Monday, December 15, 2025

SENI BERTAHAN DI RIMBA BIROKRASI

 


SENI BERTAHAN DI RIMBA BIROKRASI

Penulis: Kurniawan

Penerbit Mata Kata Inspirasi

Yogyakarta 2025

ISBN 978-634-7382-20-7

106 halaman

 

Buku ini ditulis oleh rekan saya yang biasa saya panggil dik Awang. Beliau dulunya merupakan seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang lingkungan hidup di Kalimantan Timur. Beliau kemudian melanjutkan karirnya di dunia birokrasi di sebuah pemerintah daerah di Kaltim dengan menjadi pegawai negeri sipil.

Dalam buku ini dik Awang dengan gaya bahasa yang santai, guyon, dan satire menuliskan beberapa pengalamannya dalam berkarya di dunia birokrasi. Dari 22 tulisan, sebagian besar berkaitan dengan budaya kerja di birokrasi (15 tulisan), sistem insentif di dunia birokrasi (6 tulisan) dan sistem seleksi karyawan (1 tulisan).

Terkait dengan budaya kerja, dik Awang dengan jujur berusaha mengangkat isu yang sering disoroti orang luar seperti kinerja birokrasi yang lamban, sistem yang Asal Bapak Senang (ABS), atasan yang „selalu“ benar dan lain-lain. Dik Awang menyoroti, mesin birokrasi yang disetir oleh regulasi-lah yang membuat birokrasi jadi lamban. Ketakutan terhadap penyimpangan prosedur yang berakibat sanksi administratif dan atau pidana membuat para pejabat cenderung „bermain aman“ dan tidak berani ambil resiko. Dalam hal budaya kerja ini, juga dikupas adanya kaum oportunis yang suka meng-klaim kerja orang lain. Meski demikian terdapat pula PNS maupun tenaga honorer yang berjuang dengan penuh dedikasi.Kasus lain yang dikupas antara lain jiwa korsa PNS yang cukup tinggi,  tips-tips menghadapi atasan dan lingkungan kerja agar karir berkembang, serta „kenakalan“ PNS dalam mensiasati sistem absensi…hehehe..

Terkait dengan sistem insentif di dunia birokrasi, secara garis besar díkupas tentang sistem penggajian bagi PNS yang terdiri gaji pokok dan berbagai tunjangan termasuk tunjangan kinerja. Tunjangan ini sering berbeda antar daerah tergantung pada kemampuan daerah tersebut. Bagi daerah yang kemampuan anggarannnya terbatas, gaji dan tunjangan seorang PNS seringkali pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Tidak jarang seorang PNS menggadaikan SK PNS nya untuk mendapatkan pinjaman/kredit dari Bank. Lembaga keuangan seperti Bank atau Koperasi sering menjadi jaring penyelamat bagi seorang PNS ketika terdesak kebutuhan keuangan. Kondisi PNS yang serba pas-pasan ini berbeda jauh dengan pandangan umum bahwa PNS adalah golongan yang makmur dan berkecukupan. Masyarakat sering menganggap PNS punya status sosial dan ekonomi yang mapan, padahal realitasnya sering berbeda jauh.

Dunia birokrasi dulu dikenal sebagai dunia yang penuh nepotisme. Orang masuk menjadi PNS tidak harus punya kompetensi tinggi. Asalkan punya kedekatan dengan „orang dalam“ maka jalan akan terbuka. Untunglah kondisi tersebut semakin membaik dengan adanya Computer Asssisted Test (CAT) atau test berbasis komputer. Sistem rekrutmen ini telah berhasil mengurangi praktik titip-menitip dalam rekrutmen PNS.

 

Komentar:

Dari sisi bahasa, tulisan dik Awang mudah dicerna dan banyak terminologi generasi milenial digunakannya dengan sangat pas. Saya membayangkan dik Awang menulis artikel ini dengan tekun dan kemudian dirangkai jadi satu. Selamat atas terbitan buku perdananya ya…

Kalau ke depannya buku dik Awang dimaksudkan untuk “sharing” dan “membekali” generasi milenial atau GenZ yang sudah dan akan masuk rimba birokrasi, saya menyarankan untuk dilakukan penelaahan lebih lanjut untuk isu tertentu misal strategi menghadapi seleksi Calon ASN/PNS dan P3K, Apa beda ASN dan P3K?, apa beda jalur struktural dan fungsional? bagaimana strategi untuk mengembangkan diri di dunia birokrasi? Bagaimana menjaga integritas dan idealisme? Bagaimana mengelola keuangan rumah tangga? Bagaimana upaya mengembangkan pendapatan rumah tangga dll….


Monday, December 08, 2025

Mengelola Perubahan melalui Pelatihan dan Pengembangan

 


Mengelola Perubahan melalui Pelatihan dan Pengembangan

Penulis Jim Stewart

PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta 1997

279 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku Managing Change through Training and Development karya Jim Steward yang dipublikasikan tahun 1991. Buku ini memadukan perspektif perubahan pada tiga level:

  • Organisasi – struktur, strategi, budaya
  •  Kelompok/Tim – dinamika, kolaborasi, proses kerja
  • Individu – keterampilan, sikap, perilaku, motivasi

Training and development (T&D) diposisikan sebagai intervensi kunci untuk memfasilitasi perubahan di ketiga level tersebut.

 

Bab 1 — Seputar Buku Ini, mengupas tentang Tujuan penerbitan, struktur dan isi buku dan beberapa pengertian istilah yang digunakan dalam buku ini seperti manajemen, organisasi kerja, pelatihan & pengembangan .

Bab 2 – Sifat Dasar Perubahan, buku Understanding Change,  mengupas tentang perubahan yang dialami spesies, individu dan organisasi. Spesies perlu beradaptasi dan berubah terhadap perubahan di sekitarnya bila mereka ingin bertahan hidup. Manusia sebagai individu juga harus berubah dan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Proses adaptasi pada diri manusia menjadi  efektif karena didukung kemampuan intelektualnya untuk belajar. Seperti manusia, organisasi juga perlu berubah dan beradaptasi agar tetap eksis. Perubahan dalam organisasi bisa dipicu faktor internal (strategi, struktur, SDM) dan eksternal (teknologi, pasar, regulasi) atau biasa disebut dengan STEP (Struktur, Teknologi, Ekonomi dan Politik).

Bab 3 – Perubahan Organisasi (Organizational Development/OD) yang Terencana, Perubahan adalah proses, bukan peristiwa. Perubahan juga bisa berupa perubahan terencana (planned) maupun perubahan reaktif (unplanned). Salah satu model perubahan organisasi dirumuskan oleh Hinings yang menyebutkan 5 tahapan perubahan organisasi: Diagnosis terkait problema dan kebutuhan perubahan organisasi, Identifikasi Hambatan terhadap perubahan yang direncanakan, Alokasi Tanggungjawab, Pengembangan & Pelaksanaan Strategi dan Monitoring.

Dalam menyikapi perubahan ini, seorang pemimpin dituntut untuk mampu menciptakan kondisi belajar, tidak hanya memerintah. Semakin tinggi partisipasi anggota organisasi dalam mendesain dan implementasi perubahan, ada kecenderungan tingkat keberhasilannya semakin tinggi.

Bab 4 – Pengembangan Organisasi, dalam bab ini penulis memperkenalkan pendekatan OD sebagai strategi sistematis, proses jangka panjang untuk mendukung perubahan yang efektif dengan menggunakan ilmu perilaku/ilmu sosial. Beberapa contoh penerapan OD yang banyak dikembangkan selama ini antara lain berupa Pengembangan Tim, Desain Tugas Pekerjaan, Desain Organisasi, Pengembangan Gaya Manajemen & Kepemimpinan, Demokrasi Industri.

Beberapa Model OD antara lain Model “Kesempurnaan” (ideal) yang menggunakan análisis 7S dari Peter & Waterman (Structure,Strategy, Skills, System, Staff, Style and Share Values). Model kedua Adalah Model “Gunung Es” dari Herman yang mengungkapkan bahwa fenomena yang terlihat dalam sebuah organisasi biasanya berupa hubungan-hubungan formal. Namun sejatinya semuanya dipengaruhi oleh hubungan  informal dalam organisasi yang pengaruhnya sangat besar bagi kelangsungan hidup organisasi. Model ketiga adalah “Organisasi yang belajar” yang berusaha menghubungkan proses belajar individul dengan proses belajar organisasi termasuk menyatukan área formal dan informal. Model Gap Analisis, yang menganalisis strategi perubahan yang diperlukan untuk merubah kondisi saat ini ke situasi ideal yang diharapkan.

Bab 5 – Tiga Metodologi OD yang Utama, antara lain Jaringan Manajerial yang lebih mendorong perubahan organisasi melalui penguatan level managerial. Proses perubahan disesuaikan dengan gaya manajerial di kelompoknya. Metode lain adalah Metode Tanggapan Survai untuk menggali kelemahan kelompok/organisasi dan mengidentifikasi solusi secara bersama. Metode Ketiga adalah Konsultasi Proses yakni satu set aktivitas oleh konsultan yang membantu klien untuk menerima, mengerti dan bertindak  atas dasar kejadian-kejadian proses yang terjadi di lingkungan klien.

