Belajar dan berbagi kisah kasih kehidupan yang penuh kehangatan dan kebersahajaan
Thursday, August 23, 2012
2
Oleh: Donny Dhirgantoro
PT Gramedia, Jakarta 2011 (cetakan ke empat)
418 halaman
Buku ini bercerita tentang keluarga Gusni dengan setting tahun1990an – 2000an. Gusni merupakan anak perempuan ke dua dari sebuah keluarga pengusaha shuttlecock badminton tradisional. Anak sulung mereka bernama Gita berjenis kelamin perempuan dan merupakan atlet berprestasi di bidang olah raga badminton. Gita sejak lahir mempunyai kelainan fisik dimana tubuhnya sangat bongsor dan gemuk. Meski demikian ayah ibunya serta Gita sangat menyayangi Gusti.
Di sekolah, Gita berteman akrab dengan Ani dan Nuni yang juga berbadan gemuk, sehingga mereka biasa dipanggil Tri-G. Gusni juga berkarib dengan Harry seorang anak pedagang bakmi keturunan Tionghoa. Gusni dan Harry sering jalan berdua dan curhat. Gusni bercita-cita ingin membahagiakan ayah ibunya melalui olahraga bulutangkis. Sedangkan Harry bercita-cita ingin jadi pengusaha bakmi yang maju.
Kerusuhan Mei 1998 ketika reformasi, menyebabkan ruko warung usaha bakmi keluarga Harry dibakar massa. Keluarga Harry terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri. Gusni merasa kehilangan seorang sahabat dekatnya. Gusnipun berusaha meneruskan cita-citanya menjadi atlet bulutangkis. Namun fisik dia menjadi kendala, sehingga dia sempat pingsan ketika berlatih.
Ketika Gusni mencapai usia 18 tahun, ayah bundanya membuka rahasia yang selama ini ditutup rapat bahwa Gusni mengidap penyakit keturunan berupa kegemukan dan penderitanya hanya mampu mencapai usia 25 tahun saja. Gusni sempat shock, namun dia cepat bangkit. Dia kemudian berupaya keras mewujudkan cita-citanya dengan menjadi atlet bulutangkis. Di bawah bimbingan pelatih dan dukungan keluarganya, Gusni berlatih keras. Gusni akhirnya berhasil masuk menjadi atlet nasional. Bersama kakak dan rekan-rekan tim nasional-nya, Gusni berhasil mempersembahkan juara untuk Indonesia di level internasional, walaupun harus disertai perjuangan antara hidup dan mati.
Beberapa pelajaran moral dari buku ini antara lain:
• Keberhasilan hanya akan menjadi milik seseorang yang punya cita-cita dan dia mau bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita itu.
• Jangan meremehkan kemampuan seseorang, karena Tuhanpun tidak pernah meremehkan kemampuan dari hamba-Nya.
• Semakin dekatnya kita ke kematian tidaklah perlu ditakuti, bahkan hendaknya dijadikan cambuk untuk berbuat sesuatu yang lebih baik bagi orang lain atau bagi negara.
• Dukungan dan kasih sayang keluarga dan sahabat adalah mutiara yang sangat berarti untuk menunjang kesuksesan seseorang.
Secara umum buku ini bagus untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan semangat bekerja keras. Meski pada awal mulanya alur buku ini terasa “childish” dan lebih cocok dikonsumsi anak2 usia SD/SMP...
Monday, August 20, 2012
DRAGON SEED (Putra-putra Naga)
Oleh: Pearl S. Buck
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1995
ISBN: 979-605-180-X
608 halaman
Buku ini bercerita tentang kondisi sebuah
keluarga Cina dengan setting Perang Dunia ke II ketika Jepang melakukan agresi
ke Cina.
Ling Tan seorang petani kelas menengah merupakan seorang tokoh yang disegani di
desanya. Ling Tan menikah dengan Ling Siao. Pernikahan tersebut melahirkan 3
anak laki-laki yakni Lao Ta, Lao Erl, Lao San serta 2 anak perempuan yakni Pansiao dan seorang perempuan yang dinikahi
oleh pedagang Wu Lien.
