Wednesday, December 21, 2022

                                                 


Rahasia Ibadah dan Doa Al Ghazali

Penerjemah: Drs. Abu Zakki Ahmad

Penerbit: Rica Grafika,

Jakarta, 1996

224 halaman

 

Buku ini ditulis karena terinspirasi oleh buku Bidaayatul Hidaayah karya Al Ghazali. 

Pada Bab 1, buku ini  mengupas amalan -amalan sehari-hari   mulai bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari seperti adab bangun tidur, adab masuk WC, adab masuk kamar mandi, adab berwudhu dan tayamum, adab masuk masjid, adab shalat dan berpuasa. Al Ghazali menyuruh kita untuk memperhatikan amalan-amalan dasar yang kelihatannya sepele namun bersifat fardhu dan sunnah.

Pada Bab 2, penulis mengajak kita untuk memelihara  seluruh anggota badan yang dititipkan ke kita seperti mata, telinga, lisan, perut, kemaluan, tangan dan kaki. Kita harus menjaga anggota badan tersebut dari perbuatan tercela. Sebagai contoh kita harus menjaga lisan kita dari: dusta, ingkar janji, menggunjing, bertengkar dan sumpah serapah, melaknat, mendoakan orang lain celaka dan bergurau yang berlebihan dan merendahkan orang lain.

Pada Bab 3, penulis mengajak kita untuk menjaga dari kemaksiatan hati seperti sifat hasud (dengki), riya (pamer) dan ujub (sombong).

Pada Bab 4, penulis mengajak kita untuk memahami adab dalam bergaul atau berteman. Adab bergaul dalam konteks ini merupakan adab bergaul dengan Allah (hablum minallah) dan bergaul dengan sesame (hablum minannas). Dalam bergaul terhadap sesamapun kita harus bisa menempatkan diri adab bergaul dengan ulama, dengan orangtua, dengan anak, dengan sahabat dan dengan orang lain yang baru dikenal.

Buku ini secara umum disampaikan dengan Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Buku ini memotivasi para pembaca untuk bisa memanfaatkan waktu yang ada untuk kepentingan ibadah. Buku ini juga memotivasi pembaca untuk mau menuntut ilmu dan kemudian bersedia mengamalkan ilmu yang diperolehnya tersebut. Melalui pembelajaran ilmu dan pengamalan secara konsisten maka kualitas keimanan seseorang akan semakin terus berkembang dari waktu ke waktu.  Semoga berkah melimpah untuk penulis dan orang-orang yang terlibat dalam penulisan buku ini. Wassalam…

Saturday, December 17, 2022

 


25 Ciri Keluarga Sakinah Penuh Berkah dan Langkah Mewujudkannya

Penulis: Drs. Muhammad Thaib

Penerbit: Irsyad Baitus Salam

Bandung, 2001

144 halaman

 

Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan,menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan dan akhlaq yang mulia. (Ditjen Bimas Islam dan penyelenggaraan haji Direktorat Urusan Agama Islam, 2005, 91). Keluarga Sakinah merupakan dambaan setiap umat muslim.

Buku ini menyajikan beberapa 25 ciri keluarga yang sakinah yang mencakup:

  1. Menikah demi agama (baik dari sisi tujuan dan proses mengikuti tuntunan agama)
  2. Memiliki semangat kebersamaan secara ikhlas (saling berbagi tanggung jawab)
  3. Menjaga kebersihan akidah (menjauhkan keluarga dari perbuatan syirik)
  4. Memelihara ibadah
  5. Giat melakukan amal ma’ruf nahi munkar
  6. Anak-anaknya shalih
  7. Hubungan orangtua dan anak akrab
  8. Hubungan sesama anak baik
  9. Punya pelayan setia
  10. Bekerja pagi-pagi
  11. Rejekinya halal
  12. Membelanjakan uang dengan benar
  13. Tidak dililit hutang
  14. Tidak memaksakan diri dalam gaya hidup
  15. Rumahnya besar
  16. Suasana rumah islami
  17. Keluarga semarak dengan amal shaleh
  18. Menjaga Kesehatan dan kebersihan
  19. Menampung dan menyantuni anak yatim
  20. Baik dengan kerabat
  21. Kendaraannya baik
  22. Tetangganya baik
  23. Teman dan Tamunya baik
  24. Membantu yang lemah
  25. Lingkungan masyarakatnya baik

 

Buku ini disajikan dengan Bahasa yang sederhana dengan beberapa ilustrasi sehingga mudah dipahami. Melihat isinya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada penulis, saya berpendapat buku ini nampaknya lebih cocok bila diberi judul “25 Petunjuk untuk mewujudkan Keluarga Sakinah Penuh Berkah”. Semoga berkah melimpah untuk penulis buku yang sudah berkenan sedekah ilmu.

 

Wednesday, December 14, 2022

 


Reformasi Birokrasi Era Pemerintahan Joko Widodo

Editor Riris Katharina

Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Jakarta, 2021

ISBN 978-623-321-128-4

218 halaman

 

Buku ini merupakan kumpulan artikel dari beberapa orang peneliti di Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI.

Reformasi Birokrasi merupakan salah satu pilar bagi terwujudnya demokrasi sebuah bangsa. Reformasi Birokrasi yang digagas melalui UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengadopsi pendekatan manajemen pengembangan sumberdaya manusia strategis menggantikan perspektif manajemen kepegawaian. Perubahan pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan (1) ASN yang professional, independen, bersih, mampu menjalankan fungsi pelayanan public dan mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (2) ASN sebagai profesi dan pelaksana manajemen ASN yang berdasar pada asas kompetensi dan kualifikasi atau merit system yang sejalan dengan tata Kelola pemerintahan yang baik.  Namun pada kenyataannya UU No. 5 tahun 2014 berjalan tidak sebagaimana mestinya. Selain peraturan pelaksana yang hadir terlambat dan bahkan ada yang belum dikeluarkan, berbagai penyimpangan  dalam implementasinya juga mewarnai jalannya reformasi birokrasi di Indonesia.

