Monday, December 16, 2024

Kiat Menjadi Diktator

 


Kiat Menjadi Diktator

Penulis Mikal Hem

Penerbit CV Marjin Kiri

Tangerang, 2023

ISBN 978-602-0788-46-3

191 halaman

 

Buku ini diterjemahkan oleh Irwan Syahrir dari buku  berbahasa Norwegia berjudul Kanskje jeg kan bli dictator en handbok karya Mikal Hem, yang terbit tahun 2012. Buku ini berisi resep merebut kekuasaan, mempertahankannya dan mengakhiri jabatan sebagai diktator. Secara  satire komedi, buku ini menyindir kelakuan para diktator dari berbagai belahan dunia seperti Afrika, Asia, Amerika Latin, Eropa Timur, dan Eropa Barat ketika memegang tampuk kekuasaan.

Para diktator memperoleh kekuasaan melalui beberapa cara. Di negara-negara yang situasi politik tidak stabil seperti sebagian negara Afrika, perebutan kekuasaan melalui kudeta merupakan hal yang sering terjadi. Antara tahun 1952 sd 2000, telah terjadi 85 kudeta di 33 negara Afrika. Biasanya kudeta ini terjadi di negara yang miskin atau pertumbuhan ekonomi rendah, negara yang bersangkutan tidak punya ketergantungan politik terhadap negara lain, dan kekuasaannya terpusat (sentralistik). Beberapa kunci sukses sebuah kudeta antara lain: adanya dukungan kekuatan militer, adanya dukungan luar negeri, petakan orang-orang penting pemegang kekuasaan yang harus diamankan atau dinetralisir, kuasai media massa sebagai corong kekuasaan.

Cara kedua untuk memperoleh kekuasaan adalah melalui perang gerilya seperti terhadap penjajah seperti yang dilakukan Mao Zedong di Cina atau Paul Kagame di Rwanda yang melawan genocida. Cara ini membutuhkan kesabaran dan seringkali pengorbanan yang besar. Cara ini akan berhasil bila mampu membangun visi yang jelas terkait tujuan perjuangan atau kesadaran akan musuh bersama yang dihadapi, simpati dari masyarakat luas, dukungan internasional, kecakapan dan militansi pasukan militer sehingga sanggup berjuang bertahun-tahun.

Cara ketiga untuk menjadi diktator adalah dengan melalui pemilu yang manipulatif. Biasanya hal ini dilakukan ketika sang diktator sudah memegang tampuk kekuasaan, sehingga untuk memperoleh legitimasi, dia menyelenggarakan pemilu walaupun penuh manipulasi ataupun intimidasi.

Cara keempat untuk menjadi diktator adalah dengan sistem dinasti Dimana tampuk kekuasaan diwariskan kepada anak keturunan atau kerabat yang bertalian darah. Hal ini seperti terjadi di Korea Utara, beberapa negara Arab, Brunai, beberapa negara Afrika maupun beberapa negara Asia Tengah pecahan negara Uni Soviet.

Cara-cara meraih tampuk kekuasaan tersebut tidak ada yang paling baik karena semua terkait dengan situasi  local dan factor pendukungnya. Tapi ada yang perlu diingat bahwa “mendapatkan kekuasaan itu mudah, namun mempertahankan tetap di puncak itu jauh lebih sulit.”

Ketika sudah memegang tampuk kekuasaan, seorang diktator harus mengembangkan strategi untuk mempertahankan kekuasaannya. Beberapa strategi yang dilakukan oleh para diktator tersebut antara lain:

·        Mengendalikan, membatasi gerak dan kalau perlu menghilangkan oposisi.

·        Menyelenggaraan pemilu agar memperoleh legitimasi bahwa pemerintahannya demokratis. Meskipun pemilu dilakukan secara manipulative dan intimidatif.

·        Indoktrinasi tentang keberpihakannya kepada rakyat dan indoktrinasi ini dimulai sejak anak-anak di bangku sekolah.

·        Membangun ajaran propaganda bahwa kita adalah ras terunggul seperti yang terjadi di Korea Utara sehingga seorang diktator dibutuhkan untuk menjaga keunggulan ras tersebut.

Seorang diktator hendaknya bisa meresap ke segenap tatanan masyarakat  sehingga muncul kultus individu. Pembuatan patung dan pemasangan gambar  sang diktator di banyak tempat, membuat gelar diri yang gagah, menciptakan sebuah filsafat negara, menulis buku, menggunakan media untuk memuat berita tentang sang diktator, gunakan nama sang diktator untuk jalan atau fasilitas publik, membangun narasi tentang kehebatan atau kesaktian sang diktator, menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan menciptakan hukum yang aneh untuk menunjukkan dialah yang berkuasa—itu merupakan cara-cara untuk membangun alam bawah sadar masyarakat akan kehadiran sang diktator.

Sebagian besar diktator mempunyai kecenderungan untuk menumpuk harta secara illegal. Bahkan di negara-negara miskin, diktator akan tetap berusaha mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Biasanya mereka akan menggunakan keluarga dan kroni untuk  mengumpulkan harta ini. Mereka mengumpulkan komisi-komisi dari investor atau proyek-proyek yang akan dilaksanakan di negara tersebut. Demikian pula regulasi usaha dibuat njelimet agar investor akan kesulitan menempuh jalur formal dan lebih suka membayar melalui “jalur belakang”. Pemerintah yang korup semacam ini biasanya sangat tertutup dan tidak mau transparan terhadap kontrak-kontrak dengan para investor. Pemerintah tidak transparan dengan duit yang masuk ke negara dan berapa yang masuk ke kantong diktator dan kroninya. Hal yang ironis adalah negara yang konon demokratis seperti USA seringkali menutup mata terhadap kelakuan para diktator karena pertimbangan bisnis investor US di negara diktator tersebut. “Kleptokrasi” (pemerintahan yang mencuri duit rakyatnya sendiri) merupakan bentuk korupsi paling langsung dan terang-terangan. Cara seperti ini bisa dijalankan bila masyarakat sipil lemah, mayoritas masyarakat berpendidikan rendah dan buta huruf, organisasi kemasyarakatan dan media dikerdilkan,  dan instansi pemerintah dilemahkan supaya tidak berani menantang diktator dan kroninya.

Untuk menjaga keamanan harta yang dikumpulkannya, banyak diktator yang menyimpan dalam bentuk property, barang seni, barang mewah maupun ditabung di bank-bank di negara yang memperbolehkan anonimitas pemiliknya seperti Swiss.

Kebanyakan diktator mempunyai gaya hidup yang sangat boros yang jauh dari tingkat kehidupan masyarakatnya. Belanja di kota metropolitan dunia, baju rancangan desainer terkemuka, pesta mewah, koleksi mobil mewah, kapal pesiar, istana megah dan main perempuan merupakan bagian gaya hidup mereka. Mereka juga membangun mahakarya arsitektural  nan mahal seperti Menara, gereja, villa dan tata kota  yang luar biasa  walaupun seringkali jarang dimanfaatkan  secara optimal.

Sebagian diktator juga memiliki bakat menulis sastrawi yang baik seperti Moamar Gaddafi yang menerbitkan novel tentang daerah perdesaan yang damai dan lingkungan keluarga yang tumbuh kembang dengan sehat. Dia juga menerbitkan Kitab Hijau  yang mencoba mengkombinasikan pandangan Islam, tradisi kesukuan Libya, sosialisme dan nasionalisme pan Arabia. Beberapa diktator yang juga menjadi penulis adalah Niyazov dan Berdimukhamedov (Turkmenistan), Saddam Hussein (Irak), Kim Il Sung dan Kim Jong Il (Korea Utara), Mao Zedong (China) dan Papa Doc Duvalier (Haiti).

Kenikmatan hidup menjadi diktator, dirasakan tidak hanya oleh sang diktator, tetapi juga dirasakan oleh keluarga dan kroni-kroninya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Keluarga dan kroni posisinya lebih enak dari sang diktator karena mereka tidak menjadi sasaran langsung bila ada kudeta. Kroni setia di lingkungan pemerintahan maupun keluarga perlu dipelihara agar dia bisa menjadi tameng pembela bagi sang diktator. Selain manfaat finansial, mereka juga memperoleh manfaat non finansial seperti jabatan politik, jabatan bisnis, kekebalan hukum, gelar akademik, status sosial dll. Dengan fasilitas yang dimilikinya, tidak jarang keluarga atau kroni sang diktator akhirnya terjerumus dalam seks, narkoba dan kekerasan.

