Tuesday, November 21, 2023

ALAMPUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN



ALAMPUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN

Penulis: Mas Achmad Santosa

Penerbit as@-prima Pustaka,

Jakarta 2016

ISSBN 978-602-14145-7-6

318 halaman

 

Buku ini ditulis oleh Mas Achmad Santosa yang merupakan salah seorang pakar hukum lingkungan terkemuka di Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan tulisan beliau yang  didukung oleh co-author, yang mencakup beberapa topik  yakni:

1.   Greener Constitution

Topik ini menegaskan bahwa untuk mendukung Pembangunan berkelanjutan, dperlukan konstitusi dan perangkat hijau yang berpihak pada kelestarian lingkungan,  Penulis berpendapat bahwa komitmen konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945) terhadap Pembangunan Hijau termasuk  dalam kategori “sedang”.  Hal ini diindikasikan dengan adanya pengakuan hak-hak subyektif dan kewajiban negara untuk  melakukan upaya dini dan tepat sasaran. Meski demikian konstitusi yang ada belum memberikan pengakuan atas hak hukum untuk alam (the right for the nature) serta memberikan arahan paradigma pembangunan.  Oleh karenanya penulis berpendapat perlu adanya dukungan politik para pemangku kepentingan untuk  penguatan konstitusi dan regulasi serta arah pembangunan yang lebih memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.

 

2.   Illegal Fishing dan Perdagangan Manusia

Kegiatan Illegal Fishing selain dimaknai sebagai pencurian ikan lintas negara juga mencakup unreported fishing dan unregulated fishing (IUU fishing).  Kegiatan IUU fishing ini merupakan kejahatan  yang melanggar kedaulatan negara , mengakibatkan kerugian ssekitar 20 milyar dollar per tahun, mengancam terubu karang di Indonesia. Kejahatan tersebut juga berpengaruh terhadap pendapatan nelayan kecil karena  berkurangnya stok ikan. IUU fishing juga erkait dengan kejahatan keuangan (financial crimes) sseperti pencucian uang, korupsi dan penggelapan pajak. Baahkan IUU fishing ini juga banyak terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia karena banyak karyawan kapal ikan adalah korban perdagangan orang (trafficking in persons) dan praktik kerja paksa (forced Labour).

Untuk mengatasi IUU fishing, Pemerintah di tahun 2014 melakukan pembenahan regulasi, pembentujan Satgas Pencegahan dan Pemberantasan IUU fishing (lintas sektor) serta law enforcement melalui jalur administrasi, pidana maupun perdata. Salah satu langkah terkenal dalam penegakan hukum ini adalah penenggelaman kapal ikan asing yang melakukan pelanggaran.

Upaya pencegahan dan pemberantasan IUU fishing tersebut membawa hasil yang positif. Meski demikian   penanganan perkara IUU fishing menjumpai sejumlah kendala yakni: (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, (2) lemahnya pemerintah dalam 3A-- ability to detect, ability to respond dan ability to punish, (3) kelemahan penegak hukum dalam melakukan pendekatan multidoor – pendekatan berlapis dengan berbagai rezim peraturan perundangan, (4) integritas apparat penegak hukum yang rawan korupsi.

Untuk mengatasi kendala di atas, penulis memberikan rekomendasi antara lain: (1) pembentukan satgas penegak hukum bidang kejahatan perikanan, (2) penguatan Kerjasama internasional missal interpol, (3) perbaikan tata Kelola di bidang pengusahaan perikanan, (4) pemberdayaan komunitas nelayan agar bisa mengelola sumberdaya prikananb secara lestari.

 

3.   Potensi penegakan hukum administrasi  dalam perlindungan lingungan hidup

Tulisan ini merupakan ringkasan disertasi penulis dengan studi kasus di Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang tahun 2014.

Penegakan hukum administrasi  memiliki potensi kuat sebagai perangkat pencegahan sebelum terjadi pelanggaran yang serius dan berdampak negative terhadap kualitas lingkungan hidup. Potensi pencegahan ini dilakkan melalui pengawasan dan penjatuhan sanksi administrative yang bertujuan memperbaii kondisi ketidaktaatan. Secara finansial, biaya penegakan hukum administrasi (sekitar 10 juta rupiah per kasus)  lebih murah dibandingkan biaya penegakan hukum pidana atau perdata (sekitar 250 juta rupiah per kasus). Penegakan hukum administasi juga akan lebih hemat waktu karena eksekusinya tidak harus menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Beberapa jenis sanksi hukum administrasi tersebut mencakup persuasi,  surat peringatan, denda perdata/civil penalty, paksaan pemerintah , denda pidana/criminal penalty, pembekuan ijin, dan pencabutan ijin. Meski peenegakan hukum administrasi relative efisien namun dalam kenyataannya penegakan hukum administrasi dalam kasus pencemaran lingkungan masih belum optimal.