Buku ini terdiri 7 bagian yang mencakup:

  • Reformasi Birokrasi Indonesia; Sebuah Catatan Harapan dan Kenyataan (oleh Riris Katharina)
  • Kebijakan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja/PPPK; Penghapusan Status Tenaga Honorer (oleh Dewi Sendhikasari Dharmaningtias)
  • Perampingan Organisasi: Penghapusan Eselon III dan IV (oleh Riris Katharina dkk)
  • Upaya peningkatan Indeks Ease of Doing Business/EODB melalui penataan deregulasi kebijakan (oleh Anin Dhita Kiky Amrynudin)
  • Implikasi dan Tantangan Penerapan Single Salary System (oleh Rais Agil Bahtiar)
  • Penguatan Pengawasan Birokrasi di Indonesia (oleh Sidiq Budi Sejati)
  • Dimensi dan Aplikasi Akuntabilitas Sector Publik (oleh Burhanuddin Mukhamad Faturahman)

Bagi saya yang awam dengan isu reformasi birokrasi, buku ini isinya sangat menarik dan analisisnya cukup komprehensif. Kita disuguhkan dengan berbagai isu reformasi birokrasi  yang diungkap dengan bahasa yang relative mudah dipahami.

50 tahun sudah reformasi yang digagas sejak Orde Baru berjalan, sejauh mana kita mencapainya?? Dari analisis di buku ini saya menangkap bahwa kita sudah mempunyai arah yang cukup baik dalam reformasi birokrasi. Namun persoalannya dalam tataran implementasi banyak pertimbangan politik yang bermain sehingga eksekusinya tidak seperti yang diharapkan dan cenderung tambal sulam.

Dari sudut pandang pribadi saya, ada hal yang menggelitik yakni sampai sejauh mana pendekatan keseragaman (uniformitas) di dalam manajemen ASN ini akan dipakai? Bagaimana mensiasati perbedaan kesenjangan kualitas ASN dan perbedaan budaya di berbagai wilayah Indonesia?

Kritik saya terhadap buku ini hanya pada judul “Reformasi Birokrasi Era Pemerintahan Joko Widodo”.  Bagi saya pribadi, judul ini bisa berkonotasi menyanjung Pemerintahan Joko Widodo bila reformasi berjalanbaik, tetapi bisa juga berkonotasi miring terhadap Pemerintahan Joko Widodo yang kurang mampu mengawal Reformasi Birokrasi secara optimal. Saya lebih suka bila judulnya netral missal “Reformasi Birokrasi: catatan kritis sewindu UU ASN”.


Tolonglah Agama Allah (Jilid 4)

Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren Al Mu’min Jakarta

36 halaman.

 

Buku ini terdiri dari 7 bagian. Isi dan gaya Bahasa buku ini lebih mirip buku untuk khutbah Jumat atau kultum. Beberapa poin yang diungkap dalam buku ini antara lain:

  • Adalah tugas seorang muslim untuk menyampaikan amanat Allah kepada sesama dimana saja kita berada
  • Sebagai mahluk, kita tidak boleh mengingkari amanat Allah.
  • Setiap muslim hrus masuk kedalam Islam secara kaffah (utuh). Kita harus TUNDUK dengan memprioritaskan perintah Allah. Kita harus TAAT dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Kita harus PATUH dengan tidak melakukan kecuali yang diperintahkan oleh Allah.
  • Setiap muslim harus selalu berbuat kebaikan dan kebenaran untuk memperoleh timbangan amal yang baik.
  • Jangan mengikuti langkah syaitan yang sombong dan ingkar terhadap perintah Allah.
  • Kita beribadah hendaknya untuk mencari ridho Allah dan bukan untuk tujuan lain.
  • Taatilah Islam seperti ketaatan seorang Nabi Ibrahim yang senantiasa berpegang teguh pada Amanah Allah.

Semoga pahala melimpah untuk penulis buku ini yang telah bersedekah ilmu untuk kita semua. Masukan untuk buku ini adalah bahasa yang digunakan terlalu padat dan formal sehingga perlu waktu untuk mengunyah dan memahaminya. Selain itu kualitas cetak yang kurang merata dimana ada beberapa bagian yang kurang terbaca.

 

Monday, December 05, 2022

Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis Masyarakat, (Sebuah Pendekatan konsep)

Oleh: Suryo Sakti Hadiwijoyo

Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta 2012

ISBN 978-979-756-894-8

112 halaman

Buku setebal 112 halaman ini terdiri dari 8 Bab yang terdiri dari: Pendahuluan, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Perencanaan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat, Wisata dan Kepariwisataan, Perencanaan dan Pembangunan Parwisata, Pariwisata Perdesaan dan Desa Wisata, Pengembbangan Pariwisaya Perdesaan dan Desa Wisata berbasis Masyarakat,  dan Penutup.

Pariwisata yang berpotensi menjadi instrument peningkatan kesejahteraan masyarakat, bisa menimbulkan dampak merugikan di bidang ekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan. Oleh karenanya, ketika membaca daftar isi buku ini  saya terpesona dengan kerangka pikir yang cukup lengkap karena sudah mengintegrasikan aspek penting Perencanaan Pembangunan Wilayah (spatial planning), Perencanaan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Aspek-aspek tersebut merupakan pilar penting untuk terciptanya pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.

Hanya saja ketika saya baca lebih dalam, saya agak kecewa karena isi buku ini lebih banyak mengupas sisi konsep, teori, definisi, pengertian tentang pembangunan wilayah, pemberdayaan masyarakat, perencanaan partisipatif, pariwisata dan lain-lain (mungkin ini supaya sesuai judul "pendekatan konsep" ya??) . Penerapan perencanaan wilayah, perencanaan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat dalam  pengembangan pariwisata malah kurang digali dan dijabarkan.  Jadi untuk pembaca yang ingin mendapatkan gambaran Langkah mengembangkan pariwisata atau ingin memperoleh pengetahuan tentang alat (tools) perencanaan dalam pengembangan pariwisata, anda tidak akan memperolehnya di buku ini.

Kelemahan lain dalam buku ini adalah terdapat pengulangan-pengulangan di beberapa paragraph yang bagi saya agak mengganggu terus juga penamaan sub bab yang terkadang kurang menggambarkan isi sub bab tersebut.  Meski demikian saya tetap mengapresiasi penerbitan buku ini sebagai salah satu upaya untuk menyebarluaskan wacana pengembangan pariwisata di Indonesia.

 

Saturday, December 03, 2022

A  journey with a little vampire

Oleh Keenar Anindita Mariska Putri

Penerbit Pustaka Media Guru, Surabaya 2022

ISBN 978 623 383 5282

98 halaman

 

Buku setebal 98 halaman ditulis oleh Keenar Anindita Mariska Putri  atau biasa dipanggil Kiki. Kiki menulis buku ini di usia 9 tahun di bawah bimbingan Media Guru dan guru sekolahnya. Kiki ini merupakan salah satu cucu dari kakak kandung saya, sehingga saya berhak mengklaim bahwa Kiki adalah cucu saya juga.

