Monday, February 06, 2023

Perlawanan di Simpang jalan; Kontes harian orang-orang sekitar hutan

 


Perlawanan di Simpang jalan; Kontes harian orang-orang sekitar hutan

Penulis Hery Santoso

Penerbit Interlude, Yogyakarta

September 2020 (terbitan ke-2)

442 halaman

ISBN 978-623-7676-00-3

 

Dinamika pengelolaan hutan di Jawa

Buku ini bercerita tentang hubungan masyarakat dengan hutan dan pengelola hutan di Jawa sejak jaman VOC hingga saat ini.  Sebuah riset intensif  di sebuah masyarakat pinggiran hutan jati di Jawa Tengah, telah dilakukan untuk menghasilkan buku ini.

Di jaman VOC (kongsi Dagang Belanda), kayu jati sudah menjadi komoditi bernilai tinggi untuk mendukung industry perkapalan dan kebutuhan pembangunan lain. VOC dengan dukungan kekuatan militernya, berhasil menguasai dan memonopoli perdagangan kayu jati dan melakukan “penambangan kayu jati” (timber extraction) di berbagai wilayah dengan memanfaatkan tenaga buruh blandong yang sangat murah/gratis. Penambangan kayu dalam hal ini dimaksudkan sebagai upaya menebang atau memanfaatkan kayu  tanpa melakukan rehabilitasi atau penanaman kembali. Di jaman VOC ini juga terdapat praktek pemberian konsesi kepada pihak swasta/penguasa local untuk mengelola kawasan hutan tertentu dengan imbalan upeti berupa kayu, beras, tenaga kerja dan perahu.

Eksplotasi tenaga kerja tukang blandong yang berlebihan, telah menimbulkan aksi mogok kerja dan pemberontakan Kalang pada tahun 1770. Orang Kalang ini merupakan suatu komunitas masyarakat di Jawa Tengah bagian utara yang berkeahlian tinggi untuk menebang kayu (blandong). Pemberontakan orang Kalang ini berhasil dipadamkan walau memakan korban puluhan orang meninggal. Orang Kalang sendiri kemudian diisolasi di daerah Juana – Pati (Jawa Tengah).

Pada tahun 1796, VOC bangkrut dan kekuasaan di Hindia Belanda kemudian diambil alih oleh Daendels (1808-1811) selaku wakil Pemerintah Belanda. Daendels melihat bahwa penambangan kayu oleh VOC telah mengakibatkan keruskan hutan yang cukup massif. Melihat kondisi tersebut Daendels mendorong perbaikan tata Kelola hutan di Jawa melalui: (1) penetapan bahwa hutan adalah milik negara sehingga harus dikelola untuk kepentingan negara, (2) membentuk Lembaga yang menangani penyelenggaraan kehutanan berupa Inpektur Jenderal, (3) pengelolaan hutan melalui rotasi penebangan dan penanaman, (4) Masyarakat dilarang mengambil kayu kecuali ranting, kayu non komersil atau kayu mati, (5) mengenalkan lembaga peradilan perkara kehutanan, (6) menghapus konsesi hutan pihak swasta dan mengembalikan ke monopoli negara. Adanya monopoli kayu oleh negara (pemerintah pusat) mengakibatkan harga kayu sangat mahal dan banyak industry perkapalan dan industry perkayuan bangkrut terkena imbasnya. Salah satu sisi positif dari kebijakan Daendels ini adalah adanya perbaikan upah bagi para blandong (buruh penebang kayu) dengan pembayaran natura dan tunai.

Pemerintahan Daendels hanya bertahan sekitar 4 tahun dan digantikan oleh Raffles (1811-1816) perwakilan pemerintah Inggris. Beberapa kebijakan Raffles antara lain: (1) meningkatkan efisiensi penyelenggaraan Kehutanan melalui desentralisasi. Hanya hutan yang berkualitas tinggi yang dikelola Pemerintah Pusat. Sedangkan hutan yang lainnya dikeloa pemerintah daerah untuk disewakan pada konsesi swasta, (2) Pembatasan jumlah tebangan untuk mengurangi laju kerusakan hutan. Berkurangnya control pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan hutan ini berakibat maraknya penyelewengan dan korupsi di sector Kehutanan. Untuk pengupahan para blandong (buruh tebang) diberlakukan system pembayaran tunai sekaligus adanya pemotongan pajak untuk upah para blandong.

