JUNGLE CHILD; My Longing for the Papuan Jungle
Author: Sabine
Kuegler
Publisher:
Esensi-Erlangga, 2006
384 pages
This book is a translation of "Jungle Child," a true story
written by Sabine Kuegler and published by Droemersche verlagsanstalt in 2006.
The book tells the story of the Kuegler – a German family, consisting of
Klaus (father), Doris (wife), Judith (eldest child), Sabine (second child), and
Christian (third child), who lived in West Irian in the 1980s. Klaus and Doris
were volunteers for a social foundation (missionary) that provided services to
underprivileged or isolated communities. Before serving in Papua, Klaus had
worked in Nepal with a remote community there.
In West Irian, Klaus's family lived in a remote area (about an hour's
helicopter flight from Lake Bira) with the Fayu tribe. Bira Lake is a hamlet in
the Central Mamberamo district, Mamberamo Raya regency, Papua province,
Indonesia. At that time, the Fayu people were a traditional society untouched
by modern civilization, including in terms of education and health. Using sign
language and limited local language, the Kuegler family adapted to the Fayu
community.
Sabine, the central character in this book, is depicted as a tomboy and
rebellious girl. She quickly adapted to her environment, especially quickly
associating with the Fayu boys, as Fayu girls tend to be shy and introverted.
Sabine easily mingled with the Fayu children and played in the forest, in the
river, playing in the mud, hunting and eating insects, consuming wild animals
like bats and crocodiles, eating local fruit, climbing trees, and so on. Sabine
quickly learned about safe foods and those to avoid. From a young age, Sabine
showed an interest in the forest and the environment. She enjoyed collecting
various types of animals and insects she found in her environment. For
education, Judith, Sabine, and Christian were homeschooled by their mother.
Besides studying the culture and language of the Fayu tribe, the Klaus
family also indirectly discovered various lessons, such as: (1) a simple life
in harmony with nature, (2) a slow lifestyle free from the stress of work, and
(3) eating natural foods provided by nature. The Klaus family enjoyed the
delicious taste of wild meat. This created a problem when they returned to
Germany and found the meat bitter, leading Judith to become a vegetarian and no
longer eat meat.
The Klaus family's presence among the Fayu tribe also brought about
gradual social change. The Klaus family taught peace through practices, where
clans that often fought among themselves were invited to engage in dialogue to
resolve existing problems or conflicts. They were encouraged to gather and
socialize to build friendships and family ties. The children, who had often
been afraid due to fears of tribal war, eventually grew into a happier
generation.
The Klaus family also taught about love and avoiding domestic violence.
The Fayu tribe, whose male population is highly dominant, was encouraged to
respect and love women. Coerced marriages were gradually eliminated. Violence
against wives was also attempted to be eliminated.
Doris (Klaus' wife) also taught about health through medicine and
healthy living by maintaining cleanliness. Doris assisted mothers in childbirth
and cared for those who were injured or ill. In the Fayu tribe, minor wounds
often developed into serious infections due to lack of treatment. Doris's
introduction of health care increased the average life expectancy from 37 years
to over 50 years.
Doris also contributed significantly to advancing the education of Fayu
children. She purchased stationery for the Fayu children and taught them to
write and read. The children enthusiastically participated in Doris's
interactive and engaging lessons.
When Yudith, Sabine, and Christian grew up, they were sent to Europe and
America to pursue higher education, as their mother's homeschooling was
impossible. Sabine's departure for Europe was also driven by deep grief
following the death of Ohri (her adopted brother from the Fayu tribe). To heal
and forget her grief, Klaus and Doris sent Sabine to Switzerland to study.
Initially, Sabine first moved to Europe, she experienced culture shock
due to the contrast between the Fayu and European cultures. This situation
caused her to experience depression. Fortunately, Sabine slowly began to find
her way and start a family. Although Sabine has adapted to European culture,
she still acknowledges that part of her soul will always be a child of the
jungle.
Comments:
A light novel with an accessible style. Many stories of childhood
memories are both engaging and humorous. This book also teaches that
traditional communities also possess a variety of local wisdom, and that it is
not always frightening when approached appropriately. Recommended reading for
children and young people who love local culture and nature.
JUNGLE CHILD; Rinduku pada Rimba Papua
Penulis Sabine Kuegler
Penerbit Esensi-Erlangga, 2006
384 halaman
Buku ini merupakan terjemahan buku Jungle Child yang merupakan true
story yang dituliskan oleh Sabine Kuegler dan diterbitkan oleh Droemersche
verlagsanstalt tahun 2006.
Buku ini bercerita tentang keluarga Kuegler dari Jerman yang terdiri Klaus (ayah),
Doris (istri), Judith (anak sulung), Sabine (anak kedua) dan Christian (anak
ketiga), yang tinggal di Irian Barat pada tahun 1980an. Klaus dan Doris merupakan relawan yang
bergabung dalam yayasan social (misionaris) yang memberikan layanan untuk
masyarakat yang tertinggal atau terpencil. Sebelum bertugas di Papua, Klaus
sempat bekerja di Nepal untuk sebuah masyarakat pedalaman di sana.
Di Irian Barat, Keluarga Klaus tinggal di daerah terpencil (sekitar satu
jam penerbangan helikopter dari Danau
Bira) bersama masyarakat suku Fayu. Danau Bira adalah sebuah kampung atau desa
yang berada di distrik Mamberamo Tengah, kabupaten Mamberamo Raya, provinsi
Papua, Indonesia. Saat itu Suku Fayu merupakan
masyarakat tradisional yang belum tersentuh peradaban modern termasuk dari sisi
pendidikan dan kesehatan. . Dengan menggunakan bahasa isyarat dan bahasa local
yang terbatas, Keluarga Kuegler beradaptasi dengan masyarakat suku Fayu.
