Sunday, June 25, 2023

Dari Jogja untuk Indonesia; Sebuah Wacana Kebijakan Publik

 

Dari Jogja untuk Indonesia; Sebuah Wacana Kebijakan Publik

Penerbit PT. Hanindita Graha Widya,

Yogyakarta 2003

160 halaman

ISBN 979-8849-35-3

 

Buku ini merupakan kumpulan artikel pendek (rata-rata 3-5 halaman buku) yang berisi pemikiran-pemikiran dalam mensikapi dampak krisis ekonomi  pada awal era reformasi (awal 2000 an).  Para penulis terdiri dari para aktivis yang tergabung dalam sebuah ornop di Yogyakarta bernama Institute for Public Policy and Economic Studies. Para aktivis ini mempunyai latar belakang multi disiplin dan sebagian besar juga berlatar belakang sebagai akademisi di Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. 

Kebijakan public adalah kebijakan  baik politik, wkonomi dan sosial yang diambil secara kolektif  demi kepentingan atau keuntungan masyarakat secara bersama-sama (kolektif). Kebijkaan public bisa berupa aturan atau rambu-rambu , bisa berupa penyediaan barang public yang dipakai bersama (missal jalan raya), bahkan bisa berupa hukum atau kode etik hubungan antar manusia atau budaya. Sistem politik dianggap baik bila mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan anggota masyarakat pengguna jasa atau barang public tersebut. Dalam penyediaan jasa dan barang public tersebut sering ditemukan konflik kepentingan antara kepentingan sosial  dan kepentingan individu. Para penyelenggaran pemerintahan termasuk wakil rakyat seringkali terjebak dalam persoalan ini. Adanya rasionalitas kolektif (masyarakat paguyuban) juga seringkali bangsa kita mudah terjebak dalam kolusi dan nepotisme yang mengakibatkan birokrasi kita menjadi sulit berkembang secara professional.

Dalam buku ini sebagian besar penulis menyoroti  posisi Yogyakarta sebagai kota budaya, kota wisata dan kota pendidikan. Untuk menunjang pengembangan ekonomi kreatif sebagai kota budaya, kota wisata dan kota Pendidikan, beberapa gagasan  yang ditawarkan oleh para penulis antara lain:

1.  Pelestarian kota budaya
a. Perlu penataan kota, perlindungan cagar budaya dan penegakan hukum secara

         konsisten
b. Memasarkan museum sebagai obyek wisata
c. Penataan kawasan budaya
d. Pengembangan dialog dan komunitas budaya

2. Pengembangan Wisata

    a. Kebijakan pembangunan pro wisata dan pedesaan

    b. Pengembangan atraksi budaya

    c. Pengembangan kawasan hijau yang asri  dan penanganan sampah

    d. Pembenahan daya saing daerah di bidang wisata (missal deregulasi)

    e. Pengembangan budaya tertib lalu lintas untuk mendukung wisata yang nyaman

    f. Penanganan gelandangan untuk menciptakan lingkungan sosial yang kondusif.

3. Pengembangan Kota Pendidikan

    a. Pengembangan pendidikan berkualitas baik dari sisi Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan

        Emosional dan Kecerdasan Spiritual

    b. Pembangunan perpustakaan terpadu

    c. Pembangunan kampus terpadu

Untuk bia mengembangkan Yogyakarta sebagai kota budaya, kota wisata dan kota Pendidikan, diperlukan dukungan adanya kebijakan pembangunan yang selaras, aparatus yang bersih dan dukungan masyarakat secara menyeluruh.

Meskipun buku ini ditulis untuk kasus Jogja, namun banyak isi tulisan yang juga relevan untuk diterapkan di wilayah lain. Demikian pula dengan dimensi waktu, beberapa tulisan juga masih relevan untuk kurun waktu sekarang ketika reformasi sudah berjalan 25 tahun. Kritik saya terhadap buku ini adalah pengelompokan artikel yang terkadang terkesan campur aduk sehingga alur penangkapan saya sebagai pembaca jadi agak melompat-lompat.


Monday, June 19, 2023

Martabat Petani Hutan

 


Martabat Petani Hutan

Penulis: Erna Rosdiana dan Johanna Ernawati

Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, KLHK

Jakarta, 2022

ISBN 978-602-61100-3-9

503 halaman

 

Kalau melihat cerita dalam buku ini, saya menduga bahwa buku ini merupakan kumpulan biografi pendek yang dituangkan dalam bentuk cerita (story telling). Adapun orang yang dijadikan tokoh-tokoh dalam buku ini adalah para petani hutan dan pegiat Perhutanan Sosial (atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di Indonesia, baik dari unsur birokrat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan petaninya itu sendiri. Meski demikian tokoh sentral buku ini adalah Whina yang merupakan seorang birokrat di Departemen Kehutanan dan bekerja menangani program Hutan Kemasyarakatan (yang menjadi embrio Program Perhutanan Sosial yang kita kenal sekarang).