 

Pemerintahan Rafles kemudian digantikan  oleh Pemerintahan Belanda. Pada pemerintahan ini  mereka mengembalikan tata Kelola Kehutanan seperti era Daendels. Walaupun kemudian penyelenggaraan Kehutanan kemudian diserahkan pada pemerintah daerah (residen) demi menghemat keuangan negara. Pada era ini juga diperkenalkan system “persil” untuk mengatur mekanisme penebangan dan penanaman kembali. Pada periode ini system tanam paksa untuk komoditi perkebunan (tembakau, tebu, nila, karet dll). Hal ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan kayu untuk konstruksi bangunan dan bahan bakar industry. Sehingga penambangan kayu terjadi lagi. Walaupun dilakukan upaya penanaman kembali, namun hasilnya tidak signifikan karena pemeliharaan tanaman masih kurang intensif.

Pada tahun 1847, penguasa Hindia Belanda yakni Gubernur Jenderal Rochussen (yang berkuasa 1845-1851) mengirim surat ke Pemerintah Belanda untuk meminta dukungan tenaga ahli Kehutanan untuk menghindari kerusakan hutan yang lebih parah. Pada tahun 1849, Bennich dan Moller (ahli Kehutanan Jerman) dan Balzar (ahli Geodesi) didatangkanuntuk membangun system Kehutanan di Hindia Belanda. Mereka ditugaskan di Rembang (Jawa Tengah) dengan  tanggung jawab antara lain: mengawasi penyelenggaraan Kehutanan, melakukan pemetaan dan penataan hutan, merumuskan kelas hutan dan merencanakan jalan sarad di dalam hutan. Tenaga ahli lain yang didatangkan adalah Roessler, seorang ahli Kehutanan berpengalaman Jerman dan juga beberapa ahli kehutanan Belanda alumni Jerman. Sebaliknya beberapa pejabat Kehutanan di Jawa juga dikirim belajar ke Jerman untuk mempelajari model pengelolaan hutan di sana.

Para ahli Kehutanan Jerman dan Belanda tersebut berhasil merumuskan Undang-undang Kehutanan Jawa dan Madura yang disahkan pada tahun 1865. UU ini  mengatur tentang pemangkuan hutan, system pembuatan tanaan dan pemeliharaan, mekanisme penebangan, pengujian kayu, system pengangkutan dan berbagai tindak pidana Kehutanan seperti pencurian kayu, pembakaran hutan, penggembalaan liar di hutan. Dalam konteks ini konsepsi hutan adalah asset negara (hutan negara). Walaupun sempat muncul konsepsi “hutan desa” namun konsep itu dihapus Kembali karena dikuatirkan akan menimbulkan okupasi lahan di desa. UU ini juga menghapus system blandong, dan penyelenggaraan Kehutanan dilaksanakan dengan system kontrak dengan swasta. Disahkannya UU ini mambawa dua perubahan besar dalam penyelenggaraan Kehutanan yakni; (1) penetapan status hutan negara dan ancaman tindak pidananya, telah menutup pintu praktik-praktik pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang ada saat itu, paadahal hutan merupakan salah satu penopang utama penghidupan masyarakat, (2) berlakunya system kehutanan akademik dimana proses perencanaan, penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pengamanan menjadi komponen-komponen penting dalam penyelenggaraan Kehutanan.

Penutupan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya public lainnya, semakin ditegaskan dengan adanya Domein Verklarring (1870) yang secara umum menyebutkan bahwa sumber daya (hutan, lahan, perairan dll) yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya, secara otomatis menjadi milik negara. Isi Domein Verklaring tersebut, kemudian diadopsi dalam revisi UU Jawa dan Madura pada tahun 1874 yang menegaskan hutan adalah domain negara dan dikelola untuk kepentingan negara. Selain itu hutan di Jawa dan Madura dibagi dalam dua kelas yakni jati dan rimba  (campuran non jati).

