“Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam
Penulisan Biografi”.
Pidato pengukuhan Guru Besar dalam
kajian Jurnalisme tanggal 10 Maret 2022
Oleh: Profesor Ana Nadhya Abrar
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2022
33 halaman
Menurut Sartono Kartodirdjo,
biografi sudah mulai ada sejak zaman Romawi. Sejak zaman Romawi sudah muncul biografi, antara lain yang ditulis oleh Tacitus
mengenai kaisar-kaisar Romawi. Tradisi penulisan biografi selanjutnya sangat
penting dalam penulisan sejarah. Tradisi penulisan biografi memperkuat gambaran
betapa besarnya peranan tokoh politik dalam sejarah, bahkan sering menjurus
kepada pendapat seolah-olah sejarah dibuat oleh tokoh atau orang besar dalam
sejarah (Kartodirdjo, 1993). Penulisan biografi mempunyai manfaat untuk bisa
membantu memahami dinamika sejarah karena sejarah bisa dipahami melalui tokoh
yang dikisahkan, menganalisis tempat dan waktu yang menjadi setting sejarah
sang tokoh dan lain-lain.
Biografi yang baik tidak hanya
menceritakan riwayat hidup tokoh, tetapi juga menjelaskan catatan
pertanggungjawaban sumber informasi sehingga biograf (penulis biografi) melakukan
penelitian yang sungguh-sungguh dengan berbagai sumber (Kuntowijoyo, 2003).
Biografi yang baik juga menggambarkan kisah perjalanan hidup seorang tokoh yang
bisa menjadi inspirasi positif bagi orang lain dalam membangun masa depannya.
Penulisan Biografi, bisa
dilakukan oleh sejahrawan, wartawan atau profesi lainnya. Meski demikian hasil
penelitian Safari Daud terhadap 30 biografi menunjukkan, sebagian besar biograf
adalah wartawan. Banyaknya biograf yang berlatarbelakang wartawan mungkin
disebabkan mereka sudah terbiasa melakukan praktek pengumpulan informasi,
menganalisis, menuliskan dan menyajikan informasi kepada public.
Ada beberapa kisi-kisi penting
penerapan jurnalisme dalam penulisan biografi yakni:
1.
Batas Atas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Meningkatkan Intelektualitas Khalayak.
·
Menulis sebuah biografi hendaknya merupakan
sebuah proses untuk meningkatkan kualitas intelektual public dalam bentuk
tulisan. Dalam konteks ini seorangbiograf harus bisa menentukan “angle” atau
sudut pandang sebuah penulisan yang bisa menstimulasi pembaca untuk merenungkan,
menganalisis dan mengambil pembelajaran dari situasi yang dialami oleh tokoh
yang baersangkutan.
2.
Batas Kanan Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:
Mengutamakan Nilai Kemanusiaan
·
Nilai yang utama agar suatu biografi menarik menurut
Ana Nadhya Abrar (2005) adalah nilai manusiawi. Ini masuk akal. Karena, dengan
nilai manusiawi itu khalayak bisa tersentuh perasaannya. Kisah yang disajikan
bisa menimbulkan tawa, tangis, haru, senang, bahkan marah. Semakin menyentuh
kisah itu, semakin lama pesannya tertanam dalam pikiran khalayak. Kalau sudah
begini, bukan mustahil pesan itu menjadi inspirasi baru bagi mereka.
3.
Batas Bawah Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Memanfaatkan Jurnalisme Investigasi
·
Biografi bisa menunjukkan kisah masa lalu
seorang tokoh. Namun biografi juga memiliki fungsi mengungkapkan misteri masa
lalu sang tokoh. Ia bisa memuaskan rasa penasaran khalayak. Ia bahkan bisa
menjawab berbagai teka-teki atau spekulasi yang selama ini beredar di kalangan
khalayak. Tentu tidak mudah memperoleh informasi yang bisa menjawab sebuah
teka-teki atau membongkar sebuah misteri. Soalnya, tidak jarang informasi
tersebut bersifat rahasia. Untuk itu, diperlukan teknik mengumpulkan fakta yang
canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini, dalam jurnalisme, biasa disebut
investigasi. Lalu, fakta yang diperoleh dengan menggunakan investigasi, disebut
jurnalisme investigasi.
·
Melalui jurnalisme investigasi, yang dicari,
kata Jakob Oetama, bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak. “Tetapi latar
belakang, riwayat dan prosesnya, hubungan kausal maupun hubungan interaktif”.