Para diktator biasanya menduduki jabatan lebih lama daripada pemimpin negara yang demokratis.  Selama menjabat dia bisa meraup kekayaan, dipuja seperti Tuhan dan mabuk kekuasaan. Namun harus disadari bahwa akhir politiknya bisa datang tiba-tiba.  Bila seorang diktator berhasil mempertahankan kekuasaan tanpa menjadi korban kudeta atau pembunuhan, sang diktator bisa terus berkuasa  sampai mati, atau bisa menyerahkan kekuasaan kepada orang lain. Namun menyerahkan kekuasaan kepada orang lain sering beresiko orang yang diberi kekuasaan akan berkhianat dan menusuk dari belakang.

Akhir hidup para mantan diktator juga beragam. Untuk menghindari balas dendam, banyak mantan diktator yang lebih suka hidup di pengasingan di negara yang mau menerimanya seperti Perancis.  Ada pula beberapa mantan diktator yang mendekam di penjara negaranya seperti Manuel Noriega (Panama) dan Charles Taylor (Liberia). Sedangkan sejumlah mantan diktator meninggal saat bertugas seperti Macias Nguema (Guinea Khatulistiwa), Moammar Gaddafi (Libya), Ceucescu (Rumania), Rafael Trujillo (Republik Dominika), Somoza (Nikaragua). Di berbagai negara, mantan diktator malah diawetkan (dan eberapa diantaranya dipajang), seperti Lenin (Soviet), Mao Zedong (China), Ferdinand Marcos (Filipina), Kim Il Sung (Korea Utara), Georgi Dimitrov (Bulgaria), Klement Gottwalt (Cekoslovakia).

Ada bahaya-bahaya ketika menjabat sebagai diktator. Namun di sisi lain ada banyak hal yang akan dia dapatkan bila semua berjalan lancar. Tahta/Kuasa, Harta dan Wanita akan ada dalam genggamanmu… “Absolute power corrupts absolutely” – Lord Acton 1887.

 

Refleksi:

Melihat pengalaman berbagai negara dictatorial, ada kecenderungan sang dictator menggunakan kroni dan keluarganya untuk meraup harta. Tapi mengapakah di Indonesia pemeriksaan kasus korupsi hanya ditujukan pada penyelenggara negara dan tidak kepada anggota keluarganya? Ah alangkah mulianya hati para pembuat aturan hukum dan penegak hukum yang berprasangka positif terhadap keluarga penyelenggara negara. apakah mungkin mereka berpendapat bahwa orang Indonesia adalah orang yang sangat jujur dan amanah, sehingga TIDAK MUNGKIN para penyelenggara negara  melakukan tindak korupsi dengan menggunakan kroni dan keluarganya???

Tuesday, December 10, 2024

Majalah Forest Digest edisi 22, April-Juni 2022



Majalah Forest Digest edisi 22, April-Juni 2022 mengangkat isu Perdagangan Karbon. Dalam rangka berkontribusi untuk mitigasi perubahan iklim global, Indonesia  mempunyai target penurunan emisi 29-49% hingga 2030. Salah satu strategi yang dikembangkan untuk mencapai target tersebut adalah mendorong perusahaan industry untuk secara sukarela menurunkan emisi melalui penggunaan teknologi yang rendah karbon.  

Strategi yang lain adalah mengenakan perdagangan karbon seperti “cap and trade” dimana perusahaan produsen emisi yang melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah, wajib membeli hak mengemisi perusahaan mitra yang lebih rendah emisinya pada periode tertentu. Skema lain untuk perdagangan karbon adalah “carbon off set” dimana Perusahaan tidak wajib  menurunkan emisi namun mereka bisa membeli “hak” atau sertifikat dari pihak lain yang telah melakukan kegiatan menurunkan jumlah CO2 di atmosfer. Dengan membeli sertifikat tersebut, seseorang atau kelompok dapat mendanai proyek untuk melawan perubahan iklim. Sertifikat tersebut dapat "mengimbangi" emisi CO2 pembeli dengan jumlah pengurangan CO2 yang sama di tempat lain.

Strategi ketiga adalah pengenaan pajak  karbon kepada perusahaan produsen emisi. Pajak ini dibayarkan ke negara dengan  tarif Rp. 30.000 per ton (US$ 2 per ton). Disinsentif pengenaan pajak ini diharapkan bisa mendorong Perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan.

Dari berbagai kebijakan tersebut, muncul kekuatiran bahwa harga karbon dan pajak karbon yang rendah (hanya Rp. 30.000), akan membuat produsen emisi lebih suka menghapus dosa dengan membeli karbon atau membayar pajak karbon daripada mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan.

Pada terbitan kali ini, Forest Digest juga mengupas tentang pengelolaan sampah yang menjadi persoalan serius di kota besar khususnya Jakarta. Di tahun 2021, Jakarta memproduksi sampah 7.233 ton per hari dan 53% diantaranya berupa sisa makanan. Pengolahan sampah untuk listrik  hanya mampu menampung sampah 100 ton per hari (data tahun 2021/2022). Suatu jumlah yang sangat timpang. Oleh karenanya pengelolaan  sampah perlu ditangani dari hulu-hilir melalui penerapan slogan reduce, reuse, dan recycle serta pelibatan masyarakat melalui bank sampah dan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga

Sunday, December 01, 2024

eLearning: Panduan Dunia Digital dan Internet

 


eLearning: Panduan Dunia Digital dan Internet

Penulis: Robin Mason dan Frank Renie

Penerbit Baca!, Yogyakarta 2010

ISBN 979-2462-29-5

206 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku eLearning  yang diterbitkan Taylor-Fracis, London-New York, 2009. Buku ini diterbitkan ketika elearning masih belum sepesat sekarang. Di Indonesia sendiri, elearning dalam bentuk “sistem pembelajaran jarak jauh” sudah diinisiasi antara lain oleh Universitas Terbuka (UT) sejak tahun 1984-an, namun perkembanganya meluas secara massif ketika dunia mengalami pandemi COVID 19. Meski buku ini diterbitkan lebih dari satu decade lalu, namun menurut saya,  isinya terutama terkait dengan aspek pedagogi atau metode pembelajaran masih relevan sampai sekarang. Apalagi tulisan-tulisan  terkait dengan aspek pedagogi elearning versi pengalaman Indonesia masih relative terbatas.

Dalam buku ini, dikupas bahwa pembelajaran elearning seringkali mengalami drop out yang tinggi. Oleh karena itu terdapat beberapa poin penting  agar pembelajaran eLearning bisa berjalan sukses yakni:

1.     Para peserta belajar harus mempunyai motivasi tinggi dengan dukungan perangkat komunikasi (hardware dan software) yang memadai.

2.     Materi pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan para peserta (pendekatan student based learning atau problem based learning atau contextual based learning). Materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta akan meningkatkan motivasi belajar mereka.

3.     Penggunaan teknologi elearning asynchronous dimana peserta berinteraksi dengan pelatih/pengajar menggunakan media yang tidak harus berkomunikasi secara langsung (misal melalui CD ROM, you tube, bahan ajar di internet) akan lebih efektif bila disertai dengan pembelajaran secara synchronous dimana peserta berinteraksi dengan pengajar secara langsung misalnya melalui online discussion, live streaming, maupun pertemuan tatap muka langsung (sistem blended atau campuran  antara online dan offline).

4.     Materi pembelajaran secara digital perlu disusun agar interaktif dan merangsang minat belajar peserta, singkat dan padat --proporsional dalam arti tidak terlalu banyak konten namun mampu mencakup kompetensi yang ingin diajarkan--,  mudah diakses/didownload dengan device yang dimiliki peserta, dan user friendly. Materi pembelajaran ini disusun dengan memperhatikan aspek quality insurance dan continues improvement.