Dari sisi silvikultur, penerapan system Kehutanan akademik dalam penyelenggaraan Kehutanan mengakibatkan perubahan hutan yang semula kaya akan biodiversity digantikan oleh tegakan-tegakan monokultur yang tertata rapi mirip kebun kayu namun miskin keanekaragaman hayati. Pengembangan silvikultur ini terus berkembang dengan adanya keberhasilan system tumpangsari (agroforestry), dan system penjarangan dan kemudian disusul dengan adanya Instruksi Pembuatan Buku Rencana Perusahaan pada Hutan Jati tahun 1938.

Dari sisi sosial, adanya klaim negara atas wilayah hutan, pemberlakuan pajak tanah, berbagai iuran untuk kegiatan sosial seperti pernikahan, memotong ternak, pemakaian air irigasi dll telah menimbulkan gejolak di masyarakat. Hal ini diperparah oleh distribusi lahan yang tidak adil antara elite desa dan Kehutanan dengan masyarakat awam. Berbagai iuran dan penguasaan asset oleh negara, mungkin bertujuan baik untuk kesejahteraan masyarakat, namun karena komunikasi dari pemerintah yang lemah dan pendekatan yang cenderung top down, telah menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Di tahun 1890 di daeah Blora (Jawa Tengah) muncul tokoh local Samin Sentiko yang mengajarkan pendekatan “kesetaraan” dan menolak adanya klaim negara. Mereka melakukan perlawanan dengan cara non kekerasan seperti menolak ekonomi uang dengan cara menolak membayar pajak, menolak upah dibayar dengan uang tunai, menolak larangan berladang di hutan, menolak larangan mengambil kayu, menolak denda, menolak berbahasa halus dengan pejabat, dan menolak hadir dalam acara-acara yang dihadiri kalangan penyelenggara Kehutanan. Perlawanan Samin dan pengikutnya ini, secara hakikat tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, namun sejatinya juga terkait dengan system nilai dimana system nilai yang diterapkan oleh pemerintah (ekonomi uang, dominasi negara dll) tidak sesuai dengan system nilai yang ada di masyarakat. Perlawanan Samin dan pengikutnya ini berakhir tahun 1907 ketika Samin dan pengikutnya ditangkap dan dibuang ke Sumatra hingga menemui ajalnya disana.

Perlawanan masyarakatterhadap suprastruktur (termasuk Kehutanan) sebenarnya tidak hanya dalam bentuk perlawanan terbuka (pemberontakan). Terdapat banyak “perlawanan dalam diam” yang berupa pencurian kayu dan tindak kejahatan hutan. Data dari Nancy Peluso menyebutkan selama kurun waktu 1918-1968 terdapat lebih 367.000 kasus pelanggaran peraturan Kehutanan di Jawa atau rata-rata lebih dari 7.000 kasus per tahun. (Itu data yang tercatat, ada kemungkinan fakta yang tidak tercatat jauh lebih besar).

Pada era penjajahan Jepang (1942-1945), kerusakan hutan cukup parah baik karena eksploitas oleh tentara Jepang maupun oleh adanya politik bumi hangus dari pemerintah Hindia Belanda yang tidak ingin fasilitas dan industry Kehutanan yang ada dimanfaatkan oleh Jepang. Selain itu, Sebagian masyarakat memanfaatkan suasana chaos untuk melakukan perambahan hutan dan penebangan liar. Keberhasilan rehabilitasi hutan pada era Jepang ini juga relative rendah.