Kiki merupakan pengidap Thalassemia yakni penyakit kelainan darah yang menyebabkan protein yang ada didalam sel darah merah (hemoglobin) tidak berfungsi dengan baik. Kiki mengidap Thalassemia Beta Mayor atau level kerusakan darah merah yang agak akut sehingga perlu tranfusi rutin setiap bulan  agar kondisi kesehatannya terjaga. Karena Kiki selalu memerlukan tranfusi darah setiap bulan secara rutin, maka julukan vampire kemudian melekat padanya.

Dalam buku ini Kiki bercerita tentang pengalaman hidupnya sebagai penderita Thalassemia termasuk upaya pengobatan yang telah ditempuhnya termasuk pengobatan alternatif di Situbondo. Kiki juga bercerita tentang kegiatannya berwisata di Singapura, Malaysia, di Bukit Cendana Lampung termasuk ketika mmudik berlebaran ke Jawa Timur dan Jogjakarta. Di dalam ceritanya, Kiki juga menyelipkan kisah-kisah pengetahuan umum tentang kota-kota yang dikunjunginya. Sehingga membaca buku ini, kita juga akan mendapatkan berbagai tambahan pengetahuan umum.

Membaca buku ini membuat kita belajar untuk tidak menyerah dengan keadaan. Walaupun Thalassemia belum ditemukan obatnya, namun Kiki terus optimis dengan Langkah pilihannya. Dia terus menuliskan pengalaman-pengalaman hidupnya, sekalipun dia sedang tranfusi dan opname di rumah sakit. Buku ini juga mengajarkan, dukungan orangtua dan keluarga menjadi sangat penting untuk mengobarkan semangat juang bagi si anak. Saat ini buku kedua Kiki yang berjudul Teman Rahasia, masih dalam proses cetak. Kiki sendiri sudah mulai menulis buku ketiga yang berisi pengalaman hidupnya ketika menjalankan ibadah umroh beberapa waktu lalu.

Buku ini dituliskan dengan Bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami. Saya rekomendasikan buku ini dibaca untuk putra-putri atau cucu yang masih di dunia pendidikan dasar.

 


Monday, November 28, 2022


Hutan Desa: Proses dan Pembelajaran

Oleh Dewan Kehutanan Daerah (DKD) Kalimantan Timur

Diterbitkan oleh DKD Kalimantan Timur bekerjasama dengan GIZ FORCLIME dan WWF Indonesia – Kalimantan Timur, 2012

82 halaman

 

Buku ini ditulis tahun 2012 ketika Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat masih menjadi bagian dari Program Pemberdayaan Masyarakat. Isi tulisan buku ini diangkat dari  makalah dan diskusi yang mengemuka dalam workshop “Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan Hutan Desa di Region Kalimantan” yang diselenggarakan  oleh DKD Kalimantan Timur bekerjasama dengan GIZ FORCLIME dan WWF Indonesia – Kalimantan Timur, di Samarinda tanggal 13-14 April 2011. Pada bagian akhir buku ini juga dituliskan pengalaman Hutan Desa pertama di desa Lubuk Beringin Provinsi Jambi yang difasilitasi oleh KKI Warsi.

Dalam buku ini, penulis lebih banyak menyoroti Tahapan Perijinan Pengelolaan Hutan Desa yang mencakup: 

  1. Penetapan Areal Kerja Hutan Desa oleh Menteri
  2. Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa oleh Gubernur
  3. Pengesahan Rencana Kerja Hutan Desa oleh Gubernur/Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
  4. Pengesahan Rencana Tahunan Hutan Desa oleh Bupati/Walikota cq Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota
  5. Pemberian IUPHHK Hutan Alam/Hutan Tanaman (bila Hutan Produksi) oleh Menteri/Gubernur
  6. Pengelolaan Hutan Desa oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD)
  7. Pelaporan Tahunan Pengelolaan Hutan Desa oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) kepada Menteri/Gubernur.

Beberapa rekomendasi dari penulis untuk pengembangan Hutan Desa antara lain:

  • Penyederhanaan proses perijinan yang relative rumit yang sulit dilakukan sendiri pengurusannya oleh masyarakat kampung.
  • Perlu komitmen pendampingan dan penganggaran dalam pengurusan ijin dan pendampingan paska ijin dari pemerintah daerah.
  • Perlu dibangun komitmen dari Kementerian Kehutanan untuk mendukung Hutan Desa melalui pengalihan areal berijin yang tidak dikelola oleh si pemegang ijin IUPHHK (areal “idle”).
  • Perlu sosialisasi tentang program Hutan Desa di tingkat akar rumput dan pemerintahan daerah.
  • Optimalisasi wadah multi pihak untuk wadah komunikasi dan sinergi guna akselerasi program Hutan Desa dan Program Pemberdayaan Masyarakat yang lain.

Saat ini sebagian isi buku sudah kurang sesuai karena adanya perubahan regulasi seperti UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengalihkan kewenangan urusan pemerintahan bidang Kehutanan ke Pemerintah Provinsi, UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020  beserta peraturan turunannya seperti Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial. Meski demikian buku ini tetap bermanfaat untuk menelusuri jejak langkah perjalanan program Hutan Desa beserta dinamika tantangan yang dihadapinya. Kitapun juga akan bisa melihat masalah mana sajakah yang sudah teratasi, ataupun masalah yang masih jalan di tempat.  

Buku enak dibaca karena disajikan dalam bahasa yang sederhana dan penuh ilustrasi gambar sehingga kesannya “ringan”. Bahasa hukum yang terdapat dalam berbagai regulasi yang dikutip, menjadi cair dan mudah dipahami ketika disajikan dalam bahasa yang lebih informal dan dalam ilustrasi grafis.

Sunday, November 27, 2022


Bagaimana Undang-Undang Dibuat

Oleh: Erni Setyowati, Rival Gulam Ahmad dan Soni Maulana Sikumbang

Diterbitkan atas Kerjasama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), The Asia Foundation dan USAID.

Jakarta, 2003

105 halaman

ISBN 979-96-494-6-3

 

Buku ini ditulis pada saat masih hangatnya reformasi di awal 2000-an. Sesuai kondisi saat itu, buku ini nampaknya berusaha memberikan sajian pendidikan kewarganegaraan (civic education) bagi public khususnya terkait dengan penyusunan Undang-undang yang merupakan salah satu fungsi utama dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penulisan buku ini nampaknya juga dilatarbelakangi oleh belum optimalnya DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan, sehingga DPR dirasa tidk berkontribusi secara signifikan dalam memperbaiki kinerja penyelenggaraan pemerintahan. Di bidang pembuatan perundangan  (legislasi), ditengarai terdapat beberapa gejala umum sebagai berikut: (1) produk Undang-Undang yang dihasilkan DPR tidak efektif  atau berhasil mencapai tujuan yang diharapkan (2) UU tidak implementatif, (3) UU tidak responsive terhadap aspirasi masyarakat sehingga ada penolakan (4) UU yang dihasilkan menimbulkan masalah baru (5) UU tidak sesuai prioritas kebutuhan  masyarakat.