Dalam melakukan analisis peenegakan hukum administrasi penuis menggunakan pendekatan Analisis Kecukupan “3A+I” yang mencakup ability to detect, ability to respond, ability to punish dan ability to build perception that 3A condition exist yang dijabarkan dalam 31 indikator. Hasil analisis kecukupan 3A+I di Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang adalah ssbb:

  1. Pada tataran kebijakan nasional, hampir seluruh prasyarat normative  sudah diatur cukup lengkap meski terdapat beberapa lobang yakni belum tesedianya peraturan operasional berupa Peraturan Pemerintah untuk beberapa issu.  Terdapat iinisiatif Pemprov Jateng dan Pemkot Semarang untuk mengisi kekosongan tersebut dengan pembuatan Perda.
  2. Pendelegasian kewenangan dari Pimpinan Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) kepada pejabat Teknis (Kepala Badan LH) sebagai legitimasi hukum pendelegasian pengawasan dan penjatuhan sanksi administrasi baru dilaksanakan dii Pemprov Jateng dan Pemkot Semarang. Akibatnya Pemkab Semarang tidak pernah memberikan sanksi paksaan ke Perusahaan peencemar lingkungan.
  3. Tiga daerah yang diteliti tidak mempunyai anggaran yang memadai untuk menjalankan  fungsi pengawasan ecara rutin dan menyeluruh dan penyediaan sarana pendukung (misal labortorium). Untuk Pemprov Jateng kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp. 7,7 milyar namun yang tersedia hanya Rp. 531 juta. Untuk Pemkot Semarang kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp. 628  juta namun yang tersedia hanya Rp. 294 juta. Untuk Pemkab Semarang kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp. 232  juta namun yang tersedia hanya Rp. 20 juta.
  4. Kualitas dan kuanitas SDM di tiga lokasi studi kasus belum mencukupi untuk melaksanakan kegiatan pengawasan  rutin, inssientil dan mnindaklanjuti pengaduan masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi  ketidakcukupan prasyarat #A+I tersebut antara lain: (1) lemahnya political will dari Pimpinan Daerah untuk mengalokasikan anggaran, SDM dan menyusun regulasi pendukung, (2) Pembinaan Pemerintah Pusat (KLH) kepada Pemda yang tidak optimal.  

Untuk mengatasi kelemahan di atas, perlu koordinasi lintas lembaga untuk mengatur alokasi anggaran dan juga SDM guna mendukung penegakan hukum lingkungan. Selain itu KLH perlu memetakan kekuatan dan kelemahan kapasitas Pemda,  melakukan need assessment untuk penguatan kapasitas Pemda, memberikan dukungan dan bantuan nyata ke Pemda melalui Dana Dekonsentrasi atau Dana Alokasi Khusus, serta mengatur penyediaan tenaga fungssional untuk pengawasan Iingkungan hidup.

 

4.   Membuka akses keadilan melalui Citizen Law Suit (CLS).

CLS atau Gugatan warga negara adalah mekanisme bagi warga negaara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas keelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Warga negara yang mengajukan gugatan  tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian ssecara langsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakii. CLS ersama-sama dengan NGO standing merupakan bagian dari actio popularis.

Di Indonesia, CLS udah dipergunakan dalam beberapa kasus seperti Komari dkk yang menggungat Pemerintah RI cq Pemprop Kaltim cq Pemkot Samarinda yang lalai dalam melaksanakan kewajiban  mnciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat khususnya dengan banyaknya tambang di Kaltim. Hasil dari beberapa kasus gugatan cukup beragam.

Meski sudah diterapkan, saat ini belum ada pengaturan CLS secara spesifik. Hakim  seharusnya dapat menerima gugatan CLS  untuk mengisi kekosongan hukum saat ini. Meski demkian  pengaturan CLS dalam undang-undang diperlukan di masa mendatang supaya ada kepastian hukum  bagi Masyarakat penggugat dan hakim yang mengadili perkara.

Bagi Masyarakat ssebagai penggugat, ada ruang-ruang yang  perlu diekssplorasi  untuk perkara CLS yakni: (a) ruang lingkup CLS, (b) kapan CLS bia diajukan terkait dengan suatu pelanggaran atau pembiaran,(c) kewajiban untuk mengganti ongkos penasehat hukum bila warga memenangkan gugatan.