5.     Peran pelatih/dosen/tutor lebih bersifat sebagai fasilitator. Pelatih membimbing peserta untuk menemukan sumber pembelajaran baru misal dengan mengajar secara interaktif, memberikan referensi pendukung, memfasilitasi proses diskusi, memberikan konseling kalau peserta mengalami kesulitan belajar, memberikan cara pandang baru dll. Semakin interaktif dan intens seorang pengajar/pelatih akan berkorelasi dengan semakin kuatnya  motivasi belajar para peserta.

6.     Peran peserta belajar, selain belajar secara mandiri maupun belajar dari para pengajar, adalah belajar dari peserta lain (peer to peer). Dari berbagai penelitian, peer to peer review dalam bentuk belajar bersama, pembuatan tugas bersama, memberikan feedback dan penilaian untuk peserta lain telah meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Dalam buku ini juga dibahas beberapa istilah kunci dalam elearning, baik yang terkait dengan istilah metode pembelajaran maupun istilah hardware dan software yang disertai pula dengan beberapa web link bila pembaca ingin mendapatkan informasi yang lebih dalam. (walaupun ketika saya coba, beberapa web link sudah out of date).

Di akhir buku ini, penulis juga menyertakan resume dari sepuluh bacaan tentang elearning yang mereka rekomendasikan. Resume ini sangat menarik bagi saya, karena mencari informasi-informasi tentang dinamika elearning di dalam negeri nampaknya masih sangat sedikit.

Secara umum buku ini menarik dibaca untuk pegiat pendidikan khususnya elearning. Hasil penerjemahan   juga baik sehingga kalimatnya mudah dipahami. Salah satu kritik saya terhadap buku ini adalah struktur penulisan buku ini lebih menekankan pada istuilah-istilah elearning. Sedangkan artikel pengantar yang mengupas tentang pembelajaran elearning-nya agak kurang terstruktur.

Thursday, November 28, 2024

Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah

 



Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah

Penulis; Hamsad Rangkuti

Penerbit Senja, Yogyakarta 2016

ISBN 978 602 391 174 5

224 halaman

 

Buku ini merupakan kumpulan 15 cerita pendek  yang ditulis oleh Hamsad Rangkuti. Cerpen tersebut pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Harian Kompas, Majalah Kartini dan Majalah Horizon periode 1979-1999.

Hamsad Rangkuti merupakan seorang penulis cerpen yang mumpuni. Dalam banyak cerpennya dia banyak bercerita tentang kaum miskin dengan cara yang satire (ironi, sindiran) dan muram. Demikian pula dalam buku ini, cerita tentang kaum miskin mendominasi karya-karyanya. Kaum miskin seringkali digambarkan sebagai kaum yang lugu dan sering jadi korban sistem yang ada. Namun terkadang kaum miskin juga sering melakukan tindakan yang tidak terduga karena tekanan kemiskinan yang dideritanya.

Cerpen Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah yang menjadi judul buku ini, berkisah tentang seorang remaja 16 tahun yang rela menjual keperawanannya demi mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya yang sakit. Sebuah pengorbanan yang sangat besar di tengah ketidakberdayaan… tapi ketika dia mengorbankan diri seperti itu, masih ada pihak-pihak yang mencoba mengais untung dari si gadis lugu. Si Gadis nekat menjual kesuciannya, karena sadar plus putus asa bahwa dunia sekarang adalah dunia penjual dan pembeli. Kita terkadang tidak bisa berpegang pada hal suci dan sacral dalam dunia yang materialis ini…

Dalam buku ini terdapat dua cerpen tentang kehidupan politik yang relevan dengan saat in dimana Indonesia sedang hajatan Pilkada. Satu cerpen bercerita tentang seorang gelandangan yang sukses berkarir jadi politisi bermodal penampilan dan teriakan. Cerpen politik yang lain bercerita bahwa para politisi dimanapun selalu mementingkan jumlah suara dari pendukungnya, dan bukan mengutamakan aspirasi dari pendukungnya. Suatu ironi yang kongkrit di saat ini, di saat dunia politik kita dikuasai oleh orang-orang rakus, tidak bermoral dan tidak punya cukup kompetensi.

Wednesday, November 13, 2024

Sagu Papua untuk Dunia

 


Sagu Papua untuk Dunia

Penulis Ahmad Arif

Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2019

ISBN  978-602-481-199-0

208 halaman

Buku ini ditulis oleh Ahmad Arif seorang jurnalis harian Kompas yang melakukan penelusuran terhadap tanaman sagu sebagai potensi sumber karbohidrat di masa depan.

Sagu merupakan tanaman yang bisa tumbuh di lahan gambut dan rawa-rawa. Selain di Indonesia, sagu ini juga ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Papua Nugini. Di Indonesia sendiri tanaman sagu banyak dijumpai di Tanah Papua dan Maluku seperti yang dituliskan oleh Alfred Wallace. Meski demikian dari berbagai tulisan dalam ekspedisi Marco Polo, sagu juga pernah jadi makanan bagi masyarakat di Sumatra.  Sedangkan di Jawa terdapat lukisan pohon sagu di relief candi dan terdapat nama-nama makanan yang berbahan baku sagu. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya sagu juga pernah tersebar ke Jawa dan Sumatra walau mungkin saat ini populasi pohon sagu di daerah Jawa dan Sumatra tinggal sedikit.

Di saat terjadi peralihan makanan pokok ke beras di berbagai daerah termasuk Papua, kebutuhan beras nasional melambung sangat tinggi dan tidak mampu dipenuhi dari produksi beras domestik sehingga kebijakan impor beras menjadi kejadian yang selalu berulang hampir setiap tahun. Selain beras, Indonesia juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap impor gandum. Semakin maraknya budaya makan roti, mie instan dan sejenisnya Selama 30 tahun terakhir impor gandum meningkat 500% atau lima kali lipat. Di tahun 2017/2018 impor gandum Indonesia mencapai 12,5 juta ton. Adanya ketergantungan terhadap beras dan gandum sebagai sumber karbohidrat ini, berkorelasi dengan munculnya penyakit seperti diabetes karena beras mempunyai kandungan glikemik tinggi dan mudah dicerna menjadi glukosa dalam darah.Dari sisi sosial, ketergantungan terhadap beras yang didatangkan dari luar daerah berpotensi menimbulkan kerawanan pangan ketika supply beras dari luar terganggu. Selain itu masyarakat yang dulu bisa menghasilkan pangan sagu secara swasembada, sekarang sering haruis menukarkannya ke beras supaya anak-anaknya mau makan.

Di balik kesalahan kebijakan yang mendorong beras-isasi (termasuk bantuan Raskin/Beras untuk Keluarga miskin), Indonesia sebenarnya menyimpan potensi sumber karbohidrat   yang sangat besar dalam bentuk sagu. Diperkirakan terdapat 5,5 juta hektar lahan sagu di Indonesia dan 5,2 juta hektar berada di tanah Papua. Namun pemanfaatan sagu di Papua  masih kurang dari 1% dan hanya untuk pemenuhan kebutuhan local.

Di level internasional, sagu dengan kandungan gizinya yang bagus (seperti glikemik rendah, bebas gluten dan memperlancar pencernaan) sebenarnya mempunyai potensi pasar yang cukup tinggi namun Indonesia belum bisa memanfaatkan dengan optimal. Pada tahun 2016 Indonesia bisa mengekspor pati sagu 7.700 ton per tahun. Hal ini sangat kontras dengan Malaysia yang bisa mengekspor 47.000 ton pertahun. Padahal luas lahan sagu di Malaysia hanya kurang dari 1% lahan sagu milik Indonesia.