La Tao yang pekerja keras menikah dengan
Orchid dan dikaruniai 2 anak. Lao Erl yang cerdas menikah dengan Jade dan
setelah sekian lama Jade mengandung anak pertamanya. Lao San yang tampan masih
membujang dan agak pemalas. Pansiao yang pendiam masih gadis dan lebihg banyak
membantu orang tuanya menenun kain. Istri Wu Lien mempunyai anak 2. Ketiga anak
laki-laki Ling Tan, rajin membantu orang tuanya untuk menggarap lahan pertanian yang mereka miliki,
sehingga hasil panennyapun relatif melimpah.
Pada suatu hari tentara Jepang menyerbu Cina
dengan pesawat dan diikuti pasukan darat. Hal itu menimbulkan gelombang
pegungsian besar-besaran apalagi tentara
Jepang dinilai sangat kejam dan suka memperkosa perempuan. Wu Lien yang hidup
di kota akhirnya mengungsi ke rumah Ling Tan karena rumahnya dibom. Lao Erl dan Jade memutuskan untuk mengungsi
ke daerah yang aman dalam kondisi mengandung. Ling Tan kemudian mengungsikan
istrinya (Ling Siao), Orchid (istri Lao Ta), Pansiao dan cucu-cucunya ke sebuah
gedung/biara asing yang bergama Katholik/Kristen.Ibu Wu Lien yang sudah renta
dan Orchid menjadi korban kebiadaban tentara Jepang. Anak-anak Lao Ta juga meninggal karena penyakit disentri. Sedangkan Lao San yang tampan menjadi korban
sodomi tentara Jepang. Penindasan oleh Tentara Jepang makin menjadi karena
mereka merampas hasil panen dan ternak yang dimilikinya. Tentara Jepang juga
menggunakan candu dan ganja untuk melemahkan mental orang Cina.
Menghadapi situasi seperti itu, Ling Tan
kemudian menyurati Lao Erl untuk pulang ke kampungnya. Akhirnya Lao Erl pulang
dengan Jade yang sudah dikaruniai anak laki-laki yang kuat. Ling Tan, Lao Erl, Lao Ta dan lao San yang
sakit hati dengan kebiadaban tentara Jepang kemudian melakukan gerilya melawan
tentara Jepang. Gerilya tersebut cukup berhasil mengganggu konsentrasi tentara
Jepang. Sementara itu Wu Lien yang berjiwa pedagang lebih memilih strategi
kolaborasi dengan tentara Jepang, sehingga Wu Lien memperoleh jabatan tinggi.
Dalam perjuangan gerilya tersebut Lao Erl
kemudian memperoleh anak kembar. Lao Ta yang menduda akhirnya menemukan seorang
janda yang akhirnya dinikahinya. Sedangkan Lao San yang tampan namun
temperamental akhirnya takluk pada Mayli seorang putri yang mempunyai jiwa
pejuang dan juga mantan guru Pensiao.
Penderitaan yang panjang sempat membuat Ling
Tan mulai frustasi, namun adanya berita2 radio bahwa banyak negara lain yang
sedang berjuang melawan agresi Jepang telah membesarkan hatinya untuk terus
berjuang membela tanah kelahirannya.
Secara umum alur cerita novel ini sederhana,
bahasa yang lugas dan mudah dicerna.
Saya sangat salut dengan kemampuan penulis (Pearl S. Buck) yang memahami budaya
dan nilai-nilai masyarakat Cina. Sehingga nilai kultural tersebut merasuk dalam
alur novel ini dan tidak hanya menjadi tempelan belaka....
Wednesday, August 15, 2012
H.M. MISBACH; Kisah Haji Merah
Oleh Nor Hiqmah
Komunitas Bambu, Jakarta 2008
ISBN: 979-3731-36-2
122 halaman
Buku ini merupakan skripsi dari Nor Hiqmah, mahasiswi Fakultas Filsafat
UGM alumni 1999 yang dibukukan. Buku ini mengungkap kisah seorang Haji Misbach
yang merupakan tokoh pergerakan tahun 1876 – 1924.
Haji Misbach dilahirkan dari keluarga pedagang
batik di Solo. Beliau menempuh pendidikan pesantren dan juga pendidikan formal
untuk bumiputera. Panggilan jiwa telah mengantar Haji Misbach memasuki dunia
organisasi Sarekat Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Penindasan oleh
kolonialisme Belanda dan maraknya kapitalisme, membuat sikap radikal Haji
Misbach makin mengkristal. Haji Misbach
menjadi tidak sabar dengan Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang dirasakan lebih
banyak bergerak pada pendekatan persuasif
dan kooperatif dalam menghadapi kapitalisme Belanda. Haji Misbach menginginkan, perlawanan
terhadap kapitalisme harus dilakukan secara frontal melalui aksi kongkrit.