Bab 6 – Teori Kelompok dan Tim, sebuah kelompok efektif untuk OD mempunyai ciri: kejelasan tujuan bagi anggota kelompok, komunikasi efektif, kepemimpinan, penggunaan pengaruh dalam kelompok disesuaikan basis rasional, konflik yang produktif, pengambilan keputusan bersama, hubungan antar individu dan monitoing & evaluasi bersama. Bab ini mengulas teori pengembangan kelompok (Tuckman: Forming–Storming–Norming–Performing). Perubahan pada organisasi selalu berdampak pada dinamika kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut pelatihan dapat membantu kelompok beradaptasi terhadap peran baru, struktur baru, atau sasaran baru. Teori lain yang dibahas adalah Teori Kelompok Alternatif yang menekankan bahwa kelompok akan menjadi efektif bila dapat memuaskan kebutuhan anggotanya. Sedangkan Teori Tim yang Efektif  menekankan bahwa kelompok yang efektif perlu memiliki fungsi tertentu, yang dibagi namun saling mengisi dan pembagian fungsi disesuakan dengan kemampuan serta kepribadiannya.

Bab 7 – Memfasilitasi Kelompok-kelompok Belajar, Bab ini fokus pada peran fasilitator dalam proses perubahan.  Fasilitator membantu tim: menciptakan dan mempertahankan iklim yang tepat untuk proses belajar, memberikan dan menerima tanggapan, memfasilitasi pemecahan konflik, menyelaraskan persepsi, dan memfasilitasi pengambilan keputusan secara kolektif. Dalam fasilitasi proses, seorang fasilitator dituntut untuk memilih momentum yang tepat saat akan melakukan intervensi kepada kelompok.

Bab 8 – Pengembangan Tim, merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah cara pendekatan untuk meningkatkan fungsi kelompok kerja utuh. Peran tim kerja dalam suatu organisasi  ada kecenderungan semakin meningkat di masa depan. Untuk memulainya, model diagnostic bisa digunakan. Model diagnostic ini akan mengidentifikasi “kondisi” (siapa yang sedang dikembangkan) dan “tujuan” (mengapa kelompok ini ada). Model lain yang bisa digunakan Adalah model “Klasifikasi” yang focus pada variable isu yang perlu dibahas dalam pengembangan tim dan variable dari focus data (eksternal dan internal). Prinsip umum dari kedua model tersebut adalah: perlu pemilahan kebutuhan pengembangan individu versus tim, perlu ada kejelasan tujuan tim dan jalur pengembangan alami. Dalam pengembangan tim ini beberapa tahapan yang diperlukan antara lain: eksplorasi kebutuhan individu, eksplorasi fungsi kelompok, dan eksplorasi disfungsi tim.

Bab 9 – Teori Belajar dan Perubahan Sikap. Bab ini menguraikan hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku. Perubahan organisasi sering gagal karena faktor sikap, bukan skill sehingga perubahan sikap/mindset memegang peranan yang penting. Diperlukan strategi agar pelatihan dapat: Mengubah mindsets, Meningkatkan kepercayaan diri dan Menanamkan nilai dan perilaku baru. Dalam bab ini dikupas Teori Sistem Beta atau Action Learning dari Reg Revans yang mencakup tahapan proses belajar mulai dari formulasi hipotesa, desain eksperimen, eksperimentasi & mengamati & análisis hasil, menerima/menolak dan menyusun kembali hipotesa.  Teori lain yang dikupas adalah proses belajar eksperensial atau proses pemecahan masalah dari David Kolb. Konsep yang dikembangkan oleh Kolb ini mencakup Siklus Pendidikan Orang Dewasa (pengalaman-refleksi-perumusan konsep-eksperimen). Terdapat beberapa poin penting untuk aplikasi teori dalam praktek pembelajaran: (1) belajar merupakan proses yang berkesinambungan, (2) proses belajar diarahkan oleh kebutuhan atau tujuan, (3) proses belajar membutuhkan keterlibatan dalam aktivitas berbeda tapi saling berhubungan, (4) individu mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda, (5) belajar adalah kemampuan yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan. Prinsip inti andragogy adalah: Orang dewasa belajar bila relevan, Belajar berbasis pengalaman, dan Self-directed learning. Perubahan organisasi memerlukan perubahan perilaku individu sehingga  training adalah mekanisme utamanya

Berkaitan dengan sikap, terdapat beberapa cara untuk merubah sikap yakni: (1) paksaan/coercive atau reward and punishment, (2) empiris, membujuk melalui logika dan mengundang minat sendiri secara rasional, (3) normatif/re-edukasi, yang merupakan kombinasi reward – punishment, bujukan yang logis dan penerapan psikologi social seperti tekanan dari teman sebaya/kebiasaan masyarakat. Pendekatan perubahan sikap ini juga bisa dilakukan dengan menggunakan teori dari Kurt Lewin (Unfreeze – Change – Refreeze).

Bab 10 – Pendekatan untuk Perubahan dan Pengembangan Individu. Pengelolaan perubahan yang efektif memerlukan partisipasi dari mereka yang terpengaruh. Oleh karenanya pengembangan diri anggota organisasi agar siap menerima perubahan menjadi kebutuhan penting. Pengembangan diri merupakan sebuah upaya peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seseorang melalui usaha yang diarahkan oleh dirinya sendiri (self learning). Beberapa metode pengembangan diri antara lain: observasi dengan mengamati perilaku orang lain/ahli, refleksi, bacaan penuntun, kunjungan, magang, mencari umpan balik, mencari tantangan, paket belajar autodidak.

Untuk mengembangkan budaya pengembangan diri, sebuah organisasi perlu memiliki: (1) komitmen pimpinan manajemen yang ditunjukkan secara nyata, (2) adanya sumber nyata yang dialokasikan untuk pengembangan diri, (3) menyediakan training  untuk mendukung pengembangan diri seperti pelatihan pengembangan diri, pelatihan cara belajar dll, (4) pengembangan sistem manajemen yang holistik dll. Beberapa métode yang bisa digunakan dalam pengembangan diri antara lain: (1) proses belajar menggunakan kasus nyata-action learning, (2) self and peer assessment/SAPA untuk menilai kemampuan diri, (3) Structured Group learning/SGL sebagai métode belajar secara berkelompok.

Bab 11—Peran dan Kontribusi Pelatihan dan Pengembangan. Bab ini menjelaskan bagaimana Training & Development (T&D) mendukung perubahan. Fungsi utama T&D: Meningkatkan kompetensi, Menangani resistensi, Membentuk perilaku baru dan Menyelaraskan nilai & budaya. Stewart menekankan pendekatan terpadu perubahan hanya berhasil jika organisasi, tim, dan individu berubah secara selaras. Training & Development bukan aktivitas pendukung, tetapi strategic driver of change. Pelatihan yang efektif mempercepat proses adaptasi, menurunkan resistensi, dan membangun budaya belajar.

 

Komentar:

Secara umum buku ini akan memandu kita untuk mengenal Organizational Development. Menurut saya, buku ini agak teoritis sehingga pembaca yang ingin dapat panduan praktis melakukan OD dijamin akan kecewa. Gaya bahasanya juga agak sulit saya cerna, saya tidak tahu persis apakah kesulitan ini terkait dengan kualitas penerjemahan-nya ataukah memang asli dari “sono-nya”.

Monday, October 27, 2025

ANAK PERDAMAIAN

 



ANAK PERDAMAIAN

Penulis: Don Richardson

Penerbit Kalam Hidup,

Bandung, 1974

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku Peace Child karya Don Richardson seorang Penginjil Kanada yang mulai tahun 1963 bertugas menyebarkan agama di daerah Papua sebelah selatan. Buku kisah nyata ini merupakan catatan Don ketika bertugas mendampingi masyarakat tradisional suku Sawi di daerah tersebut.

Suku Sawi merupakan salah satu suku tradisional yang tinggal di dekat Pirimapun, Papua sebelah agak Selatan dekat Laut Arafura. Sebelum tahun 1960-an, mereka hidup meramu dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang tersedia melimpah di sekitarnya (food gathering people). Sagu, buah-buahan, ikan, burung, babi hutan, ular dll merupakan sumber makanan mereka. Mereka  hidup dengan berpegang pada nilai-nilai kepercayaan dan budaya dari nenek moyangnya termasuk budaya yang peduli lingkungan. Saat itu tingkat kesehatan masyarakat relatif rendah (diperkirakan usia harapan hidup rata-rata  hanya sekitar 25 tahun). Seluruh masyarakat buta huruf dan terisolir dari dunia luar. Mereka menetap di sebuah kampung dengan rumah panjang dan atau rumah tinggi sekitar 12 meter dari atas tanah untuk menghindarkan serangan musuh dan binatang buas. Biasanya mereka berpindah dengan mengikuti alur-alur sungai dan menggunakan perahu kano sebagai sarana transportasi mereka. Mereka pindah ke tempat lain bila sumberdaya makanan di daerah tersebut sudah menipis datau untuk menghindari sergapan musuh.

