonesia dan latar
belakangnya. Buku ini dibuka dengan
kegagalan model pengelolaan hutan skala industry
di Indonesia saat ini. Pengelolaan Kehutanan konvensional yang cenderung
mengutamakan aspek ekonomi telah melupakan aspek ekologi dan aspek sosial. Hal
ini berakibat pengelolaan hutan oleh pemegang konsesi kehutanan skala besar (yang
didukung oleh Kehutanan akademik) telah menimbulkan deforestasi yang sangat massif
dan marginalisasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Di sisi lain, di berbagai
daerah sebenarnya terdapat praktik-praktik pengelolaan hutan secara berkelanjutan
oleh masyarakat local seperti simpukng di Kalimantan Timur, repong di Lampung,
talun di Jawa Barat, wono di Jawa dan lain-lain. Sayangnya konsep-konsep
pengelolaan hutan tersebut tidak memperoleh dukungan yang berarti dari
pemerintah.
Berkembangnya pendekatan pengelolaan
hutan yang lebih memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan mulai tahun 1970an
dengan adanya Kongres Kehutanan Sedunia dengan slogan Forest for Social
Development, Forest for People dan lain-lain. Pemerintah Indonesia sendiri mulai mengadopsi konsep
tersebut melalui beberapa program pembangunan kehutanan yang melibatkan
masyarakat melalui Perum Perhutani di Jawa. Perhutani antara lain mengembangkan Program
Prosperity Approach (1970-1980), Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan/PMDH
(1980-1990an), Program Perhutanan Sosial (1990-2000an) dan Program Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (2000an-sekarang). Implementasi program-program
tersebut antara lain dilakukan melalui tumpangsari agroforestry di lahan hutan,
pengembangan peternakan, pengembangan usaha di luar Kawasan, pengembangan
kelembagaan masyarakat dan lain-lain. Penulis buku ini menyoroti bahwa spirit
dari program-program tersebut adalah untuk melestarikan hutan dengan cara mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap hutan, sehingga upaya-upaya yang dilakukan
tidak banyak menyentuh aspek tenurial.
Pengalaman saya pribadi
sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam Program Perhutanan Sosial/PS
(tahun 1991-1998), melihat bahwa dalam program tersebut para pesanggem (penggarap
hutan/anggotaKelompok Tani Hutan) menandatangani kontrak sepanjang masa daur
tanaman pokok Kehutanan. Namun pola tanam dan jarak tanam sudah diatur dengan
ketentuan Perum Perhutani. Demikian pula untuk penentuan jenis tanaman pokok Kehutanan
ditentukan oleh Perum Perhutani. Masyarakat mempunyai hak mengusulkan jenis
tanaman buah dan tanaman semusim yang akan digunakan dalam agroforestry di kawasan
PS, namun keputusan akhir di tangan Perhutani. Pada saat itu, para pesanggem
juga memperoleh insentif sarana produksi seperti bibit tanaman semusim, pupuk,
upah membuat guludan/terasering di daerah yang berkelerengan dan lain-lain. Pendampingan dalam pengembangan kelembagaan
masyarakat dan pengembangan usaha juga dilakukan melalui penyaluran kredit
Uskop (Usaha Kecil dan Koperasi). Secara umum agroforestry di lahan garapan pesanggem
akan produktif menghasilkan tanaman semusim hingga tahun ke 3-4. Namun tahun
berikutnya produktifitas akan semakin menurun dengan adanya kanopi tanaman pokok
kehutanan yang semakin rapat.
Pada tahun 1995, Pemerintah memberikan
perhatian untuk Program Perhutanan Sosial dengan mengeluarkan regulasi
Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 tentang Hutan Kemasyarakatan.
Regulasi ini merupakan buah kerjakeras dari beberapa pemangku kepentingan baik
dari Pemerintah, Perhutani, akdemisi dan LSM untuk mempromosikan Community Based
Forest Management/CBFM. Program Hutan Kemasyarakatan tersebut smengalami beberapa
penyempurnaan dari sisi regulasi, namun penulis tidak banyak mengupas tentang
kemajuan program ini.
