Wednesday, July 23, 2008

Menanti Tukang Sol Sepatu

Jaman aku kecil, sewaktu SD ketika bersekolah aku biasa "nyeker" alias tidak pake sepatu karena sekolahanku ndeso banget. Bahkan di SMP-pun beberapa kali aku terpaksa nyeker karena sepatu jebol dan orangtuaku belum punya rejeki untuk membelikan sepatu baru untukku.

Karena tuntutan jaman, anakku kini sejak TK bersekolah dengan memakai sepatu. Mungkin karena banyak gerak, dia agak boros sepatu. Sepatunya cepat jebol... Sudah tiga bulan dua pasang sepatu kets (olahraga) anakku jebol. Kami menunggu tukang sol sepatu yang sering lewat depan rumah kami, tapi si tukang sol sepatu tiada kunjung datang. Aku coba berkeliling di daerah Air Hitam dan Air Putih sambil membawa sepatu jebol itu, tapi tiada kunjung sua dengan tukang sol sepatu yang didamba itu.

Aku berpikir mungkin tukang sepatu saat liburan sekolah juga ikut liburan,
karena konon mereka banyak yang berasal dari daerah Sunda (Jawa Barat),
namun aku juga berpikir bahwa tukang sol sepatu mungkin sudah berkurang,
karena mereka sudah dapat pekerjaan lain yang lebih menjanjikan,
alhamdulillah kalau begitu....
Namun aku juga berpikir bahwa jumlah tukang sol sepatu berkurang,
karena mereka terdesak oleh peradaban yang semakin konsumtif,
daripada reparasi sepatu jebol,
orang memilih membeli sepatu baru...
Pasar tradisional yang sering jadi tempat mangkal tukang sol sepatu,
semakin terdesak oleh hadirnya mall dan pertokoan modern,
terdesak oleh budaya konsumerisme global..
sanggupkah si tukang sol sepatu menghadapi semua itu????

Kaum cacat = warganegara kelas dua?

Tanggal 22 Juli 2008, kulihat banyak orang di kantor gubernur Kaltim dengan memakai kostum olahraga. Semula kukira orang demonstrasi, ternyata kata orang, mereka sedang menghadiri sebuah acara pertemuan Pekan Olahraga Kaum Cacat. Beberapa diantara peserta yang hadir menggunakan kursi roda atau kruk penyangga.
Aku trenyuh melihat kondisi tersebut. Alangkah bedanya gaung PON dibanding gaung untuk PON-nya kaum cacat. Gaung PON terasa kuat bahkan uang trilyunan rupiah digelontorkan untuk mensukseskannya, tapi untuk PON kaum cacat beritanya di media massa minim amat... Kondisi tersebut secara tidak langsung semakin memperkuat tudingan bahwa kebijakan dan opini umum yang mendudukkan mereka memang hanya warganegara kelas dua...
Apakah mereka yang meraih medali emas juga akan dapat bonus 150 juta?
apakah dalam hal ini juga akan ada diskriminasi dari atlet normal?
alangkah tidak adil bila ada diskriminasi,
mereka cacat bukan karena kehendak mereka,
mereka cacat karena takdir Illahi,
mereka tidak perlu dikasihani,
tapi mereka perlu dihargai,
karena mereka adalah juga anak bangsa,
karena mereka juga adalah karya Sang Maha Pencipta,
alangkah terpinggirnya masyarakat cacat ini,
di jalan, di kendaraan, di toko, di mall, di sekolah, di tempat kerja dll,
minim kebijakan yang memperhatikan kebutuhan kaum cacat ini,
Kita seringkali masih meminggirkan kaum yang cacat fisik,
di sisi lain kita masih banyak yang suka menjilat pada pejabat yang cacat moral,
Padahal kita tahu cacat moral jauh lebih berbahaya daripada cacat fisik,
Kita selama ini lebih cenderung melihat kulit daripada isi,
melihat fisik daripada hati....