Upaya amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan secara nyata seperti yang diajarkan dalam Al Quran. Dalam
hal ini Islam sebagai ajaran agama seharusnya mampu menjalankan fungsi
pembebasan bagi kaum tertindas (teologi pembebasan).
Pertemanan
Haji Misbach dengan tokoh-tokoh komunis, juga membuka mata Haji Misbach
bahwa Islam dan komunisme mempunyai musuh bersama yakni kapitalisme yang menindas dan
memarjinalkan harkat dan martabat manusia.
Haji Misbach kemudian bergabung
dalam Sarekat Islam “Merah” yang pro komunis yang kemudian menjelma menjadi
Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai aktivis PKI, beliau mencoba
mensintesakan Islam dan komunisme dalam kotbah-khotbah dan propagandanya.
Propaganda tersebut dituliskan dalam media koran Medan Moeslimin yang dia
kelola sendiri. Pergerakan Haji Misbach yang tidak kenal takut dan mampu
memobilisasi aksi-aksi pemogokan yang mengancam kolonialis Belanda, akhirnya
membawa beliau ke pembuangan di Manokwari. Meski dibuang, beliau masih berusaha
menemui kolega dan pendukungnya melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di koran
miliknya. Namun beliau akhirnya menyerah pada takdir ketika serangan malaria
menimpanya. Beliau meninggal tahun 1924
di Manokwari tempat pembuangan terakhirnya.
Dalam buku ini Nor Hiqmah sebagai penulis
memberikan catatan kritis bahwa upaya Haji Misbach untuk mensitesakan Islam dan
komunisme bisa dikatakan berhasil namun
hanya untuk aspek “aksi pembebasan dari penindasan” karena Islam dan komunisme
membenci kapitalisme dan kolonialisme.
Namun bila dirunut lebih jauh ke dalam sisi filosofi Islam dan komunisme
akan ditemukan perbadaan pandang yang cukup
signifikan seperti:
ASPEK
|
ISLAM
|
KOMUNISME
|
Orientasi Kehidupan
|
Kehidupan dunia dan akherat
|
Kehidupan Dunia
|
Transedensi (hubungan dengan Tuhan), hubungan dengan
sesama, hubungan dengan lingkungan
|
Hubungan dengan sesama dan materialis
|
|
Pandangan terhadap klas
|
Toleransi terhadap adanya kelas tapi dikelola melalui
berbagi sumberdaya seperti zakat
|
Tidak ada kelas, sama rata sama rasa
|
Secara umum buku ini cukup menarik sebagai
sebuah referensi sejarah. Bahasa yang
digunakan cukup sederhana dan mudah dipahami. Hanya ada sedikit hal yang mengganggu
yakni, ada beberapa pengulangan dalam beberapa pembahasan sehingga terkesan
agak kurang runtut.
LAYAR TERKEMBANG
St Takdir Alisyahbana
Balai Pustaka,
Jakarta 1993 (cetakan 23)
ISBN 979-107-065-3
139 halaman
Buku ini bercerita tentang
kakak beradik Tuti dan Maria, yang merupakan putri wedana Raden
Wiriaatmaja, dengan setting sekitar 1930-an.
Tuti sang kakak merupakan seorang guru HIS dan juga aktivis organisasi
Perempuan Sedar yang memperjuangkan emansipasi perempuan (ata cenderung
feminisme?). Maria, si adik merupakan
siswi HBS. Dari sisi karakter, Tuti terkesan serius dan formal. Sedangkan Maria lebih bersifat jenaka, informal dan aktif.
Suatu saat Maria berkenalan dengan Yusuf seorang mahasiswa Sekolah Tinggi
Tabib (Ilmu Kedokteran). Perkenalan itu akhirnya bermuara pada tumbuhnya rasa saling cinta. Percintaan
tersebut berjalan lancar dan mendapatkan dukungan keluarga.
Di sisi lain, Tuti dengan kesibukan
organisasinya dan obsesi “perempuan mandiri-nya” mengalami kegagalan cinta
ketika tunangannya (Hambali) dirasa banyak mengekangnya. Tuti rela memutus
cinta daripada hidupnya terkekang. Dia ingin wanita harus mempunyai kemerdekaan
untuk mengembangkan diri seluas-luasnya
dan bisa berdiri sederajat dengan pria.