Di saat dunia dilanda isu perubahan iklim, tanaman sagu sendiri sebenarnya punya beberapa kelebihan untuk dibudidayakan secara lebih intensif, yakni: (1) mampu beradaptasi dengan iklim dan musim, (2) bisa dipanen saat musim kemarau maupun musim hujan, (3) tahan penyakit, tidak memerlukan pupuk kimia dan pestisida kimia, (4) sistem perakaran mampu menangkap logam berat dan polutan, (5) dapat tumbuh di rawa payau, (6) dapat menahan abrasi Pantai, (7) produktivitas tinggi Dimana satu pohon sagu diperkirakan bisa menghasilkan 200-400 kg pati basah, (8) bisa menyerap karbon, (9) bisa dibudidayakan tanpa harus monokulturisasi (10) bisa menjadi sumber income bagi masyarakat

Melihat benefit sosial ekonomi dan ekologi dari pengembangan sagu, maka pada sekitar 2014 muncul bebetrapa inisiatif pengembangan industry sagu seperti di Kabupaten Meranti – Riau. Di Tanah Papua terdapat tiga Perusahaan yang menjajaki pengembangan sagu  yakni National Sago Prima (NSP) di Jayapura, Perhutani (konsesi 20.000 hektar) dan PT ANJAP (konsesi 40.000 hektar) di Sorong Selatan. Dari 3 perusahaan tersebut hanya PT ANJAP yang beroperasi dengan produksi tahun 2018 sekitar 1.894 ton.

Meskipun prospek industry sagu cukup tinggi namun bisnis sagu tidak selamanya mulus. Dari perkiraan 7 tahun balik modal, investasi PT ANJAP sebesar 77 juta US$ hingga tahun ke-8 masih merugi. Beberapa tantangan dalam pengembangan industry sagu ini antara lain: (1) minimnya infrastruktur pengangkutan batang sagu, (2) terbatasnya supply energi, (3) kondisi sagu alam yang membutuhkan modifikasi mesin, (4) konflik tenurial dengan Masyarakat adat sehingga perlu biaya tambahan.

Sdr Ahmad Arif sebagai penulis menyebutkan bahwa pengelolaan industry sagu alam oleh PT ANJAP memang masih menyisakan banyak kritik seperti perlindungan hak Masyarakat adat, dampak pergeseran budaya masyarakat yang semakin tergantung produk luar, dampak perubahan pola konsumsi masyarakat local dan gizi buruk. Meski demikian PT ANJAP telah berhasil menciptakan lapangan kerja untuk Sebagian Masyarakat, dan berhasil memanfaatkan tanaman sagu secara lebih produktif. Sehingga inisiatif industry sagu seperti PT ANJAP bisa dikembangkan dan terus disempurnakan sebagai alternatif untuk peningkatan kesejahteraan Masyarakat di Tanah Papua.

Bagi saya pribadi selaku pembaca, selain isu perlindungan masyarakat adat dari sisi tenurial dan budaya, isu lain yang perlu dipecahkan adalah strategi untuk menjaga kelestarian ekologis dan ekonomi dari ekstraksi  industry  sagu ini. Berapa potensi tegakan sagu yang ada? Berapa kecepatan tumbuhnya? Berapa jatah tebangan maksimum supaya tidak over eksploitasi? Kasus penggunaan teknologi pembalakan kayu dari alat konvensional menjadi mesin alat berat di era HPH tahun 1970-1990-an yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan secara masif, hendaknya menjadi yang pembelajaran agar pemanfaatan sagu perlu berhati-hati agar tidak menimbulkan kehancuran hutan sagu yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan dan budaya masyarakat asli Papua.

Secara garis besar, beberapa temuan kritis yang ditulis di buku ini senada dengan tulisan tentang kasus Perusahaan sagu PT ANJ yang dimuat dalam  Jurnal Wacana edisi tahun 2020.

Sunday, October 27, 2024

Lelucon Para Koruptor; Kumpulan cerpen

 

Lelucon Para Koruptor; Kumpulan cerpen

Penulis Agus Noor

Penerbit Diva Press

Yogyakarta, 2017

ISBN 978-602-391-472-2

272 halaman

 

Buku ini merupakan Kumpulan cerpen Agus Noor, seorang cerpenis ulung alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Agus Noor yang bergelimang dengan berbagai pernghargaan atas karyanya, oleh Korie Layun Rampan dimasukkan dalam kelompok sastrawan angkatan 2000.

Dalam buku setebal 272 halaman ini, terdapat 12 cerpen. Agus Noor secara humor satire  (sindiran dengan cara menertawakan) terhadap fenomena korupsi yang semakin merebak di negeri tercinta. Saking banyaknya koruptor di negeri ini maka koruptor ini menjadi asset negara yang harus dikelola dengan baik dan bijak. Karena kalau semua koruptor dihukum maka akan banyak pejabat, politisi, birokrat dll yang akan masuk penjara. Lalu siapa yang akan mengurusi negeri ini? So, korupsi ndak apa-apa asal tidak berlebihan. Berhentilah korupsi sebelum kenyang…Wkwkwkw

Meski demikian Agus Noor juga murka  ketika melihat kelakuan koruptor yang makin rakus, buas dan tak punya etika. Semua di-embat tanpa  bas abasi melalui permainan kasar. Namun mereka bergegas sembunyi dan memasang kedok diri ketika korupsinya terendus. Jadilah koruptor yang berintegritas dan ksatria, jangan cengeng dan sibuk pencitraan diri, teriaknya… sebuah teriakan yang senada dengan teriakan Rocky Gerung dalam sebuah channel youtube-nya.

Kehidupan yang korup biasanya dekat dengan kehidupan politisi. Dalam cerpen ini juga disinggung cerita dengan nama samaran para koruptor. Meski disamarkan, kita akan mudah menebak nama asli para politisi yang dipaksa “bersekolah kembali” karena kasus korupsi. Istilah apel malang dan apel Washington, membuat kita teringat kisah mantan artis yang jadi politisi kemudian tersandung kasus korupsi. Dalam cerpen ini juga ditampilkan cerita yang mengulik kehidupan politisi yang munafik, licik dan egois. Ibarat kisah “Bila pemimpin itu politikus, ia akan menyelesaikan masalah dengan cara membuat masalah baru, agar masalah lama tertutupi”.

Selain korupsi dan kehidupan politisi, beberapa cerpen berkisah tentang kehidupan kaum miskin. Oleh sistem dan struktur ysng ada, mereka dipaksa dhidup dalam kemelaratan dan penderitaan. Mereka tidak cukup punya tenaga untuk melawan sehingga mereka hanya bisa berkompromi dengan situasi yang ada. Ajaran spiritual yang pasrah, dan nerimo menjadi salah satu jalan pelarian kompromi tersebut.

Secara umum cerpen2 ini relative ringan dan mudah dinikmati. Meski terkadang kita kemudian seperti didorong untuk berefleksi dengan diri kita dan lingkungan kita. Asda berbagai pesan moral yang bisa dipetik dari cerpen-cerpen yang satiris humoris ini.


Sunday, September 22, 2024

Gadis Kretek



Gadis Kretek

Penulis Ratih Kumala

PT Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2012

ISBN 978 979 22 8141 5

275 halaman

 

Buku novel ini bercerita tentang petualangan tiga bersaudara Tegar, Karim  dan Lebas  dalam mencari “Jeng Yah”, seorang perempuan yang sering diigaukan oleh ayahanda mereka yang sudah lanjut usia.

Pak Soeraja pemilik pabrik rokok Djagad Raja yang sudah berusia tua, sering menyebutkan nama Jeng Yah ketika mengigau. Hal ini membangkitkan kecemburuan Ibu Purwanti (istri Pak Soeraja). Mengingat Pak Soeraja sudah lanjut usia dan penyakitan, anak2nya (Tegar, Karim dan Lebas) berinisiatif mencari Jeng Yah yang barangkali bisa menjadi obat kerinduan pak Soeraja terakhir.

Penelusuran jejak Jeng Yah membawa mereka ke kota Kudus, kota “M” dan Kota Magelang. Perjalanan mereka juga menguak sejarah panjang industry rokok skala rumah tangga sejak jaman penjajahan Belanda yang  dikenal dengan rokok klobot yakni tembakau dan cengkeh yang dilinting (dibungkus) daun jagung yang sudah dikeringkan. Untuk varian lain rokok klobot  biasa ditambahkan pula batang klembak dan kemenyan. Varian lain adalah rokok kawung yang dilinting dengan menggunakan daun aren yang dikeringkan

 Industri rokok klobotdi Kota M saat itu diwarnai persaingan antara Idroes Moeria dan Soedjagad. Mereka berasal dari keluarga miskin yang kemudian belajar mengembangkan industry rokok. Mereka juga bersaing mendapatkan kembang desa Roemaisa yang akhirnya dimenangkan Idroes yang kemudian menikahi Roemaisa. Idroes yang visioner dan mempunyai naluri bisnis lebih baik, berhasil mengembangkan industry rokok Klobot Djojobojo. Sedangkan Soedjagad kemudian mengembangkan rokok Klobot Djagad. Sebagai pelarian frustasinya, Djagag kemudian menikah dengan gadis Madura  yang kaya raya bernama Lilis.