Whina merupakan seorang gadis yang merupakan cucu dari keluarga yang berlatar belakang petani (juragan tanah) dengan keluarga yang berlatar belakang pengusaha. Whina yang diterima di Fakultas Kehutanan, semula merasa kurang nyaman dengan pilihannya karena pada awalnya Whina tidak menyukai kehidupan petani di perdesaan. Meski demikian perlahan-lahan mulai menyukai bidang Kehutanan khususnya ketika dia bergabung dalam kelompok mahasiswa pecinta alam. Setelah lulus kuliah tahun 1984, Whina lolos seleksi dan bekerja di Departemen Kehutanan. Whina ditempatkan di Kanwil Kehutanan Wilayah Jawa Barat. Di tempat barunya Whina menunjukkan prestasi kerja yang menggembirakan berkenaan dengan penyusunan Petujuk Teknis Pemungutan Iuran Hasil Hutan. Pekerjaan ini membuat Whina banyak bergaul dengan para pengusaha Hutan.

Prestasi kerja yang bagus mengantar Whina memperoleh posisi jabatan structural eselon VI di Departemen Kehutanan di Jakarta pada tahun 1995. Jabatan yang disandang Whina adalah Kepala Seksi Aneka Usaha Hasil Hutan (non kayu), yang menuntut Whina untuk bergaul dengan pengusaha kecil dan masyarakat awam.  Dalam pekerjaan barunya Whina belajar tentang pelibatan masyarakat melalui skema Hutan Kemasyarakatan Dana Reboisasi dimana masyarakat dilibatkan sebagai buruh dalam program reboisasi sehingga dia berhak dapat upah buruh dan diberi hak untuk melakukan tumpangsari di wilayah yang direboisasi (SK 622/Kpts-II/1995 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan).

Whina juga belajar tentang konsep-konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat seperti yang dilakukan oleh proyek Social Forestry Development Project (SFDP) di Sanggau yang menggunakan pendekatan partisipatif dalam proses perencanaannya. Whina juga mulai berkenalan dan bergaul dengan lembaga donor, akademisi, dan aktivis LSM yang mendampingi program pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Krui Lampung, Sumatra, dan lain-lain. Selama  ini lingkungan kampus dan birokrasi telah membuat Whina memiliki stigma bahwa masyarakat itu perusak hutan dan tidak akan mempu meengelola hutan secara lestari. Whina yang semula sangsi masyarakat mampu untuk mengelola hutan secara lestari, setelah melihat banyak bukti di lapangan  akhirnya terbuka mata hatinya bahwa pandangannya selama ini salah. Dia juga menemukan fakta-fakta bahwa ekspektasi masyarakat sebenarnya bukan sesuatu yang muluk atau tinggi. Mereka hanya ingin memiliki akses legal dan kepastian hukum terhadap lahan sehingga bisa mengelola secara tenang.

Pergaulannya dengan aktivis LSM, akademisi dan lembaga donor membuat Whina terbuka emphatynya dan dia mempunyai niatan untuk memperbaiki regulasi Hutan Kemasyarakatan yang ada agar masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai buruh tanam, tetapi masyarakat bisa memperoleh akses legal terhadap hutan.  Niat Whina tersebut memperoleh dukungan dari semesta. Adanya momentum reformasi tahun 1998, Menteri Kehutanan Muslimin Nasution yang berorientasi populis, menyetujui penerbitan SK 677/Kep-II/1998 tentang Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan, yang draftnya diinisiasi oleh Whina dan diperkaya dari masukan jejaringnya. Dalam SK 677 tersebut masyarakat diberikan akses mengelola hutan selama 35 tahun.

Bagi Whina, perjuangan menerbitkan SK 677 tersebut tidaklah mudah. Whina harus menghadapi perlawanan dari sebagian birokrat Departemen Kehutanan konvensional yang masih belum rela untuk memberikan akses lahan hutan bagi masyarakat. Mereka berpandangan bahwa mengelola hutan butuh modal besar dan SDM yang berkompeten. Itu dua modal yang tidak dimiliki oleh masyarakat, kata mereka.  Di sisi lain, Whina juga menghadapi complain dari Sebagian aktivis LSM yang masih belum puas dengan pemberian hak Kelola, karena mereka menginginkan hal milik. Selain itu mereka juga mempertanyakan kesanggupan Departemen Kehutanan dalam mengembangkan program Hutan Kemasyarakatan yang memperhatikan kondisi spesifik local.

Terlepas dari pro kontra yang ada, terbitnya SK 677 telah memberikan kegembiraan bagi Sebagian pemangku kepentingan termasuk petani dan aktivis LSM. Meskipun tidak selalu berjalan mulus, sayup-sayup program Hutan Kemasyarakatan semakin sering terdengar.  Berbagai event terkait Hutan Kemasyarakatan menjadi concern di tingkat menteri bahkan di tingkat yang lebih atas. Upaya internalisasi pendekatan sosialpun semakin intens dilakukan untuk merupah perilaku apparat Kehutanan menjadi lebih humanis dan lebih dialogis.