(Oetama, 2003). Bertolak dari sinilah, kemudian kita mengetahui jurnalisme
investigasi menggunakan seluruh teknik mengumpulkan fakta yang dikenal dalam
jurnalisme. Ia meliputi press release, konperensi pers, wawancara dan dokumen.
Khusus yang dua terakhir ini, biasanya wawancara dengan narasumber rahasia dan
menelusuri dokumen rahasia. Yang namanya rahasia, tentu posisinya tersembunyi.
Karena tersembunyi, usaha untuk menemukannya sangat sulit. Itulah sebabnya
tidak banyak wartawan yang bersedia mempraktikkan jurnalisme investigasi.
4.
Batas Kiri Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Membentuk
Selera Narasi
·
Di dalam jurnalisme, terdapat pedoman dasar
untuk mengumpulkan fakta. Pedoman ini dikenal dengan 5W + 1H, yakni singkatan
dari What (apa), Who (siapa), When (kapan), Where (di mana), Why (mengapa), dan
How (bagaimana). Jawaban keenam pertanyaan inilah yang kemudian ditulis menjadi
berita.
·
Cara menyajikan informasi dalam bentuk narasi akan
ikut menentukan apakah sebuah biografi akan terus dibaca atau segera
ditinggalkan. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu: singkat,
padat, sederhana, lancar, lugas dan menarik. Akan tetapi jangan dilupakan,
bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat
menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Begitu juga dia harus memperhatikan
ejaan yang benar. Akhirnya, dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti
perkembangan dalam masyarakat
·
Biograf berkerja untuk tokoh yang ditulisnya dan
khalayak pembaca. Dalam bekerja untuk
tokoh, seorang biograf harus menampilkan semua wacana yang terkandung dalam
diri sang tokoh. Dalam bekerja untuk khalayak pembaca, seorang biograf harus
menyajikan tali-temali kasus yang diberitakan secara obyektif.
Penutup
Bagi jurnalisme, tujuan akhir
sebuah biografi adalah menyampaikan wacana yang terkandung dalam diri tokoh
yang dikisahkan. Wacana yang lahir dari biografi menjadi penting di samping
narasi yang berkualitas. Dari sekian banyak wacana yang ditampilkan biografi,
tentu ada wacana utama yang harus ditangkap oleh khalayak.
Semua wacana yang ditampilkan itu
bertumpu pada bukti-bukti yang objektif. Bertolak dari bukti inilah seorang
biograf memahami dan menjelaskan kenyataan yang ada. Dalam konteks ini, dia
membutuhkan imajinasi agar tulisannya bisa jadi hidup dan berarti. Namun, dalam
menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri tokoh yang dikisahkannya,
dia harus memiliki kepekaan tentang cara bertutur yang baik.
Ketika seorang biograf
menggunakan teknis jurnalisme dalam bertutur tentang tokoh yang dikisahkannya,
dia tidak mengambil oper peran sejarawan. Dia hanya menampilkan pesona sejarah.
Dia menampilkan fakta yang penting, menarik, dramatis dan mengandung human
interest. Semua fakta ini mengisyaratkan pentingnya nilai kemanusiaan.
Pengutamaan nilai kemanusiaan ini menjadi batas kanan jurnalisme dalam
penulisan biografi.
Batas kanan jurnalisme itu bukan
satu-satunya batas yang perlu dipertimbangkan biograf dalam menulis biografi
menggunakan teknis jurnalisme. Ada lagi batas kiri jurnalisme, yakni membentuk
selera narasi; batas atas jurnalisme, yakni meningkatkan intelektualitas
khalayak; dan batas bawah jurnalisme, yakni memanfaatkan jurnalisme
investigasi. Keempat batas ini menjadi dasar teknis jurnalisme dalam menulis
biografi. Ketika keempatnya saling membentuk garis, sesungguhnya ia membentuk
ruangan yang harus diisi oleh jurnalisme dalam penulisan biografi. Inilah yang
bisa disebut cara mengintegrasikan jurnalisme ke dalam penulisan biografi.
Inilah pula sumbangan jurnalisme bagi penulisan biografi.
(disarikan dari pidato pengukuhan Prof. Ana Nadhya Abrar, https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/18/2022/03/Prof.-Ana-Nadya-Abrar.pdf)
No comments:
Post a Comment