Sebagai suku kecil (satu kampung hanya sekitar 200 orang) yang harus mempertahankan keberlangsungannya, mereka  lekat dengan budaya kekerasan dan peperangan. Dalam urusan domestik rumah tangga, perempuan sering menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perempuan seringkali dianggap sebagai budak. Budaya poligami juga banyak terjadi di suku ini. Orang-orang berpengaruh seperti ketua adat atau tokoh mereka yang kuat, rata-rata melakukan poligami. Uniknya para isteri tersebut bisa bekerja sama dan rukun.

Sebagaimana suku tradisional lainnya di Papua, suku Sawi mempunyai temperamen keras. Budaya kekerasan merupakan salah satu cara penyelesaian konflik. Perang antar suku maupun perang antar kampung (walau masih satu suku) sering terjadi untuk memperebutkan sumberdaya ataupun untuk membalas dendam. Mereka berperang menggunakan tombak dan panah tradicional.  Pada saat tersebut suku-suku tradicional masih melakukan kanibalisme dengan memenggal kepala dan memakan daging musuh yang dikalahkannya. Tengkorak kepala musuhnya dikeringkan dan disimpan sebagai bukti kekuatan día (bahkan seringkali dijadikan bantal tidur). Rahang bawah musuh yang dipenggal kepalanya seringkali dijadikan hiasan oleh kaum perempuan.

Salah satu keunikan Suku Sawi adalah mereka memuja pengkhianatan. Orang yang berhasil mengkhianati musuh dengan cara paling licik, akan dianggap paling hebat. Hal itu diceritakan turun temurun dalam pertemuan-pertemuan adat atau keluarga. Mereka seringkali berbuat baik kepada orang/kampung/suku lain misal mengundang mereka dalam pesta adat, memberi hadiah, menawarkan jodoh dll, tapi ujung-ujungnya orang tersebut dibantainya. Ibarat memelihara babi, mereka memberi makan agar babi itu gemuk, dan setelah tiba saatnya, mereka akan menyembelihnya. Hal ini yang seringkali mengakibatkan dendam turun temurun antar kampung/suku.

Upaya untuk membangun perdamaian antar kampung/suku seringkali sudah dilakukan karena sikap saling curiga dan tradisi pengkhianatan tersebut. Salah satu upaya perdamaian adalah saling bertukar anak. Misal kampung A bermusuhan dengan kampung B. Ketika mereka sepakat untuk berdamai, warga kampung A menyerahkan seorang bayi untuk diadopsi oleh warga kampung B. Demikian pula sebaliknya. Ikatan perdamaian tersebut terus berlangsung selama bayi tersebut masih hidup. Namun bila bayi tersebut meninggal, maka ikatan perdamaian tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Bayi yang dipertukarkan ini disebut sebagai „Anak Perdamaian“.

Suku Sawi melakukan kanibalisme terhadap musuh. Namun mereka melakukan pemakaman  bila ada keluarga yang meninggal. Mereka tidak menguburkan jenazah Keluarga yang meninggal dan meletakkan di sebuah panggung sampai jenazahnya hancur. Ada ritual khusus terhadap jenazah seperti mereka bisa memegang2 jenazah yang sedang mengalami proses pembusukan. Praktik yang kurang higienis seperti ini yang mungkin menyebabkan berbagai penyakit muncul selain faktor alam yang lembab yang menyebabkan banyak penyakir paru-paru dan infeksi lain. Tengkorak Keluarga yang meninggal seringkali disimpan sebagai cara mengenang untuk mereka yang sudah meninggal Dunia (jaman itu belum ada teknologi foto).

Saat Don mulai bertugas mendampingi masyarakat Sawi di tahun 1962, masyarakat masih menggunakan peralatan jaman batu seperti kapak batu, tombak dengan cakar burung kasuari, pisau dari tulang kaki burung dan lain-lain. Ketika  Don datang dengan berbagai peralatan besi seperti kapak, pisau, alat cukur, dll, masyarakat takjub. Don menjadikan barang-barang tersebut sebagai alat barter dan menarik perhatian masyarakat. Masyarakat Sawi yang baru melihat orang kulit putih, terheran-heran melihatnya dan teknologi yang dibawanya.

Don memilih tinggal di kampung bersama masyarakat Sawi. Dia belajar bahasa lokal, budaya local, kepercayaan local. Dia bersama istrinya juga melakukan pelayanan kesehatan untuk mengobati orang yang sakit atau terluka. Kemahirannya melakukan pengobatan, juga menjadi kunci sukses mereka dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat. Secara perlahan, Don berhasil menanamkan nilai-nilai keagamaan yang penuh cinta kasih dan menjauhkan budaya kekerasan, dengan tetap menghargai nilai-nilai local yang dirasa masih sesuai.  Dia juga berhasil mendamaikan beberapa kampung disekitarnya yang biasa bertikai. Puncaknya día berhasil membangun balai pertemuan bersama yang dijadikan tempat beribadah sekaligus berkhotbah bagi pastor local yang dididik oleh Don. Don dan istrinya bertindak lebih jauh dengan mengajarkan baca tulis untuk masyarakat Sawi. Kegiatan ini makin berkembang setelah Irian Jaya diserahkan oleh Belanda ke Pemerintah Indonesia di tahun 1963 dengan adanya guru local.

 

Komentar:

Seperti ketika membaca buku Jungle Child karya Sabine Kuegler, ketika membaca buku Anak Perdamaian,  saya terpesona dengan para Penginjil (pendakwah) yang penuh dengan semangat altruisme menyebar ke berbagai suku dan pelosok daerah yang terisolir. Spirit moral pantang menyerah, sabar dan kerja keras untuk menyebarluaskan ajaran Tuhan dan menanamkan nilai kebaikan menjadi kunci sukses pertama mereka. Kunci sukses kedua adalah dukungan orang terdekat seperti istri dan anak. Tidak jarang sebagai suami istri, mereka  saling melengkapi dengan ketrampilan praktis bidang kesehatan dan pendidikan.  Selain itu mereka mempunyai kompetensi kunci lain seperti:

  • Ketrampilan untuk mempelajari dan berkomunikasi dengan bahasa local, karena bahasa menjadi kunci untuk menyebarkan ajaran, nilai-nilai, edukasi dan hubungan social.
  • Kompetensi untuk mempelajari budaya, kepercayaan dan nilai-nilai local.
  • Kompetensi untuk beradaptasi dan membangun kepercayaan dengan masyarakat local.
  • Kompetensi melakukan pengobatan di bidang kesehatan karena tingkat kesehatan masyarakat yang rendah.
  • Kompetensi untuk mengajar pendidikan dasar.
  • Kompetensi untuk melakukan mediasi konflik secara transparan dan adil.

Secara umum buku ini relatif mudah dipahami, dengan bumbu cerita kisah local yang menarik. Perjuangan Don, bisa menjadi bahan perenungan kita bahwa masih banyak saudara-saudara kita di daerah terpencil yang belum sepenuhnya bisa menikmati kue pembangunan sampai saat ini. Perjuangan dan kompetensi yang dimiliki Don bisa menjadi perenungan khususnya bagi kawan-kawan pendamping masyarakat, agar bisa menjadi pendamping masyarakat yang profesional dan bersemangat juang tinggi.

 

 

Thursday, October 16, 2025

SOCIOPRENEURSHIP

 

 

SOCIOPRENEURSHIP

         Penulis: Hempri Suyatna dkk

Penerbit Erlangga, Jakarta 2024

86 halaman

Social Entrepreneurship atau biasa diterjemahkan Kewirausahaan Sosial merupakan orang-orang  yang melakukan terobosan serta melakukan hal baru yang ditujukan untuk kesejahteraan publik (inovator sosial). Dua kunci sociopreneurship ini adalah: (1) adanya inovasi sosial yang merubah sistem dalam masyarakat dan (2) hadirnya individu yang memiliki visi, kreatif, berjiwa wirausaha dan beretika.

Ruang lingkup pengembangan Kewirausahaan Sosial ini mencakup banyak dimensi seperti upaya pengentasan kemiskinan, upaya mengatasi degradasi lingkungan, upaya mengatasi pengangguran dan berbagai masalah sosial lainnya. Bentuk kelembagaan Kewirausahaan Sosial sendiri dibedakan menjadi 3 yakni (1) not for profit social enterprise yang berbasis kesularelawanan dan donasi, (2) Community based social entreprise seperti koperasi, (3) profit for benefit enterprise yang mengembangkan bisnis secara profesional guna mendukung tujuan sosial seperti Dompet Dhuafa.

Ada beberapa langkah penting dalam pengembangan Kewirausahaan Sosial yakni: (1) Perlu adanya Visi dan Tujuan yang jelas, (2) Perlu ditumbuhkembangkan sikap mental wirausaha yang pantang menyerah, (3) Mengorganisir dan memobilisasi modal ekonomi, sosial, kultural dan  SDM, (4) Pengembangan kolaborasi atau kerjasama dengan pihak lain yang relevan. Dalam pengembangan Kewirausahaan Sosial ini kemampuan dalam diagnosis masalah dan identifikasi solusi untuk memecahkan masalah menjadi salah satu kunci penting.