Ketika melihat kemesraan Yusuf dan Maria, Tuti
yang bersikap sangat rasional dan kaku merasa tertampar. Dia menyadari bahwa
kesuksesan duniawi dan karir tidak akan bisa mengisi kekosongan jiwanya yang
haus cinta kasih. Tuti yang mulai dimakan usia yang saat itu menginjak 27 tahun
mulai merasa galau ketika dia menyadari bahwa ada sesuatu yang hampa dalam
hidupnya.
Maria yang sudah lulus HBS dan mulai bekerja
sebagai guru, mendapati dirinya mengidap TBC. Walaupun pengobatan untuknya
sudah dilakukan, namun jiwanya tidak tertolong jua. Di saat akhir hidupnya dia
berusaha membahagiakan dua orang yang sangat dicintainya dengan cara menjodohkan
Yusuf kekasihnya dengan Tuti kakaknya.
Roman Layar Terkembang yang merupakan salah
satu karya klasik era Balai Pustaka, merupakan roman yang sederhana. Buku ini
merupakan salah satu buku sastra yang
dianjurkan dibaca ketika saya masih duduk di SMP-SMA. Bahasa yang digunakan
merupakan bahasa Melayu sehingga agak sedikit berbeda dengan Bahasa Indonesia
baku yang ada saat ini. Perbedaan tersebutmencakup sisi tata bahasa maupun dari
sisi pemaknaan kosa kata. Penggunaan
bahasa Melayu dalam roman ini sangat saya sukai karena saya bisa menikmati kosa kata “bahasa lama” yang sudah jarang
saya dengarkan saat ini, meski saya akui dalam beberapa hal saya agak kesulitan
menangkap maknanya. Selain itu dalam roman ini diungkap berbagai tempat di
Jakarta tempo dulu, sehingga saya juga berimajinasi tentang Jakarta di waktu
lalu....
SEPATU DAHLAN
Oleh: Khrisna
Pabichara
Noura Books,
Jakarta 2012
ISBN:
978-602-9498-24-0
369 halaman
Novel ini disusun
mendasarkan pada true story kehidupan Dahlan Iskan sewaktu remaja yang duduk di
bangku madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah pada sekitar tahun 1960an.
Sebagai sebuah novel, true story tersebut kemudian dikembangkan dan dibumbui
beberapa adegan fiktif. Karena penulisan
yang cukup runtut dan mengalir, saya kesulitan untuk menelaah mana kejadian
yang riil dan mana yang fiktif...
Buku ini mengisahkan
kehidupan Dahlan yang hidup bersama ayah ibunya beserta kakaknya Mbak Atun yang
menjadi guru, Mbak Sofiawati yang kuliah, Dahlan yang mulai masuk madrasah
Tsanawiyah/MTs (setingkat SMP) dan adiknya, Zain. Keluarga Dahlan hidup di desa
miskin di pinggiran perkebunan tebu di daerah Magetan- Jawa Timur. Di kampung
Kebon Adem tersebut, Dahlan tinggal bersama ayah, ibu dan adiknya. Sedangkan
Mbak Atun bekerja dan Mbak Sofiawati kuliah di kota Madiun. Ayah Dahlan seorang
ustadz kampung yang bekerja keras
sebagai buruh serabutan (misal buruh tani dan bertukang), untuk memenuhi
kehidupan keluarganya. Ibunya Dahlan yang
dibesarkan di pesantren, mencari tambahan penghasilan dengan
membatik. Kehidupan yang miskin membuat
Dahlan dan Zain terbiasa dengan kehidupan sederhana seperti makan nasi thiwul (dari gaplek singkong).
Dahlan dan Zain juga dilatih untuk bekerja keras dengan mencari rumput dan
menggembalakan domba mereka yang berjumlah 28 ekor, dan bekerja sebagai kuli di perkebunan tebu yang
ada di lingkungannya.
Saat bersekolah di
MTs pesantren Takeran yang dikelola oleh keluarga ibunya, Dahlan mengalami
ujian dengan meninggalnya ibunda Dahlan yang sangat dicintainya. Meninggalnya
ibunda membawa banyak perubahan dalam keluarga itu karena ayah Dahlan
menjadi “shock” dan semakin banyak
menghabiskan waktu di sawah garapan (termasuk di malam hari) untuk mencangkul
dan mencari nafkah buat kebutuhan keluarga. Dahlan sendiri harus mengambil alih
peran ibundanya untuk menyiapkan makanan buat dirinya sendiri dan adiknya.