Pada tahun 1945-1950-an pengelolaan hutan dihadapkan pada pertanyaan “ke arah manakah pengelolaan hutan paska kemerdekaan akan dibawa?” Terdapat dua kubu idiologis yakni kubu “rimbawan konservatif” yang disokong kaum nasionalis, berorientasi pada aspek ekonomi dan konservasi sehingga penyelenggaraan negara harus sentralistik  dan berbasis negara. Kubu yang lain adalah “rimbawan progresif” yang cenderung berafiliasi komunis dan mengedepankan redistribusi lahan. Namun perdebatan dua kubu tersebut cenderung lebih focus pada “politisasi” isu kehutanan dan tidak menyentuh langsung pada isu hutan dan Kehutanan.

Pada era 1962, Jawatan Kehutanan digantikan oleh Perusahaan Negara Perhutani. Pembentukan Perhutani ini merupakan salah satu bentuk kemenangan kaum nasionalis. Perhutani bertugas untuk: (1) meningkatkan devisa, (2) melakukan reforestasi, (3) memproduksi kayu untuk mendukung industry Kehutanan. Namun karena situasi politik dan keamanan  yang tidak stabil membuat target tersebut tidak bisa terlaksana dengan baik. Dalam situasi yang tidak menentu tersebut, rimbawan progresif di bawah Organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Serikat Buruh Kehutanan Indonesia (SARBUKSI) juga mengorganisir masyarakat untuk melakukan pendudukan lahan dan menyuarakan redistribusi lahan. Memanfaatkan kekacauan tersebut, sebagian masyarakat melakukan tindak penjarahan kayu, lahan , hasil hutan lain dan fasilitas kehutanan. Kondisi ini diperparah oleh adanya bencana kelaparan massal  sehingga masyarakat  memanfaatkan hutan dan sumberdaya yang ada didalamnya untuk bertahan hidup. Akibat tindak penjarahan tersebut, kerusakan hutan yang diderita Perhutani di tahun 1960an sangatlah besar.

Pada tahun 1966, Pemerintah Orde Baru terbentuk dan UU Pokok Kehutanan sitetapkan. Lima tahun kemudian status Perhutani berubah dari Perusahaan Negara menjadi Perusahaan Umum Perhutani. Melalui UU Pokok Kehutanan dan perubahan status Perhutani, pemerintah menegaskan Kembali bahwa hutan adalah asset negara, pemanfaatan untuk ekonomi negara dan harus dipisahkan dari kegiatan ekonomi masyarakat local. Perhutani sebagai “penguasa” hutan di Jawa kemudian menjalankan mekanisme penyelenggaraan hutan seperti penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pengamanan secara teratur. Dari sisi manajemen, Perhutani juga melakukan rasionalisasi unit pengelolaan hutan, dan melakukan sentralisasi anggaran untuk efisiensi.

Untuk mengatasi tekanan sosial masyarakat terhadap hutanpada tahun 1970-1980an, Perhutani mengembangkan Program MALU, Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan  Program Perhutanan Sosial (PS)[1] . Program-program tersebut bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya akan memunculkan dukungan masyarakat dalam pelestarian hutan. Namun dalam kenyataannya program-program tersebut, belum menunjukkan keberhasilan. Kegagalan tanaman, pencurian kayu dan konflik dengan masyarakat semakin meningkat.

Kondisi hutan di Jawa mengalami kerusakan massif di awal reformasi (1998-2000an). Situasi chaos mengakibatkan penjarahan kayu meningkat drastic. Tahun 1997, pencurian kayu berkisar 200 ribu batang. Tahun 1998 pencurian kayu berkisar 1 juta batang dan tahun 1999 berkisar 3,1 juta batang. Dalam kurun waktu 1998-2002, standing stock di lahan Perhutani menurun dari 37,5 juta M3 menjadi 28 juta M3. Produksi kayu pada tahun 1999 sebesar 1,75 juta M3, pada tahun 2002 menjadi 1,45 juta M3 dan pada tahun 2004 menjadi 847 ribu M3. Pada tahun 1998, keuntungan kotor Perhutani mencapai 581 milyar rupiah dan pada tahun 2002 hanya mencapai 200 milyar rupiah.