Pada tahun 2009-2014,
Pemerintah mengembangkan program Pemberdayaan Masyarakat melalui skema Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan
Desa/HD, Hutan Tanaman Rakyat/HTR dan Kemitraan. Target yang dicapai adalah 2,5
juta hektar untuk Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Namun realisasi
Penetapan Areal Kerja-nya hanya mencapai sekitar 25%, dan Ijin HKm dan HD hanya sekitar 148.570 hektar. Rendahnya
capaian program periode ini disebabkan oleh (1) prosedur birokrasi pengurusan
Penetapan Areal Kerja yang rumit dan panjang yang mencapai 26 meja, (2)
keterbatasan SDM dari jumlah dan kualitas serta sebaran, (3) keterbatasan
anggaran, (4) koordinasi lintas sector dan antara pusat-daerah masih minim.
Pada tahun 2016, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Permen LHK No. 83 tahun 2016 tentang
Perhutanan Sosial/PS. Dalam Program PS
ini terdapat 5 skema yakni Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan Desa/HD, Hutan
Tanaman Rakyat/HTR, Kemitraan dan Hutan Adat.
Dalam RPJMN 2014-2019 dan RPJMN 2019-2024 pemerintah mengalokasikan 5
juta hektar untuk Reforma Agraria dan 12,7 juta hektar untuk program PS. Sampai tahun 2018, capaian
kumulatif Izin PS hanya mencapai
2,138,139 hektar (16% dari target).
Dari sisi luasan, Program PS
menunjukkan peningkatan dari capaian luas ijin yang diterbitkan. PS juga telah
berhasil mendorong adanya kolaborasi multipihak seperti Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah, Akademisi dan LSM.
Meski demikian penulis memberi catatan bahwa: (1) manfaat ekonomi dari
Ijin PS belum dirasakan secara signifikan oleh masyarakat, (2) PS memperbaiki
hubungan masyarakat dengan pemerintah/KLHK dalam mengatasi konflik tenurial.
Namun persoalan tenurial yang sudah mulai tertangani belum diikuti dengan
fasilitasi pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara produktif, (3) Kelembagaan
masyarakat seperti Kelompok Tani Hutan
berkembang dari sisi jumlah. Namun kualitas kelembagaan masyarakat tadi belum
cukup solid untuk menopang kegiatan kelompok dalam pengelolaan dan pemanfaatan
hutan.
Untuk mengatasi persoalan di
atas, penulis menyampaikan beberapa saran perbaikan yakni: (1) Mendorong peran
aktif birokrasi Pusat dan Daerah dalam
penyelenggaraan PS, (2) Mendorong kerjasama multi sector, (3) mobilisasi
sumberdaya manusia missal penyuluh dan anggaran yang memadai (4) dukungan skema
investasi dan kerjasama di lahan PS, (5) penajaman Peta Indikatif Areal PS/PIAPS
dengan memperhatikan kondisi lapangan supaya areal yang dimasukkan dalam PIAPS
benar-benar layak secara ekonomis untuk dikelola oleh masyarakat, (6) penyederhanaan
tata usaha kayu dari lahan PS, (7) Desentralisasi perijinan PS ke daerah. Dalam
bagian penutup, penulis menekankan Kembali
agar para pegiat dan birokrat yang mendukung Program PS untuk menghindarkan
simplifikasi dn romantisme masyarakat dalam pelestaran sumberdaya hutan. Adanya
pergeseran dari subsistensi ke masyarakat ekonomi uang, harus disikapi dengan
upaya fasilitasi Tata Kelola Kelembagaan, Tata Kelola Usaha dan Tata Kelola Kawasan
agar masyarakat dapat mengelola dan memanfaatkan
hutan secara lestari dan seoptimal mungkin
Secara umum buku ini mampu
memberikan gambaran menyeluruh tentang dinamika Program Perhutanan Sosial di
Indonesia, baik dari sisi capaian dan tantangan yang dihadapinya. Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca oleh
para pegiat atau pemerhati Perhutanan Sosial.
Sebuah senggolan untuk para
penulis, mungkin menarik untuk dikaji apakah skema-skema Program PS ini sudah nyambung
dengan aspek sosio kultural dan aspirasi
politik warga masyarakat? Apakah skema Hutan Adat yang ada saat ini secara spirit
dan filosofis sudah match dengan spirit dan filosofis dari sisi masyarakat
adat? Bagaimana dengan skema lain? Ataukah sebenarnya perlu ada
perbaikan-perbaikan? Semoga ke depannya akan ada penelitian dan publikasi
yang lebih detail untuk meneropong dinamika masing-masing skema dari
sisi filosofis, kelembagaan sosial, hukum, budaya dan lain-lain.
1 comment:
Tulisan nya Menyegarkan kami pembaca pak, salam Gayus
Post a Comment