Sabine yang menjadi tokoh central dalam buku ini, digambarkan sebagai anak perempuan
yang tomboi dan bandel. Dia dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya,
khususnya cepat bergaul dengan anak laki-laki suku Fayu karena anak perempuan
suku Fayu cenderung pemalu dan introvert. Sabine dengan mudah membaur dengan
anak-anak suku Fayu dan bermain di hutan, di sungai, main Lumpur, berburu dan makan serangga, makan daging satwa liar
seperti kelelawar dan buaya, makan buah local, memanjat pohon dan lain-lain. Sabine
dengan cepat belajar tentang makanan yang aman dimakan dan yang harus
dihindari. Sejak kecil Sabine sudah menunjukkan ketertarikan terhadap hutan dan
lingkungan. Dia suka mengoleksi berbagai jenis satwa dan serangga yang día temukan
di lingkungannya. Untuk pendidikan, Judith, Sabine dan Christian mengikuti sistem
homeschooling yang dipandu oleh ibunya.
Keluarga Klaus sendiri selain mempelajari budaya dan bahasa suku Fayu, secara
tidak langsung juga menemukan berbagai pembelajaran seperti: (1) kehidupan yang
sederhana dan selaras dengan alam, (2) kehidupan yang slow living dari jauh
dari stress karena pekerjaan, (3) mereka makan makanan natural yang disediakan
oleh alam. Keluarga Klaus menyukai dagiung satwa liar yang terasa lezat. Hal
ini menimbulkan persoalan karena ketika kembali ke Jerman, mereka merasakan daging
di Jerman terasa pahit sehingga Judith memutuskan jadi vegetarian dan tidak mau
makan daging lagi.
Kehadiran Keluarga Klaus ke tengah-tengah suku Fayu, juga membawa perubahan
social secara perlahan. Keluarga Klaus mengajarkan melalui praktek tentang
perdamaian, dimana antar marga yang sering berperang antar suku diajak untuk
berdialog untuk memecahkan masalah atau konflik yang ada. Mereka diajak
berkumpul dan bersilaturahmi untuk membangun persahabatan dan kekeluargaan. Anak-anak yang selama ini sering ketakutan
karena kekuatiran ada perang suku, akhirnya tumbuhb menjadi generasi yang lebih
ceria.
Keluarga Klaus juga mengajarkan tentang cinta kasih dan menghindarkan
kekerasan dalam rumah tangga. Suku Fayu yang dominasi kaum prianya sangat
menonjol, diajak untuk menghormati kaum perempuan dan mengasihi mereka.
Perkawinan yang dilandasi paksaan, perlahan-lahan dihindarkan. Kekerasan suami
terhadap istri juga berusaha dihilangkan.
Doris (istri Klaus) juga mengajarkan tentang kesehatan melalui pengobatan
dan cara hidup sehat dengan menjaga kebersihan. Doris membantu ibu-ibu
melahirkan serta merawat orang-orang yang terluka atau sakit. Di Suku Fayu,
luka yang sepele sering berkembang menjadi infeksi serius karena minimnya
pengobatan. Adanya introduksi kesehatan oleh Doris membuat angka harapan hidup
yang semula hanya rata-rata 37 tahun meningkat jadi di atas 50 tahun.
Doris juga berkontribusi besar untuk memajukan pendidikan anak-anak suku
Fayu. Dia membelikan peralatan alat tulis untuk anak-anak Suku Fayu dan mengajarkan
menulis dan membaca. Anak-anakpun sangat antusias mengikuti pelajaran dari Doris
yang sangat interaktif dan menarik bagi mereka.
Saat Yudith, Sabine dan Christian beranjak dewasa, mereka dikirim ke Eropa
dan Amerika untuk medapatkan pendidikan tinggi di sana, karena materi
pendidikan tinggi tidak mungkin disampaikan secara home shooling oleh ibunya. Kepergian
Sabine ke Eropa, sendiri juga didorong adanya kesedihan yang mendalam akibat
meninggalnya Ohri (kakak angkatnya dari Suku Fayu). Untuk mengobati dan
melupakan kesedihan Sabine, Klaus dan
Doris mengirimkan Sabine ke Swiss untuk bersekolah di sana.
Pada awal kepindahannya ke Eropa, Sabine mengalami culture shock akibat
kontrasnya perbedaan budaya di Suku Fayu dengan budaya Eropa. Kondisi tersebut
menyebabkan Sabine sempat mengalami depresi. Untunglah perlahan-lahan, Sabine
mulai nenemukan jalan hidupnya dan berkeluarga. Meski Sabine sudah beradaptasi
dengan budaya Eropa, namun dalam hatinya día tetap mengakui bahwa separuh
jiwanya akan terus menjadi anak rimba.
Komentar:
sebuah novel yang ringan dan gaya bahasa
yang mudah dipahami. Banyak cerita kenangan masa kecil yang mengasyikkan dan
lucu. Buku ini juga mengajarkan bahwa masyarakat tradicional juga mempunyai
berbagai kearifan local, dan tidak selalu menakutkan ketika kita bisa
mendekatinya secara tepat. Direkomenasikan dibaca untuk anak-anak dan generasi
mudah yang mencintai budaya local dan alam.