 

5.   Climate change dan Reduce Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD)

Menurut penulis, sampai dengan tahun 2012  (saat artikel  ditulis)  belum  ada kerangka hukum perubahan iklim yang kuat di Indonesia. Hal ini diperparah oleh lembaga penegak hukum yang jauh dari efektif, integritas, komitmen dan professionalismenya yang sering dipertanyakan.

Meski demikian sikap Pemerintah terhadap perubahan iklim merupakan hal yang positif dan terdapat beberapa perkembangan di bidang kebijakan. Upaya penurunan emisi 26% ecara wadaya dan 41% dengan dukungan internasional telah membangkitkan berbagai pemikiran untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Letter of Intent Pemerintah Indonesia dengan Norwegia mendorong Pemerintah Indonessia untuk melakukan Langkah kongkret  menyelesaikan persoalan reboisasi dan degradasi hutan melalui REDD+ termasuk moratorium ijin baru di hutan alam, hutan skunder dan lahan gambut serta meningkatkan praktik penegakan hukum yang memberikan efek jera. Beberapa inissiatif lain aalah: (a) penataan kelembagaan Badan REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, (b) Pembentukan Tim Gabungan Penegakan Hukum yang lintas sektor merupakan hal positif untuk mendorong penegakan hukum lebih terpadu, (c) mendorong adanya sertifikasi hakim yang menangani perkara kasus lingkungan, (d) kerjassama dengan KPK untuk pencegahan korupsi di sektor Kehutanan, karena korupssi bissa mengancam kesiapan dan implementasi REDD+.

REDD+ tidak sekedar upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Tetapi merupakan pintu massuk untuk mendorong keadilan lingkungan, melindungi hutan, mendorong reformasi tata kelola ssumberdaya alam dan pemberdayaan Masyarakat yang tergantung kepada hutan. Perlu kunci sukses untuk mendorong tata Kelola lingkungan yang baik dan mengurangi resiko korupsi termasuk mendorong transparansi, akses ke informasi, partisipasi public, birokrasi yang responsif dan bersih, kerangka hukum  yang koheren serta mekanisme penegakan hukum yang kuat.

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan REDD+ antara lain: pendekatan sectoral, sistem pemerintah daerah yang tidak terstruktur dengan baik, ketidak mampan organisasi masyarakat sipil untuk advokasi exploitasi sumberdaya alam serta rendahnya kapasitas politik local untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan. Tidak adanya mekanissme insentif yang jelas untuk pelestarian lingkungan, membuat para pemimpin daerah melakukan pemanfaatan ssumberdaya alam yang berorientasi jangka pendek dan eksploitatif. Kurangnya kotrol public dan penegakan hukum membuat dampak negatif desentralisasi semakin terasa dan korupsi merajalela.  Jika REDD+ ingin dijadikan pintu massuk untuk mewwujudkan keadilan sosial dan lingkungan, tantangan tersebut harus diatasi.

Dari sisi teknis Kelola kawasan, pengembangan REDD+ juga menjumpai sejumlah tantangan yakni:   (1) belum adanya kesamaan peta referensi antar instansi, (2) perbedaan kriteria  Kawasan lindung dan Kawasan produktif antar sektor, (3) perbedaan data  antara peta padu serasi dengan peta tata ruang,  (4) belum selesainya pengukuhan hutan, (5) maraknya konflik tenurial dan ketidak pastina status Kawasan. Beberapa inisiatif pemerintah untuk mengatasi tantangan tersebut anatara lain: (1) kebijakan satu peta, (2) Percepatan pengukuhan hutan, (3) penerbitan Inpres  no 2 tahun 2013 tentang resolusi konflik, (4) penyusunan draft regulasi pengelolaan lahan gambut. Issu lain yang juga penting adalah penataan perijinan usaha yang transparan dan berkeadilan serta berbasis kelestarian.

 

Menurut saya, secara umum buku ini mudah dipahami, karena Mas Otta menggunakan bahasa baku dan logika berpikir yang mudah ditangkap oleh orang awam. Satu hal yang agak mengganjal bagi saya adalah topik yang ditulis dalam buku ini cukup luas mulai dari teori (seperti artikel greener constitution, citizen law suit), hingga terapannya (seperti penegakan hukum administrasi). Dari isu darat (artikel REDD+) hingga air (artikel illegal fishing). Krena rentang topik yang luas jadi keasyikan membaca tersasa terpenggal-penggal.