Monday, September 29, 2025

Maya

 


Maya

Penulis: Ayu Utami

Kepustakaan Populer Gramedia,

Jakarta (2013?)

 

Novel Maya ini merupakan kelanjutan dari novel Saman dan Larung karya Ayu Utami. Novel ini ditulis tahun 2013 dengan setting menjelang Reformasi tahun 1998 yang berujung pengunduran diri presiden Soeharto.

Alkisah, Yasmin menerima tiga buah  surat dari Saman dan satu buah batu akik bergambar Semar (tokoh punakawan wayang simbol kebijakan). Surat itu dikirim dari Amerika dan meminta Yasmin untuk mengantarkan surat tersebut ke ayahnya. Saman merupakan lelaki spesial di hati Yasmin karena día adalah kekasih gelap dan ayah dari anaknya—Samantha. 

Saman sendiri semula biasa dipanggil Frater Wisanggeni atau Frater Wis yang merupakan seorang calon pastor. Dia punya ketertarikan dengan teologi pembebasan dan terjun dalam pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat petani karet. Namun dalam perjalanannya, kegiatan pemberdayaan yang día lakukan menghadapi represi dan kekerasan dari pihak penguasa yang ingin mengembangkan sawit. Korban petani berjatuhan, sehingga Frater Wis melawan dan terpaksa mengganti namanya menjadi Saman untuk menyembunyikan diri. Dia kemudian diselundupkan keluar negeri untuk menjamin keselamatan jiwanya.

Setelah menerima surat dari Saman tersebut, Yasmin dan Samantha kecil kemudian berkunjung ke Suhubudi, yang merupakan guru spiritual Saman. Sebagai ahli spiritual Suhubudi menggali banyak kearifan local termasuk pertanian tradisional dengan menggunakan padi local.  Kearifan local ini seringkali mendapat tentangan dari penguasa local yang selama ini sering mengagung-agungkan “Revolusi Hijau” yang sarat dengan bibit unggul, obat dan pupuk pabrik. Posisi Suhubudi yang menjadi penasehat spiritual presiden Soeharto, membuat día tidak banyak diusik walaupun ada ketidaksenangan dari penguasa local.

Sebagai guru spiritual yang mengayomi semesta, Suhubudi juga menampung orang-orang cacat (termasuk cebol) yang tidak diterima oleh lingkungannya. Dia membangun padepokan untuk mereka, membimbing mereka dalam budi pekerti, mengajari soal kehidupan keseharian dan kesenian untuk menumbuhkan eksistensi mereka. Dalam bidang kesenian mereka membentuk Klan Saduki yang sering mementaskan sendratari Ramayana.  Dua tokoh yang menonjol dalam Klan Saduki adalah Maya yang biasa memerankan Dewi Shinta dan Tuyul yang biasa memerankan Rama. Bagi Maya, Tuyul dan penari lain, sendratari terebut bisa membangkitkan kebanggaan karena dengan keterbatasan fisiknya, mereka mampu menampilkan sendratari yang indah dan sangat memikat. Keindahan tersebut tidak hanya muncul dalam penampilan seni semata, tetapi juga mempengaruhi jiwa mereka. Di balik penampilan fisik yang “jelek” di mata sebagian orang, namun tidak ada halangan bagi mereka untuk mempunyai jiwa dan perilaku yang baik.

Keindahan sendratari Ramayana ang ditampilkan  Klan Saduki  telah menarik minat budayawan India untuk mengajak Klan Saduki pentas di India. Namun inisiatif ini tidak mendapat persetujuan dari Kementerian Pariwisata yang kuatir kaum difabel Klan Saduki akan membawa citra negatif bagi bangsa Indonesia. Bagi Maya, tawaran pentas di luar negeri juga menimbulkan depresi tersendiri karena día kuatir día dan teman-temannya akan dicibir dan dibully dengan kondisi fisiknya yang tidak normal. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya rencana pentas ini dibatalkan.