Selain ringkasan   di atas,  saya menangkap beberapa fenomena menggelitik, yakni:

  1. Dari cerita tokoh Myla, Bilal, Sena dan Whina sewaktu jadi mahasiswa ada kecenderungan mereka tidak memperoleh cukup pembelajaran tentang kepekaan sosial di dalam kampus. Kepekaan sosial terhadap lingkungannya tumbuh setelah mereka berinteraksi  melalui kegiatan ekstra kurikuler atau bahkan kegiiatan di luar kampus. Bahkan ada kemungkinan dalam kampus sendiri secara sadar atau tidak telah tertanam stigma-stigma yang tidak sepenuhnya benar tentang masyarakat desa hutan. Apakah dalam hal ini telah terjadi fenomena yang oleh Paulo Freire disebut “Pendidikan merupakan salah satu instrument penguasa untuk melanggengkan kekuasaan”?? Apakah kurikulum Kehutanan  di kampus dibangun dengan sikap kritis? Ataukah kurikulum yang ada dibangun untuk mendukung kebijakan dan program pemerintah yang cenderng memihak pengusaha besar?  
  2. Kebijakan pengusahaan hutan melalui HPH, telah diimplementasikan sejak tahun 1970an. Saat itu Kehutanan menjelma menjadi sector penghasil devisa, dan tentu saja banyak pejabat dan birokrat Kehutanan yang kecipratan rejeki. Hal ini telah menjelma jadi budaya orgaanisasi yang tertanam cukup kuat. Oleh karenanya ketika ingin mendorong program pengelolaan hutan berbasis masyarakat, budaya organisasi lama yang pro pengusaha besar harus dikikis sedikit demi sedikit.
  3. Whina merupakan salah satu actor yang terlibat cukup intensif dalam mengawal program Hutan Kemasyarakatan. Hal ini perlu disyukuri karena adanya “pengawal setia” ini membuat alur kesinambungan program menjadi terjaga. Walaupun hal ini dibayar mahal karena karir Whina jadi tersendat. Saya mempunyai hipotesis, banyak program Kehutanan tidak bisa berjalan berkesinambungan karena tingginya rotasi kepemimpinan, dan ketiadaan instrument seperti roadmap yang kokoh ditaati bersama.
  4. Keberhasilan upaya mendorong laju Program Hutan Kemasyarakatan, menunjukkan bahwa birokrat bisa bekerjasama dengan petani, LSM, akademisi, dan lembaga donor. Yang diperlukan dari para pihak adalah kesediaan untuk mendengarkan, berdialog, saling memahami  dan keihklasan untuk mencari solusi terbaik.

 Secara umum buku ini mudah dibaca karena hurufnya agak besar, Bahasa yang digunakan juga bahasa sederhana dengan alur yang runtut. Sedikit ganjalan mungkin pertautan cerita antar tokoh dalam cerita ini mungkin perlu lebih “dipererat” supaya semua terangkai menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Tetap semangat bagi mbak Whina, Myla, Bilal, Parman dll untuk mewujudkan petani hutan yang sejahtera, berdaulat dan bermartabat.

Tuesday, June 13, 2023

Syekh Akbar Ibn ’Arabi: Gerbang Rasa

 


Syekh Akbar Ibn ’Arabi: Gerbang Rasa

Penyusun: Imam Nawawi & Fajri Andika

Penerbit Forum, Yogyakarta 2023

ISBN 978-602-0753-76-8

106 halaman

 

Ibn ‘Arabi (1126-1240 M) merupakan sufi yang lahir di Mursia-Andalusia. Beliau mendapatkan gelar “muhyidin” yang berarti “yang menghidupkan agama”, karena perannya dalam keagamaan. Beliau juga mendapat gelar Syekh Akbar (guru terbesar) lantaran pengaruh pengajaran dan gagasannya yang luar biasa. Beliau dikenal sebagai penyair sufi yang agung dengan banyak karya seperti Futuhat Al Makkiyah dan Diwan yang berisi lirik-lirik sufistik.

Manusia dibekali dengan akal dan hati untuk bertindak secara manusiawi. Namun tidak jarang tindakan manusia sering menyimpang karena ketidak seimbangan fungsi keduanya. Oleh karenanya risalah Allah harus diajarkan ke umat manusiaagar risalah tersebut terinternalisasi dalam kalbu umat manusia. Dalam konteks tersebut, buku ini hadir untuk pembaca. Buku ini merupakan kutipan-kutipan Ibn ‘Arabi dalam kitab Diwan Ibn ‘Arabi tentang manusa dan kemanusiaan. Buku Gerbang Rasa ini merupakan serial dari Buku Lentera Makna, Buku Taman Makrifat dan Buku Tarekat Rindu.