Pada jaman Orde Baru, Pemerintahan Soeharto  membatasi ruang gerak demokrasi bagi public maupun bagi Lembaga Negara seperti DPR. Dengan bergulirnya reformasi, terjadi euphoria demokrasi yang dikuatirkan bisa merusak tatanan demokrasi itu sendiri. DPR menjadi kekuatan yang sangat powerful, sedangkan tidak ada kekuatan penyeimbang yang mampu menjalankan check and balances. Oleh karena itu, penulis buku ini mendorong perlu adanya pengawasan public secara proaktif  terhadap DPR. Pengawasan terhadap DPR penting karena: (1) DPR adalah Lembaga perwakilan masyarakat sehingga masyarakat berhak tahu apa yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Masyarakat yang berhak terlibat tidak hanya dalam proses PEMILU tetapi juga mengawasi wakil-wakil rakyat yang telah mereka pilih, (2) DPR memegang peranan strategis dalam berbangsa dan bernegara serta menentukan nasib masyarakat melalui kebijakan yang mereka buat. (3) DPR perlu diawasi karena DPR yang seharusnya menjalankan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan dari konstituennya, tidak jarang malah berbeda kepentingan dengan konstituen yang diwakilinya.

DPR mempunyai tiga fungsi pokok yang mencakup: (1) fungsi LEGISLASI atau pembuatan Undang-undang muali dari tahap perencanaan, perancangan, pembahasan, perdebatan persetujuan dan pengesahan bersama eksekutif, (2) fungsi PENGAWASAN yang berupa control dan evaluasi terhadap eksekutif dalam penyelenggaraan negara, (3) fungsi PENGANGGARAN yang berupa persetujuan terhadapa APBN yang diusulkan oleh eksekutif beserta pengawasan/audit  penggunaannya.  

Tugas dan wewenang DPR di atur dalam UUD 1945 pasal 19 sd 22 B. Namun karena dirasa kurang detail, tugas dan kewenangan tersebut kemudian dijabarkan dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Untuk internal DPR, tugas dan kewenangan mereka kemudian dijabarkan dalam Tata Tertib DPR.

Dalam menjalankan Tugas dan Fungsinya, memiliki alat kelengkapan tetap yang terdiri dari: (1) Pimpinan DPR, (2) Komisi dan sub Komisi, (3) Badan Musyawarah/Bamus, (4) Badan Urusan Rumah Tangga/BURT, (5) Badan Legislasi/Baleg, (6) Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP, (7)  Panitia Anggaran/Panggar. Selain itu terdapat alat kelengkapan yang sifatnya sementara seperti Dewan Kehormatan, Panitia Kerja/Panja, dan Panitia Khusus/Pansus.  Dalam menjalankan tugasnya,  DPR ditopang oleh Sekretariat Jendral (Setjen) DPR yang menjalankan fungsi-fungsi kesekretariatan dan administrasi.

Di DPR  terdapat 6 jenis rapat yang mencakup (1) Rapat Paripurna, (2) Rapat Paripurna Luar Biasa, (3) Rapat Kerja, (4) Rapat Dengar Pendapat/RDP, (5) Rapat Dengar Pendapat Umum/RDPU, (6) Rapat tingkat alat kelengkapan DPR seperti rapat Komisi, Rapat Baleg dll. Rapat-rapat tersebut secara umum bersifat terbuka. Meski demikian dalam situasi tertentu bisa dilakukan secara tertutup. Proses pengambilan keputusan dalam rapat dilakukan dengan memperhatikan “kuorum”. Proses pengambilan keputusannya bisa dilakukan secara musyawarah mufakat ataupun voting suara terbanyak.

Berkaitan dengan Penyusunan Undang-Undang di DPR, tahap yang harus dilalui adalah:

  • PERENCANAAN.  Dalam tahap ini disusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang berisi daftar Undang-undang yang akan disusun selama 5 tahun mendatang. Daftar tersebut kemudian dibahas oleh eksekutif dan DPR untuk penentuan prioritas UU yang perlu disusun setiap tahunnya.
  • Perancangan dan PENGUSULAN.  UU bisa diusulkan oleh pihak Pemerintah maupun diusulkan oleh DPR. Pihak ketiga seperti LSM bisa juga mengajukan Rancangan UU  kepada DPR seperti yang dilakukan oleh ICEL yang mengusulkan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi.
  • PEMBAHASAN TINGKAT PERTAMA antara DPR dengan Pemerintah yang berisi (1) Pemandangan Umum Fraksi terhadap RUU yang diajukan Pemerintah atau Tanggapan Pemerintah terhadap RUU yang diusulkan DPR, (2) Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi atau Jawaban pimpinan Komisi atau Pimpinan Baleg terhadap tanggapan Pemerintah, (3) Pembahasan dan Persetujuan bersama atas RUU antara Pemerintah dan DPR dalam Panitia Kerja/Panja dengan mengacu pada Daftar Inventarisasi Masalah. Pada tahap ini, masyarakat bisa berpartisipasi dalam memberikan masukan terhadap draft RUU yang sedang disusun.
  • PEMBAHASAN TINGKAT KEDUA yang berupa pengambilan kepurusan dalam Rapat Paripurna berupa persetujuan pimpinan DPR  untuk pengesahan RUU yang dibahas.

 

Dalam buku ini penulis juga menyampaikan bahwa ada beberapa pihak penting yang bisa dihubungi ketika masyarakat ingin berpartisipasi dalam memberikan masukan untuk penyusunan UU, yakni: (1) anggota DPR dari Komisi/Pansus yang membahas, (2) Badan Legislasi DPR, (3) Asisten 1 Setjen DPR Bidang Perundang-undangan, (4) Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi/P3I, (5) Fraksi-fraksi. Penyampaian usulan tersebut bisa dilakukan melalui Rapat dengar Pendapat Umum/RDPU, Diskusi/hearing dengan Fraksi-fraksi, Rapat Konsultasi Publik maupun hearing dengan Badan Legislasi DPR.

