Martabat
Petani Hutan
Penulis:
Erna Rosdiana dan Johanna Ernawati
Direktorat
Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, KLHK
Jakarta,
2022
ISBN
978-602-61100-3-9
503
halaman
Kalau
melihat cerita dalam buku ini, saya menduga bahwa buku ini merupakan kumpulan
biografi pendek yang dituangkan dalam bentuk cerita (story telling). Adapun orang
yang dijadikan tokoh-tokoh dalam buku ini adalah para petani hutan dan pegiat Perhutanan
Sosial (atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di Indonesia, baik dari
unsur birokrat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan petaninya
itu sendiri. Meski demikian tokoh sentral buku ini adalah Whina yang merupakan seorang
birokrat di Departemen Kehutanan dan bekerja menangani program Hutan
Kemasyarakatan (yang menjadi embrio Program Perhutanan Sosial yang kita kenal
sekarang).
Whina
merupakan seorang gadis yang merupakan cucu dari keluarga yang berlatar belakang
petani (juragan tanah) dengan keluarga yang berlatar belakang pengusaha. Whina yang
diterima di Fakultas Kehutanan, semula merasa kurang nyaman dengan pilihannya
karena pada awalnya Whina tidak menyukai kehidupan petani di perdesaan. Meski
demikian perlahan-lahan mulai menyukai bidang Kehutanan khususnya ketika dia
bergabung dalam kelompok mahasiswa pecinta alam. Setelah lulus kuliah tahun
1984, Whina lolos seleksi dan bekerja di Departemen Kehutanan. Whina ditempatkan
di Kanwil Kehutanan Wilayah Jawa Barat. Di tempat barunya Whina menunjukkan
prestasi kerja yang menggembirakan berkenaan dengan penyusunan Petujuk Teknis
Pemungutan Iuran Hasil Hutan. Pekerjaan ini membuat Whina banyak bergaul dengan
para pengusaha Hutan.
Prestasi
kerja yang bagus mengantar Whina memperoleh posisi jabatan structural eselon VI
di Departemen Kehutanan di Jakarta pada tahun 1995. Jabatan yang disandang Whina
adalah Kepala Seksi Aneka Usaha Hasil Hutan (non kayu), yang menuntut Whina
untuk bergaul dengan pengusaha kecil dan masyarakat awam. Dalam pekerjaan barunya Whina belajar tentang pelibatan
masyarakat melalui skema Hutan Kemasyarakatan Dana Reboisasi dimana masyarakat
dilibatkan sebagai buruh dalam program reboisasi sehingga dia berhak dapat upah
buruh dan diberi hak untuk melakukan tumpangsari di wilayah yang direboisasi
(SK 622/Kpts-II/1995 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan).
Whina
juga belajar tentang konsep-konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat seperti
yang dilakukan oleh proyek Social Forestry Development Project (SFDP) di Sanggau
yang menggunakan pendekatan partisipatif dalam proses perencanaannya. Whina
juga mulai berkenalan dan bergaul dengan lembaga donor, akademisi, dan aktivis
LSM yang mendampingi program pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Krui
Lampung, Sumatra, dan lain-lain. Selama
ini lingkungan kampus dan birokrasi telah membuat Whina memiliki stigma
bahwa masyarakat itu perusak hutan dan tidak akan mempu meengelola hutan secara
lestari. Whina yang semula sangsi masyarakat mampu untuk mengelola hutan secara
lestari, setelah melihat banyak bukti di lapangan akhirnya terbuka mata hatinya bahwa
pandangannya selama ini salah. Dia juga menemukan fakta-fakta bahwa ekspektasi
masyarakat sebenarnya bukan sesuatu yang muluk atau tinggi. Mereka hanya ingin memiliki
akses legal dan kepastian hukum terhadap lahan sehingga bisa mengelola secara
tenang.
Pergaulannya
dengan aktivis LSM, akademisi dan lembaga donor membuat Whina terbuka
emphatynya dan dia mempunyai niatan untuk memperbaiki regulasi Hutan
Kemasyarakatan yang ada agar masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai buruh
tanam, tetapi masyarakat bisa memperoleh akses legal terhadap hutan. Niat Whina tersebut memperoleh dukungan dari
semesta. Adanya momentum reformasi tahun 1998, Menteri Kehutanan Muslimin
Nasution yang berorientasi populis, menyetujui penerbitan SK 677/Kep-II/1998
tentang Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan, yang draftnya diinisiasi oleh Whina
dan diperkaya dari masukan jejaringnya. Dalam SK 677 tersebut masyarakat
diberikan akses mengelola hutan selama 35 tahun.