Di saat penjajahan Jepang, Idroes  sempat disuruh kerja paksa di Surabaya. Namun dia berhasil pulang setelah penjajahan Jepang berakhir. Idroes kemudian mempunyai 2 anak perempuan yakni Dasiyah dan Rukayah. Sebagai bentuk rasa nasionalismenya, Idroes kemudian memproduksi rokok  merk Merdeka. Soedjagad gak mau kalah dan memproduksi rokok merk Proklamasi.

Ketika Dasiyah beranjak remaja, dia tertarik menggeluti dunia rokok. Dia membantu Idroes untuk membuat ramuan saus rokok yang harum dan produknya menjadi terkenal dengan rokok merk Rokok Gadis dan merambah ke kota lain. Inovasi yang dilakukan Idroes termasuk dari sisi pemasaran, membuatnya unggul dibanding Soedjagad.

Usianya yang menginjak remaja mengantar Dasiyah berkenalan Soeraja, seorang pemuda kampung miskin namun pekerja keras. Soeraja kemudian membantu di pabrik rokok Gadis dan membantu meracik saus dan ilmu lain di bidang industry rokok. Soeraja sendiri bercita-cita  ingin mandiri di bidang usaha industry rokok, sehingga dia keluar dari pabrik rokok Gadis untuk merintis karir usahanya. UDjagadsaha industrinya mendapatkan dukungan dari Partai Komunis Indonesia. Nasib sial melanda, PKI terlibat dalam pemberiontakan Gestapu dan Soeraja yang dianggap sebagai simpatisan PKI dicari-cari. Bahkan keluarga Idroes Moeria dan Dasiyah juga terseret dalam kasus ini walaupun bisa bebas.

Soeraja untuk beberapa lama bersembunyi berpindah tempat yang menghantarnya sampai ke pabrik rokok milik Soedjagad. Soeraja yang punya pengalaman di industry rokok akhirnya diminta membantu mengembangkan industry rokok Djagad yang dipindahkan ke kota Kudus. Soeraja akhirnya diambil menantu oleh Soedjagad, dan namanya di-merger menjadi merk rokok “Djagad Raja”. 

Dasiyah yang ditinggalkan oleh Soeraja akhirnya marah dan menghajar Soeraja pada saat resepsi pernikahan Soeraja. Setelah menikah Soeraja sendiri akhirnya pindah ke Jakarta dan tidak pernah berhubungan dengan Dasiyah lagi. Industri rokok Kretek Gadis pun semakin redup di pasaran.

Dari penelusuran Tegar, Karim dan Lebas, diketahui bahwa rasa rokok kretek Gadis sangat mirip dengan rasa rokok Kretek Djagad Raja. Dari kronologi sejarah mereka menyimpulkan bahwa kemarahan Dasiyah ke Soeraja mungkin tidak  hanya sekedar cemburu, tapi lebih utama lagi adalah Soeraja mencuri rahasia perusahaan rokok Kretek Gadis terutama resep membuat saus, dan menirunya serta mengembangkannya di Perusahaan rokok kretek Djagad Raja. “Pencurian” rahasia Perusahaan tadi nampaknya yang menjadi beban moral bagi Soeraja sehingga sering mengigau. Akhirnya dengan kebesaran jiwa dan meringankan beban dosa Soeraja, anak-anak Soeraja kemudian membeli hak usaha rokok Kretek Gadis dari ahli waris Idroes Moeria dengan harga yang memadai.

 

 

Catatan:

Cerita novel ini sebenarnya sederhana, namun bisa dikemas menjadi cerita yang menarik. Cerita novel ini mengingatkan saya pada film-film tahun 1980an yang relative datar dan tidak banyak kejutan, namun bisa menjadi alternatif hiburan.

 

 

Thursday, September 19, 2024

Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas

 


Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas

Penulis Eka Kurniawan

PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2014

ISBN 978 602 03 2470 8

243 halaman

 

Novel ini bercerita tentang perjalanan hidup dua sekawan Ajo Kawir dan Tokek. Sebagai lazimnya anak-anak, mereka sering berbuat nakal dan berkelahi dengan sebayanya. Mereka yang tumbuh akil balig juga sering mengintip pak Kades yang jadi pengantin baru. Mereka terkena batunya ketika mereka mengintip dua orang polisi memperkosa seorang Perempuan gila. Mereka tertangkap oleh si polisi pemerkosa, dan saking traumanya dengan kasus pemerkosaan itu, si Ajo Kawir remaja menjadi impoten.

Ajo Kawir dan Tokek berusaha  mencari obat untuk mengatasi impotensi itu namun selalu gagal. Ajo Kawir yang frustasi mencari pelampiasan dengan berkelahi dan mabuk-mabukan.  Meski demikian Ajo Kawir sebenarnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap orang yang tertindas. Ajo Kawir marah besar kepada Pak Lebe seorang juragan tambak yang memaksa seorang perempuan membayar hutang pinjamannya dengan menjadi wanita simpanannya. Ajo berniat membunuh pak Lebe, namun hal itu tidak mudah karena pak Lebe dilindungi oleh sekelompok anak muda dari perguruan silat. Ketika berusaha memasuki sarang pak Lebe, Ajo berhadapan dengan gadis Iteung yang merupakan pesilat tangguh. Ajo dan Iteung bertempur dan sama-sama ambruk kelelahan.

Pertemuan Ajo dan Iteung, telah menumbuhkan cinta bagi keduanya. Namun Ajo yang menderita impotensi, merasa rendah diri dan malah menjauh dari Iteung yang menyebabkan Iteung patah hati. Ajo pun sejatinya juga patah hati dan mencari pelarian dengan berkelahi. Dia mendapatkan order untuk membunuh Si Macan seorang jagoan terkenal. Dalam proses pencarian Si Macan, Ajo bertemu kembali dengan Iteung dan mereka kembali merajut cinta yang terkoyak. Mereka kemudian menikah walau masing-masing menyadari Ajo seorang impoten. Suatu saat Iteung ngidam karena hamil, Ajo marah besar karena merasa dikhianati. Ajo kemudian melarikan diri  dan melanjutkan pengembaraannya mencari Si Macan dan berhasil membunuhnya.

Dengan berbekal upah hasil membunuh Si Macan, Ajo kemudian beralih profesi menjadi sopir truk. Dia berkelana ditemani Mono Ompong. Ajo yang menderita impotensi banyak berefleksi diri dan tumbuh menjadi orang yang bijak dan sabar. Dia malah melihat hikmah bahwa impotensi yang dideritanya membuatnya jauh dari hasrat  nafsu duniawi, sehingga dia bisa menjadi tumbuh menjadi pribadi yang baik. Dalam pengembaraannya tersebut, takdir mempertemukan Ajo dengan seorang Perempuan yang tidak cantik bernama Jelita. Jelita menemani Ajo mengembara karena Mono Ompong cedera berkepanjangan akibat berkelahi dengan sopir truk lain. Kehadiran Jelita ini membuat gairah seksual Ajo menjadi perlahan kembali normal. Jelita kemudian menghilang, dan Ajo baru menyadari bahwa Jelita adalah wanita gila yang pernah diperkosa oleh dua polisi dan hadir untuk menyembuhkan traumanya.

Iteung mantan istri Ajo yang ditahan di penjara karena membunuh pesilat yang menghamilinya, keluar dari penjara karena masa hukumannya habis. Namun dia Kembali masuk penjara karena mebalaskan dendam Ajo, dengan membunuh dua orang polisi pemerkosa Wanita gila. Dalam perjumpaan dengan Ajo sebelum Iteung kembali ke penjara, mereka berjanji untuk setia dan akan hidup bersama membentuk rumah tangga dan membesarkan anak dengan sebaik2nya.