Buku ini ditulis dengan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami oleh orang awam. Dari sisi isi tulisan, buku ini masih bersifat umum (generic) dan baru bersifat pengenalan umum tentang proses penyusunan UU sehingga belum bisa memandu pembaca yang ingin praktik menyalurkan aspirasinya dalam penyusunan UU melalui jalur DPR. Secara proporsi tulisan, buku ini mungkin lebih cocok diberi judul “Pengenalan Tugas dan Fungsi DPR dalam penyusunan UU” karena 60 halaman dari 90 halaman yang ada lebih banyak bercerita tentang tugas dan fungsi DPR. Adapun tulisan tentang proses penyusunan UU hanya sekitar 30 halaman saja. Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan ketatanegaraan. Saya rekomendasikan dibaca untuk kawan-kawan pemerhati atau pegiat advokasi kebijakan.

 

 

 

Saturday, November 19, 2022

Dari Perbendaharaan Lama (versi e-book)

Karya Buya Hamka 

Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1982

212 halaman

Buku ini bercerita tentang Sejarah Islam di Nusantara, mulai dari Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Bantam (Banten?), Kerajaan Cirebon, Kesultanan Makassar, Kesultanan Ternate, Kerajaan Aceh, Kerajaan di Riau dll. Sejarah yang diungkap dalam buku ini terutama terkait peran kerajaan Islam tersebut dalam menghadapi kolonialisme Belanda dan Portugis. Pada akhir buku ini, Buya Hamka juga menyinggung adanya berbagai kisah Tarekat yang digunakan untuk menjustifikasi posisi seorang Raja Kerajaan Islam di mata penduduknya.

Buku ini dituliskan dengan bahasa Melayu/Indonesia  yang sderhana dan dengan model bertutur (story telling) sehingga kita seperti mendengarkan sebuah kisah dongeng. Saya sangat mengagumi Buya Hamka yang secara autodidak rajin membaca sehingga wawasannya sangat luas. Untuk menulis buku ini, saya yakin beliau pasti membaca banyak referensi. Hanya saja referensi tersebut tidak dicantumkan dalam buku ini baik berupa "Catatan Kaki" maupun "Daftar Pustaka", sehingga kita susah untuk melacak  dan membandingkan sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan penulisan buku ini.

Semoga pahala mengalir untuk beliau yang rajin menuangkan pemikiran dan pengalamannya sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua......


Orang Asli Papua (Kondisi Demografi dan perubahannya)

Oleh: Haning Romdiyati, GustiAyu  Ketut Surtiari, Luh Kitty Katherina, Dwiyanti Kusumaningrum, Ari Purwanto Sarwo Prasojo

Yayasan Pustaka Obor Indonesia  bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Jakarta, 2019

ISBN 978 602 433 878 7

238 halaman

 

Buku ini bercerita tentang Orang Asli Papua (OAP) di Provinsi Papua Barat dengan mengambil kasus di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamberauw . Orang Asli Papua dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki nama  dengan marga/suku bangsa asli suku-suku Papua. Analisis data kuantitatif dalam buku ini ditulis antara lain dengan mengacu pada data Sensus Penduduk (SP) 2010 dan Suplemen SP 2010.

Jumlah penduduk Propinsi Papua Barat berdasar Sensus Penduduk 2010 berjumlah 760.442 jiwa atau 0,32% dari jumlah penduduk Indonesia. Di tahun 2015, jumlah penduduk meningkat menjadi 868.819 jiwa  dengan laju pertambahan penduduk sekitar 2,7% per tahun. Laju pertambahan penduduk tersebut utamanya disebabkan adanya migrasi penduduk khususnya di daerah perkotaan seperti Kota Sorong dan Kabupaten Sorong. Daerah Sorong sendiri sejak tahun 1970 merupakan daerah transmigrasi dengan transmigrant dari Jawa.  Saat ini sudah banyak pendatang lain seperti dari Bali, Sumatra Utara, Menado, Buton dan Ambon.

Masuknya migran (baik transmigrasi dan migran spontan) telah mengubah komposisi penduduk. Di tahun 2010 OAP berjumlah 381.933 jiwa (atau 52,1% dari jumlah penduduk Papua Barat ), namun di tahun 2015 prosentasi jumlah OAP berkurang menjadi 50,3% walaupun secara absolut jumlah OAP meningkat menjadi 436.869 jiwa. Di derah Sorong, masuknya migran ini mengakibatkan OAP terdesak  ke daerah pinggiran atau pedalaman. Jumlah OAP saat ini sekitar sepertiga dari jumlah penduduk Kabupaten Sorong.  Selain itu dengan tingkat Pendidikan yang rendah, mengakibatkan OAP tidak bisa bersaing dengan pendatang di pasar tenaga kerja sector formal dan pemerintahan. Keterdesakan OAP ini juga semakin menjadi dengan adanya pelepasan wilayah ulayat mereka untuk kepentingan pembangunan, di sewa pendatang maupun dibeli investor tambang  dan perkebunan. Di daerah Kabupaten Tamberauw yang belum terlalu terbuka¸ arus migrasi belum terlalu besar walaupun cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga di daerah perkotaan Kabupaten Tamberauw, proporsi penduduk OAP masih  cukup tinggi.

Dari sisi pertumbuhan alami, jumlah kelahiran di keluarga OAP berkisar 5-6 orang. Kondisi Kabupaten Sorong yang relative lebih baik dalam penyediaan fasilitas kesehatan, informasi dan komunikasi membuat situasi kelahiran keluarga OAP di Sorong lebih baik dibanding di Tamberauw.

Di Papua, seorang anak mempunyai milai secara kultural maupun ekonomi. Anak laki-laki merupakan penerus marga dan penerus hak waris atas ulayat.  Sehingga semakin banyak anak  laki-laki maka peluang untuk mempertahankan tanah ulayat semakin besar. Sedangkan anak perempuan  merupakan sumber tenaga kerja di kebun, sekaligus asset ekonomi untuk mendapatkan pembayaran mahar (mas kawin). Adaya motif kultural dan ekonomi tersebut mengakibatkan upaya penurunan angka kelahiran menjadi terkendala. Meski demikian semakin terbukanya akses informasi dan lapangan kerja bagi kaum perempuan telah membuat banyak keluarga OAP di perkotaan melakukan penjarangan waktu melahirkan. OAP sendiri sebenarnya mempunyai kearifan local untuk melakukan penjarangan kelahiran dengan menggunakan ramuan tradisional. Penjarangan kelahiran tersebut terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup keluarga OAP misalnya anak-anak bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik dan Kesehatan ibu lebih terjamin.

Melihat kondisi terdesaknya OAP, penulis buku ini menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1.    Kualitas SDM OAP ditingkatkan melalui layanan Pendidikan dan Kesehatan agar mereka nanti mampu bersaing dengan pendatang di dunia pasar tenaga kerja.