Dalam buku ini, kita akan menemukan ajaran dan pandangan Ibn ‘Arabi yang antara lain berupa:

  • Manusia diciptakan untuk bekerja keras. Semakin besar perjuangan dan manfaatnya bagi orang lain, maka akan semakin mulialah orang tersebut. Orang hendaknya beriman, beramal shaleh, saling menasehati untuk menegakkan kebenaran dan saling menasehati agar bersabar.
  • Setiap orang mempunya potensi jadi insan kamil (manusia sempurna) karena telah dibekali dengan hati dan akal. Orang hendaknya memanfaatkan akalnya serta mengendalikan nafsunya agar bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Orang juga dituntut untuk mengenal dirinya sendiri untuk bisa mengenali PenciptaNya.
  • Manusia diciptakan dari unsur basah (air) dan kering (tanah) serta unsur panas (nafsu) dan dingin (ruh). Dengan unsur nafsu, manusia bisa merasa lapar, haus, syahwat dll. Namun dalam diri manusia juga ada sifat ruh seperti sabar, malu, berpikir dll. Demikian pula manusia juga punya sifat kering seperti keras kepala, malas, kikir,dll, namun juga punya sifat baik hati, ramah, lemah lembut dll. Orang yang memiliki tabiat baik adalah yang bisa menyeimbangkan unsur tanah vs air dan unsur nafsu vs ruh.
  • Orang sufi harus tetap menjalankan syariat  untuk bisa mengejar makrifat dan hakikat. Syariat  merupakan sarana untuk berjumpa dengan Tuhan. Orang sufi harus menjauhkan diri dari dunia kekerasan, karena orang sufi harus memiliki Ahlak Allah yang penuh kelembutan, ramah, Indah dan toleran.
  • Wanita merupakan sumber ilmu pengetahuan dan perantara kehidupan sehingga kita harus menghormati kaum perempuan. Selain itu banyak sifat perempuan yang merupakan cerminan (tajalli) sifat Allah misal lemah lembut, indah, sabar, memelihara dll.
  • Menghargai ilmu. Sehingga Ibn ‘Arabi mendorong orang untuk mau nenuntut ilmu, mengembangkan ilmu (termasuk dengan kontemplasi)  dan mengajarkan ilmu kepada orang lain.
  • Toleransi dan penuh kasih sayang. Ibn ‘Arabi melihat orang lain  yang beraneka ragam suku, agama, ras dll merupakan ciptaan Allah swt. Sehingga kita harus menyayangi dan mengasihi antar sesame ciptaan Allah.
  • Cinta kepada alam. Alam semesta merupakan ciptaan Allah. Kalau kita mencintai Allah swt, kita harus juga mencintai alam semesta ciptaaNya dan tidak boleh bertindak semena-mena serta merusaknya.

Buku ini terbagi dalam sekitar 50 topik dan setiap topik terdiri dua halaman. Sehingga buku ini tidak terlalu melelahkan untuk dibaca. Namun perasaan saya terkadang merasa, kupasan untuk beberapa topik seringkali kurang mendalam. Saya tidak tahu apakah hal tersebut disebabkan penyusun memang hanya menampilkan tulisan Ibn ‘Arabi apa adanya dan meminimalisir interpretasi pribadi penyusun ataukah ada pertimbangan lain. 

BTW, tulisan ini tetap bermanfaat untuk asupan rohani kita dan sebagai internalisasi risalah Allah ke dalam jiwa kita. Semoga pahala mengalir untuk Syekh Ibn ‘Arabi dan para pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini.  


Sunday, June 11, 2023

MONTE CRISTO

 


MONTE CRISTO

Karya Alexander Dumas

Penerbit KPG, Jakarta 2016

754 halaman

ISBN 978-602-424-116-2

 

Novel setebal 754 halaman ini berlatar belakang Negeri Perancis di tahun 1815 atau era Napoleon Bonaparte. Novel ini bercerita seorang anak muda bernama Edmond Dantes, seorang juru mudi  di Kapal Le Pharaon.  Dantes ini seorang yang jujur, cakap bekerja dan disukai oleh para awak kapal dan pemilik kapal yakni Morrel. Dia juga sangat hormat dan menyayangi ayahnya serta Mercedes kekasihnya.

Ketia kapal berlabuh di Marseille, Dantes segera menemui ayah dan kekasihnya. Mereka merancang pernikahan Dantes dengan Mercedes. Namun pernikahan tersebut batal ketika Dantes yang sedang di pelaminan ditangkap polisi, karena adanya fitnah dari Danglars, kepala tata usaha kapal Le Pharao yang iri dengan nasib baik Dantes. Danglars bersekongkol dengan Fernand, sepupu Mercedes yang diam-diam mencintai Mercedes dan Caderousse, tetangga Edmond yang suka mabuk dan serakah. Danglars dan kawan-kawan melaporkan Dantes ke polisi Pemerintahan Raja Louis XVIII dengan tuduhan Dantes merupakan pendukung Napoleon Bonaparte yang saat itu diasingkan di Pulau Elba.

Dantes kemudian diinterogasi oleh Jaksa de Villefort. Dantes yang lugu menceritakan apa adanya bahwa dia singgah di pulau Elba dan dititipi sebuah surat untuk disampaikan seseorang bernama ke Noirtier. Villefort terkejut karena Noirtier adalah ayahnya. Villefort kuatir ayahnya yang pendukung Napoleon akan bisa mengancam karirnya selaku Jaksa di pemerintahan Raja Louis. Ia kemudian meminta surat tersebut dan membakarnya. Selama hari-hari proses interogasi tersebut, Morrel pemilik kapal yang baik hati berusaha membantu membebaskan Dantes namun gagal.