Untuk mengantisipasi tekanan sosial masyarakat ini Perhutani kemudian mengembangkan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), yang mengintroduksikan bagi hasil kayu. Namun Program ini juga belum sepenuhnya memberikan hasil yang kongkrit.

Perlawanan Masyarakat sekitar hutan

Dengan adanya penguasaan hutan oleh negara, penyelenggara Kehutanan sejak jaman Hindia Belanda  memperkenalkan kegiatan tumpangsari dalam kawasan hutan untuk mengatasi kebutuhan lahan untuk penghidupan masyarakat,. Dalam hal ini kepada masyarakat diberikan hak menggarap lahan hutan dengan kewajiban menanam dan memelihara tanaman pokok Kehutanan di lahan garapannya. Sebagai haknya, petani penggarap (pesanggem) berhak menanam dan memanen tanaman semusim di lahan garapannya. Di era Perhutani, program tumpangsari untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat ini kemudian berkembang dengan berbagai varian seperti Program MALU (1970-1980an), PMDH (1980-1990an),  PS (1986-1990an),  PHBM (1990an-sekarang) dan Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial/IPHPS (2018-sekarang).

Namun implementasi berbagai program tersebut  tidak sepenuhnya berhasil meningkatkan kesejateraan masyarakat dalam jangka panjang. Secara umum, setelah 2 tahun pendapatan petani penggarap (pesanggem) menurun karena tajuk tanaman pokok telah menaungi tanaman semusim yang ditanam di lahan garapannya (andil). Oleh karenanya kegiatan tumpangsari seringkali mendapatkan perlawanan diam-diam dari masyarakat, seperti adanya sabotase dengan menelantarkan lahan garapan, sabotase mematikan tanaman pokok agar tajuknya tidak mengganggu tanaman semusim, sabotase dengan berpura-pura patuh tetapi sebenarnya mengacuhkan arahan-arahan pejabat Kehutanan saat penyuluhan-penyuluhan.

 Di era 1990 an, bentuk kegiatan perlawanan tersebut semakin beragam seperti maraknya pencurian kayu sebagai dampak banyaknya industry kayu local. Ditengarai industry kayu tersebut menggunakan kayu illegal yang dicuri dari kawasan hutan. Kayu-kayu illegal tersebut disupply oleh warga masyarakat local , yang dalam beroperasinya sering bekerjasama dengan pejabat Kehutanan yang korup. Oknum pejabat yang korup ini mengakibatkan wibawa penyelenggara Kehutanan jatuh di mata public, dan sering menjadi bahan olok-olokan/gunjingan  (bullying) di masyarakat. Penegakan hukum untuk mengatasi pencurian ini agak sulit dilakukan karena sebagian oknum kehutanan terlibat dan masyarakat sendiri sering melindungi warganya yang terlibat dalam pencurian kayu.

Terbatasnya asset lahan di desa (non hutan), pertambahan populasi yang tinggi,  terbatasnya pendidikan tingkat pendidikan masyarakat dan terbatasnya lapangan kerja/usaha di desa telah semakin memperkuat tekanan sosial terhadap hutan. Selain itu penerapan system Kehutanan akademik yang berbasis negara, telah menimbulkan keguncangan karena telah mencerabut masyarakat dari akar budayanya. Di waktu lalu, hutan merupakan ruang kehidupan masyarakat namun penetapan hutan negara telah menjadikan mereka terpisah dengan ruang hidupnya. Monokulturisasi telah mengakibatkan masyarakat kehilangan banyak keanekaragaman hayati yang selama ini mereka manfaatkan. Masyarakat sendiri jarang atau bahkan tidak pernah dilibatkan  dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan yang ada didekatnya. Tindak pengamanan hutan oleh petugas Kehutanan yang terkadang berlebihan juga dirasakan membuat masyarakat petani penggarap (pesanggem) seringkali merasa kehilangan harga diri dan martabatnya. Hl ini juga bisa menimbulkan perlawanan tersebut.