2.    Pemberdayaan masyarakat dalam sector primer pertanian lahan kebun.

3.    Perlindungan hak ulayat agar tidak mudah dipindahtangankan ke pihak ketiga termasuk pendatang.

4.    Pembangunan infrastruktur harus mengakomodir kepentingan OAP.

 

Secara umum buku  ini cukup mudah dipahami isinya, karena analisanya tidak terlalu rumit dan bahasanya mudah dipahami. Direkomendasikan untuk dibaca oleh rekan-rekan yang ingin memahami kondisi makro OAP di Tanah Papua khususnya di Papua Barat, yang saat ini telah dimekarkan menjadi Papua Barat  dan Papua Barat Daya. Lokus studi ini Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamerauw nampaknya masuk ke Provinsi baru yakni Provinsi Papua Barat Daya.

Wednesday, November 09, 2022


Rajah Merah di Ladang Kentang

Penulis: Hery Santoso

Interlude, Yogyakarta 2019

458 halaman

ISBN 978 602 5873 935

 

Buku ini bercerita tentang Desa Puncak Wangi di daerah pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang berada di ketinggian 2.300 di atas permukaan air laut. Dengan kondisi yang berada di ketinggian ekstrim, Desa Puncakwangi bersuhu 10-15 derajat Celsius di malam hari bahkan pada bulan kemarau (Juli-Agustus) shu bisa mencapai 0 derajat di pagi hari. Dari dokumentasi yang ada, desa ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1880-an. Di tahun 2010 penduduk des aini berjumlah sekitar 1.200-an jiwa.

Dengan kondisi yang terisolir di dataran tinggi, infrastruktur jalan dan fasilitas umum lainnya seperti sekolah di desa Puncakwangi pada awalnya sangat minim. Lingkungan yang punya ketinggian ekstrim, juga menyebabkan daerah ini kurang cocok untuk tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan terpaksa harus dibeli dari daerah/desa lain. Dalam beberapa kasus dijumpai masyarakat desa  ini pernah mengalami bencana kelaparan.  Untuk mensiasati kebutuhan ekonomi di lingkungan yang kurang bersahabat tersebut, Sebagian masyarakat mengembangkan system pertanian tumpangsari beberapa komoditi. Alternatif lain adalah mereka melakukan migrasi dan menjual tenaga menjadi buruh tani di desa-desa sekitarnya. Dengan keterbatasan tersebut masyarakat desa ini sering dikonotasikan masyarakat “ngiwa” atau terbelakang (marginal).

Kondisi prasarana jalan dan sekolah mulai dibangun than 1970an. Dari sisi pertanian, sejak jaman colonial Belanda sd tahun 1970an, di daerah Dieng banyak diintroduksikan tanaman tembakau dan jagung. Pada tahun 1970an, kubis (kuban ekspress) mulai diintroduksi  dan tahun 1980an, tanaman kentang Bandung (Granola yang diintroduksi oleh petai dari Pengalengan Jawa Barat) mulai banyak dikembangkan.

Di desa Puncakwangi, budidaya tanaman kentang ini membawa perubahan ekonomi yang signifikan karena tanaman kentang sangat cocok dibudidayakan di desa ini. Masyarakat berlomba-lomba berinvestasi menanam kentang. Lahan-lahan yang ada dimaksimalkan untuk budidaya kentang. Lahan pertanian yang semula memakai system tumpangsari heterokultur, dirombak menjadi monokultur kentang. Mereka berani berinvestasi menggunakan pupuk  dan obat-obatan dari pabrik karena kentang termasuk rakus hara. Merekapun berani membayar buruh tani dari desa lain karena kentang membutuhkan pemeiharaan intensif. Keuntungan yang mengalir deras  membuat desa ini lepas dari cengkeraman kemiskinan, bahkan banyak warga desa lain yang mencoba berinvestasi kentang di desa ini. Booming kentang di desa ini mengundang masuknya Lembaga perbankan yang menyediakan jasa permodalan,  industry obat-obatan dan pupuk pabrik serta buruh tani dari luar yang menyediakan jasa tenaga kerja.  Masyarakat juga memaksimalkan profit dengan melakukan budidaya kentang 3 musim panen dalam setahun.

Masyarakat desa Puncakwagi memanfaatkan surplus pendapatan dari budidaya kentang ini untuk menaikkan status sosial mereka dengan pergi naik haji, menyekolahkan anak ke pesantren, pendidikan menengah atau tinggi, membeli perabotan skunder, membangun masjid yang megah  investasi ke sector lain maupun  untuk foya-foya seperti pesta kembang api saat menyambut lebaran.  Maraknya anak-anak yang bersekolah di pesantren membawa perubahan sosial dimana masyarakat desa Puncakwangi yang semula menganut Islam Kejawen, berangsur-angsur beralih ke Islam Pesantren. Ritual-ritual adat sedikit demi sedikit ditinggalkan dan bergeser menjadi ritual agama pesantren seperti pengajian, barzanji dan lain-lain.

Bulan madu masyarakat Puncakwangi dengan Kentang Bandung ini mulai surut di awal tahun 2000 an. Serangan jamur, angin  dan babi hutan  mengakibatkan gagal panen atau produktivitas menurun. Hal ini diperparah dengan terkurasnya unsur hara dan erosi yang tinggi  karena masyarakat menanam kentang tanpa ada terasering. Pemakaian pupuk dan obat-obatan pabrik yang tidak terkendali, membuat kondisi lahan rusak. Cilakanya sebagian besar masyarakat   malah memperbanyak pemakaian pupuk dan obat pabrik di luar takaran yang seharusnya untuk menggenjot produksinya.

Pemakaian pupuk dan obat pabrik yang banyak mengakibatkan membengkaknya biaya produksi. Di sisi lain penurunan produktivitas mengakibatkan pendapatan turun. Tidak seimbangnya biaya produksi dan pendapatan mengakibatkan investasi merugi. Dalam kondisi seperti ini sebagian masyarakat menjadi terlilit hutang ke bank yang bunganya sangat tinggi. Kegagalan panen kentang yang berulang, mengakibatkan mereka semakin tenggelam dalam lobang hutang yang mereka gali. Sebagian dari mereka terjebak dalam romantisme kejayaan kentang, sehingga mereka ingin segera dapat penghasilan besar dari kentang dan bisa membayar lunas hutang-hutangnya. Namun kenyataan berkata lain, jebakan hutang semakin dalam sehingga mereka terpaksa harus menjual asset-asetnya (bahkan termasuk lahan) untuk menutup hutangnya. Jual beli ini dilakukan kepada petani kaya di desa Puncakwangi sendiri, karena ada aturan di desa yang berisi larangan jual beli tanah kepada orang dari desa lain (orang luar).  Kondisi ini berakibat munculnya fenomena tuan tanah – tuan tanah di desa yang menguasai asset lahan, dan munculnya petani tuna kisma (tidak punya lahan).  Para petani yang tidak punya lahan biasanya menempuh beberapa alternatif untuk bertahan hidup, antara lain: (1) bertahan di desa sendiri dengan menjadi buruh tani, (2) melakukan migrasi ke luar desa atau keluar daerah/ke luar Jawa dengan bekerja sebagai buruh tani/buruh kelapa sawit, (3) bekerja di sector informal seperti tukang parkir dan lain-lain.

