Monday, December 31, 2007

Culture shock

Istriku dibesarkan di daerah kota kecil Bumiayu - Brebes. Di keluarganya mereka memasak memakai kompor minyak dan kompor gas. Hal ini berbeda dengan di rumahku yang berada di pelosok kabupaten Magelang yang ketika memasak masih memakai tungku (luweng) kayu bakar.

Di suatu hari ketika kami masih pengantin baru, dia menginap di rumahku yang ndeso itu sementara aku sudah mulai kerja kembali di jakarta. Pagi-pagi ibuku sudah pergi ke sawah dan dia menitip pesan agar istriku menanak nasi dan masak sayur untuk makan siang. (Di daerahku ini orang jarang sarapan pagi). Karena ingin menunjukkan bahwa dia merupakan seorang menantu yang baik, istriku kemudian berusaha memasak memakai kayu bakar. Karena dia tidak biasa menggunakan tungku maka kayu-kayu yang ada dijejalkan ke mulut tungku kemudian di siram minyak tanah dan dibakar. Tapi apa daya... karena kayunya terlalu penuh maka apinya nggak mau membakar kayu di tungku itu walau istriku sudah menghabiskan sisa persediaan minyak tanah termasuk sisa minyak yang ada di lampu dapur....

Sambil keringat bercucuran karena "kondite" atau performance sebagai menantu yang baik dipertaruhkan dalam acara masak itu, dia kemudian cari kertas koran bekas yang tidak terpakai. Tapi walaupun persediaan koran sudah habis, apinya nggak membakar kayu tersebut.... Dia sudah tiup apinya berluang-ulang, tapi tetap nggak menyala jua...

Istriku makin frustasi dan akhirnya menangis.... Untunglah pada saat itu kakakku yang kerja ngantor pulang kerja lebih awal dan melihat Dewi menangis, dia bertanya ke istriku kenapa menangis... akhirnya sambil senyum-senyum malu istriku cerita sama kakakku bahwa dia nggak bisa bikin api di tungku... kakakku ngakak dengan keluhan istriku dan kemudian dia membantu bikin api dan berhasil..... Akhirnya istriku berhasil menunaikan tugasnya untuk masak di hari itu dan dia lulus ujian dari ibuku sebagai seorang istri yang baik he..he...he... Meski demikian kejadian lucu istriku yang menangis karena nggak bisa bikin api di tungku terdengar juga oleh ibu bapakku...dan ibu bapakku malah ketawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu.... Sampai sekarangpun beliau masih ingat kejadian-kejadian itu dan seringkali bernostalgia mengungkap kejadian-kejadian lucu itu....

Misunderstanding

Istriku yang dilahirkan di Brebes biasa menggunakan bahasa Jawa untuk percakapan sehari-hari. Meski demikian dia awal mulanya agak sungkan berbicara dengan ibu bapakku karena istriku tidak terlalu lancar berbahasa Jawa halus (kromo inggil). Sehingga sewaktu aku baru menikah dia hanya bicara "nggih" (ya) atau "mboten" (tidak)..persis kayak wawancara dengan kuesioner tertutup..he..he...

Pada suatu saat ketika kami tinggal di rumah ibuku, ibu sedang menanak nasi . Tapi karena ada keperluan panen maka beliau harus segera pergi sawah. Ibu menitip pesan agar istriku nanti menanak nasi yang sudah setengah matang dan saat itu sedang didinginkan. Saat itu istriku hanya bilang "inggih, bu". Setelah beberapa lama istriku hendak menanak nasi, tapi dia cari nasi setengah matang itu nggak ketemu. Akhirnya dia nemu kelapa parut dalam panci... Istriku berpikir jangan-jangan ibu mau bikin kue dan tadi menyuruh dia untuk menanak kelapa tersebut. Tanpa pikir panjang kelapa parut tadi dituang dalam kukusan (kerucut) kemudian ditanak di dandang.

Setelah satu jam, ibuku pulang dari sawah dan melihat dandang masih di atas tungku. Beliau berpikir istriku sudah menanak nasi tapi belum dituang ke bakul. Maka ibuku mengambil bakul dan akan menanak nasi tersebut....Alangkah terkejutnya beliau ketika melihat kelapa parut dalam kukusan itu. Istriku yang menyadari kedatangan ibuku kemudian menyusul ke dapur... Di sana kemudian meledaklah tawa ibu dan bapakku sambil berkata: "Oalah...Dewi, ini ampas kelapa parut kok kamu tanak...ini kan untuk kasih makan ayam". Melihat komentar ibuku istriku mukanya merah padam malu bercampur geli.....Bapakku yang melihat kejadian itu tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya... Gara-gara malu bertanya akhirnya ampas kelapa ditanak jua he..he...

Monday, December 17, 2007

Istriku yang pekerja keras

Dewi Setiawati, itu nama istriku. Dia lahir tahun 1972 dan menikah denganku di usia 23 tahun. Setahun kemudian lahirlah buah hati kami yang kami beri nama Dudi. Istriku rajin membersihkan rumah, mencuci baju, menyeterika, mengepel lantai dan segala urusan rumah tangga beres ditangannya. Dia juga rajin antar jemput si Dudi ke sekoilah dan kursus. Tak lupa dia juga selalu siap sedia melayani kebutuhanku. Walau kalau lagi kumat manjanya, dia malas masak dan malah minta aku yang masak bikin indomie. Kata istriku dan anakku, indomie buatanku memang mak nyuuuusssss.. nggak kalah rasanya sama mie kuah Mie Jogja-nya Pak Karso.
Ibuku memang wong ndeso, beliau punya indikator yang ndeso pula untuk menilai sesamanya. Seorang istri yang baik adalah istri yang trampil di dapur serta mampu membereskan urusan rumah tangga, itu katanya. Melihat segenap kerja keras istriku, ibuku jadi sangat sayang sama istriku. Saudara-saudaraku menyebutnya "menantu kesayangan". Istriku tidak hanya rajin di rumahku...kalo pas tinggal di rumah ibuku, di rumah mertuaku atau di rumah mbak Tatik kakakku, dia juga rajin beres-beres rumah...
Istriku seorang ibu rumah tangga yang luar biasa. Dulu waktu gadis pernah bekerja di BKIA atau poliklinik sebagai asisten perawat. Tapi semenjak menikah denganku, dia kuminta untuk fokus ngurus rumah. Aku kuatir kalo istriku juga kerja nanti anak dan keluarga nggak terurus... Alhamdulillah istriku setuju dengan ideku....
Istri yang rajin dan pekerja keras mrupakan suatu karunia bagiku. Dia rela mengorbankan segenap kepentingan pribadinya demi keluarga.....Walau terkadang ada hal-hal yang kurang sempurna, tapi kusadari itu merupakan fitrahnya sebagai manusia...
Istriku, I love you......