ALAMPUN BUTUH HUKUM DAN
KEADILAN
Penulis:
Mas Achmad Santosa
Penerbit
as@-prima Pustaka,
Jakarta
2016
ISSBN
978-602-14145-7-6
318
halaman
Buku
ini ditulis oleh Mas Achmad Santosa yang merupakan salah seorang pakar hukum
lingkungan terkemuka di Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan tulisan beliau yang didukung oleh co-author, yang mencakup
beberapa topik yakni:
1.
Greener
Constitution
Topik ini
menegaskan bahwa untuk mendukung Pembangunan berkelanjutan, dperlukan
konstitusi dan perangkat hijau yang berpihak pada kelestarian lingkungan, Penulis berpendapat bahwa komitmen konstitusi
Negara Republik Indonesia (UUD 1945) terhadap Pembangunan Hijau termasuk dalam kategori “sedang”. Hal ini diindikasikan dengan adanya pengakuan
hak-hak subyektif dan kewajiban negara untuk
melakukan upaya dini dan tepat sasaran. Meski demikian konstitusi yang
ada belum memberikan pengakuan atas hak hukum untuk alam (the right for the
nature) serta memberikan arahan paradigma pembangunan. Oleh karenanya penulis berpendapat perlu
adanya dukungan politik para pemangku kepentingan untuk penguatan konstitusi dan regulasi serta arah
pembangunan yang lebih memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
2.
Illegal
Fishing dan Perdagangan Manusia
Kegiatan Illegal
Fishing selain dimaknai sebagai pencurian ikan lintas negara juga mencakup
unreported fishing dan unregulated fishing (IUU fishing). Kegiatan IUU fishing ini merupakan kejahatan yang melanggar kedaulatan negara ,
mengakibatkan kerugian ssekitar 20 milyar dollar per tahun, mengancam terubu
karang di Indonesia. Kejahatan tersebut juga berpengaruh terhadap pendapatan
nelayan kecil karena berkurangnya stok
ikan. IUU fishing juga erkait dengan kejahatan keuangan (financial crimes)
sseperti pencucian uang, korupsi dan penggelapan pajak. Baahkan IUU fishing ini
juga banyak terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia karena banyak karyawan
kapal ikan adalah korban perdagangan orang (trafficking in persons) dan praktik
kerja paksa (forced Labour).
Untuk
mengatasi IUU fishing, Pemerintah di tahun 2014 melakukan pembenahan regulasi,
pembentujan Satgas Pencegahan dan Pemberantasan IUU fishing (lintas sektor) serta
law enforcement melalui jalur administrasi, pidana maupun perdata. Salah satu langkah
terkenal dalam penegakan hukum ini adalah penenggelaman kapal ikan asing yang
melakukan pelanggaran.
Upaya
pencegahan dan pemberantasan IUU fishing tersebut membawa hasil yang positif.
Meski demikian penanganan perkara IUU fishing menjumpai
sejumlah kendala yakni: (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, (2)
lemahnya pemerintah dalam 3A-- ability to detect, ability to respond dan
ability to punish, (3) kelemahan penegak hukum dalam melakukan pendekatan
multidoor – pendekatan berlapis dengan berbagai rezim peraturan perundangan,
(4) integritas apparat penegak hukum yang rawan korupsi.
Untuk
mengatasi kendala di atas, penulis memberikan rekomendasi antara lain: (1)
pembentukan satgas penegak hukum bidang kejahatan perikanan, (2) penguatan
Kerjasama internasional missal interpol, (3) perbaikan tata Kelola di bidang
pengusahaan perikanan, (4) pemberdayaan komunitas nelayan agar bisa mengelola
sumberdaya prikananb secara lestari.
3.
Potensi
penegakan hukum administrasi dalam
perlindungan lingungan hidup
Tulisan
ini merupakan ringkasan disertasi penulis dengan studi kasus di Provinsi Jawa
Tengah, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang tahun 2014.
Penegakan
hukum administrasi memiliki potensi kuat
sebagai perangkat pencegahan sebelum terjadi pelanggaran yang serius dan
berdampak negative terhadap kualitas lingkungan hidup. Potensi pencegahan ini
dilakkan melalui pengawasan dan penjatuhan sanksi administrative yang bertujuan
memperbaii kondisi ketidaktaatan. Secara finansial, biaya penegakan hukum administrasi
(sekitar 10 juta rupiah per kasus) lebih
murah dibandingkan biaya penegakan hukum pidana atau perdata (sekitar 250 juta
rupiah per kasus). Penegakan hukum administasi juga akan lebih hemat waktu
karena eksekusinya tidak harus menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. Beberapa jenis sanksi hukum administrasi tersebut mencakup persuasi,
surat peringatan, denda perdata/civil
penalty, paksaan pemerintah , denda pidana/criminal penalty, pembekuan ijin,
dan pencabutan ijin. Meski peenegakan hukum administrasi relative efisien namun
dalam kenyataannya penegakan hukum administrasi dalam kasus pencemaran lingkungan
masih belum optimal.