 Saat di padepokan Suhubudi, ada kejadian yang menggegerkan karena Samantha diculik ketika Parang Jati (putra angkat Suhubudi) yang diserahi menjaga Yasmin dan Samantha sedang ikut berdemo di kampus. Penculiknya meminta tebusan berupa akik bergambar Semar. Bagi sebagian orang, akik bergambar Semar dianggap sebagai jimat yang bernilai rupiah tinggi. Semar dalam filosofi Jawa dianggap sebagai simbol tokoh masyarakat awam sehingga pemimpin yang memiliki akik tersebut akan dianggap legitimate karena mempunyai dukungan dari masyarakat. Untunglah penculikan yang dilakukan  oleh Tuyul dan Maya berakhir  dengan tertangkapnya Tuyul. Sedangkan Maya yang sadar bahwa día berbuat salah karena menculik Samantha, kemudian mengembalikan Samantha dengan baik-baik kepada Yasmin. 

Di Padepokan Suhubudi, Yasmin yang sangat rasional justru terlibat dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk memahami diri sendiri, cintanya, dan negerinya.

 

 Komentar:

Novel ini sarat dengan bahasa metáfora yang indah dan penuh makna yang reflektif. Novel ini mengajarkan setiap manusia baik yang normal secara fisik maupun yang “abnormal/difabel” tetap mempunyai kebutuhan dasar untuk diakui eksistensinya, punya nafsu yang berpotensi mendorong perbuatan salah dan punya potensi untuk berbuat kebaikan. Nafsu tersebut perlu dikendalikan, salah satunya dengan mengembangkan spiritualitas dalam kehidupannya. Keseimbangan kehidupan dengan lingkungan dan semesta, menjadi salah satu faktor kunci menuju hidup yang penuh kedamaian.

 

 

Sunday, September 21, 2025

Buku Pintar MIND MAP

 


Buku Pintar MIND MAP

Penulis Toni Buzan

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 2008

ISBN 978 979 22 2351 4

225 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari Buku  „The Ultimate Book of Mind Maps” karya Toni Buzan yang  diterbitkan oleh Harper Collins Publisher Ltd tahun 2005.

Mind Map merupakan  cara mencatat yang kreatif, efektif dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran kita. Mencatat dengan menggunakan Mind Map dilakukan dengan menggunakan tulisan dan gambar. Kita bisa membandingkan Mindmap dengan peta kota. Pusat Mind Map merupakan pusat kota yang mewakili ide terpenting. Jalan-jalan utama mewakili pikiran-pikiran utama dalam proses pemikiran kita.  Jalan-jalan sekunder mewakili pikiran-pikiran sekunder dan seterusnya. Pencatatan yang dimulai dengan ide primer, ide skunder tersier dan selanjutnya ini sama dengan cara analisis kerangka ikan (fishbone analysis). Mindmap ini banyak digunakan  oleh para pemikir seperti Leonardo da Vinci, Galileo Galilei, Albert Einstein  dan tokoh pemikir lainnya.

Beberapa pemikiran kunci dalam menggunakan mindmap ini adalah:

  • Mendorong keseimbangan otak kiri (analisis) dengan otak kanan (daya kreasi missal dengan menggunakan gambar dan warna).
  • Mindmap akan berfungsi efektif bila dilakukan proses pengulangan misalnya dengan sering direview atau dibaca ulang.
  • Dalam menyusun mindmap, kita perlu mengembangkan cara  berpikir lateral (out of the box) dan menghindarkan pemikiran yang linier.
  • Bila kita menggunakan mindmap untuk merancang sebuah perubahan (hidup kita, organisasi dll) kita perlu rajin melakukan review, evaluasi dan penyempurnaan secara berkala hingga sukses. Konsep ini disebut dengan TEFCAS (Trial/uji coba, Event/peristiwa, Feedback/umpan balik, Check/review/evaluasi, Adjust/sempurnakan, Success/Berhasil)

Tujuh langkah dalam membuat mindmap adalah:

Siapkan kertas kosong (misal ukuran A4 atau lebih besar) dan letakkan dalam posisi mendatar (landscape)