Vilefort kuatir karirnya terancam bila Dantes buka mulut tentang Noirtier yang mendukung Napoleon. Akhirnya tanpa melalui proses pengadilan Villefort kemudian mengirimkan Dantes ke penjara Puri If yang terisolir dan terkenal kekejamannya. Selama di penjara, Dantes marah, dan hampir putus asa. Di ruang isolasi penjara bawah tanah, diam-diam Dantes berkenalan dengan Padri Faria yang dipenjara di ruang isolasi yang terpisah. Mereka menggali Lorong bawah tanah yang tersembunyi untuk bisa saling bertemu. Oleh para penjaga penjara, Padri Faria dianggap orang gila karena sering membicarakan tentang harta karun dari sebuah keluarga bangsawan yang nilainya sangat besar Padri Faria kemudian membocorkan rahasia harta karun kepada Dantes yang mempercayainya. Mereka kemudian menyiapkan rencana pelarian dari penjara, namun di malam hari Padri Faria keburu meninggal dunia karena penyakit kronis yang dideritanya. Oleh para sipir, Padri Faria kemudian ke dalam karung untuk dimakamkan keesokan harinya. Dantes mempunyai akal baaru untuk melarikan diri. Dia memindahkan mayat Padri Faria ke kamarnya dan diselimuti rapat sehingga sipir akan mengira Dantes sedang tidur. Dantes sendiri kemudian masuk ke dalam karung dan keesokan harinya para penjaga mengangkat karung mayat yang berisi Dantes ke tebing laut yang curam. Dantes yang sudah menyiapkan pisau dan peralatan secukupnya kemudian bisa meloloskan diri dari karung yang hampir tenggelam ke dasar laut dan menyelamatkan diri.

Tanpa terasa ternyata Dantes telah dipenjara selama 14 tahun (1815-1829). Dalam pelariannya dari penjara, Dantes dibantu oleh para pelaut penyelundup barang. Setelah kondisi aman, Dantes memulai petualangan menemukan harta karun di Pulau karang Monte Cristo. Dia mempunyai daya ingat kuat sehingga pesan-pesan yang disampaikan Padri Faria selalu diingatnya. Dia kemudian menemukan harta karun tersebut berupa emas batangan, intan, permata, berlian dan lain-lain. Dengan kekayaan tersebut, dia merencanakan untuk membalas dendam terhadap para pihak yang telah menghancurkan hidupnya.

Dengan menyamar sebagai Padri Bussoni, dia kemudian mendatangi Caderousse yang kemudian bercerita bahwa ayah Dantes meninggal karena kelaparan. Hatinya makin hancur ketika mendengar Mercedes akhirnya dinikahi oleh Fernand sepupunya. Dia juga mendengar bahwa Danglars sudah menjadi bankir kaya dan Fernand menjadi jenderal tentara.  

Di tengah dendam yang menyala, dia mendengar perusahaan Morrel  nyaris bangkrut karena kapal-kapalnya tenggelam dan perusahaan terlilit hutang yang besar. Morrel nyaris bunuh diri karena putus asa, tapi Dantes yang menyamar jadi Sinbad Pelaut berhasil mencegahnya. Dantes secara sembunyi-sembunyi membayar semua hutang Morrel dan memberikan sebuah kapal Le Pharao sebagai pengganti Le Pharao yang telah tenggelam. Dantes rela berkorban banyak untuk Morrel karena Dantes merasa banyak berhutang budi kepada Morrel. Morrel dulu begitu mempercayainya dan akan mengangkatnya jadi nakhoda, Morrel lah  yang menyokong biaya pernikahannya yang akhirnya batal. Morrel pulalah yang berusaha membebaskan dia dari polisi dan penjara. Termasuk ketika Dantes dipenjara, Morrel pula yang menyokong kehidupan ayah Dante sampai meninggal dunia. Atas bantuan Dantes, akhirnya perusahaan Morrel bisa bangkit kembali.

Dalam kehidupan sosialnya, Dantes kemudian menyamar menjadi bangsawan bergelar Comte Monte Cristo. Dalam membalas dendam kepada Fernand yang sudah menjadi bangsawan Comte de Mocerf dan mempunyai kedudukan sebagai anggota parlemen, Monte Cristo dengan menggunakan tangan ketiga, berhasil membuka kedok sifat pengecut de Mocerf yang seringkali berkhianat di peperangan. Hal ini mengagetkan banyak orang karena selama ini de Mocerf sering dianggap pahlawan. De Mocerf akhirnya malu dan putus asa. Albert, anak dari pernikahan de Mocerf dan Mercedes, mau menuntut balas kepada Monte Cristo namun berhasil disadarkan oleh ibunya. Demikian pula Monte Cristo yang sempat marah kepada Albert, luluh hatinya oleh bujukan Mercedes. Pada saat itu, Monte Cristo tahu bahwa selama ini Mercedes selalu menantinya dan mencintainya. De Mocerf akhirnya gila, sedangkan Mercedes dan Albert kemudian menghibahkan semua hartanya untuk rumah sakit. Ibu dan anak tersebut akhirnya memulai petualangan baru dengan pindah kota dan hidup penuh kesederhanaan,