Dalam melakukan
analisis peenegakan hukum administrasi penuis menggunakan pendekatan Analisis
Kecukupan “3A+I” yang mencakup ability to detect, ability to respond, ability
to punish dan ability to build perception that 3A condition exist yang
dijabarkan dalam 31 indikator. Hasil analisis kecukupan 3A+I di Provinsi Jawa
Tengah, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang adalah ssbb:
- Pada
tataran kebijakan nasional, hampir seluruh prasyarat normative sudah diatur cukup lengkap meski terdapat
beberapa lobang yakni belum tesedianya peraturan operasional berupa Peraturan
Pemerintah untuk beberapa issu. Terdapat
iinisiatif Pemprov Jateng dan Pemkot Semarang untuk mengisi kekosongan tersebut
dengan pembuatan Perda.
- Pendelegasian
kewenangan dari Pimpinan Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) kepada pejabat
Teknis (Kepala Badan LH) sebagai legitimasi hukum pendelegasian pengawasan dan
penjatuhan sanksi administrasi baru dilaksanakan dii Pemprov Jateng dan Pemkot
Semarang. Akibatnya Pemkab Semarang tidak pernah memberikan sanksi paksaan ke
Perusahaan peencemar lingkungan.
- Tiga daerah yang diteliti tidak mempunyai anggaran yang memadai untuk menjalankan fungsi pengawasan ecara rutin dan menyeluruh dan
penyediaan sarana pendukung (misal labortorium). Untuk Pemprov Jateng
kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp. 7,7 milyar namun yang tersedia
hanya Rp. 531 juta. Untuk Pemkot Semarang kebutuhan anggaran diperkirakan
sekitar Rp. 628 juta namun yang tersedia
hanya Rp. 294 juta. Untuk Pemkab Semarang kebutuhan anggaran diperkirakan
sekitar Rp. 232 juta namun yang tersedia
hanya Rp. 20 juta.
- Kualitas
dan kuanitas SDM di tiga lokasi studi kasus belum mencukupi untuk melaksanakan
kegiatan pengawasan rutin, inssientil
dan mnindaklanjuti pengaduan masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakcukupan prasyarat #A+I tersebut antara
lain: (1) lemahnya political will dari
Pimpinan Daerah untuk mengalokasikan anggaran, SDM dan menyusun regulasi
pendukung, (2) Pembinaan Pemerintah Pusat (KLH) kepada Pemda yang tidak optimal.
Untuk mengatasi kelemahan di atas, perlu
koordinasi lintas lembaga untuk mengatur alokasi anggaran dan juga SDM guna
mendukung penegakan hukum lingkungan. Selain itu KLH perlu memetakan kekuatan
dan kelemahan kapasitas Pemda, melakukan
need assessment untuk penguatan kapasitas Pemda, memberikan dukungan dan
bantuan nyata ke Pemda melalui Dana Dekonsentrasi atau Dana Alokasi Khusus, serta
mengatur penyediaan tenaga fungssional untuk pengawasan Iingkungan hidup.
4.
Membuka
akses keadilan melalui Citizen Law Suit (CLS).
CLS atau Gugatan
warga negara adalah mekanisme bagi warga negaara untuk menggugat tanggung jawab
penyelenggara negara atas keelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Warga
negara yang mengajukan gugatan tidak
harus orang yang mengalami sendiri kerugian ssecara langsung, dan juga tidak
memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakii. CLS
ersama-sama dengan NGO standing merupakan bagian dari actio popularis.
Di
Indonesia, CLS udah dipergunakan dalam beberapa kasus seperti Komari dkk yang
menggungat Pemerintah RI cq Pemprop Kaltim cq Pemkot Samarinda yang lalai dalam
melaksanakan kewajiban mnciptakan
lingkungan hidup yang baik dan sehat khususnya dengan banyaknya tambang di Kaltim. Hasil dari
beberapa kasus gugatan cukup beragam.
Meski sudah
diterapkan, saat ini belum ada pengaturan CLS secara spesifik. Hakim seharusnya dapat menerima gugatan CLS untuk mengisi kekosongan hukum saat ini. Meski
demkian pengaturan CLS dalam
undang-undang diperlukan di masa mendatang supaya ada kepastian hukum bagi Masyarakat penggugat dan hakim yang
mengadili perkara.
Bagi Masyarakat
ssebagai penggugat, ada ruang-ruang yang
perlu diekssplorasi untuk perkara
CLS yakni: (a) ruang lingkup CLS, (b) kapan CLS bia diajukan terkait dengan
suatu pelanggaran atau pembiaran,(c) kewajiban untuk mengganti ongkos penasehat
hukum bila warga memenangkan gugatan.