Monday, July 21, 2008

Tembang ndeso yang penuh isi

Waktu kecil, aku sering ditimang atau dikeloni sambil ditepuk-tepuk pantat kecilku oleh bapakku yang wong ndeso itu. Sambil ngeloni aku bapak sering nembang atau uro-uro tembang Jawa. Setelah aku dewasa, aku baru memahami makna dari tembang tersebut sebenarnya sangat luhur karena disamping berisi nyanyian penghantar tidur, tembang tersebut berisi doa-doa dan harapan. Hal ini berbeda jauh dengan lagu-lagu pengantar tidur yang miskin isi seperti "lagu cicak-cicak di dinding". Lagu tembang opengantar tidur inilah yang kemudian sering kusenandungkan dengan sepenuh jiwa ketika menimang atau menina bobokan anaku si Dudi.
Syair Jawa:
Tak lelo-lelo lelo ledhung,
cup meneng anakku sing bagus,
yen nangis ndak ilang baguse,
tak gadhang iso urip mulyo,
dadiyo prio sing utomo.
ngluhurke asmane wong tuo,
dadiyo pendekaring bangsa.
Wis cup menengo anakku,
kae bulane ndadari,
koyo buto nggegilani,
lagi nggoleki cah nangis,
Tak lelo-lelo lelo ledhung,
cup meneng ojo pijer nangis,
tak emban nganggo jarit kawung,
yen nangis mundhak bapak bingung.
Terjemahan Indonesia:
Nang inang, anakku sayang
cup diamlah anakku yang tampan,
Kalo menangis terus ketampananmu akan hilang,
Kuharap kamu nanti bisa hidup mulia,
Jadilah pria yang utama,
Menjunjung baik nama orang tua,
Jadilah pendekar bangsa.
Cup diamlah wahai anakku,
lihatlah bulan sedang purnama,
seperti raksasa yang menakutkan,
lagi mencari anak yang sedang menangis.
Nang inang anakku sayang,
cup diamlah jangan menangis terus,
bapak gendong pake kain kawung,
kalo menangis terus nanti bapak jadi bingung....

Anakku dan kisah sepotong martabak

Sejak kami tinggal dan kerja di Jakarta, istriku yang pintar masak terbiasa membuatkan bekal makanan untukku setiap hari. Selain makanan bikinan sendiri lebih higienis dan bergizi, alasan penghematan keuangan keluarga juga menjadi alasannya. Kebiasaan ini kemudian juga dijalankan ketika anakku Dudi sekolah TK, istriku membiasakan si Dudi membawa bekal makanan ke sekolah.

Sejak sekolah di SMPN 1 Samarinda, istriku biasa mengantar makan siang untuk anakku. Kemarin istriku cerita bahwa saat menjemput Dudi pulang sekolah, istriku ketemu teman lama yakni Mama Ikun yang juga sedang menunggui anaknya sekolah di SMPN 1 tersebut. Dudi dan Ikun dulu teman akrab satu kelas di SDN Loa Bakung. Sambil ngobrol dengan Mama Ikun, istriku yang merasa lapar melihat bahwa di kotak makanan anakku masih tersisa dua potong martabak mie (telur dadar yang dikasih bakmi indomie). Istriku berpikir tumben si Dudi kok makannya sedikit banget, karena biasanya dia makan banyak dan jarang bekalnya tersisa. Tanpa pikir panjang istriku kemudian mencomot makanan itu sepotong untuk diberikan kepada Mama Ikun dan satu potong lagi dimakan sendiri untuk mengisi perutnya yang kelaparan. Walau hanya sisa bekal makanan pagi, martabak tersebut masih terasa enak apalagi untuk perut yang sedang lapar.

Setelah Dudi keluar dari ruang kelas, Dudi mencari mamanya dan mengajak untuk pulang. Sambil menuju tempat parkir motor, Dudi bertanya: “Ma, martabak yang dua potong di kotak makananku mana ma?. Mamanya menjawab; “Karena mama pikir kamu sudah kenyang, martabak sisa tadi sudah mama makan bersama dengan mama Ikun”. Dudi menjawab: “ Hah dimakan? Martabak tersebut tadi tidak kumakan karena sudah jatuh di tanah dan kotor. Karena tidak ada tong sampah makanya martabak yang jatuh kutaruh kembali di kotak makanan yang sudah kosong”. Mendengar jawaban Dudi, istriku ngomel-ngomel: “Dasar jahil…makanan kotor kok ditaruh di kotak makanan. Awas kalo mama besok diare kamu harus tanggung jawab…” Si Dudi malah makin gembira dengan omelan mamanya: “ah mama, gimana ma rasanya makan martabak yang sudah jatuh? Tambah lezat kan ma? He..he…he….”