Salah satu hal yang sering salah dipahami oleh para penyelenggara Kehutanan adalah masyarakat dianggap selalu berorientasi subsisten dan pro kelestarian lingkungan. Padahal terdapat dinamika di masyarakat yang juga ingin sejahtera secara material. Terdapat perubahan orientasi subsisten ke ekonomi kapitalisme yang berorientasi uang dan pemenuhan kekayaan material. Hasil tumpangsari yang relatif pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan subsisten pastilah semakin tidak akan mencukupi pmenuhan kebutuhan kekayaan material. Kalau ekonomi subsisten, masyarakat menjadi actor utamanya. Namun untuk ekonomi kapitaslis seperti industry perkayuan, masyarakat hanya menjadi salah satu actor dari sejumlah actor yang terlibat. Hal inilah yang harusnya dipikirkan untuk dicarikan pemecahannya oleh penyelenggara Kehutanan, agar tindak pidana Kehutanan bisa dieliminir sedini mungkin.

Mungkinkah terjadi konflik atau perlawanan terbuka oleh masyarakat?

Dalam sejarah penyelenggaraan Kehutanan, dikenal adanya pemberontakan orang Kalang dan gerakan Samin Sentiko. Namun selain itu jarang sekali muncul perlawanan terbuka dari masyarakat terhadap penyelenggara Kehutanan. Mengapa demikian?

Dari pengamatan Mas Hery Santoso, masyarakat pinggiran hutan di Jawa,  sebenarnya mempunyai kalkulasi yang cukup rasional dalam melakukan gerakan perlawanan terhadap kebijakan yang tidak mereka setujui. Hutan merupakan salah satu sumber daya yang menopang kehidupan mereka walaupun hasilnya pas-pasan untuk pemenuhan kebutuhan subsisten. Oleh karena itu mereka tidak berani mengambil resiko melakukan perlawanan secara terbuka (seperti protes, atau klaim redistribusi lahan, pemberontakan) terhadap penyelenggara kehutanan yang bisa berakibat dicabutnya lahan garapan mereka.  Oleh karena itu perlawanan cukup dilakukan secara diam melalui sabotase-sabotase. Jadi tindakan petani sebenarnya didasari kalkulasi untung-rugi walau sifatnya sangat sederhana. Mas Herry juga menambahkan bahwa tidak munculnya aksi konfrontatif dari masyarakat juga dipengaruhi oleh perubahan kebijakan dan kapitalisme negara tidak secara massif memporakporandakan perekonomian masyarakat sehingga masyarakat masih mempunyai ruang bertahan hidup. Masyarakat tidak teresploitasi secara ketat, mereka hanya tersingkir dari sumberdaya subsistensi local yang sebelumnya bisa dikuasai secara bersama-sama. Hal lain yang juga menghambat aksi kolektif perlawanan konfrontatif adalah cross cutting affiliation dimana masyarakat pesanggem, petugas Kehutanan, blandong berasal dari satu kampung dan susah dilakukan pengelompokan (segregasi) karena saling terkait denganafiliasi kekerabatan, agama, dll.

Secara teoritis, sejarawan Sartono Kartodirjo menyebutkan bahwa aksi terbuka yang revolusioner aakan terjadi bila: (1) ada suatu tradisi untuk memberontak, (2) ada ketegangan terus menerus dimana suatu lapisan masyarakat tersingkir dan kehilangan hak-haknya, (3) adanya dominasi negara yang mengacaukan sendi-sendi kehidupan masyarakat, (4) adanya satu tokoh/pemimpin yang revolusioner, (5) kelembagaan yang memiliki kapasitas. Melihat kriteria-kriteria tersebut  nampaknya sulit dipenuhi oleh masyarakat desa yang ada di Jawa. Sehingga menjadi suatu hal yang wajar kalau perlawanan konfrontatif secara terbuka oleh masyarakat terhadap penyelenggara kehutanan jarang terjadi.

 

Solusi ke depan?