Kondisi keluarga yang sangat miskin, membuat Dahlan dan Zain akrab dengan
kelaparan. Sepotong buah pisang ataupun lauk ikan teri plus sambel terasi-pun
sudah merupakan makanan yang mewah bagi mereka. Zain pun sempat beberapa kali
mengalami pingsan karena tidak kuat
menahan kelaparan yang menderanya. Dahlanpun
sempat dihukum oleh mandor perkebunan karena ketahuan mencuri tebu untuk
menolong adiknya yang sedang kelaparan.
Kondisi keluarga
yang miskin dan Dahlan harus menangani urusan masak memasak serta harus
menggembalakan domba, tidak membuat Dahlan minder. Di sekolah dia ikut aktif dalam
kegiatan organisasi Ikatan Santri dan juga aktif dalam kegiatan bola voli.
Dahlan juga rajin belajar sehingga mampu berprestasi di sekolah walaupun
hari-hari dia harus berjalan berkilo-kilo tanpa sepatu (nyeker) untuk
menjangkau sekolah. Sepatu merupakan suatu
benda yang sangat “bernilai” atau mewah bagi Dahlan. Dahlan sangat puas
dengan prestasi di sekolah maupun di ekstra kurikuler karena dengan prestasinya
itu Dahlan bisa membuat ayahnya bangga dan bahagia. Di balik sikap ayahnya yang
pendiam dan penuh disiplin, Dahlan menemukan bahwa ayahnya sangat menyayangi
anak-anaknya.
Di balik kehidupan
di desa yang bergelimang kemiskinan, Dahlan menemukan berkah berupa ketulusan
dan kebersamaan dari teman sepermainanya
seperti kebersamaan saat menggembala kambing, mencari ikan, mandi di kali
dll.Dahlan menjadi semakin kuat dengan adanya dukungan teman2 sekolah dan teman
mainnya.
Sepatu dan sepeda
dari hari ke hari merupakan obsesi Dahlan. Sepatu pertama akhirnya diperoleh
ketika teman-teman kelasnya membelikan sepatu bekas untuk bermain dalam
turnamen bola voli. Walaupun kesempitan dan kakinya lecet-lecet, Dahlan dan
timnya bisa memenangi turnamen voli itu. Turnamen ini membawa berkah karena
Dahlan kemudian diminta menjadi pelatih tim bola voli pabrik gula dengan gaji
yang lumayan. Dengan gaji itu, dia bisa membeli sepeda bekas dan sepatu bekas
untuk dirinya sendiri dan untuk adik yang dikasihinya. Di tempat berlatih voli,
kisah cinta Dahlan dan rekannya bernama Aisha mulai bersemi. Namun cinta
tersebut akhirnya tertunda karena Aisha
dan Dahlan harus berpisah sementara waktu karena Dahlan harus pergi ke
samarinda untuk mencari peluang kuliah di sana, sedangkan Aisha pergi kuliah ke
Jogja.
Beberapa pesan moral yang terkandung dalam novel ini,
antara lain:
- Kemiskinan yang dijalani secara tepat akan mematangkan jiwa. Kemiskinan hendaknya jangan dihadapi dengan dendam. Kemiskinan hendaknya disikapi dengan kerja keras, ulet, tanggung jawab dan sabar agar seseorang mampu keluar dari lingkaran kemiskinan itu sendiri. Dalam jangka panjang, kehidupan masa kecil yang miskin akan dapat menumbuhkan jiwa emphaty terhadap orang miskin, mampu menghargai uang, tidak boros dll ketika orang tersebut dewasa
- Kemiskinan hendaknya jangan sampai membuat seeseorang kehilangan jati diri moralnya. Kemiskinan hendaknya jangan dijadikan alasan untuk melakukan perbuatan yang menghalalkan segala cara.
- Ilmu, Amal dan Takwa, Ilmu merupakan pijakan untuk bertindak dan beribadah, Ilmu yang dimiliki harus diamalkan untuk kemaslahatan umat dan semuanya berujung pada ketakwaan terhadap Allah s.w.t
- Ora kepengin sugih, ora wedi mlarat. Janganlah kau memburu harta/jabatan, dan janganlah kamu takut dengan kemiskinan dan kemelaratan.