  • Gambarkan ide pokok/topik sentral yang akan  anda bahas 
  • Gunakan warna agar lebih hidup dan menambah energi pada pemikiran kreatif anda
  • Gambarkan cabang-cabang utama (pemikiran primer) ke gambar pokok anda, trus hubungan cabang skunder ke cabang primer dst.
  • Buatlah garis hubung yang melengkung  yang menghubungkan pikiran primer, skunder, tersier dst. Garis lengkung dibuat agar tidak membosankan otak kita dan terkesan lebih  fleksibel dibandingkan garis lurus yang terkesan linear dan kaku.
  • Gunakan satu kata unci untuk setiap  garis.
  • Gunakan Gambar- untuk mewakili ide-ide atau area menarik tertentu. Gambar-gambar dibuat sebagai bentuk visualisasi agar lebih mudah direkam dalam otak kita.

 

Berikut contoh Mind Map dalam menyiapkan sebuah rapat:

 

 

Beberapa manfaat menggunakan Mindmap antara lain:

  • Kita akan bisa memiliki pandangan menyeluruh (holistik) terhadap sebuah pokok permasalahan atau isu tertentu.
  • Kita juga bisa merencanakan rute dan membuat pilihan-pilihan dan mengetahui kemana kita akan pergi dan dimana kita berada.
  • Menstrukturkan data melalui pengelompokan/perumpunan.
  • Mendorong pemecahan masalah dengan membiarkan kita melihat jalan terobosan kreatif baru.
  • Dengan adanya gambar, warna dan bagan, memudahkan untuk membaca, mencerna dan mengingat isi sebuah isu tertentu.

Dalam buku ini Toni Buzan mencontohkan penggunaan Mindmap untuk merancang kehidupan kita seperti merencanakan jawal Keluarga, merencanakan keuangan Keluarga, menciptakan masa depan yang ideal dan lain-lain. Selain itu día juga mencontohkan membuat mindmap yang terkait pekerjaan misalnya menyelenggarakan rapat, membangun jejaringmemulai usaha, menulis esai, wawancara kerja dll. Penerapan lain mindmap adalah juga untuk kehiduan social kita seperti merancang akhir pekan yang romantis, merancang kebun, merancang pernikahan dan lain-lain.

Secara umum buku ini mudah dipahami, meski beberapa bagian perlu disimak lebih serius khusunya Bab 2 sd bab 5 yang membahas aspek psikologis dan otak. Saya menyarankan kepada  mahasiswa atau siapapun yang suka membaca ataupun menyimak acara diskusi, untuk menggunakan mindmap ini sebagai alat untuk menganalisis pemikiran penulis buku dan atau pembicara dalam sebuah event diskusi. Demikian pula mindmap ini akan sangat membantu menciptakan outline  bagi seseorang yang akan  menulis sebuah esai atau artikel.

Monday, September 08, 2025

JUNGLE CHILD; Rinduku pada Rimba Papua


 

 

JUNGLE CHILD; My Longing for the Papuan Jungle

Author: Sabine Kuegler

Publisher: Esensi-Erlangga, 2006

384 pages

 

This book is a translation of "Jungle Child," a true story written by Sabine Kuegler and published by Droemersche verlagsanstalt in 2006.

The book tells the story of the Kuegler – a German family, consisting of Klaus (father), Doris (wife), Judith (eldest child), Sabine (second child), and Christian (third child), who lived in West Irian in the 1980s. Klaus and Doris were volunteers for a social foundation (missionary) that provided services to underprivileged or isolated communities. Before serving in Papua, Klaus had worked in Nepal with a remote community there.

In West Irian, Klaus's family lived in a remote area (about an hour's helicopter flight from Lake Bira) with the Fayu tribe. Bira Lake is a hamlet in the Central Mamberamo district, Mamberamo Raya regency, Papua province, Indonesia. At that time, the Fayu people were a traditional society untouched by modern civilization, including in terms of education and health. Using sign language and limited local language, the Kuegler family adapted to the Fayu community.