Dari pengalaman di desa Puncakwangi ini, ada beberapa orang yang bisa bertahan bahkan berhasil melakukan akumulasi kekayaan dengan budidaya kentang, yakni: (1) orang yang memiliki lahan luas sehingga dia bisa melakukan subsidi silang ketika gagal panen di satu petak, dengan mengkompensasi dari petak lain yang berhasil, (2) orang yang mempunyai akses modal memadai sehingga bisa membayar sarana produksi dan tenaga yang diperlukan, (3) orang yang tekun dan giat di lapangan karena kentang perlu penanganan intensif (4) orang yang mampu dan disiplin mengelola sumberdaya secara efisien/hemat (5) orang yang mampu berhitung cost-benefit secara jernih missal berani melawan arus dengan melakukan penanaman 2 kali karena secara kalkulasi ekonomi penanaman 2 kali setahun hasilnya hampir sama dengan penanaman yang 3 kali setahun. Di sisi lain penanaman 2 kali setahun malah memberikan manfaat agar lahan bisa bernafas dan memutus siklus hama atau jamur.

Pesan yang bisa ditarik dalam buku ini antara lain program-program pembangunan yang berniat mulia ketika diserahkan ke mekanisme pasar, terkadang dalam jangka panjang hasilnya berkebalikan dari apa yang diharapkan. Monokulturisasi kentang selain menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat massif, juga telah mereproduksi kemiskinan di desa Puncakwangi. Kegagalan budidaya kentang ini telah menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat sehingga banyak yang berharap anak keturunannya kelak tidak menjadi petani ( “deagrarianisasi”) dan beralih ke mata pencaharian lain. Keputusasaan masyarakat juga tercermin dengan cara mencari pemecahan masalah secara supranatural seperti pemasangan jimat rajah merah untuk mengusir hama dan penyakit tanaman kentang.

Dalam buku ini penulis menggambarkan bahwa tesis konflik antar kelas dari Marx tidak sepenuhnya terbukti dalam kasus di desa Puncakwangi ini. Sebaliknya pula, asumsi kaum kapitalis bahwa  pasar akan mensejahterakan masyarakat juga tidak terbukti secara signifikan. (CMIIW…)

Mas Hery dalam buku ini sangat piawai dalam bertutur. Membaca buku ini seperti membaca sebuah kisah yang terangkai dalam kata-kata yang mudah dikunyah. Saya menyandingkan buku ini dengan  buku Perubahan Sosial di Yogyakarta karya Prof. Selo Soemardjan, yang ditulis dengan cara bertutur pula.

Dari sisi isi, buku ini cukup komprehensif mengupas berbagai aspek kehidupan. Saya pikir pemikiran Mas Hery ini sangat bermanfaat untuk merekonstruksi pengetahuan kita tentang pola perilaku orang gunung (dataran tinggi). Bahwa mereka bukan orang terbelakang dan hanya berorientasi subsisten belaka, tetapi banyak perilaku mereka didasari perhitungan rasionalitas  ekonomi. Dalam konteks ini saya menyandingkan Mas Hery dengan Michael Dove yang ahli perladangan di Indonesia.

Secara umum buku ini sangat bagus dan well recommended. Meski demikian pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”. Input saya  untuk buku ini adalah saya merasa ada beberapa bagian yang terkesan mengulang-ulang. Pengulangan ini tidak terlalu mengganggu, tapi kalau bisa pengulangan ini diperbaiki agar keruntutan alur bacaan menjadi lebih mengalir.

 

Wednesday, October 26, 2022

 



MASYARAKAT, HUTAN, DAN NEGARA (Setengah Abad Perhutanan Sosial di Indonesia 1970-2020)

Penulis: Hery Santoso dan Edi Purwanto

Penerbit;  Tropenbos Indonesia dan Interlude, Yogyakarta

Tahun 2021

192 halaman

 

Buku setebal 192 halaman ini berkisah tentang sejarah Perhutanan Sosial di Indonesia dan latar belakangnya.  Buku ini dibuka dengan kegagalan model pengelolaan hutan  skala industry di Indonesia saat ini. Pengelolaan Kehutanan konvensional yang cenderung mengutamakan aspek ekonomi telah melupakan aspek ekologi dan aspek sosial. Hal ini berakibat pengelolaan hutan oleh pemegang konsesi kehutanan skala besar (yang didukung oleh Kehutanan akademik) telah menimbulkan deforestasi yang sangat massif dan marginalisasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.  

Di sisi lain, di berbagai daerah sebenarnya terdapat praktik-praktik pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh masyarakat local seperti simpukng di Kalimantan Timur, repong di Lampung, talun di Jawa Barat, wono di Jawa dan lain-lain. Sayangnya konsep-konsep pengelolaan hutan tersebut tidak memperoleh dukungan yang berarti dari pemerintah.

Berkembangnya pendekatan pengelolaan hutan yang lebih memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan mulai tahun 1970an dengan adanya Kongres Kehutanan Sedunia dengan slogan Forest for Social Development, Forest for People dan lain-lain.  Pemerintah Indonesia sendiri mulai mengadopsi konsep tersebut melalui beberapa program pembangunan kehutanan yang melibatkan masyarakat melalui Perum Perhutani di Jawa.  Perhutani antara lain mengembangkan Program Prosperity Approach (1970-1980), Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan/PMDH (1980-1990an), Program Perhutanan Sosial (1990-2000an) dan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (2000an-sekarang). Implementasi program-program tersebut antara lain dilakukan melalui tumpangsari agroforestry di lahan hutan, pengembangan peternakan, pengembangan usaha di luar Kawasan, pengembangan kelembagaan masyarakat dan lain-lain. Penulis buku ini menyoroti bahwa spirit dari program-program tersebut adalah untuk melestarikan hutan dengan cara mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan, sehingga upaya-upaya yang dilakukan tidak banyak menyentuh aspek tenurial.  