Monte Cristo sebenarnya sudah memaafkan kesalahan Caderousse di waktu lalu, bahkan memberikan modal harta untuk hidupnya. Namun keserakahan Caderousse telah membuatnya gelap mata sehingga berkomplot dengan Benedetto --seorang residivis -- berniat mencuri di rumah Monte Cristo. Namun Benedetto malah membunuh Caderousse ketika Caderousse gagal mencuri dan bermaksud melarikan diri. Benedetto melakukan hal itu untuk menghilangkan jejaknya berkomplot dengan Caderousse.

Balas dendam kepada keluarga Danglars dilakukan dengan cara membuka aib calon menantu Danglars yang ternyata merupakan pelarian penjara. Calon menantu Danglars yang berjuluk pangeran Calvananti ternyata bernama asli Benedetto dan buronan kabur dari penjara. Putri Danglars yang sebenarnya tidak setuju dijodohkan dengan Pangeran Calvananti, merasa senang karena batal nikah tapi juga sekaligus malu. Putri Danglars akhirnya kabur dari rumah dan berpetualang dengan temannya, untuk meneruskan cita-citanya menjadi seorang artis. Danglars yang kaya raya akhirnya jatuh bangkrut dan keluarganya berantakan.

Dalam keluarga Villefort, Valentine putri Villefort akan mewarisi harta yang sangat besar. Hal ini membuat ibu tirinya iri dan berusaha membunuh Valentine. Untunglah Monte Cristo bekerjasama dengan Noirtier (ayah Villefort) dan Maximilian (anak Morrel yang menjadi kekasih Valentine) berhasil menyelamatkan Valentine.  Villefort yang selama ini merupakan jaksa yang ditakuti, berhasil ditelanjangi oleh Monte Cristo melalui pengakuan Benedetto di dalam siding pengadilan. Jaksa Villeefort yang bertugas di persidangan malah dipermalukan oleh adanya pengakuan Benedetto yang bercerita bahwa dia adalah “anak” Villefort dari istri pertama dan mau dibunuh ketika masih bayi.  Villefort yang tidak bisa berkelit akhirnya pulang ke rumah dan menjumpai istri dan anak dari istri kedua telah meninggal karena meminum racun. Tidak kuat menanggung malu dan jiwanya yang tertekan, Villefort akhirnya menjadi gila.

Di akhir cerita, Monte Cristo tersadar bahwa mungkin dia telah bertindak berlebihan dan seolah-olah menjadi wakil Tuhan. Dia kemudian berusaha menebusnya dengan berbuat baik ke sekelilingnya. Dia berikan sebagian harta kepada anak-anak Morrel yakni Maximilian dan Julia. Maximillian akhirnya menikahi Valentine pujaan hatinya. Rumah warisan ayah Edmond Dantes akhirnya diberikan kepada Mercedes yang dulu dengan penuh ketekunan merawat ayah Edmond di hari-hari akhirnya. Monte Cristo sendiri, ingin menghapus kenangan kelam masa lalu dengan berlayar ke pulau baru bersama Heyde, seorang budak belian jelita putri bangsawan Yunani…

Menurut saya, novel ini merupakan salah satu novel terbagus yang pernah saya baca karena banyak pesan moral didalamnya. Dari sisi alur cerita, mengalir  namun penuh kejutan. Penterjemahannya juga sangat bagus sehingga rasanya pengen ngebut terus untuk bisa segera tuntas baca novel ini….

 


Saturday, June 03, 2023

SEKA SENGKETA: Pergulatan Pengalaman Resolusi Konflik


 

SEKA SENGKETA: Pergulatan Pengalaman Resolusi Konflik

Indonesian Business Council for Sustainable Development (IBCSD)

Jakarta, 2020

ISBN 978-623-91659-2-5

336 halaman


Buku ini ditulis oleh Tim Penulis dari Conflict Resolution Unit/CRU – IBCSD yang terdiri Agus Mulyana, Ambrosius Ruwindrijarto, Arief Wicaksono dan Ilya Moeliono. Para penulis tersebut merupakan aktivis berpengalaman di dunia Organisasi Masyarakat Sipil khususnya dalam penerapan pendekatan partisipatif. CRU-IBCSD sendiri merupakan sebuah unit yang diinisiasi oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) untuk menangani konflik dunia usaha khususnya konflik lahan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pembentukan CRU IBCSD ini dilandasi keprihatinan dengan semakin merebaknya konlik lahan dan pengelolaan SDA di Indonesia. Meningkatnya nilai ekonomis lahan, peraturan yang tumpang tindih, tidak transparansinya proses perijinan dan tata ruang dan banyak factor lainnya menjadi penyebab banyaknya konflik lahan tersebut. Di sisi lain, konflik-konflik tersebut tidak segera teratasi karena ketiadaan lembaga mediasi konflik yang handal dan bisa diterima para pihak di tingkat local. 