Sabine, the central character in this book, is depicted as a tomboy and rebellious girl. She quickly adapted to her environment, especially quickly associating with the Fayu boys, as Fayu girls tend to be shy and introverted. Sabine easily mingled with the Fayu children and played in the forest, in the river, playing in the mud, hunting and eating insects, consuming wild animals like bats and crocodiles, eating local fruit, climbing trees, and so on. Sabine quickly learned about safe foods and those to avoid. From a young age, Sabine showed an interest in the forest and the environment. She enjoyed collecting various types of animals and insects she found in her environment. For education, Judith, Sabine, and Christian were homeschooled by their mother.

Besides studying the culture and language of the Fayu tribe, the Klaus family also indirectly discovered various lessons, such as: (1) a simple life in harmony with nature, (2) a slow lifestyle free from the stress of work, and (3) eating natural foods provided by nature. The Klaus family enjoyed the delicious taste of wild meat. This created a problem when they returned to Germany and found the meat bitter, leading Judith to become a vegetarian and no longer eat meat.

The Klaus family's presence among the Fayu tribe also brought about gradual social change. The Klaus family taught peace through practices, where clans that often fought among themselves were invited to engage in dialogue to resolve existing problems or conflicts. They were encouraged to gather and socialize to build friendships and family ties. The children, who had often been afraid due to fears of tribal war, eventually grew into a happier generation.

The Klaus family also taught about love and avoiding domestic violence. The Fayu tribe, whose male population is highly dominant, was encouraged to respect and love women. Coerced marriages were gradually eliminated. Violence against wives was also attempted to be eliminated.

Doris (Klaus' wife) also taught about health through medicine and healthy living by maintaining cleanliness. Doris assisted mothers in childbirth and cared for those who were injured or ill. In the Fayu tribe, minor wounds often developed into serious infections due to lack of treatment. Doris's introduction of health care increased the average life expectancy from 37 years to over 50 years.

Doris also contributed significantly to advancing the education of Fayu children. She purchased stationery for the Fayu children and taught them to write and read. The children enthusiastically participated in Doris's interactive and engaging lessons.

When Yudith, Sabine, and Christian grew up, they were sent to Europe and America to pursue higher education, as their mother's homeschooling was impossible. Sabine's departure for Europe was also driven by deep grief following the death of Ohri (her adopted brother from the Fayu tribe). To heal and forget her grief, Klaus and Doris sent Sabine to Switzerland to study.

Initially, Sabine first moved to Europe, she experienced culture shock due to the contrast between the Fayu and European cultures. This situation caused her to experience depression. Fortunately, Sabine slowly began to find her way and start a family. Although Sabine has adapted to European culture, she still acknowledges that part of her soul will always be a child of the jungle.

 

Comments:

A light novel with an accessible style. Many stories of childhood memories are both engaging and humorous. This book also teaches that traditional communities also possess a variety of local wisdom, and that it is not always frightening when approached appropriately. Recommended reading for children and young people who love local culture and nature.

 

 

 

JUNGLE CHILD; Rinduku pada Rimba Papua

Penulis Sabine Kuegler

Penerbit Esensi-Erlangga, 2006

384 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan buku Jungle Child yang merupakan true story yang dituliskan oleh Sabine Kuegler dan diterbitkan oleh Droemersche verlagsanstalt tahun 2006.

Buku ini bercerita tentang keluarga Kuegler dari Jerman yang terdiri Klaus (ayah), Doris (istri), Judith (anak sulung), Sabine (anak kedua) dan Christian (anak ketiga), yang tinggal di Irian Barat pada tahun 1980an.    Klaus dan Doris merupakan relawan yang bergabung dalam yayasan social (misionaris) yang memberikan layanan untuk masyarakat yang tertinggal atau terpencil. Sebelum bertugas di Papua, Klaus sempat bekerja di Nepal untuk sebuah masyarakat pedalaman di sana.

