PEKERJAAN
SOSIAL DI INDONESIA
Sejarah
dan Dinamika Perkembangan
Penulis:
Edi Suharto dkk
Penerbit
Samudra Biru
Yogyakarta
2011
246
halaman
ISBN
978-602-96516-2-1
Buku
ini merupakan kumpuan artikel yang sebagian besar ditulis oleh para akademisi
dan alumni dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Buku membahas
Sejarah Pekerjaan Sosial sebagai sebuah kegiatan kemanusiaan karitatif untuk
membantu individu, kelompok atau masyarakat yang mengalami masalah sosial.
Di
Eropa Barat pada awal revolusi Industri (1760-1830), pekerjaan kemanusiaan
merupakan urusan pribadi dan kegiatan antar pribadi. Namun revolusi Industri
tersebut menimbulkan berbagai masalah sosial seperti urbanisasi, Krisi ekonomi,
kemiskinan, pengangguran dan lain-lain. Menghadapi hal tersebut pekerja sosial
yang bekerja secara individu tidak mampu mengatasinya. Gereja kemudian terpanggil untuk
mengorganisir pekerja kemanusiaan dan kegiatan pelayanan kemanusiaan. Hal
tersebut memicu tumbuhnya organisasi karitas
seperti Charity Organization Society (COS) tahun 1869 di London dan
kemudian diikuti di berbagai kota lainnya. Organisasi-organisasi karitas ini kemudian merekrut sukarelawan
untuk pekerjaan kemanusiaan. Dari
sinilah kemudian muncuk istilah pekerja sosial menggantikan istilah pekerja
kemanusiaan.
Dalam
perkembangannya, di awal abad 20, para pekerja sosial yang semula didasari
semangat volunterisme kemudian memperoleh bayaran. Supaya bisa mendapatkan
bayaran, pada tahun 1904 para pekerja sosial harus menempuh Pendidikan magang atau
pelatihan pekerja sosial. Program pelatihan dirasa tidak cukup membekali calon
pekerja sosial, sehingga berkembang Pendidikan pekerjaan sosial secara formal
seperti Sekolah Pekerjaan Sosial di New York.
Paradigma
Pekerjaan Sosial sendiri semula bersifat “blaming the victims” dimana masalah
sosial muncul karena individu korban mempunyai “masalah” sehingga tidak mampu
menjalankan fungsi sosialnya. Sehingga untuk treatmentnya, individu korban
harus diberi therapy agar bisa menjalankan fungsi sosialnya. Analogi
sederhananya, orang miskin itu disebabkan individu tersebut malas. Sehingga
untuk mengatasi kemiskinannya, dia harus ditreatment supaya rajin bekerja.
Paradigma
blaming the victims tersebut kemudian mengalami pergeseran dengan adanya paradigma
Person in Environment (PiE). Konsep ini menekankan bahwa seorang individu itu
terkait dengan banyak system seperti keluarga, system agama, system Pendidikan,
Sistem Politik, Sistem Pekerjaan, Sistem Pelayanan Sosial dll. Sehingga sebuah masalah
sosial muncul bisa jadi disebabkan ada kesalahan atau ketidak berfungsian
sebuah system. Oleh karenanya untuk treatmentnya, perlu dilakukan perbaikan di
level system atau kebijakan. Ilustrasinya kemiskinan di kalangan petani terjadi
bukan karena petani malas, tetapi karena ongkos produksi yang mahal sedang
harga jual beras rendah. Untuk perbaikannya diperlukan intervensi di level system
untuk penyediaan subsidi saprotan atau penetapan harga beras yang kompetitif.
Di
level negara, terdapat dua kutub cara negara mensikapi pekerjaan sosial.
Negara-negara Konservatif seperti
Inggris di jaman Margaret Thatcher dan USA di jaman Ronald Reagan merupakan tipikal
negara yang berusaha sesedikit mungkin campur tangan dalam urusan pekerjaan
sosial bagi warganya. Masyarakat sejahtera
atau tidak itu urusan warga masyarakat itu sendiri. Negara konservatif ini cenderung
memakai paradigma blaming the victims dalam menyikapi masalah sosial di
negaranya. Sisi lain adalah negara liberal yang menjunjung tinggi isu
kesetaraan dan hak asasi manusia. Masalah sosial muncul karena ada system yang
salah atau tidak berfungsi. Kebijakan sosial merupakan sebuah bentuk kewajiban pelayanan
negara kepada rakyatnya.