5.
Climate
change dan Reduce Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
Menurut
penulis, sampai dengan tahun 2012 (saat artikel
ditulis)
belum ada kerangka hukum perubahan
iklim yang kuat di Indonesia. Hal ini diperparah oleh lembaga penegak hukum
yang jauh dari efektif, integritas, komitmen dan professionalismenya yang sering
dipertanyakan.
Meski demikian
sikap Pemerintah terhadap perubahan iklim merupakan hal yang positif dan
terdapat beberapa perkembangan di bidang kebijakan. Upaya penurunan emisi 26% ecara
wadaya dan 41% dengan dukungan internasional telah membangkitkan berbagai
pemikiran untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia melalui pengurangan
deforestasi dan degradasi hutan. Letter of Intent Pemerintah Indonesia dengan Norwegia
mendorong Pemerintah Indonessia untuk melakukan Langkah kongkret menyelesaikan persoalan reboisasi dan
degradasi hutan melalui REDD+ termasuk moratorium ijin baru di hutan alam,
hutan skunder dan lahan gambut serta meningkatkan praktik penegakan hukum yang
memberikan efek jera. Beberapa inissiatif lain aalah: (a) penataan kelembagaan
Badan REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, (b) Pembentukan Tim Gabungan
Penegakan Hukum yang lintas sektor merupakan hal positif untuk mendorong
penegakan hukum lebih terpadu, (c) mendorong adanya sertifikasi hakim yang
menangani perkara kasus lingkungan, (d) kerjassama dengan KPK untuk pencegahan
korupsi di sektor Kehutanan, karena korupssi bissa mengancam kesiapan dan
implementasi REDD+.
REDD+ tidak
sekedar upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Tetapi merupakan
pintu massuk untuk mendorong keadilan lingkungan, melindungi hutan, mendorong
reformasi tata kelola ssumberdaya alam dan pemberdayaan Masyarakat yang
tergantung kepada hutan. Perlu kunci sukses untuk mendorong tata Kelola lingkungan
yang baik dan mengurangi resiko korupsi termasuk mendorong transparansi, akses
ke informasi, partisipasi public, birokrasi yang responsif dan bersih, kerangka
hukum yang koheren serta mekanisme
penegakan hukum yang kuat.
Beberapa
tantangan yang dihadapi dalam pengembangan REDD+ antara lain: pendekatan sectoral,
sistem pemerintah daerah yang tidak terstruktur dengan baik, ketidak mampan
organisasi masyarakat sipil untuk advokasi exploitasi sumberdaya alam serta
rendahnya kapasitas politik local untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam
berkelanjutan. Tidak adanya mekanissme insentif yang jelas untuk pelestarian
lingkungan, membuat para pemimpin daerah melakukan pemanfaatan ssumberdaya alam
yang berorientasi jangka pendek dan eksploitatif. Kurangnya kotrol public dan
penegakan hukum membuat dampak negatif desentralisasi semakin terasa dan
korupsi merajalela. Jika REDD+ ingin
dijadikan pintu massuk untuk mewwujudkan keadilan sosial dan lingkungan,
tantangan tersebut harus diatasi.
Dari sisi
teknis Kelola kawasan, pengembangan REDD+ juga menjumpai sejumlah tantangan yakni:
(1) belum adanya kesamaan peta
referensi antar instansi, (2) perbedaan kriteria Kawasan lindung dan Kawasan produktif antar sektor,
(3) perbedaan data antara peta padu
serasi dengan peta tata ruang, (4) belum
selesainya pengukuhan hutan, (5) maraknya konflik tenurial dan ketidak pastina status
Kawasan. Beberapa inisiatif pemerintah untuk mengatasi tantangan tersebut
anatara lain: (1) kebijakan satu peta, (2) Percepatan pengukuhan hutan, (3)
penerbitan Inpres no 2 tahun 2013 tentang
resolusi konflik, (4) penyusunan draft regulasi pengelolaan lahan gambut. Issu
lain yang juga penting adalah penataan perijinan usaha yang transparan dan
berkeadilan serta berbasis kelestarian.
Menurut
saya, secara umum buku ini mudah dipahami, karena Mas Otta menggunakan bahasa
baku dan logika berpikir yang mudah ditangkap oleh orang awam. Satu hal yang
agak mengganjal bagi saya adalah topik yang ditulis dalam buku ini cukup luas
mulai dari teori (seperti artikel greener constitution, citizen law suit), hingga
terapannya (seperti penegakan hukum administrasi). Dari isu darat (artikel
REDD+) hingga air (artikel illegal fishing). Krena rentang topik yang luas jadi
keasyikan membaca tersasa terpenggal-penggal.