Di Irian Barat, Keluarga Klaus tinggal di daerah terpencil (sekitar satu jam penerbangan helikopter dari Danau Bira) bersama masyarakat suku Fayu. Danau Bira adalah sebuah kampung atau desa yang berada di distrik Mamberamo Tengah, kabupaten Mamberamo Raya, provinsi Papua, Indonesia. Saat itu  Suku Fayu merupakan masyarakat tradisional yang belum tersentuh peradaban modern termasuk dari sisi pendidikan dan kesehatan. . Dengan menggunakan bahasa isyarat dan bahasa local yang terbatas, Keluarga Kuegler beradaptasi dengan masyarakat suku Fayu.

Sabine yang menjadi tokoh central dalam buku ini, digambarkan sebagai anak perempuan yang tomboi dan bandel. Dia dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya, khususnya cepat bergaul dengan anak laki-laki suku Fayu karena anak perempuan suku Fayu cenderung pemalu dan introvert. Sabine dengan mudah membaur dengan anak-anak suku Fayu dan bermain di hutan, di sungai, main Lumpur, berburu dan  makan serangga, makan daging satwa liar seperti kelelawar dan buaya, makan buah local, memanjat pohon dan lain-lain. Sabine dengan cepat belajar tentang makanan yang aman dimakan dan yang harus dihindari. Sejak kecil Sabine sudah menunjukkan ketertarikan terhadap hutan dan lingkungan. Dia suka mengoleksi berbagai jenis satwa dan serangga yang día temukan di lingkungannya. Untuk pendidikan, Judith, Sabine dan Christian mengikuti sistem homeschooling yang dipandu oleh ibunya.

Keluarga Klaus sendiri selain mempelajari budaya dan bahasa suku Fayu, secara tidak langsung juga menemukan berbagai pembelajaran seperti: (1) kehidupan yang sederhana dan selaras dengan alam, (2) kehidupan yang slow living dari jauh dari stress karena pekerjaan, (3) mereka makan makanan natural yang disediakan oleh alam. Keluarga Klaus menyukai dagiung satwa liar yang terasa lezat. Hal ini menimbulkan persoalan karena ketika kembali ke Jerman, mereka merasakan daging di Jerman terasa pahit sehingga Judith memutuskan jadi vegetarian dan tidak mau makan daging lagi.  

Kehadiran Keluarga Klaus ke tengah-tengah suku Fayu, juga membawa perubahan social secara perlahan. Keluarga Klaus mengajarkan melalui praktek tentang perdamaian, dimana antar marga yang sering berperang antar suku diajak untuk berdialog untuk memecahkan masalah atau konflik yang ada. Mereka diajak berkumpul dan bersilaturahmi untuk membangun persahabatan dan kekeluargaan.  Anak-anak yang selama ini sering ketakutan karena kekuatiran ada perang suku, akhirnya tumbuhb menjadi generasi yang lebih ceria.

Keluarga Klaus juga mengajarkan tentang cinta kasih dan menghindarkan kekerasan dalam rumah tangga. Suku Fayu yang dominasi kaum prianya sangat menonjol, diajak untuk menghormati kaum perempuan dan mengasihi mereka. Perkawinan yang dilandasi paksaan, perlahan-lahan dihindarkan. Kekerasan suami terhadap istri juga berusaha dihilangkan.

Doris (istri Klaus) juga mengajarkan tentang kesehatan melalui pengobatan dan cara hidup sehat dengan menjaga kebersihan. Doris membantu ibu-ibu melahirkan serta merawat orang-orang yang terluka atau sakit. Di Suku Fayu, luka yang sepele sering berkembang menjadi infeksi serius karena minimnya pengobatan. Adanya introduksi kesehatan oleh Doris membuat angka harapan hidup yang semula hanya rata-rata 37 tahun meningkat jadi di atas 50 tahun.

Doris juga berkontribusi besar untuk memajukan pendidikan anak-anak suku Fayu. Dia membelikan peralatan alat tulis untuk anak-anak Suku Fayu dan mengajarkan menulis dan membaca. Anak-anakpun sangat antusias mengikuti pelajaran dari Doris yang sangat interaktif dan menarik bagi mereka.