Di lihat dari sisi ekonomi, untuk bisa mengembangkan Kewirausahaan Sosial yang menguntungkan, inisiasi sebuah bisnis sosial juga memerlukan studi kelayakan usaha baik dari sisi organisasi/struktur, produk, pemasaran maupun dari kalkulasi finansial. Dalam perancangan bisnis sosial ini, tidak menutup kemungkinan penggunaan tools seperti Business Canvas Model didalamnya (preposisi nilai, segmen pasar, saluran distribusi, hubungan pelanggan, struktur pendapatan, sumberdaya utama, aktivitas utama, mitra kunci, struktur biaya).

Pengalaman dari berbagai pihak menyebutkan implementasi bisnis sosial ini  sering menghadapi tantangan berupa lunturnya nilai-nilai sosial dan pergeseran untuk mencari profit semata. Oleh karenanya upaya monitoring evaluasi untuk mengukur manfaat sosial dari bisnis sosial ini perlu dikembangkan seperti dengan menggunakan instrumen Social Return on Investment (SROI). Untuk menjamin keberlanjutan program Kewirausahaan Sosial, pengembangan inovasi, pengembangan jejaring, pengembangan kelembagaan maupun mentalitas wirausaha perlu terus dipupuk.

Dalam buku ini juga ditampilkan contoh kegiatan Kewirausahaan Sosial seperti Clever Tykes yang menerbitkan buku cerita anak di Inggris, Produk denim Mud Jeans yang ramah lingkungan dari Belanda,  Upaya melawan perdagangan satwa liar di Vietnam, Proyek Dignity bisnis kuliner yang dikelola penyandang difabel di Singapura, Pengembangan kemitraan UMKM di China, Water.org yang menyalurkan Kredit untuk instalasi air bersih di Peru, Helpsy yang bergerak dalam pengelolaan limbah tekstil  di USA, Green Collect yang bergerak dalam daur ulang peralatan kantor dan rumah tangga di Australia, Good Cycles yang bergerak dibidang bisnis sepeda dan pelatihan bengkel sepeda bagi penganggur di Australia. Di Afrika ada contoh Kewirausahaan Sosial berupa pengembangan teknologi digital dalam pembelajaran di sekolah  di Afrika Selatan dan My agro yang menyalurkan kredit murah untuk petani guna mendukung ketahanan pangan di Mali, Tanzania dan Senegal. Dari dalam negeri juga ditampilkan kisah pengembangan ekowisata di Pujon Malang, Kelompok Usaha Bersama di Sleman dan Starla Education yang bergerak di bidang pendidikan.

Buku ini merupakan Seri Kuliah Ringkas (SKR) sehingga gaya bahasa di buku ini relatif mudah dicerna. Dari sisi konten, secara umum buku ini bertujuan untuk mengenalkan konsep Kewirausahaan Sosial sehingga analisisnya tidak terlalu dalam. Meski demikian, menurut saya buku ini sudah  bisa menghantar pembaca untuk memahami konsep Kewirausahaan Sosial. Contoh-contoh Kewirausahaan Sosial yang ditampilkan di buku ini cukup menarik serta mampu memberikan gambaran yang lebih kongkrit tentang  penerapan Kewirausahaan Sosial.

Sunday, October 05, 2025

Si Parasit Lajang

 




Si Parasit Lajang
Penulis Ayu Utami
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia 
Jakarta , 2013
ISBN 978-602-424-124-7
201 halaman

 

Buku ini berisi cercahan pemikiran dan keseharian seorang perempuan muda perkotaan. Di akhir usia duapuluhan , ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri Si Parasit Lajang (istilah yang dilontarkan feminis Jepang). Walaupun dia sudah dewasa dan bekerja, dia tetap tinggal bersama orang tua dan masih merepotkan orangtua untuk mengurus keperluannya. Itu mengapa dia menyebut diri Si Parasit Lajang.

Ia terkesan cuek tapi di sisi lain is mengamati dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya.  Tulisannya menunjukkan bahwa dia bisa bersikap kritis sambil tetap berada di lingkungan kehidupan yang kapitalistis. Orang bisa menyukai Barbie, film porno, fashion, mall sambil tetap bisa bilang bahwa semua itu bisa menerkam manusia dan kita harus cerdik-cerdik bergumul dengannya , seperti seorang pawang bermain dengan harimau sirkus. Pesan  dalam buku ini, di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan.

Dua paragraf di atas merupakan kutipan dari epilog-halaman belakang dari buku Si Parasit Lajang. Dari lebih 40 tulisan dalam buku ini, kita memang akan dihadapkan pada sosok Ayu Utami yang kritis namun juga kocak. Sebagai feminis, beberapa tulisannya menggugat tentang dominasi pria seperti tentang alat kontrasepsi yang sebagian besar ditujukan untuk perempuan. Dia juga menggugat perempuan sebagai korban „kekerasan“ terkadang juga dituding menjadi penyebab kekerasan itu sendiri.

Ayu yang Katholik dengan logika kritisnya  juga menggugat nilai-nilai agama. Dia mempertanyakan tentang perlunya keberadaan lembaga perkawinan, perlunya menjaga keperawanan, laranngan nonton blue film, poligami  dan juga tentang perlunya anak keturunan. Saya merasa Ayu seperti agnostik, yang tidak ingin dikekang oleh berbagai aturan agama yang dianggap membelenggu.

Ayu yang mengalami jaman Orde Baru juga mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah saat itu. Kebijakan pemerintah yang militeristik, dan membungkam masyarakat sipil yang kritis, juga todak lepas dari kritik Ayu Utami. Dia juga mengkritisi dominasi kulit putih (negara maju) dengan adanya  stereotype bahwa cantik itu harus putih, body semampai dll. Dominasi kaum kulit putih tadi antara lain masuk melalui pasar yang kapitalistik yang secara cerdik mengeksploitasi nafsu manusia yang tidak pernah puas seperti boneka Barbie. Bahkan dominasi kulit putih ini juga muncul dalam berbagai bidang seni, yang menggambarkan orang kulit hitam dan kulit berwarna adalah primitif dan terbelakang.

Ayu juga kritis dengan lingkungannya. Dia melihat secara nyata bahwa lingkungan pedesaan sudah terpapar budaya kota. Mereka tidak mau kerja di sawah karena takut kulitnya hitam. Proses pendidikan dan serbuan media televisi membuat anak tercerabut dari akar budayanya.

Ayu memang kritis. Mungkin kita akan terkaget-kaget dengan gugatannya terhadap nilai-nilai agama, maupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kita gak perlu emosi, cukup telusuri logika pikirnya saja. Saya sendiri tidak selalu menyetujui cara pikirnya, meski saya menghormati pendapatnya.

 

Monday, September 29, 2025

Maya

 


Maya

Penulis: Ayu Utami

Kepustakaan Populer Gramedia,

Jakarta (2013?)

 

Novel Maya ini merupakan kelanjutan dari novel Saman dan Larung karya Ayu Utami. Novel ini ditulis tahun 2013 dengan setting menjelang Reformasi tahun 1998 yang berujung pengunduran diri presiden Soeharto.

Alkisah, Yasmin menerima tiga buah  surat dari Saman dan satu buah batu akik bergambar Semar (tokoh punakawan wayang simbol kebijakan). Surat itu dikirim dari Amerika dan meminta Yasmin untuk mengantarkan surat tersebut ke ayahnya. Saman merupakan lelaki spesial di hati Yasmin karena día adalah kekasih gelap dan ayah dari anaknya—Samantha. 

Saman sendiri semula biasa dipanggil Frater Wisanggeni atau Frater Wis yang merupakan seorang calon pastor. Dia punya ketertarikan dengan teologi pembebasan dan terjun dalam pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat petani karet. Namun dalam perjalanannya, kegiatan pemberdayaan yang día lakukan menghadapi represi dan kekerasan dari pihak penguasa yang ingin mengembangkan sawit. Korban petani berjatuhan, sehingga Frater Wis melawan dan terpaksa mengganti namanya menjadi Saman untuk menyembunyikan diri. Dia kemudian diselundupkan keluar negeri untuk menjamin keselamatan jiwanya.

Setelah menerima surat dari Saman tersebut, Yasmin dan Samantha kecil kemudian berkunjung ke Suhubudi, yang merupakan guru spiritual Saman. Sebagai ahli spiritual Suhubudi menggali banyak kearifan local termasuk pertanian tradisional dengan menggunakan padi local.  Kearifan local ini seringkali mendapat tentangan dari penguasa local yang selama ini sering mengagung-agungkan “Revolusi Hijau” yang sarat dengan bibit unggul, obat dan pupuk pabrik. Posisi Suhubudi yang menjadi penasehat spiritual presiden Soeharto, membuat día tidak banyak diusik walaupun ada ketidaksenangan dari penguasa local.