 

Catatan:

Seperti novel Eka Kurniawan yang lain, novel ini juga penuh kejutan dan alur yang terkadang bolak balik. Novel ini punya pesan moral bahwa di balik suatu musibah (baca impotensi) terdapat pembelajaran untuk bisa melakukan pengendalian diri terhadap nafsu duniawi. Pesan moral bagaimana merubah musibah menjadi berkah…..Namun novel ini juga sarat bahasa vulgar untuk urusan seksual. Jadi saya tidak rekomendasikan buku ini dibaca oleh remaja atau anak di bawah usia SMA karena  unsur seksualitas lebih menonjol dan pesan moral novel ini malah tidak tertangkap oleh pembaca yang masih remaja.

Wednesday, September 18, 2024

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?


Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Penulis: Hamsad Rangkuti

Penerbit Diva Press, Yogyakarta 2016

ISBN 978 602 391 181 3

236 halaman


Buku ini merupakan kumpulan 14 cerita pendek  (cerpen) karya Hamsad Rangkuti yang pernah dimuat di Kompas dan Majalah Horison periode 1979-2003.  Beberapa cerpen yang dimuat dalam buku ini antara lain: Pispot, Dia Mulai Memanjat, Nyak Bedah, Palasik, Petani Itu Sahabat Saya, Hukuman untuk Tom, Ketupat Gulai Paku, Teka-teki Orang Desa, Wedang Jahe, Kunang-Kunang, Sebuah Sajak, Antena, Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?, dan Lagu di Atas Bus

Cerpen karya Hamsad Rangkuti ini cenderung sederhana, bersahaja dan
temanya erat dengan kehidupan keseharian. Namun kesederhanaan tadi menjadio kekuatan  yang memikat. Dalam karya-karyanya, dia mampu menghadirkan pesan moral yang mendalam yang disajikan secara bersahaja.

Hamsad Rangkuti lahir 7 Mei 1943 di Medan, Sumatera Utara. Beliau merupakan penulis dengan bakat alam.  Beliau biasa melamun atau mengkhayal untuk menemukan ide yang bisa dikembangkan menjadi  sebuah cerita.  Karena dia lebih banyak mengandalkan bakat alam, pada mulanya beliau tidak terlalu produktif menghasilkan karya. Selama 19 tahun (1960-1979) beliau hanya menghasilkan 7 cerpen. Setelah beliau mengikuti pelatihan menulis pada tahun 1975 dan menerapkan ilmu barunya, sejak tahun 1980 an beliau sangat produktif. Diskusi-diskusi dengan para sastrawan lain juga merangsang pemikiran dan produktivitasnya.  Karya-karya beliau memperoleh tempat di hati public serta memperoleh berbagai penghargaan. Beberapa karyanya juga diterjemahkan dalam bahasa asing dan dipublikasikan di luar negeri. 

Seniman F. Rahardi menyebutkan bahwa Hamsad Rangkuti mungkin hanya bisa menyajikan permasalahan yang dihadapi masyarakat kecil, tapi dia sangat menguasai isu itu dengan mendalam. Itu yang membuat cerpan karya Hamsad Rangkuti hebat karena menulis karya sastra adalah ketrampilan dan kedalaman dalam menggali sebuah permasalahan, bukan pamer luasnya pengetahuan, tingginya pendidikan dan banyaknya pengalaman…..


Tuesday, August 13, 2024

Kesejahteraan Masyarakat yang Terpasung

 


Kesejahteraan Masyarakat yang Terpasung; Ketidakberdayaan para pihak  melawan konstruksi neoliberalisme

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FISIPOL – UGM  pada tanggal 27 Mei 2009

Oleh Prof. Dr. H. Susetiawan, S.U.

26 halaman

 

Dalam pidato ini Pak Sus menggugat isu pengentasan kemiskinan yang selalu menjadi komoditi politik namun upaya pengentasan kemiskinan tidak menunjukkan hasil yang benar-benar tuntas. Kemiskinan Bersama hutang  luar negeri menjadi never ending issues di Indonesia. Mengapa kemiskinan tersebut susah diberantas?  Apakah konsep Pembangunannya yang salah?

Pak Sus menyoroti bahwa kolonialisme dan imperialisme oleh negara Barat telah usai namun bermetamorfosa dalam bentuk lain. Pertumbuhan industry di negara Barat membutuhkan pasar-pasar  baru dan yang potensial adalah negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang rata-rata merupakan bekas negara jajahan. Negara-negara Barat berusaha  membuka pasar di negara berkembang  dengan mempengaruhi para pemimpin politik negara berkembang sehingga mereka mau mengikuti agenda-agenda perluasan pasar industry tersebut.

Hasil teknologi dan produksi, hak paten, hak cipta dan intelektual, diatur secara sistematis dalam tata dunia internasional. Konsep pengaturan kelembagaan  tata dunia tunggal (the global world) yang lekat dengan neoliberalisme dilakukan melalui WTO (World Trade Organization), Bank Dunia, IMF dan lain-lain.

Pembangunan di negara berkembang, diarahkan mengikuti modernitas dunia barat. Pembangunan di negara berkembang dibiayai dengan dana-dana dari negara maju yang disalurkan melalui Lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF, dan sebagai imbalannya negara berkembang harus mengikuti konsep Pembangunan yang disodorkan para Lembaga sponsor tersebut. Hasilnya apa? Banyak Pembangunan tidak bisa berjalan optimal karena konsep pembangunannya tidak benar-benar menjawab persoalan fundamental di Masyarakat. Sisi lain yang terjadi adalah serbuan produk asing dan produk global melanda Masyarakat kita seperti produk Mc Donald, KFC, Pizza Hut dll merajalela mengalahkan produk-produk local kita.

Dari sisi konsep Pembangunan, terdapat aliran intervensionis yang berpendapat bahwa intervensi negara terhadap Masyarakat akan membantu perkembangan ekonomi dan Kesejahteraan mereka. Pendapat ini ditentang oleh kaum neoliberalis yang menginginkan intervensi negara terbatas hanya untuk membantu masyarakat yang paling miskin saja.  

Di negara berkembang, intervensi negara dalam perencaan Pembangunan ternyata lebih sering menguntungkan para actor yang terlibat baik dari birokrat, swasta dan organisasi sosial. Sedangkan masyarakat tidak mendapatkan manfaat yang memadai. Kaum  neoliberalis kemudian masuk ke negara berkembang dengan menyodorkan dana pinjaman dengan konsep pembangunan versi mereka sendiri. Untuk mendukung promosi konsep tersebut kaum neoliberalis yang diback up oleh Multinational Corporation sering menggunakan Lembaga keuangan internasional, dan LSM internasional.

 

Bank Dunia dan IMF, berupaya mendorong negara sedang berkembang untuk membangun konstruksi neoliberalisme dengan mengejar pertumbuhan ekonomi, privatisasi, pasar bebas dan minimalisasi pelayanan sosial. Banyak sektor Pembangunan di negara berkembang seperti infrastruktur, industrialisasi, transportasi, pertanian dll dibiayai dengan dukungan dana pinjaman Lembaga keuangan tersebut. Selain bisnis keuangan, keberadaan Lembaga keuangan internasional juga bisa berubah peran menjadi pressure group bagi negara berkembang yang melawannya. Kelompok negara-negara  maju  juga relative kompak dalam menjaga kepentingan mereka dalam memaksa negara berkembang menerapkan neolibneralisme dengan menggunakan ancaman instrument pembatasan perdagangan, embargo dan lain-lain

Dukungan Lembaga Keuangan Internasional tersebut ternyata seringkali tidak menunjukkan hasil positif yang signifikan. Mencuatnya isu kemiskinan, Kesejahteraan, tata Kelola, desentralisasi, disparitas dll merupakan kritik-kritik yang  banyak muncul dari LSM, Perguruan Tinggi yang didukung oleh berbagai Lembaga donor internasional. Namun dalam kenyataannya banyak negara sedang berkembang, LSM, Perguruan tinggi dan sektor swasta, yang tidak berdaya melawan konstruksi neoliberalisme yang makin mengganas tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka kemudian menyerah dan menjadi bagian kaum neoliberalis tersebut.