Di
Indonesia, pekerjaan sosial tidak mempunya akar sejarah yang mendalam karena
jaman Kerajaan, penjajahan Belanda dan Jepang tidak banyak mewariskan program
kesejahteraan sosial. Adanya modal sosial yang cukup kuat di masyarakat seperti
jiwa gotong royong dan dermawan/bersedekah, membuat pekerjaan sosial cukup
ditangani oleh masyarakat itu sendiri. Pengembangan pekerjaan sosial kemudian semakin
berkembang dengan adanya organisasi Muhammadiyah yang mengembangkan berbagai
kegiatan pelayanan sosial. Di masa kemerdekaan, persoalan kemiskinan dan
masalah sosial menjadi isu krusial, namun negara tidak banyak bisa berbuat
karena keterbatasan sumberdaya.
Dalam
perkembangannya Pemerintah Indonesia dengan didukung PBB melalui Departemen Sosial
mengembangkan Lembaga Sosial Desa (LSD) di tingkat desa untuk memberikan
bimbingan sosial kepada Masyarakat. LSD ini berkembang hingga tahun 1970an yang kemudian berubah menjadi Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Untuk Pendidikan Pekerjaan Sosial pada awal
tahun 1960an Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendirikan Sekolah Menengah
Pekerjaan Sosial (SMPS). Sedangkan Dinas Sosial kemudian menyelenggarakan Kursus
Dinas Sosial A (KDSA) yang berubah menjadi Kursus Keahian Sosial Tinggi (KKST).
KKST ini yang menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS).
Pembentukan STKS ini diikuti oleh beberapa universitas yang mengembangkan Jurusan
Kesejahteraan Sosial.
Perjalanan
program Kesejahteraan Sosial di mas Orde Baru dan Orde Reformasi mengalami
pasang surut dan sejumlah tantangan seperti:
1.
Kelembagaan
Departemen Sosial (Pusat) dan Dinas Sosial (di daerah) yang tidak sinergis
serta tidak dianggap strategis sehingga tidak memperoleh alokasi anggaran, SDM berkualitas
dan dukungan politik memadai.
2.
Paradigma
Pekerja Sosial di Indonesia masih sering berkutat pada blaming the victims.
Padahal dalam konteks Indonesia, masalah sosial sering muncul karena adanya system
dan kebijakan yang tidak adil. Kemiskinan di Indonesia sering merupakan
kemiskinan structural yang disebabkan oleh adanya struktur yang menindas
kalangan bawah.
3.
Paradigma
yang digunakan ooleh lembaga Pendidikan dan lembaga Diklat Pekerja Sosial masih
seringkali berorientasi pada blaming the victims, sehingga materi Pelajaran yang
dipelajari di bangku kuliah dan pelatihan sering tidak compatible dengan
realitas lapangan.
4.
Paradigma,
metodologi dan aksi Pekerjaan Sosial yang
digunakan di Indonesia seringkali meng-copy paste pendekatan Barat yang konteks
system budaya dan system sosialnya berbeda. Hal ini mengakibatkan pendekatan
yang ditempuh sering tidak efektif. Kontekstualisasi pekerjaan sosial menjadi
kebutuhan di masa depan.
5.
Profesi
Pekerja Sosial Profesional belum diakui dan dipahami secara utuh di masyarakat.
Pekerja Sosial masih banyak dianggap sebagai relawan kemanusiaan yang bekerja dengan
mengutamakan komitmen saja. Padahal profesi Pekerja Sosial Profesional menuntut
komitmen, pengetahuan dan ketrampilan.
Secara
umum artikel yang dimuat di buku ini , disampaikan dengan Bahasa yang mudah
dipahami. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penulis, saya merasa di buku
ini terdapat beberapa artikel yang terasa mengulang-ulang. Meski demikian saya
sangat menghargai penerbitan buku ini yang menjadi salah satu starting point
untuk mendiskusikan pemikiran-pemikira terkait Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan
Sosial
Buku
ini saya baca setelah membaca buku Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) terbitan
FISIPOL UGM. Terlihat pertautan yang sangat erat, karena keduanya bergerak di
bidang Kesejahteraan. Hanya saja Departemen
PSDK yang dulu juga menekuni Pekerjaan Sosial sebagai salah satu isu,
sejak 2010 mereposisi untuk lebih banyak menggunakan pendekatan “system”.
Sedangkan Pekerjaan Sosial saat ini masih banyak yang menggunakan paradigma
blaming in victim, walau tidak sedikit yang mengusulkan agar Pekerjaan Sosial
menggeser paradigma ke pendekatan system (Person in Environment). Bagi saya,
sebenarnya antara PSDK dan Pekerjaan Sosial ini bisa saling mengisi, karena ada
masalah sosial seperti penanganan ODGJ
klinis yang pemecahannya ada di level individu.
Semoga
melalui Pekerjaan Sosial, pemerintah ke depannya punya visi dan langkah yang
lebih kongkrit untuk mewujudkan Tujuan Negara Indonesia: (1) Melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) Memajukan
kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa,(4) Ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Semoga semua bukan retorika belaka…..
No comments:
Post a Comment