Sebagai guru spiritual yang mengayomi semesta, Suhubudi juga menampung orang-orang cacat (termasuk cebol) yang tidak diterima oleh lingkungannya. Dia membangun padepokan untuk mereka, membimbing mereka dalam budi pekerti, mengajari soal kehidupan keseharian dan kesenian untuk menumbuhkan eksistensi mereka. Dalam bidang kesenian mereka membentuk Klan Saduki yang sering mementaskan sendratari Ramayana.  Dua tokoh yang menonjol dalam Klan Saduki adalah Maya yang biasa memerankan Dewi Shinta dan Tuyul yang biasa memerankan Rama. Bagi Maya, Tuyul dan penari lain, sendratari terebut bisa membangkitkan kebanggaan karena dengan keterbatasan fisiknya, mereka mampu menampilkan sendratari yang indah dan sangat memikat. Keindahan tersebut tidak hanya muncul dalam penampilan seni semata, tetapi juga mempengaruhi jiwa mereka. Di balik penampilan fisik yang “jelek” di mata sebagian orang, namun tidak ada halangan bagi mereka untuk mempunyai jiwa dan perilaku yang baik.

Keindahan sendratari Ramayana ang ditampilkan  Klan Saduki  telah menarik minat budayawan India untuk mengajak Klan Saduki pentas di India. Namun inisiatif ini tidak mendapat persetujuan dari Kementerian Pariwisata yang kuatir kaum difabel Klan Saduki akan membawa citra negatif bagi bangsa Indonesia. Bagi Maya, tawaran pentas di luar negeri juga menimbulkan depresi tersendiri karena día kuatir día dan teman-temannya akan dicibir dan dibully dengan kondisi fisiknya yang tidak normal. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya rencana pentas ini dibatalkan.

 Saat di padepokan Suhubudi, ada kejadian yang menggegerkan karena Samantha diculik ketika Parang Jati (putra angkat Suhubudi) yang diserahi menjaga Yasmin dan Samantha sedang ikut berdemo di kampus. Penculiknya meminta tebusan berupa akik bergambar Semar. Bagi sebagian orang, akik bergambar Semar dianggap sebagai jimat yang bernilai rupiah tinggi. Semar dalam filosofi Jawa dianggap sebagai simbol tokoh masyarakat awam sehingga pemimpin yang memiliki akik tersebut akan dianggap legitimate karena mempunyai dukungan dari masyarakat. Untunglah penculikan yang dilakukan  oleh Tuyul dan Maya berakhir  dengan tertangkapnya Tuyul. Sedangkan Maya yang sadar bahwa día berbuat salah karena menculik Samantha, kemudian mengembalikan Samantha dengan baik-baik kepada Yasmin. 

Di Padepokan Suhubudi, Yasmin yang sangat rasional justru terlibat dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk memahami diri sendiri, cintanya, dan negerinya.

 

 Komentar:

Novel ini sarat dengan bahasa metáfora yang indah dan penuh makna yang reflektif. Novel ini mengajarkan setiap manusia baik yang normal secara fisik maupun yang “abnormal/difabel” tetap mempunyai kebutuhan dasar untuk diakui eksistensinya, punya nafsu yang berpotensi mendorong perbuatan salah dan punya potensi untuk berbuat kebaikan. Nafsu tersebut perlu dikendalikan, salah satunya dengan mengembangkan spiritualitas dalam kehidupannya. Keseimbangan kehidupan dengan lingkungan dan semesta, menjadi salah satu faktor kunci menuju hidup yang penuh kedamaian.

 

 

Sunday, September 21, 2025

Buku Pintar MIND MAP

 


Buku Pintar MIND MAP

Penulis Toni Buzan

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 2008

ISBN 978 979 22 2351 4

225 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari Buku  „The Ultimate Book of Mind Maps” karya Toni Buzan yang  diterbitkan oleh Harper Collins Publisher Ltd tahun 2005.

Mind Map merupakan  cara mencatat yang kreatif, efektif dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran kita. Mencatat dengan menggunakan Mind Map dilakukan dengan menggunakan tulisan dan gambar. Kita bisa membandingkan Mindmap dengan peta kota. Pusat Mind Map merupakan pusat kota yang mewakili ide terpenting. Jalan-jalan utama mewakili pikiran-pikiran utama dalam proses pemikiran kita.  Jalan-jalan sekunder mewakili pikiran-pikiran sekunder dan seterusnya. Pencatatan yang dimulai dengan ide primer, ide skunder tersier dan selanjutnya ini sama dengan cara analisis kerangka ikan (fishbone analysis). Mindmap ini banyak digunakan  oleh para pemikir seperti Leonardo da Vinci, Galileo Galilei, Albert Einstein  dan tokoh pemikir lainnya.

Beberapa pemikiran kunci dalam menggunakan mindmap ini adalah:

  • Mendorong keseimbangan otak kiri (analisis) dengan otak kanan (daya kreasi missal dengan menggunakan gambar dan warna).
  • Mindmap akan berfungsi efektif bila dilakukan proses pengulangan misalnya dengan sering direview atau dibaca ulang.
  • Dalam menyusun mindmap, kita perlu mengembangkan cara  berpikir lateral (out of the box) dan menghindarkan pemikiran yang linier.
  • Bila kita menggunakan mindmap untuk merancang sebuah perubahan (hidup kita, organisasi dll) kita perlu rajin melakukan review, evaluasi dan penyempurnaan secara berkala hingga sukses. Konsep ini disebut dengan TEFCAS (Trial/uji coba, Event/peristiwa, Feedback/umpan balik, Check/review/evaluasi, Adjust/sempurnakan, Success/Berhasil)

Tujuh langkah dalam membuat mindmap adalah:

Siapkan kertas kosong (misal ukuran A4 atau lebih besar) dan letakkan dalam posisi mendatar (landscape)

  • Gambarkan ide pokok/topik sentral yang akan  anda bahas 
  • Gunakan warna agar lebih hidup dan menambah energi pada pemikiran kreatif anda
  • Gambarkan cabang-cabang utama (pemikiran primer) ke gambar pokok anda, trus hubungan cabang skunder ke cabang primer dst.
  • Buatlah garis hubung yang melengkung  yang menghubungkan pikiran primer, skunder, tersier dst. Garis lengkung dibuat agar tidak membosankan otak kita dan terkesan lebih  fleksibel dibandingkan garis lurus yang terkesan linear dan kaku.
  • Gunakan satu kata unci untuk setiap  garis.
  • Gunakan Gambar- untuk mewakili ide-ide atau area menarik tertentu. Gambar-gambar dibuat sebagai bentuk visualisasi agar lebih mudah direkam dalam otak kita.

 

Berikut contoh Mind Map dalam menyiapkan sebuah rapat:

 

 

Beberapa manfaat menggunakan Mindmap antara lain:

  • Kita akan bisa memiliki pandangan menyeluruh (holistik) terhadap sebuah pokok permasalahan atau isu tertentu.
  • Kita juga bisa merencanakan rute dan membuat pilihan-pilihan dan mengetahui kemana kita akan pergi dan dimana kita berada.
  • Menstrukturkan data melalui pengelompokan/perumpunan.
  • Mendorong pemecahan masalah dengan membiarkan kita melihat jalan terobosan kreatif baru.
  • Dengan adanya gambar, warna dan bagan, memudahkan untuk membaca, mencerna dan mengingat isi sebuah isu tertentu.

Dalam buku ini Toni Buzan mencontohkan penggunaan Mindmap untuk merancang kehidupan kita seperti merencanakan jawal Keluarga, merencanakan keuangan Keluarga, menciptakan masa depan yang ideal dan lain-lain. Selain itu día juga mencontohkan membuat mindmap yang terkait pekerjaan misalnya menyelenggarakan rapat, membangun jejaringmemulai usaha, menulis esai, wawancara kerja dll. Penerapan lain mindmap adalah juga untuk kehiduan social kita seperti merancang akhir pekan yang romantis, merancang kebun, merancang pernikahan dan lain-lain.

Secara umum buku ini mudah dipahami, meski beberapa bagian perlu disimak lebih serius khusunya Bab 2 sd bab 5 yang membahas aspek psikologis dan otak. Saya menyarankan kepada  mahasiswa atau siapapun yang suka membaca ataupun menyimak acara diskusi, untuk menggunakan mindmap ini sebagai alat untuk menganalisis pemikiran penulis buku dan atau pembicara dalam sebuah event diskusi. Demikian pula mindmap ini akan sangat membantu menciptakan outline  bagi seseorang yang akan  menulis sebuah esai atau artikel.

Monday, September 08, 2025

JUNGLE CHILD; Rinduku pada Rimba Papua


 

 

JUNGLE CHILD; My Longing for the Papuan Jungle

Author: Sabine Kuegler

Publisher: Esensi-Erlangga, 2006

384 pages

 

This book is a translation of "Jungle Child," a true story written by Sabine Kuegler and published by Droemersche verlagsanstalt in 2006.

The book tells the story of the Kuegler – a German family, consisting of Klaus (father), Doris (wife), Judith (eldest child), Sabine (second child), and Christian (third child), who lived in West Irian in the 1980s. Klaus and Doris were volunteers for a social foundation (missionary) that provided services to underprivileged or isolated communities. Before serving in Papua, Klaus had worked in Nepal with a remote community there.

In West Irian, Klaus's family lived in a remote area (about an hour's helicopter flight from Lake Bira) with the Fayu tribe. Bira Lake is a hamlet in the Central Mamberamo district, Mamberamo Raya regency, Papua province, Indonesia. At that time, the Fayu people were a traditional society untouched by modern civilization, including in terms of education and health. Using sign language and limited local language, the Kuegler family adapted to the Fayu community.