Pada tahun 1970an – 1980an muncul banyak gagasan Kehutanan yang mengutamakan pada aspek etika sosial. Muncul kesadaran bahwa pengabaian dan marginalisasi terhadap masyarakat  telah mendorong laju kerusakan hutan. Etika Sosial pada era ini bermuara pada: (1) penyediaan kayu bakar dan bahan lain untuk pemenuhan dasar rumah tangga masyarakat, (2) penyediaan pangan dan kualitas lingkungan berkelanjutan, (3) penyediaan sumber pendapatan alternatif dan lapangan kerja bagi masyarakat akar rumput.

Dalam perjalanannya etika sosial tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh birokrat Kehutanan yang masih ragu terhadap kontribusi etika sosial dalam pelestarian hutan. Akhirnya mereka mengembangkan program sosial Kehutanan (community foretry) namun hanya sekedarnya tanpa menyentuh akar filosofinya. FAO menyebutkan kendala yang dihadapi dalam pengembangan community forestry antara lain: (1) para penggagas program tidak memahami mekanisme sosial yang terjadi di level grassroots, (2) relasi sosial masyarakat dengan hutan di sekitarnya sangat kompleks mencakup aspek material dan immaterial, (3) perencanaan Kehutanan seringkali gagal menangkap realitas di lapangan, (4) lemahnya konsepsi proyek etika sosial itu sendiri.

Pelusso menyebutkan salah satu kelemahan proyek etika sosial yang ada adalah tujuan utama program yang berorientasi pada pengamanan hutan dan menghutankan kembali lahan kosong. Sehingga program yang dikembangkan cenderung menjauhkan masyarakat dari hutan yang menjadi penopang hidupnya. Masyarakat yang sudah memiliki pengalaman dalam mengelola hutan hendaknya dihargai pengetahuannya dan dijadikan basis pengembangan proyek. Tidak jarang pengetahuan tradisional masyarakat dalam mengelola hutan, hasilnya jauh lebih baik dari  kehutanan akademik yang dikelola negara. Seperti hutan rakyat di Jawa produktivitasnya mencapai 2,29 m3/ha/th, sedangkan Perhutani hanya 0,74 m3/ha/th.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan program etika sosial (termasuk Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat lainnya) dimasa depan adalah:

1. Program etika sosial seringkali terjebak dalam penyederhanaan dan stereotype bahwa masyarakat tradisional adalah selalu pro pelestarian lingkungan. Padahal masyarakat mengalami dinamika dan tidak jarang sudah terpengaruh oleh kapitalisme/ekonomi uang.

2. Masyarakat mempunyai dinamika dalam mata pencaharian. Akses informasi dan penetrasi pasar sering mengakibatkan masyarakat familiar dengan komoditi-komoditi yang dibutuhkan pasar dan tidak selalu berorientasi subsisten.
3. Areal yang dijadikan lokasi program etika sosial (seperti Perhutanan Sosial), seringkali merupakan lahan terdegradasi dan sumberdaya hutannya sudah dikuras oleh konsesi atau pihak lain. Perlu dipertimbangkan  untuk memberikan perlakuan yang adil dengan memberikan lahan yang masih melimpah sumberdayanya bagi penerima ijin PS atau program etika sosial.
4. Proyek etika sosial bisa menjadi pisau bermata dua karena bisa menjadi acuan untuk pendampingan oleh penyelenggara Kehutanan. Namun di sisi lain pemetaan wilayah proyek etika sosial bisa menjadi instrument control teritorialisasi wilayah pedalaman oleh birokrasi.
5. Proyek etika sosial sering menjanjikan kepastian hukum bagi pihak yang mengikuti skema yang ditawarkan. Namun proyek ini sering kali mengabaikan praktik-praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat yang selama ini sudah teruji lestari.

 

 

oooOOOooo



[1] Catatan saya pribadi, Program MALU (integrasi kegiatan Mantri Kehutanan dengan Lurah/Kepala Desa). Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) seperti pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan di dalam dan pengembangan usaha di luar kawasan.  Program Perhutanan Sosial (PS) melalui agroforestry di dalam kawasan sesuai masa daur tanaman pokok.