Buku ini memuat pengalaman penanganan kasus konflik dibeberapa daerah yakni:

  1. Penanganan kasus konflik lahan Suku Besar Yerisiam Gua di Kampung  Sima, Kabupaten Nabire, Papua vs perusahaan perkebunan sawit PT Nabire Baru.
  2. Penanganan kasus konflik masyarakat Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi (yang didalamnya ada Suku Anak Dalam dan pendatang) vs pemegang ijin restorasi ekosistem PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI).
  3. Penanganan kasus konflik masyarakat Suku Anak Dalam di Desa Muara Kilis, kabupaten Tebo, Jambi  vs pemegang ijin HTI PT Wirakarya Sakti (WKS) 
  4. Penanganan kasus konflik batas Desa di Kabupaten Kapuas Hulu oleh Desk Resolusi Konflik Kabupaten Kapuas Hulu
  5. Penanganan kasus konflik masyarakat Desa Sambik Elen dan Desa Baturakit, Kab. Lombok Utara, NTB vs pemegang Ijin HTI PT Sadhana Arifnusa (SAN)
  6. Penanganan kasus konflik antar Kelompok Tani Hutan di desa Sitiarjo dan desa Tambakrejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
  7. Pencegahan konflik melalui penerapan Free, Prior, Inform and Consent (FPIC)  dan kolaborasi program pemberdayaan masyarakat oleh pemegang ijin restorasi ekosistem PT Rimba Makmur Utama (PT RMU) dengan masyarakat beberapa desa di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
  8. Penanganan kasus konflik antara masyarakat transmigrant di beberapa kecamatan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara vs perusahaan sawit PT Damai Jaya Lestari (DJL) 


Dalam penanganan kasus konflik, secara umum CRU melakukan pendekatan sebagai berikut:

1. Pra Mediasi

a) Kunjungan awal ke para pihak untuk trust building dan membangun kerjasama dengan para pemangku kepentingan.

b) Kajian konflik untuk mengidentifikasi pokok konflik, isu-isu dari pemangku kepentingan,, scenario penanganan konflik, uji kelayakan mediasi dll.

c) Mendokumentasikan hasil kajian dalam sebuah Dokumen

d) Menyiapkan pihak yang bersengketa sebelum memasuki tahap perundingan midal menyiapkan tim perunding, penandatanganan Dokumen penting,  seperti persetujuan mediasi, surat pernyataan permintaan pendampingan mediasi, nota kesepakatan para pihak untuk menempuh mediasi.

e) Menyiapkan rancangan proses perundingan/dialog, strategi fasilitasi, menetapkan aturan dasar perundingan, draft naskah kesepahaman memulai perundingan, simulasi fasilitasi dialog, dan pembagian peran tim mediator. 


2. Perundingan

a) Penyepakatan naskah kesepahaman memulai perundingan

b) Penyepakatan aturan dasar perundingan

c) Penjelasan proses dan tujuan perundingan oleh mediator

d) Presentasi tentang usulan dan jalan keluar dari masing-masing pihak

e) Dialog internal oleh masing-masing tim perunding  untuk menyiapkan tanggapan dan keputusan

f) Dialog antar tim perunding

g) Penandatanganan kesepakatan mediasi yakni (1) kesepakatan mengakhiri konflik dan (2) kesepakatan Kerjasama dalam pengelolaan lahan dan SDA


3. Paska Perundingan

a) Monitoring dan evaluasi  butir-butir kesepakatan 


Beberapa catatan penting hasil refleksi terhadap pengalaman Tim CRU dalam penanganan konflik antara lain sebagai berikut:

1. Sebagian orang sering alergi terhadap istilah “konflik” atau sengketa karena sering disalah maknai konfrontatif dan mengandung unsur kekerasan.
2. Sebagian prasyarat perundingan perlu diciptakan. Dalam penanganan kasus konflik, perlu dilakukan penapisan dengan 14 variable untuk melihat sebuah kasus layak ditangani atau tidak, agar tidak terjadi pemborosan sumberdaya. Adanya kejelasan pihak yang bersengketa, kesediaan berunding, kesediaan dukungan pihak berwenang, sumber dan jenis informasi memadai dll merupakan prasyarat agar mediasi dianggap layak. Namun kenyataannya, prasyarat tersebut belum  tentu tersedia sehingga Tim CRU terkadang harus melakukan pendampingan kepada pihak yang bersengketa agar prasyarat tersebut tercipta.
3. Persetujuan dan Kesukarelaan dari pihak yang bersengketa untuk dimediasi oleh CRU, sangat esensial
4. Dalam proses mediasi, mediator terkadang harus “mendidik” para pihak untuk memahami tahapan proses mediasi, prinsip-prinsip mediasi, memahami cara nalar pihak lain, manfaat jangka panjang mediasi, mendidik untuk bersikap sabar dan lain-lain.
5. Tahapan proses bertumpang tindih dan berkesinambungan. Berbagai proses kajian terkadang perlu dilakukan ulang untuk menjawab kebutuhan informasi yang terus berkembang.
6. Pengkajian sengketa lebih dari separuh pekerjaan. Kajian perlu intensif dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat, valid dan memadai. Selain itu kajian ini perlu dilakukan sebagai ajang membangun penyadaran dan pemahaman para pihak tentang pokok sengketa. Kajian ini sekaligus juga untuk menyiapkan prasyarat-prasyarat  perundingan seperti yang dimaksud dalam pojn 2 di atas. Dalam melakukan kajian, pendekatan partisipatif sangat efektif. Hal yang perlu dicermati dalam kajian ini adalah kompleksitas dan cakupan kajian, ketajaman menemukan sengketa yang riil,  dan pelaporan yang cermat dan lengkap.
7. Tim Pengkaji dan mediator sebaiknya tidak dipisahkan karena mediator akan lebih mudah memandu proses mediasi ketika dia juga memahami situasi-situasi dan informasi para pihak secara mendalam. 
8. Dalam sebuah proses mediasi, Mediator Pemagang bisa dilibatkan sebagai co mediator, sebagai anggota tim kajian, dan atau   supporting unit (organizers). Proses pelibatan mediator pemagang ini sangat baik sebagai proses belajar dalam penanganan kasus secara langsung. Program magang untuk Mediator ini sangat strategis untuk memperbanyak local champions di bidang mediasi.
9. Pelibatan mitra lembaga local sebagai penyelenggara, akan sangat bagus sebagai strategi pengembangan kapasitas dan jejaring pengembangan mediasi. Meski demikian lembaga local ini perlu diseleksi agar bisa didapatkan lembaga local yang layak untuk diajak Kerjasama.
10. Pemberdayaan para pihak untuk mengatasi ketimpangan kekuatan termasuk dengan mendorong para pihak untuk bersikap positif terhadap pandangan, usulan dan masukan pihak lainnya.
11. Institusi pemerintah bisa dilibatkan dan berperan dalam pengelolaan sengketa misalnya sebagai tuan rumah (convenor), pihak yang bersengketa, pengamat dan mediator. Selama ini peran instansi pemerintah sebagai pihak yang bersengketa dalam proses mediasi masih terbatas. Perlu kehati-hatian ketika instansi pemerintah menjadi mediator, karena seringkali mudah terpeleset dalam ketidak netralan.
12. Konteks local mempengaruhi, bahkan mungkin menentukan. Situasi keamanan, politik local, konflik kepentingan pemerintah/oknum, penunggang liar, kekompakan internal akan mempengaruhi proses mediasi. 
13. Adanya gangguan dari orang di luar pihak yang bersengketa yang terganggu kepentingannya karena adanya proses mediasi.
14. Sejauh mana lembaga mediator selesai tugasnya? Apakah setelah ada kesepakatan para pihak? atau setelah ada implementasi tindak lanjut kesepakatan? Hal ini perlu dipertimbangkan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki.
15. Mengelola “proyek” mediasi, cukup rumit karena cakupan kegiatan antara satu kasus dengan kasus lain berbeda-beda, kompleksitas, proses yang tidak linear, kriteria keberhasilan yang tidak pasti, dll yang mengakibatkan sulitnya menentukan standar biaya. 
16. Orientasi profit dan pandangan SDA sebagai sumber ekonomi semata, membuat perusahaan seringkali mengutamakan pendekatan legalistic, keamanan dan bahkan uang untuk menyelesaikan persoalan mereka. Di sisi internal, orang-orang lapang perusahaan tidak memiliki otoritas mengambil keputusan, sedangkan level pengambil keputusan sering tidak memahami situasi lapangan. Oleh karenanya konsolidasi tim perusahaan perlu dilakukan termasuk mengidentifikasi usulan yang bisa ditawarkan ke masyarakat missal CSR.
17. Mediator harus memegang teguh Kompas Moral yakni kaidah umum mediasi seperti netral, tidak diskriminasi, kesukarelaan para pihak, menjaga kepercayaan dan rahasia. Mediator juga harus mampu menjadi mediator aktivis yakni mediator yang bertanggungjawab untuk memandu proses agar menghasilkan solusi terbaik bagi para pihak.
18. Mencegah konflik adalah lebih efisien dari pada mengatasi konflik.
19. Dimensi gender perlu diperhatikan dalam pengelolaan konflik karena proses penyepakatan yang efektif perlu mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan SDA tersebut (missal perempuan). Minimnya mediator perempuan juga menjadi tantangan dalam melakukan kajian dan fasilitasi mediasi yang target groupnya perempuan, karena di banyak masyarakat terdapat masyarakat yang sangat menjaga diri terhadap orang luar yang lawan jenis.

Saya pikir buku ini sangat bagus sebagai sebuah sumbangan pemikiran dan pengalaman dalam mengatasi konflik tenurial dan sumberdaya alam. Secara umum buku ini mudah dicerna karena kasus-kasus yang ada disampaikan dengan cara bertutur (story telling) secara runtut. Kritik dari saya adalah pilihan font yang agak kecil dan tipis sehingga seringkali sedikit sulit dibaca untuk orang yang sudah tua seperti saya… 😊