Salah satu contoh kegagalan dalam Pembangunan pertanian yang didukung Lembaga internasional adalah “Revolusi Hijau” di sektor pertanian. Konsep Panca Usaha Tani melalui: pengolahan lahan dengan tractor, penggunaan bibit unggul produksi pabrik, pemberantasan hama dan penyakit  menggunakan pestisida pabrik, dan Pembangunan irigasi, telah menelan biaya finansial yang sangat besar.  Selain itu kerugian biaya sosial terjadi dengan hilangnya kearifan local masyarakat   dalam menyiapkan bibit local, pestisida alamai, pupuk organic dan lain-lain. Meskipun peningkatan produksi terjadi namun biaya produksi juga meningkat signifikan sehingga pendapatan petani relatif tidak meningkat. Demikian pula banyak subsidi pupuk tidak tepat sasaran, dan dinikmati pengusaha kaya.

Pembangunan pertanian yang seharusnya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan domestic, saat ini berantakan karena banyaknya komoditi kebutuhan pangan yang harus diimport dengan negara lain.  Hal ini tentu akan mengancam ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bangsa kita.

Dalam penutupnya Pak Sus mengajak kita semua untuk merenung dan menggagas perlunya rekonstruksi konsep pembangunan kita. Kita selama ini sering dicekoki dengan standar-standar kesejahteraan yang berasal dari antah berantah dan bukan berasal dari konsepsi kesejahteraan menurut masyarakat. Kita seringkali dijejali dengan pendekatan kesejahteraan dengan ukuran ekonomi kuantitatif, dan lupa memperhatikan bahwa banyak aspek kesejahteraan yang sifatnya kualitatif dan spiritual emosional. Karena kita banyak menggunakan pendekatan yang diimpor dari negara asing, banyak konsep-konsep kearifan local seperti lumbung desa, community insurance, social capital yang akhirnya tergusur dan musnah.

Akhirnya, Kita perlu membangkitkan keberdayaan Masyarakat dengan menggunakan potensi internal mereka baik yang berupa social capital, economic capital, kearifan local,dll. Kita harus berani membongkar konsep-konsep Pembangunan yang  tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Kalau neoliberalisme tidak cocok untuk bangs akita, kita juga harus berani melawan dan membongkarnya!!!

Sunday, August 11, 2024

Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan, dan Negara di Indonesia


 

 

"Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan, dan Negara di Indonesia"

Penulis Dr. Susetiawan

Penerbit Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2000

ISBN 979-9289-49-1

345 halaman

 

Buku Konflik Sosial ini merupakan hasil penelitian tahun 1992-1993 yang menjadi disertasi Pak Susetiawan (Dosen Jurusan Ilmu Sosiatri – FISIPOL UGM) sewaktu menempuh studi doctor di Universitas Bielefeld – Jerman. Penelitian itu berkaitan dengan dinamika hubungan antara buruh, perusahaan, dan negara dalam konteks hubungan industrial di 2 perusahaan tekstil di Yogyakarta. Titik penelitian ini adalah dampak kebudayaan dan nilai-nilai tradisional  terhadap hubungan industrial serta dampak hubungan industrial terhadap perilaku para buruh di tempat kerja.

Harmoni merupakan salah satu nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa. Hal ini yang kemudian dijadikan salah satu dasar dalam pengaturan hubungan industrial di Indonesia di jaman Orde Baru. Pemerintah melalui berbagai kebijakan berusaha mendorong iklim usaha yang kondusif dan harmonis agar industri bisa berkembang sehingga bisa menciptakan lapangan kerja, memberikan pendapatan untuk negara serta memberikan berbagai multiplier effect positif lainnya.

Untuk menciptakan iklim usaha kondusif tersebut, pemerintah Orba berusaha mengendalikan Gerakan kaum buruh dengan adanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang menjadi wadah advokasi gerakan buruh di Indonesia. SPSI sendiri dalam kenyataannya tidak bisa terlalu banyak melakukan advokasi bagi kaum buruh karena posisinya yang di-kooptasi oleh Pemerintah. Dalam banyak kasus perburuhan, Pemerintah Orba yang seharusnya bertindak sebagai mediator seringkali cenderung lebih memihak kepada kaum pengusaha daripada buruh sehingga memperlebar jurang ketidak adilan sosial tersebut. Berbagai tindak intimidasi dan kekerasan dialami oleh kaum buruh yang lantang memperjuangkan nasibnya.

Di tingkat Perusahaan, manajemen perusahaan tekstil yang padat karya menggunakan konsep “harmoni” untuk mengontrol para buruh. Manajemen perusahaan biasanya merekrut karyawan baru melalui “getok tular” atau dari mulut ke mulut oleh internal karyawan perusahaan. Rekrutmen semacam ini diharapkan dapat dengan mudah memilih orang-orang yang mempunyai  semangat kerja tinggi, loyal dan patuh terhadap perintah atasan. Selain itu rekrutmen ini juga merupakan cara ampuh untuk mengontrol buruh karena si pemberi rekomendasi secara moral nanti harus ikut mengontrol karyawan baru yang direkomendasikannya. Cara control lain terhadap buruh adalah melalui struktur kerja yang hirarkhis dengan pengawasan oleh coordinator atau mandor.

Nilai lain yang dikembangkan oleh manajemen Perusahaan adalah “saling tolong menolong”. Perusahaan mengharapkan mereka bisa membangtu memberi perkerjaan kepada para buruh, namun sebaliknya mereka berharap buruh juga menolong perusahaan dengan bekerja keras dan patuh agar Perusahaan bisa meraih untung seoptimal mungkin.

Konflik antara buruh dan perusahaan mulai muncul karena perbedaan kepentingan, terutama terkait dengan upah, kondisi kerja, dan keamanan kerja. Perusahaan yang dikejar target untuk maksimalisasi keuntungan, sering melakukan penyimpangan terhadap hak normative karyawan sepertu upah rendah, cuti, asuransi kesehatan dan lain-lain. Perusahaan berani melakukan pelanggaran tersebut karena bargaining position mereka yang kuat. Kaum buruh sendiri pada posisi tawarnya  lemah dan terpaksa menerima perlakukan perusahaan karena mereka sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan peluang kerja di tempat lain sangat terbatas. Sebagian besar buruh kasar (blue collar), bekerja di perusahaan sambil mencari peluang tambahan penghasilan karena gaji dari Perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (bersama keluarga).

Dari kacamata buruh, konsep nilai “harmoni” dan “tolong menolong”  tersebut dirasakan lebih menguntungkan Perusahaan. Namun untuk melakukan protes atau perlawanan terbuka, kaum buruh perlu berpikir panjang karena posisi mereka yang lemah dan membutuhkan pekerjaan. Kaum buruh kebanyakan melakukan “perlawanan dalam diam” dengan melakukan sabotase seperti membolos kerja, tidak hadir dan pulang tepat waktu serta tidak terlalu memperhatikan kualitas hasil kerja.

Secara spesifik terdapat tiga tipe buruh dalam mensikapi manajemen Perusahaan:

  1. Para buruh yang mengutamakan harmoni dan kedamaian/ketentraman. Mereka ini cenderung loyal, nerimo  dan menjaga hubungan mereka terbebas dari konflik.
  2. Para buruh yang opportunis yang berusaha menjalin hubungan baik dengan manajemen untuk kepentingan/keuntungan  pribadi. Mereka ini bisa jadi mata-mata untuk mengontrol buruh yang dianggap agresif.
  3. Para buruh yang memahami hak-hak buruh dan mengkritik Perusahaan atas pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan-aturan ketenaga kerjaan yang berlaku.

 Adanya hegemoni  dimana negara dan perusahaan bekerja sama untuk menjaga dominasi mereka atas buruh melalui penggunaan ideologi dan kebijakan yang memperkuat status quo, telah menimbulkan hubungan yang timpang antara perusahaan dan buruh. Untuk memperbaiki situasi tersebut, peran Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan mediator perlu dikembalikan  ke posisi yang netral dan adil. Konflik-konflik Perusahaan dan buruh tidak harus dihindari, tetapi dijadikan sebagai bahan dialog menuju terciptanya harmoni sosial yang baru serta  resolusi yang adil dan berkelanjutan.

 


Thursday, August 08, 2024

“Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”.