Perjalanan waktu anakku

Dudi, anak semata wayangku akan menginjak usia 12 tahun bulan sepetember 2008 ini. Perjalanan waktu yang begitu cepat, karena aku dan istriku terkadang merasa baru kemarin dia lahir dan berada di timangan kasih sayang kami. Apalagi si Dudi perilakunya penuh kemanjaan dan cenderung agak lamban (seperti “putri solo” kata istriku), itu membuat kami sering menganggapnya masih kanak-kanak.

Waktu yang bergulir begitu cepat terkadang kami sebagai orangtua kurang bisa mengikuti perjalanan sang waktu.. Terkadang kami masih terlalu banyak campur dan overprotective dalam soal makan, soal berpakaian, soal menata dirinya sendiri dll. Mamanya Dudi yang memang sangat menyayangi anak semata wayangnya terkadang gagap, lupa dan masih memperlakukan Dudi seperti anak kecil. Seperti waktu Mamanya memberi perintah: “Dud, habis mandi kamu siapin baju seragam putih biru, kaos kaki putih dll”. Dudi sendiri yang akhirnya protes; ”Ma aku sudah SMP, aku sudah tahu itu…..”. Mendengar jawaban itu, Mamanya Dudi hanya bisa tersenyum malu dan menggumam padaku:” Pa, anak kita sudah besar ya… tapi kita sering memperlakukan dia seperti anak-anak ya…”. Memang nggak mudah untuk bisa mengikuti alur perjalanan sang waktu ……..

Thursday, July 17, 2008

Maskulinisme di Perencanaan dan LSM

Dari pelatihan Fasilitator Penyusunan RPJM Desa di Kutai Timur tanggal 7-11 Juli 2008, ada banyak kasus dimana pemerintah dan masyarakat mampu membangun sesuatu (misal gedung) tapi jarang berpikir tentang bagaimana memelihara dan memfungsikan secara optimal. Dari analisis saya terhadap aktor perencana, saya mempunyai hipotesis bahwa kondisi itu disebabkan bias maskulin oleh para perencana yang kecenderungannya berjenis kelamin laki-laki.
Asumsi saya yang melatarbelakangi hipotesis itu adalah:
1. Para perencana atau orang yang terlibat dalam perencanaan (di desa maupun di pemerintahan sekalipun) sebagian besar adalah laki-laki.
2. Laki-laki cenderung mau enaknya saja.... mau untuk membuat sesuatu tapi enggak mau repotnya.... misalnya rajin dan bersemangat untuk "bikin" anak tetapi enggan kalo disuruh menjalankan fungsi "merawat" anak. Urusan merawat anak cenderung dilempar ke istri.
3. Asumsi no "2" di atas dimana laki-laki suka enaknya saja juga terbawa dalam proses perencanaan, dimana secara bawah sadar laki-laki cenderung suka bangun ini dan itu tapi seringkali lupa untuk merawatnya.
Kondisi serupa juga terjadi di dunia LSM. Banyak aktivis (yang sebagian laki-laki) suka "menghamili" dan "membidani" lahirnya lembaga baru. Tapi jarang yang menjalankan fungsi "baby sitter" yang mau merawat lembaga baru itu bisa berjalan, bisa tumbuh kembang dengan baik hingga mandiri.
Oh laki-laki.....egois memang yah......he..he...he....

MASALAH DALAM PERENCANAAN

(Refleksi singkat untuk kasus perencanaan dan penganggaran di Kalimantan Timur)
Oleh Edy Marbyanto

1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
3. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
4. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
5. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.
7. Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar missal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai oleh tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
13. Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di Kaltim masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).