Bagi
Whina, perjuangan menerbitkan SK 677 tersebut tidaklah mudah. Whina harus
menghadapi perlawanan dari sebagian birokrat Departemen Kehutanan konvensional yang
masih belum rela untuk memberikan akses lahan hutan bagi masyarakat. Mereka
berpandangan bahwa mengelola hutan butuh modal besar dan SDM yang berkompeten.
Itu dua modal yang tidak dimiliki oleh masyarakat, kata mereka. Di sisi lain, Whina juga menghadapi complain dari
Sebagian aktivis LSM yang masih belum puas dengan pemberian hak Kelola, karena
mereka menginginkan hal milik. Selain itu mereka juga mempertanyakan
kesanggupan Departemen Kehutanan dalam mengembangkan program Hutan Kemasyarakatan
yang memperhatikan kondisi spesifik local.
Terlepas
dari pro kontra yang ada, terbitnya SK 677 telah memberikan kegembiraan bagi Sebagian
pemangku kepentingan termasuk petani dan aktivis LSM. Meskipun tidak selalu berjalan
mulus, sayup-sayup program Hutan Kemasyarakatan semakin sering terdengar. Berbagai event terkait Hutan Kemasyarakatan menjadi
concern di tingkat menteri bahkan di tingkat yang lebih atas. Upaya
internalisasi pendekatan sosialpun semakin intens dilakukan untuk merupah
perilaku apparat Kehutanan menjadi lebih humanis dan lebih dialogis.
Selain ringkasan di atas, saya menangkap beberapa fenomena menggelitik, yakni:
- Dari cerita tokoh Myla, Bilal, Sena dan Whina sewaktu jadi mahasiswa ada kecenderungan mereka tidak memperoleh cukup pembelajaran tentang kepekaan sosial di dalam kampus. Kepekaan sosial terhadap lingkungannya tumbuh setelah mereka berinteraksi melalui kegiatan ekstra kurikuler atau bahkan kegiiatan di luar kampus. Bahkan ada kemungkinan dalam kampus sendiri secara sadar atau tidak telah tertanam stigma-stigma yang tidak sepenuhnya benar tentang masyarakat desa hutan. Apakah dalam hal ini telah terjadi fenomena yang oleh Paulo Freire disebut “Pendidikan merupakan salah satu instrument penguasa untuk melanggengkan kekuasaan”?? Apakah kurikulum Kehutanan di kampus dibangun dengan sikap kritis? Ataukah kurikulum yang ada dibangun untuk mendukung kebijakan dan program pemerintah yang cenderng memihak pengusaha besar?
- Kebijakan pengusahaan hutan melalui HPH, telah diimplementasikan sejak tahun 1970an. Saat itu Kehutanan menjelma menjadi sector penghasil devisa, dan tentu saja banyak pejabat dan birokrat Kehutanan yang kecipratan rejeki. Hal ini telah menjelma jadi budaya orgaanisasi yang tertanam cukup kuat. Oleh karenanya ketika ingin mendorong program pengelolaan hutan berbasis masyarakat, budaya organisasi lama yang pro pengusaha besar harus dikikis sedikit demi sedikit.
- Whina merupakan salah satu actor yang terlibat cukup intensif dalam mengawal program Hutan Kemasyarakatan. Hal ini perlu disyukuri karena adanya “pengawal setia” ini membuat alur kesinambungan program menjadi terjaga. Walaupun hal ini dibayar mahal karena karir Whina jadi tersendat. Saya mempunyai hipotesis, banyak program Kehutanan tidak bisa berjalan berkesinambungan karena tingginya rotasi kepemimpinan, dan ketiadaan instrument seperti roadmap yang kokoh ditaati bersama.
- Keberhasilan upaya mendorong laju Program Hutan Kemasyarakatan, menunjukkan bahwa birokrat bisa bekerjasama dengan petani, LSM, akademisi, dan lembaga donor. Yang diperlukan dari para pihak adalah kesediaan untuk mendengarkan, berdialog, saling memahami dan keihklasan untuk mencari solusi terbaik.
1 comment:
Terimakasih untuk ulasannya yang keren ini
Post a Comment