 


 “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”.

Pidato pengukuhan Guru Besar dalam kajian Jurnalisme  tanggal 10 Maret 2022

Oleh: Profesor Ana Nadhya Abrar

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 2022

33 halaman

 

Menurut Sartono Kartodirdjo, biografi sudah mulai ada sejak zaman Romawi. Sejak zaman Romawi sudah muncul biografi, antara lain yang ditulis oleh Tacitus mengenai kaisar-kaisar Romawi. Tradisi penulisan biografi selanjutnya sangat penting dalam penulisan sejarah. Tradisi penulisan biografi memperkuat gambaran betapa besarnya peranan tokoh politik dalam sejarah, bahkan sering menjurus kepada pendapat seolah-olah sejarah dibuat oleh tokoh atau orang besar dalam sejarah (Kartodirdjo, 1993). Penulisan biografi mempunyai manfaat untuk bisa membantu memahami dinamika sejarah karena sejarah bisa dipahami melalui tokoh yang dikisahkan, menganalisis tempat dan waktu yang menjadi setting sejarah sang tokoh dan lain-lain.

Biografi yang baik tidak hanya menceritakan riwayat hidup tokoh, tetapi juga menjelaskan catatan pertanggungjawaban sumber informasi sehingga biograf (penulis biografi) melakukan penelitian yang sungguh-sungguh dengan berbagai sumber (Kuntowijoyo, 2003). Biografi yang baik juga menggambarkan kisah perjalanan hidup seorang tokoh yang bisa menjadi inspirasi positif bagi orang lain dalam membangun masa depannya.

Penulisan Biografi, bisa dilakukan oleh sejahrawan, wartawan atau profesi lainnya. Meski demikian hasil penelitian Safari Daud terhadap 30 biografi menunjukkan, sebagian besar biograf adalah wartawan. Banyaknya biograf yang berlatarbelakang wartawan mungkin disebabkan mereka sudah terbiasa melakukan praktek pengumpulan informasi, menganalisis, menuliskan dan menyajikan informasi kepada public.

 

Ada beberapa kisi-kisi penting penerapan jurnalisme dalam penulisan biografi yakni:

1.        Batas Atas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:  Meningkatkan Intelektualitas Khalayak.

·        Menulis sebuah biografi hendaknya merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kualitas intelektual public dalam bentuk tulisan. Dalam konteks ini seorangbiograf harus bisa menentukan “angle” atau sudut pandang sebuah penulisan yang bisa menstimulasi pembaca untuk merenungkan, menganalisis dan mengambil pembelajaran dari situasi yang dialami oleh tokoh yang baersangkutan.

2.        Batas Kanan Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Mengutamakan Nilai Kemanusiaan

·        Nilai yang utama agar suatu biografi menarik menurut Ana Nadhya Abrar (2005) adalah nilai manusiawi. Ini masuk akal. Karena, dengan nilai manusiawi itu khalayak bisa tersentuh perasaannya. Kisah yang disajikan bisa menimbulkan tawa, tangis, haru, senang, bahkan marah. Semakin menyentuh kisah itu, semakin lama pesannya tertanam dalam pikiran khalayak. Kalau sudah begini, bukan mustahil pesan itu menjadi inspirasi baru bagi mereka.

3.        Batas Bawah Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:  Memanfaatkan Jurnalisme Investigasi

·        Biografi bisa menunjukkan kisah masa lalu seorang tokoh. Namun biografi juga memiliki fungsi mengungkapkan misteri masa lalu sang tokoh. Ia bisa memuaskan rasa penasaran khalayak. Ia bahkan bisa menjawab berbagai teka-teki atau spekulasi yang selama ini beredar di kalangan khalayak. Tentu tidak mudah memperoleh informasi yang bisa menjawab sebuah teka-teki atau membongkar sebuah misteri. Soalnya, tidak jarang informasi tersebut bersifat rahasia. Untuk itu, diperlukan teknik mengumpulkan fakta yang canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini, dalam jurnalisme, biasa disebut investigasi. Lalu, fakta yang diperoleh dengan menggunakan investigasi, disebut jurnalisme investigasi.

·        Melalui jurnalisme investigasi, yang dicari, kata Jakob Oetama, bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak. “Tetapi latar belakang, riwayat dan prosesnya, hubungan kausal maupun hubungan interaktif”. (Oetama, 2003). Bertolak dari sinilah, kemudian kita mengetahui jurnalisme investigasi menggunakan seluruh teknik mengumpulkan fakta yang dikenal dalam jurnalisme. Ia meliputi press release, konperensi pers, wawancara dan dokumen. Khusus yang dua terakhir ini, biasanya wawancara dengan narasumber rahasia dan menelusuri dokumen rahasia. Yang namanya rahasia, tentu posisinya tersembunyi. Karena tersembunyi, usaha untuk menemukannya sangat sulit. Itulah sebabnya tidak banyak wartawan yang bersedia mempraktikkan jurnalisme investigasi.

4.        Batas Kiri Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Membentuk Selera Narasi

·        Di dalam jurnalisme, terdapat pedoman dasar untuk mengumpulkan fakta. Pedoman ini dikenal dengan 5W + 1H, yakni singkatan dari What (apa), Who (siapa), When (kapan), Where (di mana), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Jawaban keenam pertanyaan inilah yang kemudian ditulis menjadi berita.

·        Cara menyajikan informasi dalam bentuk narasi akan ikut menentukan apakah sebuah biografi akan terus dibaca atau segera ditinggalkan. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, lugas dan menarik. Akan tetapi jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Begitu juga dia harus memperhatikan ejaan yang benar. Akhirnya, dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat

·        Biograf berkerja untuk tokoh yang ditulisnya dan khalayak   pembaca. Dalam bekerja untuk tokoh, seorang biograf harus menampilkan semua wacana yang terkandung dalam diri sang tokoh. Dalam bekerja untuk khalayak pembaca, seorang biograf harus menyajikan tali-temali kasus yang diberitakan secara obyektif.

Penutup

Bagi jurnalisme, tujuan akhir sebuah biografi adalah menyampaikan wacana yang terkandung dalam diri tokoh yang dikisahkan. Wacana yang lahir dari biografi menjadi penting di samping narasi yang berkualitas. Dari sekian banyak wacana yang ditampilkan biografi, tentu ada wacana utama yang harus ditangkap oleh khalayak.

Semua wacana yang ditampilkan itu bertumpu pada bukti-bukti yang objektif. Bertolak dari bukti inilah seorang biograf memahami dan menjelaskan kenyataan yang ada. Dalam konteks ini, dia membutuhkan imajinasi agar tulisannya bisa jadi hidup dan berarti. Namun, dalam menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri tokoh yang dikisahkannya, dia harus memiliki kepekaan tentang cara bertutur yang baik.

Ketika seorang biograf menggunakan teknis jurnalisme dalam bertutur tentang tokoh yang dikisahkannya, dia tidak mengambil oper peran sejarawan. Dia hanya menampilkan pesona sejarah. Dia menampilkan fakta yang penting, menarik, dramatis dan mengandung human interest. Semua fakta ini mengisyaratkan pentingnya nilai kemanusiaan. Pengutamaan nilai kemanusiaan ini menjadi batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi.

Batas kanan jurnalisme itu bukan satu-satunya batas yang perlu dipertimbangkan biograf dalam menulis biografi menggunakan teknis jurnalisme. Ada lagi batas kiri jurnalisme, yakni membentuk selera narasi; batas atas jurnalisme, yakni meningkatkan intelektualitas khalayak; dan batas bawah jurnalisme, yakni memanfaatkan jurnalisme investigasi. Keempat batas ini menjadi dasar teknis jurnalisme dalam menulis biografi. Ketika keempatnya saling membentuk garis, sesungguhnya ia membentuk ruangan yang harus diisi oleh jurnalisme dalam penulisan biografi. Inilah yang bisa disebut cara mengintegrasikan jurnalisme ke dalam penulisan biografi. Inilah pula sumbangan jurnalisme bagi penulisan biografi.

 

(disarikan dari pidato pengukuhan Prof. Ana Nadhya Abrar, https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/18/2022/03/Prof.-Ana-Nadya-Abrar.pdf)