Sabine, the central character in this book, is depicted as a tomboy and rebellious girl. She quickly adapted to her environment, especially quickly associating with the Fayu boys, as Fayu girls tend to be shy and introverted. Sabine easily mingled with the Fayu children and played in the forest, in the river, playing in the mud, hunting and eating insects, consuming wild animals like bats and crocodiles, eating local fruit, climbing trees, and so on. Sabine quickly learned about safe foods and those to avoid. From a young age, Sabine showed an interest in the forest and the environment. She enjoyed collecting various types of animals and insects she found in her environment. For education, Judith, Sabine, and Christian were homeschooled by their mother.

Besides studying the culture and language of the Fayu tribe, the Klaus family also indirectly discovered various lessons, such as: (1) a simple life in harmony with nature, (2) a slow lifestyle free from the stress of work, and (3) eating natural foods provided by nature. The Klaus family enjoyed the delicious taste of wild meat. This created a problem when they returned to Germany and found the meat bitter, leading Judith to become a vegetarian and no longer eat meat.

The Klaus family's presence among the Fayu tribe also brought about gradual social change. The Klaus family taught peace through practices, where clans that often fought among themselves were invited to engage in dialogue to resolve existing problems or conflicts. They were encouraged to gather and socialize to build friendships and family ties. The children, who had often been afraid due to fears of tribal war, eventually grew into a happier generation.

The Klaus family also taught about love and avoiding domestic violence. The Fayu tribe, whose male population is highly dominant, was encouraged to respect and love women. Coerced marriages were gradually eliminated. Violence against wives was also attempted to be eliminated.

Doris (Klaus' wife) also taught about health through medicine and healthy living by maintaining cleanliness. Doris assisted mothers in childbirth and cared for those who were injured or ill. In the Fayu tribe, minor wounds often developed into serious infections due to lack of treatment. Doris's introduction of health care increased the average life expectancy from 37 years to over 50 years.

Doris also contributed significantly to advancing the education of Fayu children. She purchased stationery for the Fayu children and taught them to write and read. The children enthusiastically participated in Doris's interactive and engaging lessons.

When Yudith, Sabine, and Christian grew up, they were sent to Europe and America to pursue higher education, as their mother's homeschooling was impossible. Sabine's departure for Europe was also driven by deep grief following the death of Ohri (her adopted brother from the Fayu tribe). To heal and forget her grief, Klaus and Doris sent Sabine to Switzerland to study.

Initially, Sabine first moved to Europe, she experienced culture shock due to the contrast between the Fayu and European cultures. This situation caused her to experience depression. Fortunately, Sabine slowly began to find her way and start a family. Although Sabine has adapted to European culture, she still acknowledges that part of her soul will always be a child of the jungle.

 

Comments:

A light novel with an accessible style. Many stories of childhood memories are both engaging and humorous. This book also teaches that traditional communities also possess a variety of local wisdom, and that it is not always frightening when approached appropriately. Recommended reading for children and young people who love local culture and nature.

 

 

 

JUNGLE CHILD; Rinduku pada Rimba Papua

Penulis Sabine Kuegler

Penerbit Esensi-Erlangga, 2006

384 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan buku Jungle Child yang merupakan true story yang dituliskan oleh Sabine Kuegler dan diterbitkan oleh Droemersche verlagsanstalt tahun 2006.

Buku ini bercerita tentang keluarga Kuegler dari Jerman yang terdiri Klaus (ayah), Doris (istri), Judith (anak sulung), Sabine (anak kedua) dan Christian (anak ketiga), yang tinggal di Irian Barat pada tahun 1980an.    Klaus dan Doris merupakan relawan yang bergabung dalam yayasan social (misionaris) yang memberikan layanan untuk masyarakat yang tertinggal atau terpencil. Sebelum bertugas di Papua, Klaus sempat bekerja di Nepal untuk sebuah masyarakat pedalaman di sana.

Di Irian Barat, Keluarga Klaus tinggal di daerah terpencil (sekitar satu jam penerbangan helikopter dari Danau Bira) bersama masyarakat suku Fayu. Danau Bira adalah sebuah kampung atau desa yang berada di distrik Mamberamo Tengah, kabupaten Mamberamo Raya, provinsi Papua, Indonesia. Saat itu  Suku Fayu merupakan masyarakat tradisional yang belum tersentuh peradaban modern termasuk dari sisi pendidikan dan kesehatan. . Dengan menggunakan bahasa isyarat dan bahasa local yang terbatas, Keluarga Kuegler beradaptasi dengan masyarakat suku Fayu.

Sabine yang menjadi tokoh central dalam buku ini, digambarkan sebagai anak perempuan yang tomboi dan bandel. Dia dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya, khususnya cepat bergaul dengan anak laki-laki suku Fayu karena anak perempuan suku Fayu cenderung pemalu dan introvert. Sabine dengan mudah membaur dengan anak-anak suku Fayu dan bermain di hutan, di sungai, main Lumpur, berburu dan  makan serangga, makan daging satwa liar seperti kelelawar dan buaya, makan buah local, memanjat pohon dan lain-lain. Sabine dengan cepat belajar tentang makanan yang aman dimakan dan yang harus dihindari. Sejak kecil Sabine sudah menunjukkan ketertarikan terhadap hutan dan lingkungan. Dia suka mengoleksi berbagai jenis satwa dan serangga yang día temukan di lingkungannya. Untuk pendidikan, Judith, Sabine dan Christian mengikuti sistem homeschooling yang dipandu oleh ibunya.

Keluarga Klaus sendiri selain mempelajari budaya dan bahasa suku Fayu, secara tidak langsung juga menemukan berbagai pembelajaran seperti: (1) kehidupan yang sederhana dan selaras dengan alam, (2) kehidupan yang slow living dari jauh dari stress karena pekerjaan, (3) mereka makan makanan natural yang disediakan oleh alam. Keluarga Klaus menyukai dagiung satwa liar yang terasa lezat. Hal ini menimbulkan persoalan karena ketika kembali ke Jerman, mereka merasakan daging di Jerman terasa pahit sehingga Judith memutuskan jadi vegetarian dan tidak mau makan daging lagi.  

Kehadiran Keluarga Klaus ke tengah-tengah suku Fayu, juga membawa perubahan social secara perlahan. Keluarga Klaus mengajarkan melalui praktek tentang perdamaian, dimana antar marga yang sering berperang antar suku diajak untuk berdialog untuk memecahkan masalah atau konflik yang ada. Mereka diajak berkumpul dan bersilaturahmi untuk membangun persahabatan dan kekeluargaan.  Anak-anak yang selama ini sering ketakutan karena kekuatiran ada perang suku, akhirnya tumbuhb menjadi generasi yang lebih ceria.

Keluarga Klaus juga mengajarkan tentang cinta kasih dan menghindarkan kekerasan dalam rumah tangga. Suku Fayu yang dominasi kaum prianya sangat menonjol, diajak untuk menghormati kaum perempuan dan mengasihi mereka. Perkawinan yang dilandasi paksaan, perlahan-lahan dihindarkan. Kekerasan suami terhadap istri juga berusaha dihilangkan.

Doris (istri Klaus) juga mengajarkan tentang kesehatan melalui pengobatan dan cara hidup sehat dengan menjaga kebersihan. Doris membantu ibu-ibu melahirkan serta merawat orang-orang yang terluka atau sakit. Di Suku Fayu, luka yang sepele sering berkembang menjadi infeksi serius karena minimnya pengobatan. Adanya introduksi kesehatan oleh Doris membuat angka harapan hidup yang semula hanya rata-rata 37 tahun meningkat jadi di atas 50 tahun.

Doris juga berkontribusi besar untuk memajukan pendidikan anak-anak suku Fayu. Dia membelikan peralatan alat tulis untuk anak-anak Suku Fayu dan mengajarkan menulis dan membaca. Anak-anakpun sangat antusias mengikuti pelajaran dari Doris yang sangat interaktif dan menarik bagi mereka.

Saat Yudith, Sabine dan Christian beranjak dewasa, mereka dikirim ke Eropa dan Amerika untuk medapatkan pendidikan tinggi di sana, karena materi pendidikan tinggi tidak mungkin disampaikan secara home shooling oleh ibunya. Kepergian Sabine ke Eropa, sendiri juga didorong adanya kesedihan yang mendalam akibat meninggalnya Ohri (kakak angkatnya dari Suku Fayu). Untuk mengobati dan melupakan kesedihan Sabine,  Klaus dan Doris mengirimkan Sabine ke Swiss untuk bersekolah di sana.

Pada awal kepindahannya ke Eropa, Sabine mengalami culture shock akibat kontrasnya perbedaan budaya di Suku Fayu dengan budaya Eropa. Kondisi tersebut menyebabkan Sabine sempat mengalami depresi. Untunglah perlahan-lahan, Sabine mulai nenemukan jalan hidupnya dan berkeluarga. Meski Sabine sudah beradaptasi dengan budaya Eropa, namun dalam hatinya día tetap mengakui bahwa separuh jiwanya akan terus menjadi anak rimba.