Saat Yudith, Sabine dan Christian beranjak dewasa, mereka dikirim ke Eropa dan Amerika untuk medapatkan pendidikan tinggi di sana, karena materi pendidikan tinggi tidak mungkin disampaikan secara home shooling oleh ibunya. Kepergian Sabine ke Eropa, sendiri juga didorong adanya kesedihan yang mendalam akibat meninggalnya Ohri (kakak angkatnya dari Suku Fayu). Untuk mengobati dan melupakan kesedihan Sabine,  Klaus dan Doris mengirimkan Sabine ke Swiss untuk bersekolah di sana.

Pada awal kepindahannya ke Eropa, Sabine mengalami culture shock akibat kontrasnya perbedaan budaya di Suku Fayu dengan budaya Eropa. Kondisi tersebut menyebabkan Sabine sempat mengalami depresi. Untunglah perlahan-lahan, Sabine mulai nenemukan jalan hidupnya dan berkeluarga. Meski Sabine sudah beradaptasi dengan budaya Eropa, namun dalam hatinya día tetap mengakui bahwa separuh jiwanya akan terus menjadi anak rimba.

 

Komentar:

sebuah novel yang ringan dan gaya bahasa yang mudah dipahami. Banyak cerita kenangan masa kecil yang mengasyikkan dan lucu. Buku ini juga mengajarkan bahwa masyarakat tradicional juga mempunyai berbagai kearifan local, dan tidak selalu menakutkan ketika kita bisa mendekatinya secara tepat. Direkomenasikan dibaca untuk anak-anak dan generasi mudah yang mencintai budaya local dan alam.

 

 

 

 

 

 


Thursday, September 04, 2025

BUILDING A SECOND BRAIN

 



BUILDING A SECOND BRAIN

Metode efektif mengelola kehidupan digital agar lebih produktif dan kreatif

Penulis: Thiago Forte

Penerbit Renebook

Jakarta 2024

ISBN 978 623 6083 772

324 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku asli berjudul “Building a second brain: A proven  method in organize your digital life and unlock your creative potential”, karya Thiago Forte (seorang ahli produktivitas) yang diterbitkan  tahun 2022.

Di usia muda Thiago terkena penyakit . Dia sudah berulangkali berobat ke dokter namun dokter tidak menemukan penyakit yang dideritanya. Kondisi kesehatannya semakin memburuk dan membuatnya depresi.

Kondisi kesehatan Thiago membaik ketika dia mulai melakukan “meditasi”. Jiwanya berangsur tenang dan derita penyakitnya mulai berkurang. Dia semakin  rajin membagikan tulisannya dan pemikirannya ke orang lain. Dia menemukan kembali semangat hidupnya, ketika dia merasakan dirinya bermanfaat bagi orang lain.

Dalam buku ini, Thiago menyoroti bahwa di era digital ini kita dibanjiri oleh berbagai informasi melalui media sosial, televisi, radio, email, buku dan lain sebagainya. Banyak orang akhirnya bingung sendiri karena banjir informasi tersebut dan kesulitan menentukan prioritas informasi dalam kehidupannya. Dalam dunia kerja, banyaknya informasi yang tidak disertai pemilahan dan pengelolaan informasi yang memadai membuat kita punya banyak data namun kesulitan untuk menemukan data tersebut ketika kita membutuhkannya.

Untuk mengatasi banjir informasi tersebut, Thiago menyarankan agar kita memanfaatkan sarana pendukung digital seperti laptop/tablet sebagai “otak kedua”  untuk membantu menyimpan informasi secara terstruktur. Ketika suatu saat kita mempunyai tugas atau kegiatan tertentu, misalnya melakukan pelatihan untuk kelompok tani hutan, kita perlu melakukan empat Langkah CODE (Capture, Organize, Distill, Express).