- Sumber bening ora golek timbo. Bila dirimu memang mempunyai kualitas yang bagus, kamu tidakperlu memngemis-ngemis jabatan. Jabatan atau amanahlah yang akan datang padamu dan harus kamu tunaikan dengan sebaik-baiknya.
- Pendidikan moral agama dan kasih sayang dalam keluarga menjadi satu pondasi yang sangat penting untuk membangun karakter jiwa yang tangguh, bertanggung jawab, sabar dan kerja keras.
- Dimana ada kemauan, disitu ada jalan...ketika kita mempunya cita-cita dan berupaya keras untuk menggapainya, maka sukses akan menanti.....
Novel ini sangat
inspiratif dan dituturkan dengan mengalir......so, ENAK DIBACA DAN PERLU!!!
Friday, August 10, 2012
STUDI ATURAN ADAT DAN KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK KENYAH OMA’ LONGH DI DESA SETULANG – KABUPATEN MALINAU – KALIMANTAN TIMUR
Oleh Eddy Mangopo Angi
GIZ Forclime, Samarinda 2012
102 halaman
Buku ini merupakan laporan studi yang dilakukan dalam rangka mendokumentasikan kearifan lokal masyarakat suku Dayak Kenyah Oma’Longh yang menghuni desa Setulang – Kabupaten Malinau. Kegiatan penggalian informasi dalam studi ini dilakukan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion, Indepth interview, observasi dan studi data sekunder.
Beberapa temuan dalam studi ini antara lain:
1) Masyarakat suku Dayak Kenyah Oma’ Longh yang tinggal di desa Setulang berasal dari desa Longh Sa’an. Mereka pindah ke desa Setulang tahun 1968, dengan pertimbangan untuk mencari daerah yang lebih potensial untuk berkembang. Harapan itu terwujud dengan pertumbuhan ekonomi di desa Setulang dirasa lebih maju dibandingkan dengan di Longh Sa’an. Di bidang pemerintahan, desa Setulang ditetapkan secara definitif tahun 1972. Di bidang sosial, sebagian masyarakat Setulang telah memperoleh pendidikan yang lebih baik (SMA dan Perguruan Tinggi).
2) Migrasi masyarakat ke desa Setulang, juga diikuti dengan adanya budaya dari tanah leluhur Longh Sa’an yang tetap dipertahankan. Sebagian aturan adat dan kearifan lokal masyarakat suku Dayak Kenyah Umo’ Longh masih dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Praktek kearifan tradisional ini dapat dilihat dari pengelolaan Tane’ Olen (Hutan Larangan) secara lestari. Kegiatan pertanian, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu masih dilakukan oleh masyarakat namun dengan cara-cara yang arif dan tidak menimbulkan dampak merusak secara masif.
3) Sebagai sebuah hal yang dinamis, budaya (aturan adat dan kearifan lokal) juga mengalami perkembangan. Dalam hal ini beberapa aturan adat misalnya telah mulai ditinggalkan terutama yang berhubungan dengan pantangan/larangan. Hal ini juga dipengaruhi oleh interaksi dengan budaya lain serta masuknya agama Kristen dalam lingkungan mereka; Demikian pula kearifan lokal masyarakat suku Dayak Kenyah Umo’ Longh, seperti pengelolaan Tane’ Olen juga mengalami pergeseran. Perubahan ini dikarenakan kondisi serta kebutuhan yang harus dipenuhi oleh masyarakat desa Setulang, meski demikian konsep Tane’ Olen masih mengacu pada kegiatan konservasi tradisional;
4) Peranan aturan adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di desa Setulang masih dilaksanakan walaupun aturan adat yang digunakan masih diperlukan penyempurnaan bagi keberlanjutannya. Hal ini penting mengingat desa Setulang dikelilingi dengan berbagai konflik kepentingan baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) dalam mengeksploitasi sumberdaya hutan yang ada di desa Setulang;
5) Perkembangan sosial ekonomi (termasuk demografi) di satu sisi membawa manfaat positif bagi masyarakat. Namun di sisi lain bisa menjadi sebuah ancaman bagi kelestarian kearifan lokal setempat. Perkembangan jumlah penduduk akan dapat menimbulkan timbulnya menurunnya daya dukung lingkungan. Meningkatnya pendidikan formal akan dapat berdampak bagi lunturnya ketaatan terhadap aturan adat dan kearifan lokal setempat. Berkembangnya ekonomi uang akan dapat berdampak pada budaya konsumerisme yang berujung pada eksploitasi sumberdaya alam secara berlebih.