 

Komentar:

sebuah novel yang ringan dan gaya bahasa yang mudah dipahami. Banyak cerita kenangan masa kecil yang mengasyikkan dan lucu. Buku ini juga mengajarkan bahwa masyarakat tradicional juga mempunyai berbagai kearifan local, dan tidak selalu menakutkan ketika kita bisa mendekatinya secara tepat. Direkomenasikan dibaca untuk anak-anak dan generasi mudah yang mencintai budaya local dan alam.

 

 

 

 

 

 


Thursday, September 04, 2025

BUILDING A SECOND BRAIN

 



BUILDING A SECOND BRAIN

Metode efektif mengelola kehidupan digital agar lebih produktif dan kreatif

Penulis: Thiago Forte

Penerbit Renebook

Jakarta 2024

ISBN 978 623 6083 772

324 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku asli berjudul “Building a second brain: A proven  method in organize your digital life and unlock your creative potential”, karya Thiago Forte (seorang ahli produktivitas) yang diterbitkan  tahun 2022.

Di usia muda Thiago terkena penyakit . Dia sudah berulangkali berobat ke dokter namun dokter tidak menemukan penyakit yang dideritanya. Kondisi kesehatannya semakin memburuk dan membuatnya depresi.

Kondisi kesehatan Thiago membaik ketika dia mulai melakukan “meditasi”. Jiwanya berangsur tenang dan derita penyakitnya mulai berkurang. Dia semakin  rajin membagikan tulisannya dan pemikirannya ke orang lain. Dia menemukan kembali semangat hidupnya, ketika dia merasakan dirinya bermanfaat bagi orang lain.

Dalam buku ini, Thiago menyoroti bahwa di era digital ini kita dibanjiri oleh berbagai informasi melalui media sosial, televisi, radio, email, buku dan lain sebagainya. Banyak orang akhirnya bingung sendiri karena banjir informasi tersebut dan kesulitan menentukan prioritas informasi dalam kehidupannya. Dalam dunia kerja, banyaknya informasi yang tidak disertai pemilahan dan pengelolaan informasi yang memadai membuat kita punya banyak data namun kesulitan untuk menemukan data tersebut ketika kita membutuhkannya.

Untuk mengatasi banjir informasi tersebut, Thiago menyarankan agar kita memanfaatkan sarana pendukung digital seperti laptop/tablet sebagai “otak kedua”  untuk membantu menyimpan informasi secara terstruktur. Ketika suatu saat kita mempunyai tugas atau kegiatan tertentu, misalnya melakukan pelatihan untuk kelompok tani hutan, kita perlu melakukan empat Langkah CODE (Capture, Organize, Distill, Express).

 

Capture

Adalah menangkap informasi dan mempertahankan informasi yang berguna dan penting. Ingat prinsip Garbage in garbage out bahwa  hanya informasi berkualitas yang akan menghasilkan karya berkualitas pula. Sehingga kumpulkanlah “hanya” informasi yang berguna yang sesuai kebutuhan kita. Dalam tahap capture ini janganlah terjebak dalam sikap terlalu perfeksionis, sehingga kita tidak bisa segera melangkah untuk memproses data dan informasi yang tersedia.  Informasi yang dikumpulkan bisa berupa:

  • Sorotan atau bagian yang menarik dan kita highlight/sorot atau stabilo ketika membaca buku atau artikel. Sekarang tersedia perangkat lunak yang menyediakan fitur sorotan ini dan bisa mengumpulkan sorotan-sorotan yang kita stabilo dalam sebuah bacaan digital
  • Kutipan dari bagian penting sebuah buku/artikel
  • Bookmark atau tautan favorit dari sebuah website
  • Memo suara atau rekaman dari handphone
  • Catatan rapat
  • Gambar
  • Poin-poin pokok dari sebuah pertemuan/seminar/diskusi dll
  • Gagasan atau ide yang muncul dari perenungan maupun yang insidentil.

 

Upayakan bahan yang disimpan tadi mudah dibuka dengan aplikasi yang mudak didapatkan. Selain itu ukuran file-nya tidak terlalu besar agar tidak memakan banyak tempat penyimpanan.

 

Organize

Adalah Mengelola informasi dan menyimpan untuk ditindaklanjuti. Informasi yang terkumpul harus diorganisir penyimpanannya  agar memudahkan pencarian saat dibutuhkan. Thiago menyarankan pengelompokan informasi dengan konsep PARA (Project, Area, Resource, Archieve) untuk pengorganisasian data dan  informasi.

  • Project merupakan Upaya jangka pendek dalam pekerjaan atau kehidupan yang sedang anda kerjakan saat ini.
  • Area atau Bidang merupakan tanggungjawab jangka Panjang yang ingin anda tangani seiring berjalannya waktu
  • Resources atau sumberdaya merupakan  topik atau minat yang mungkin berguna bagi masa depan
  • Archieve atau Arsip merupakan Item tidak aktif dari tiga kategori di atas.

 

Distill

Adalah menyaring dan menemukan intisari informasi yang sudah dikumpulkan. Proses penyaringan ini membutuhkan ketelatenan dan bisa dilakukan secara bertahap untuk menemukan intisarinya. Dalam proses penyaringan ini latihan membuat ringkasan atau resume akan sangat membantu. Semakin tinggi jam terbang dalam membuat ringkasan, kita akan semakin mudah menemukenali benang merah sebuah tulisan atau bahan bacaan.

 

Express

Adalah mengekspresikan informasi yang kita kumpulkan dalam bentuk sebuah hasil karya. Untuk membuat karya ini, Thiago menyarankan dibuat draft kasar atau contoh-contoh kecil (intermediate package) secara bertahap yang nanti bisa dihubung-hubungkan atau disempurnakan. Jangan sungkan mintakan input atau feedback untuk penyempurnaan dari orang sekeliling kita terhadap intermediate package ini.

 

Dalam menggunakan CODE ini, untuk Capture dan Organize, kita perlu menggunakan pendekatan Divergensi untuk membuka seluas-luasnya kreatifitas, inovasi dan informasi yang perlu kita kumpulkan. Meski demikian kita perlu punya fokus agar kita tidak tersesat dalam kreatifitas yang tidak berujung atau banjir informasi. Sedangkan untuk Distill dan Express kita perlu menggunakan pendekatan Konvergensi yakni mengeliminasi pilihan, memperhitungkan untung rugi dan memilih yang benar-benar penting.

 

Pada akhir tulisannya, Thiago menyarankan agar kita mengecek ulang proyek yang kita garap hingga hasilnya memuaskan. Selanjutnya kita perlu mengorganisir informasi yang kita kumpulkan misalkan dimasukan ke folder arsip, untuk antisipasi bila informasi tersebut dibutuhkan suatu saat kelak. Data-data di desktop yang berserakan perlu diatur ulang biar kita mudah mencarinya bila membutuhkannya nanti. Kita perlu merayakan proyek yang telah selesai, dan men-setting ulang untuk proyek-proyek prioritas di masa depan.

 

 

 

 

Sunday, July 06, 2025

Kuasa Eksklusi, dilema pertanahan di Asia Tenggara

 


Kuasa Eksklusi, dilema pertanahan di Asia Tenggara

karya Derek Hall, Philip Hirsch & Tania Murray Li

(terjemahan Darmanto Simaepa & Achmad Choirudin, ed. Ben White)

Penerbit: INSISTPress, 2020,

ISBN 978-602-0857-90-9

402 halaman

 

Judul asli: Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia (NUS Press, 2011).

 

Buku ini ditulis berdasarkan penelitian proyek ChATSEA (2005–2010) dan studi kasus di tujuh negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Studi agraria ini dilakukan di tahun 2000an, namun dalam analisisnya terkadang juga dikupas sejarah agraria di masing-masing negara. Studi ini mengkaji perubahan-perubahan cara penutupan/pencegahan akses orang atas tanah (eksklusi) baik eksklusi type positif maupun negative (missal penggusuran, penyingkiran). Adanya eksklusi membuat individu atau kelompok tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya, kesempatan, atau hak yang dimiliki oleh anggota masyarakat lainnya. Sebuah kata yang berlawanan makna dengan inklusi (pemberian akses).

 Eksklusi bidang agraria bisa dilakukan melalui berbagai cara yakni:

  • Pengaturan (regulation) melalui  aturan formal/birokratis yang mengatur pembatasan penggunaan, klaim, zonasi termasuk yang mengatur siapa dapat memanfaatkan tanah
  • Paksaan (force) melalui pengusiran atau pengamanan paksa oleh negara, milisi, atau pihak swasta menggunakan kekerasan 
  • Pasar (market) yang dipengaruhi oleh dinamika harga, permintaan lahan, dan tekanan komodifikasi tanah yang memaksa pemilik menjual tanahnya.
  • Legitimasi (legitimacy) yakni dasar moral dan sosial seperti klaim adat atau kontribusi finansial yang menguatkan eksklusi dengan citra sah

Keempat cara tersebut di atas bekerja sinergis, menciptakan eksklusi yang kompleks dalam berbagai konteks relasi pertanahan di Asia Tenggara.