 

Capture

Adalah menangkap informasi dan mempertahankan informasi yang berguna dan penting. Ingat prinsip Garbage in garbage out bahwa  hanya informasi berkualitas yang akan menghasilkan karya berkualitas pula. Sehingga kumpulkanlah “hanya” informasi yang berguna yang sesuai kebutuhan kita. Dalam tahap capture ini janganlah terjebak dalam sikap terlalu perfeksionis, sehingga kita tidak bisa segera melangkah untuk memproses data dan informasi yang tersedia.  Informasi yang dikumpulkan bisa berupa:

  • Sorotan atau bagian yang menarik dan kita highlight/sorot atau stabilo ketika membaca buku atau artikel. Sekarang tersedia perangkat lunak yang menyediakan fitur sorotan ini dan bisa mengumpulkan sorotan-sorotan yang kita stabilo dalam sebuah bacaan digital
  • Kutipan dari bagian penting sebuah buku/artikel
  • Bookmark atau tautan favorit dari sebuah website
  • Memo suara atau rekaman dari handphone
  • Catatan rapat
  • Gambar
  • Poin-poin pokok dari sebuah pertemuan/seminar/diskusi dll
  • Gagasan atau ide yang muncul dari perenungan maupun yang insidentil.

 

Upayakan bahan yang disimpan tadi mudah dibuka dengan aplikasi yang mudak didapatkan. Selain itu ukuran file-nya tidak terlalu besar agar tidak memakan banyak tempat penyimpanan.

 

Organize

Adalah Mengelola informasi dan menyimpan untuk ditindaklanjuti. Informasi yang terkumpul harus diorganisir penyimpanannya  agar memudahkan pencarian saat dibutuhkan. Thiago menyarankan pengelompokan informasi dengan konsep PARA (Project, Area, Resource, Archieve) untuk pengorganisasian data dan  informasi.

  • Project merupakan Upaya jangka pendek dalam pekerjaan atau kehidupan yang sedang anda kerjakan saat ini.
  • Area atau Bidang merupakan tanggungjawab jangka Panjang yang ingin anda tangani seiring berjalannya waktu
  • Resources atau sumberdaya merupakan  topik atau minat yang mungkin berguna bagi masa depan
  • Archieve atau Arsip merupakan Item tidak aktif dari tiga kategori di atas.

 

Distill

Adalah menyaring dan menemukan intisari informasi yang sudah dikumpulkan. Proses penyaringan ini membutuhkan ketelatenan dan bisa dilakukan secara bertahap untuk menemukan intisarinya. Dalam proses penyaringan ini latihan membuat ringkasan atau resume akan sangat membantu. Semakin tinggi jam terbang dalam membuat ringkasan, kita akan semakin mudah menemukenali benang merah sebuah tulisan atau bahan bacaan.

 

Express

Adalah mengekspresikan informasi yang kita kumpulkan dalam bentuk sebuah hasil karya. Untuk membuat karya ini, Thiago menyarankan dibuat draft kasar atau contoh-contoh kecil (intermediate package) secara bertahap yang nanti bisa dihubung-hubungkan atau disempurnakan. Jangan sungkan mintakan input atau feedback untuk penyempurnaan dari orang sekeliling kita terhadap intermediate package ini.

 

Dalam menggunakan CODE ini, untuk Capture dan Organize, kita perlu menggunakan pendekatan Divergensi untuk membuka seluas-luasnya kreatifitas, inovasi dan informasi yang perlu kita kumpulkan. Meski demikian kita perlu punya fokus agar kita tidak tersesat dalam kreatifitas yang tidak berujung atau banjir informasi. Sedangkan untuk Distill dan Express kita perlu menggunakan pendekatan Konvergensi yakni mengeliminasi pilihan, memperhitungkan untung rugi dan memilih yang benar-benar penting.

 

Pada akhir tulisannya, Thiago menyarankan agar kita mengecek ulang proyek yang kita garap hingga hasilnya memuaskan. Selanjutnya kita perlu mengorganisir informasi yang kita kumpulkan misalkan dimasukan ke folder arsip, untuk antisipasi bila informasi tersebut dibutuhkan suatu saat kelak. Data-data di desktop yang berserakan perlu diatur ulang biar kita mudah mencarinya bila membutuhkannya nanti. Kita perlu merayakan proyek yang telah selesai, dan men-setting ulang untuk proyek-proyek prioritas di masa depan.