6) Untuk mengantisipasi hilangnya kearifan lokal tersebut perlu dilakukan upaya-upaya pendokumentasian, penyesuaian (adjustment) dan pewarisan sosial kearifan lokal kepada generasi berikut.
Wednesday, August 01, 2012
PRAJURIT PEREMPUAN JAWA: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke 18
Oleh: Ann Kumar
Komunitas Bambu, Jakarta 2008
ISBN 979-3731-28-1
200 halaman
Buku ini merupakan hasil riset Ann Kumar yang mempelajari berbagai manuskrip sejarah Jawa yang berasal dari catatan seorang perajurit perempuan Keraton Mangkunegara dan dicross check dengan manuskrip versi VOC.
Buku ini menceritakan kisah pecahnya keraton Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Semula Keraton Mataram diperintah oleh Pakubuwono II pada tahun 1700an. Pemerintahan Pakubuwono disokong oleh VOC. Kehadiran VOC ini tidak menyenangkan hati Raden Mas Said yang kemudian memberontak. Pemberontakan Raden Mas Said ini bisa diredakan oleh Pangeran Mangkubumi. Namun ternyata Pakubuwono II mengingkari janjinya untuk memberikan hadiah kepada Mangkubumi. Mangkubumipun kemudian bersekutu dengan Mangkunegara untuk melawan Pakubuwono dan VOC.Untuk meredakan situasi kemudian diadakan Perjanjian Gianti (1755) yang membagi wilayah keraton mataram menjadi 2 yakni Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono dan Yogyakarta yang dipimpin Mangkubumi. Mangkunegara yang merasa ditinggalkan, kemudian terus memberontak walaupun akhirnya dia menyetujui diberi wilayah dan membentuk Keraton Mangkunegara. Meski demikian keraton Mangkunegara ini sifatnya hanya “adipati” dan bukan “raja yang berkuasa penuh”.
Intrik politik dan perebutan kekuasaan antara Keraton Surakarta, Yogyakarta dan mangkunegara. Persaingan maupun Persekutuan-persekutuan yang didasari kepentingan jangka pendek sering terjadi antara ketiga pihak tersebut. Di sinilah kepiawaian VOC mengatur konflik dan keseimbangan antar pihak untuk melestarikan kepentingan mereka sendiri.
Dalam buku ini juga dikupas beberapa hal menarik bahwa:
• Di keraton Surakarta dan Mangkunegara, agama Islam mempunyai peran penting sebagai salah satu norma sosial bermasyarakat. Raja mangkunegara sendiri rajin mempelajari agama, menyalin Quran dan rajin menyelenggarakan ritual seperti pengajian. Meski demikian juga ditemukan berbagai penyimpangan keagamaan di keraton seperti masih banyaknya budaya minum alkohol, judi dll.
• Di keraton Surakarta dan mangkunegara ditemukan barisan prajurit-prajurit perempuan yang cukup tangguh.
• Terdapat rangkap fungsi prajurit dengan fungsi sosial lain. Misalnya prajurit perempuan, selain mahir di medan perang juga mahir menari tradisional. Demikian juga prajurit kaum, selain berperang mereka juga mempunyai tugas untuk memakmurkan masjid.
• Dari sisi kesejarahan. Tentara Mangkunegara merupakan tentara yang kuat, profesional, loyal dan semangat korps tinggi. Sehingga legiun Mangkunegaran merupakan barisan yang sangat disegani pada masanya.
• Mangkunegara selain merupakan panglima perang yang tangguh, juga merupakan pemeluk Islam yang relatif taat dan ahli seni budaya khususnya tarian.
• Kebutuhan operasional kerajaan seperti rumah tangga keraton maupun gaji tentara yang cuku besar membuat Mangkunegaran terkadang kesulitan finansial dan akhirnya tergantung ekonominya sama VOC.
Secara umum buku ini agak menarik meski judulnya kurang sesuai dengan isinya. Hal lain adalah penempatan end-note menjadi kurang praktis karena pembaca harus membolak-balik halaman untuk mendapatkan penjelasan . Kelemahan lain adalah buku ini ditulis dengan mengacu pada manuskrip yang ditulis “abdi Mangkunegaran” . Hal ini berpotensi menimbukan bias-bias subyektifitas dalam analisisnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)