Luas tanah di muka ini relative tetap, memang terdapat upaya untuk menambah luasan tanah di muka bumi namun nampaknya jumlahnya tidak terlalu signifikan. Dari waktu ke waktu, jumlah luas tanah yang tetap dihadapkan dengan pertambahan populasi penduduk yang meningkat pesat. Kebutuhan tanah untuk permukiman, industry, kawasan konservasi dan kepentingan lainnya membuat nilai tanah semakin tinggi dan perlu pengaturan yang lebih adil.

 

Eksklusi pertama: program reforma agraria, alokasi tanah dan sertifikasi tanah.

Untuk menjamin keadilan agraria, reforma agraria dalam bentuk pembagian lahan kepada tuna kisma (warga yang tidak punya lahan tanah) menjadi salah satu strategi yang dikembangkan di beberapa negara Asia Tenggara terlebih yang beridiologi komunis.. Strategi lain adalah negara melakukan pengaturan alokasi tanah, sehingga orang tidak bisa bebas seenak hati memanfaatkan lahan tersebut dan harus memperhatikan tata ruang yang ada.

Cara lain yang banyak ditempuh untuk menjamin kepastian hukum atas tanah adalah pemberian sertifikat (hak milik dan atau hak sewa/hak pakai) kepada pemilik/penggarap lahan. Selain memberikan kepastian hukum, seorang pemikir ekonomi Hernando de Soto, berpendapat bahwa sertifikasi tanah merupakan bentuk pemberian akses modal ke petani, karena mereka dapat mengagunkan sertifikat tersebut ke lembaga keuangan.  Namun pendapat de Soto ini mendapat tentangan dari banyak pihak karena sertifikasi tanah akan memudahkan petani menjual asset tanahnya dan kembali miskin. Selain itu sertifikasi yang sifatnya individual akan bisa merusak struktur sosial yang ada di masyarakat.

Pembagian lahan garapan, alokasi tanah  dan sertifikasi tanah yang diinisiasi negara ini, membuat orang lain ter-eksklusi dan tidak bisa memanfaatkan lahan tersebut dengan bebas. Hal ini menunjukkan bahwa eksklusi merupakan keniscayaan yang harus dihadapi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana agar strategi tersebut dijalankan secara adil??

 Menurut pendapat saya, untuk eksklusi melalui reforma agraria, alokasi tanah dan sertifikasi tanah, nampaknya eksklusi dengan cara “pengaturan” yang lebih dominan.

 

Eksklusi Kedua: Menguatnya Kepedulian Lingkungan dan konservasi alam

Tumbuhnya kesadaran global terkait pelestarian hutan dan lingkungan membuat pemerintah di berbagai negara Asia Tenggara kemudian menggencarkan program pembangunan Kehutanan yang salah satunya melalui penataan dan penetapan batas hutan serta pengembangan Taman Nasional. Upaya pelestarian hutan ini banyak didukung oleh donor dan ornop yang peduli lingkungan.  Persoalannya penataan dan penetapan hutan yang dilakukan oleh negara seringkali kurang mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat/local yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Maraknya kasus konflik masyarakat dengan Taman Nasional atau instansi kehutanan merupakan bukti nyata dualisme hukum formal yang diacu pemerintah dengan hukum adat yang diacu oleh masyarakat ada/local. Masyaraat adat/local yang telah hidup turun temurun dalam hutan dan bebas mengembangkan kegiatan penghidupan  seringkali terusir dari kampungnya karena kebijakan ini.

Menurut pendapat saya, seperti eksklusi melalui reforma agraria, alokasi tanah dan sertifikasi tanah, nampaknya eksklusi untuk kepentingan pelestarian lingkungan juga banyak dilakukan dengan cara “pengaturan”. Namun dalam banyak kasus, cara “pemaksaan” juga sering terjadi dalam penetapan hutan khususnya kawasan konservasi..

 

Ekslusi Ketiga: “Demam” komoditas budidaya (monokultur/perkebunan)

Ketika demam (booming) komoditi budidaya seperti kopi, kakao, kelapa sawit, tambak udang dan komoditi lainnya seringkali membuat banyak orang tertarik berinvestasi pada komoditi tersebut. Hal ini mengakibatkan tanah di lokasi yang sesuai dengan agroklimat tanaman tersebut menjadi jadi incaran banyak pihak. Dalam kasus di Indonesia, booming kelapa sawit membuat banyak perusahaan berinvestasi sehingga lahan kosong jadi incaran. Demikian pula dengan komoditi coklat di Sulawesi Tengah membuat banyak pengusaha dari Sulawesi Selatan berinvestasi ke kakao.

Persoalan muncul ketika investor tersebut menggunakan  pendekatan “pasar” dengan membeli lahan-lahan produktif petani. Banyak petani yang kemudian tergiur menjualnya, sehingga mereka beralih menjadi tuna kisma karena mereka sudah kesulitan mencari tanah kosong/hutan untuk dibuka kembali.

Petani kecil yang melakukan budidaya tanaman komersil secara monokultur juga sering terancam ketika harga komoditi turun drastis, atau gagal panen sehingga mereka kesulitan untuk membayar kredit atau kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berakibat mereka mencari jalan pintas dengan menjual tanahnya guna menutup hutang dan kebutuhan hidupnya.

Selain melalui mekanisme pasar, eksklusi untuk pengembangan perkebunan ini juga banyak dilakukan melalui cara “pengaturan” bahkan “pemaksaan”

  

Eksklusi keempat:  Alih fungsi lahan pertanian,

Berkembangnya kota, suatu saat akan menemui titik jenuh karena lahan terbatas sementara kebutuhan terus perkembang. Oleh karenanya pemanfaatan daerah-daerah periferi pinggiran kota besar menjadi salah satu pilihan seperti Jakarta dengan daerah penyangganya seperti Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Banyak lahan pertanian yang beralih fngsi untuk permukiman maupun industri.  Selain itu berkembangnya penduduk juga membawa konsekwensi berupa kebutuhan fasilitas wisata atau rekreasi. Hal ini juga menimbulkan eksklusi.

Cara yang banyak ditempuh untuk konversi lahan pertanian untuk industri, wisata, permukiman dll antara lain melalui “pasar (jual beli)”, pengaturan oleh pemerintah dan tidak jarang dibumbui dengan aksi pemaksaan.

 

Eksklusi kelima:  Pencegahan akses oleh “orang dekat”.

Kehidupan masyarakat desa mengalami dinamika.  Masyarakat yang dulu digambarkan guyub, saling menolong,, saling berbagi, harmonis dan seterusnya seperti yang digambarkan oleh Cliffort Geertz, tidak sepenuhnya terjadi saat ini. Kehidupan individualisme makin kentara dan hubungan makin formal.

Dalam masyarakat sendiri juga terdapat struktur sosial yang sering terkait erat dengan struktur ekonomi. Dalam masyarakat desa yang belum banyak berhubungan dengan lembaga keuangan, keluarga yang mampu biasanya akan jadi tempat tujuan utama bila seseorang membutuhkan uang. Namun peminjaman ini seringkali disertai dengan “bunga“ yang nilainya seringkali cukup tinggi. Apabila si peminjam tidak mampu membayar pinjamannya, lahan tanahnya akan disita menjadi milik pemberi pinjaman. Dengan cara ini orang yang mampu bisa melakukan akumulasi modal dengan cara meminjamkan uang.

 

Eksklusi keenam: Klaim berbasis identitas & keterikatan tempat

Eksklusi ini terjadi ketika sebuah komunitas adat/kedaerahan meng-klaim tanah yang telah dikuasai pihak lain dengan menggunakan argumentasi bahwa masyarakat adat/lokal lebih berhak atas tanah tersebut dibandingkan pendatang karena masyarakat adat tersebut telah turun temurun tinggal di daerah tersebut.  Kasus klaim ini antara lain terjadi di beberapa daerah transmigrasi di Indonesia, di mana masyarakat adat meng-klaim lahan tranmigran sebagai tanah leluhurnya. Kasus yang hampir mirip adalah kasus pengusiran orang Madura sebagai imbas kerusuhan di Sanggau (Kalbar) dan Sampit (Kalteng).

Hal ini terasa menyesakkan bagi para transmigran karena mereka semata-mata mengikuti program yang diselenggarakan pemerintah, namun ternyata tidak ada jaminan hukum atas lahan yang mereka kuasai.

 

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa dilema pertanahan yakni setiap intervensi produktif atau perubahan terhadap tanah selalu mengandung ‘harga’—karena eksklusi terhadap pengguna lain adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Bahkan sering kali eksklusi muncul dalam bentuk ganda yakni melindungi sebagian pihak sekaligus menciptakan ketidakamanan bagi pihak lain.

 Dari buku ini, sebuah pertanyaan yang tersisa di benak saya adalah seperti apakah strategi yang adil yang bisa mengakomodir kepentingan pembangunan sekaligus juga menghormati hak kepemilikan pribadi, penghormatan terhadap masyarakat adat/tradisi, produksi yang berorientasi subsisten?

 

Rekomendasi

Buku ini dikemas dalam alur yang runtut dan bahasa yang mudah dicerna oleh orang awam.Saya merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang tertarik pada studi agraria & kebijakan pertanahan, konflik sosial-politik atas sumber daya tanah, dan pegiat advokasi masyarakat  adat dan pedesaan.