Tuesday, July 15, 2008

Aussie 6: Cincin Opal untuk istriku

Ketika di Australia dan jalan-jalan ke mall Queen Victoria Building, di situ banyak dipajang perhiasan yang menggunakan batu permata khas Australia yang biasa dinamakan batu "Opal". Batu opal ini merupakan batu yang warnanya seperti hologram. Sehingga kalo dilihat dari sudut pandang yang berbeda, akan menghasilkan kilau warna yang berbeda pula. Batu ini kalo di Indonesia hampir sama dengan batu akik "Kalimaya". Hanya saja batu opal, warnanya lebih cerah dan tajam. Seingatku warna yang mendominasi biasanya hijau atau biru yang berkilauan.
Melihat perhiasan itu, aku naksir berat. Terbayang senyum istriku seandainya aku bisa memberikan oleh-oleh perhiasan cincin opal itu. Sayangnya bayangan itu tinggal bayangan saja, karena harga cincin yang sederhanapun berada di atas 1000 dollar australia (6,5 juta rupiah). Sedangkan saat itu uang sakuku cekak alias minim banget (itupun sudah ngutang sama bossku he..he..he..). Semoga suatu saat aku bisa membelikan cincin opal yang indah itu untuk membahagiakan hati istriku....

Thursday, July 03, 2008

Sudah sakit masih diledek...

Si Dudi, anakku yang 12 tahun itu suka meledek mamanya. Seperti kemarin pada saat kepala istriku terantuk kran air di kamar mandi. Ledekannya:

Mama ini payah...
Kalau bersih-bersih rumah
kaki kesandhung kaki tempat tidur...

Kalau lagi masak,
air panas disiramkan ke kaki...

Kalau lagi nyuci baju,
kepala dibenturkan pada kran air...


Mendengar ledekan anakku, istriku cuma bisa meringis menahan sakit plus geli karena secara statistik apa yang diomongkan anakku itu benar adanya, yakni:

kejadian kaki bengkak karena nendang kaki tempat tidur memang sudah 3 kali terjadi
kejadian kaki kesiram air panas saat masak sudah 1 kali
kejadian kepala kejedhuk (kebentur) kran sudah terjadi 4-5 kali....

Ternyata seorang anak seringkali memperhatikan kejadian dan perilaku orangtua dan sekelilingnya ya.....

Wednesday, July 02, 2008

Aussie 5: Tukang Parkir dan Piknik Luar Negeri

Sewaktu saya menginap di hotel Crown Plaza Sydney, aku nggak bisa merokok dalam kamar karena saya diberi kamar yang berada di lantai yang "non smoking floor". Jadi kalo kepengin merokok harus turun di lobby di depan hotel.

Di lobby tersebut terdapat meja tugas tempat petugas velvet parking atau petugas hotel yang bertugas mengangkat kopor atau barang-barang bawaan para tamu. Saya sempat bincang-bincang dengan salah seorang petugas velvet parking. Dia cerita bahwa saat cuti tahunan tahun 2002 dia jalan-jalan ke Pulau Nias dan keliling beberapa daerah Sumatera. Dia saat itu juga sedang menabung karena di tahun 2003 dia merencanakan mau liburan ke Bali. Dia dan banyak orang Australi senang piknik ke Indonesia karena biaya penerbangan murah dan biaya hidupnya juga tidak mahal.

Mendengar ceritanya itu, aku hanya bisa tersenyum pahit: " Wah di Australia ini, seorang tukang parkir bisa piknik ke luar negeri. Sedang di negaraku, jangankan untuk piknik luar negeri, untuk makan secara layakpun masih banyak yang belum bisa memenuhi". Sampai kapankah bangsaku akan menanti saat gemah ripah loh jinawi?

Aussie 4: Nasi goreng dan souvenir

Selama di Australia, saya merasa tidak terlalu asing. Itu mungkin disebabkan di Australia banyak terdapat orang dari Asia seperti Cina dan India.

Di saat senggang konperensi, saya dan Bu Sulasih seringkali jalan-jalan ke taman dekat geung opera sydney yang bentuknya kayak "Keong Mas" di Ancol atau jalan ke mall untuk cari oleh-oleh. Australia sendiri kebanjiran banyak barang souvenir produksi Cina atau India. Untungnya bagi kita adalah, harga souvenir di Australia menjadi murah banget. Sebagai contoh gantungan kunci hanya sekitar 1 dollar Australia (RP. 6500), sedangkan di Jerman mencapai 3 Euro (35 ribuan rupiah). Dengan harga murah tersebut selama di Australia, kami bisa beli oleh-oleh untuk keluarga dan kawan-kawan walaupun yang dibeli gantungan kunci yang bergambarkan Jembatan Sydney tapi made in china he..he...

Saat ke Australia tahun 2003, gaung perang Irak masih agak rame, dan amerika dengan agresi-nya banyak dibenci orang. Sentimen anti amerikapun kujumpai saat beli souvenir sama seorang pedagang keturunan India. Dia nggak mau kubayar dengan dollar amerika, dan dia lebih suka dibayar pake Euro atau dollar Australia. "Saya nggak suka Amerika dan dollar amerika" katanya. Pantesan harga dollar amerika di Australia agak rendah...

Di mall dekat pelabuhan Sydney, saya menemukan counter yang dikelola orang Melayu Malaysia. Kami negosiasi dengan bahasa Melayu. Mungkin karena merasa satu rumpun ras, saya diberi diskon yang lumayan besar. Tapi dia bilang: " Ini saya diskon besar ya, tapi jangan omong-omong sama orang lain karena kalo boss saya yang pemilik toko ini tahu, saya bisa dimarahi."

Selama di Australia, saya juga sempat menikmati nasi goreng bikinan restoran cina. Nasi goreng ini mudah didapat dan sudah dikemas dalam plastik packing. Kalau bosan nasi goreng, saya dan bu sulasih makan indomi rebus atau pizza. Yah ternyata lumayan juga rasanya....dingin-dingin makan indomie rebus....wah nikmat nian....

Aussie 3: Boss yang baik hati....

Konperensi kebakaran yang penuh dengan presentasi para pakar maupun praktisi lapangan berlangsung selama 3 hari dan setiap harinya mulai jam 9 pagi sampai jam 4 sore.

Di suatu sore setelah acara presentasi, saya dan Bu Sulasih diajak Pak Helmut Dotzauer dan istrinya (ibu Doris) untuk jalan-jalan ke Mall Queen Victoria. Bangunan mall itu sangat indah dengan arsitektur klasik penuh ukiran, lantainya berupa mosaik porselin dengan ornamen indah dan jendelanya dibuat dengan kaca warna-warni yang sangat mempesona. Di mall itu Pak Helmut mentraktir kami minum kopi dan menikmati kue black forest. "Kami yang mengundang anda untuk jalan ke mall ini, maka kami yang mentraktir jajanan ini", kata Pak Helmut ketika aku mau membayar minuman dan makanan itu.

Dari mall kami berempat kemudian jalan-jalan ke Taman Botani yang agak dekat dengan mall itu sehingga bisa kami tempuh dengan jalan kaki. Di Taman itu Ibu Sulasih berbisik dengan penuh haru kepada saya; "Mas Edy, Pak Helmut itu bule tapi baik hati bener ya. Dia seorang boss tapi rendah hati dan mau mentraktir bawahan seperti kita. Kalau di Indonesia, mana ada boss mentraktir bawahan. Yang ada malah bawahan menyediakan upeti dan mentraktir boss".

Saya sendiri sangat setuju dengan pendapat ibu Sulasih. Pak Helmut memang seorang boss yang rendah hati, ramah, suka guyon, pintar diplomasi dengan pejabat namun tetap tegas dan beliau sangat perhatian dengan anak buah. Banyak karyawan yang diberi bea siswa untuk menempuh jenjang S1, S2 atau ikut training level nasional dan internasional. Beliau juga nggak segan-segan menaikkan gaji karyawan untuk karyawan berprestasi. Selama periode Pak Helmut, aku nggak pernah minta kenaikan gaji, karena tanpa kuminta beliaupun sudah menaikkan gajiku. Beliau juga memberikan kepercayaan kepada staf nasional seperti saya, dik Lenny, Mbak Yana dll untuk berkreasi dalam menjalankan tugas. Beliau hanya memberikan arah kebijakan program, dan implementasinya dipercayakan ke kami. Meski demikian beliau akan mudah turun tangan bila kami memerlukan dukungan misalnya saat lobby-lobby dengan para pejabat. Kami yang staf nasional GTZ merasa sangat berkembang dengan gaya kepemimpinan beliau.

Tahun 2004 proyek kami selesai dengan prestasi yang cukup bagus. Pak Helmutpun harus meninggalkan Indonesia untuk sebuah jabatan baru di Honduras (Amerika Tengah). Aku berpikir, tidak mudah cari pimpinan yang sebaik beliau. Perilaku kepemimpinan beliau menjadi inspirasi sumber pembelajaran bagiku. Selamat jalan Pak Helmut dan Bu Doris, you are my inspiration.....