Pengalaman saya pribadi sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam Program Perhutanan Sosial/PS (tahun 1991-1998), melihat bahwa dalam program tersebut para pesanggem (penggarap hutan/anggotaKelompok Tani Hutan) menandatangani kontrak sepanjang masa daur tanaman pokok Kehutanan. Namun pola tanam dan jarak tanam sudah diatur dengan ketentuan Perum Perhutani. Demikian pula untuk penentuan jenis tanaman pokok Kehutanan ditentukan oleh Perum Perhutani. Masyarakat mempunyai hak mengusulkan jenis tanaman buah dan tanaman semusim yang akan digunakan dalam agroforestry di kawasan PS, namun keputusan akhir di tangan Perhutani. Pada saat itu, para pesanggem juga memperoleh insentif sarana produksi seperti bibit tanaman semusim, pupuk, upah membuat guludan/terasering di daerah yang berkelerengan dan lain-lain.  Pendampingan dalam pengembangan kelembagaan masyarakat dan pengembangan usaha juga dilakukan melalui penyaluran kredit Uskop (Usaha Kecil dan Koperasi). Secara umum agroforestry di lahan garapan pesanggem akan produktif menghasilkan tanaman semusim hingga tahun ke 3-4. Namun tahun berikutnya produktifitas akan semakin menurun dengan adanya kanopi tanaman pokok kehutanan yang semakin rapat.

Pada tahun 1995, Pemerintah memberikan perhatian untuk Program Perhutanan Sosial dengan mengeluarkan regulasi Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 tentang Hutan Kemasyarakatan. Regulasi ini merupakan buah kerjakeras dari beberapa pemangku kepentingan baik dari Pemerintah, Perhutani, akdemisi dan LSM untuk mempromosikan Community Based Forest Management/CBFM. Program Hutan Kemasyarakatan tersebut smengalami beberapa penyempurnaan dari sisi regulasi, namun penulis tidak banyak mengupas tentang kemajuan program ini.

Pada tahun 2009-2014, Pemerintah mengembangkan program Pemberdayaan Masyarakat  melalui skema Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan Desa/HD, Hutan Tanaman Rakyat/HTR dan Kemitraan. Target yang dicapai adalah 2,5 juta hektar untuk Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Namun realisasi Penetapan Areal Kerja-nya hanya mencapai sekitar 25%, dan Ijin HKm dan HD  hanya sekitar 148.570 hektar. Rendahnya capaian program periode ini disebabkan oleh (1) prosedur birokrasi pengurusan Penetapan Areal Kerja yang rumit dan panjang yang mencapai 26 meja, (2) keterbatasan SDM dari jumlah dan kualitas serta sebaran, (3) keterbatasan anggaran, (4) koordinasi lintas sector dan antara pusat-daerah masih minim.

Pada tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Permen LHK No. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial/PS.  Dalam Program PS ini terdapat 5 skema yakni Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan Desa/HD, Hutan Tanaman Rakyat/HTR,  Kemitraan dan Hutan  Adat.  Dalam RPJMN 2014-2019 dan RPJMN 2019-2024 pemerintah mengalokasikan 5 juta hektar untuk Reforma Agraria dan 12,7 juta hektar  untuk program PS. Sampai tahun 2018, capaian kumulatif Izin  PS hanya mencapai 2,138,139 hektar (16% dari target).

Dari sisi luasan, Program PS menunjukkan peningkatan dari capaian luas ijin yang diterbitkan. PS juga telah berhasil mendorong adanya kolaborasi multipihak seperti Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah, Akademisi dan LSM.  Meski demikian penulis memberi catatan bahwa: (1) manfaat ekonomi dari Ijin PS belum dirasakan secara signifikan oleh masyarakat, (2) PS memperbaiki hubungan masyarakat dengan pemerintah/KLHK dalam mengatasi konflik tenurial. Namun persoalan tenurial yang sudah mulai tertangani belum diikuti dengan fasilitasi pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara produktif, (3) Kelembagaan masyarakat  seperti Kelompok Tani Hutan berkembang dari sisi jumlah. Namun kualitas kelembagaan masyarakat tadi belum cukup solid untuk menopang kegiatan kelompok dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

Untuk mengatasi persoalan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran perbaikan yakni: (1) Mendorong peran aktif birokrasi  Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan PS, (2) Mendorong kerjasama multi sector, (3) mobilisasi sumberdaya manusia  missal penyuluh  dan anggaran yang memadai (4) dukungan skema investasi dan kerjasama di lahan PS, (5) penajaman Peta Indikatif Areal PS/PIAPS dengan memperhatikan kondisi lapangan supaya areal yang dimasukkan dalam PIAPS benar-benar layak secara ekonomis untuk dikelola oleh masyarakat, (6) penyederhanaan tata usaha kayu dari lahan PS, (7) Desentralisasi perijinan PS ke daerah. Dalam  bagian penutup, penulis menekankan Kembali agar para pegiat dan birokrat yang mendukung Program PS untuk menghindarkan simplifikasi dn romantisme masyarakat dalam pelestaran sumberdaya hutan. Adanya pergeseran dari subsistensi ke masyarakat ekonomi uang, harus disikapi dengan upaya fasilitasi Tata Kelola Kelembagaan, Tata Kelola Usaha dan Tata Kelola Kawasan agar  masyarakat dapat mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari dan seoptimal mungkin

Secara umum buku ini mampu memberikan gambaran menyeluruh tentang dinamika Program Perhutanan Sosial di Indonesia, baik dari sisi capaian dan tantangan yang dihadapinya.  Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca oleh para pegiat atau pemerhati Perhutanan Sosial.

Sebuah senggolan untuk para penulis, mungkin menarik untuk dikaji apakah skema-skema Program PS ini sudah nyambung dengan  aspek sosio kultural dan aspirasi politik warga masyarakat? Apakah skema Hutan Adat yang ada saat ini secara spirit dan filosofis sudah match dengan spirit dan filosofis dari sisi masyarakat adat? Bagaimana dengan skema lain? Ataukah sebenarnya perlu ada perbaikan-perbaikan? Semoga ke depannya akan ada penelitian  dan publikasi  yang lebih detail untuk meneropong dinamika masing-masing skema dari sisi filosofis, kelembagaan sosial, hukum, budaya dan lain-lain.


Burial Rites (Ritus-ritus Pemakaman)

Hannah Kent

409 halaman

 

Novel setebal 409 halaman ini merupakan novel fiksi yang diangkat dari kisah nyata dengan  setting negara Islandia tahun 1820-an. Hannah Kent, penulis yang berkebangsaan Australia menuliskan novel ini dengan melakukan riset sejarah terhadap kasus Agnes Magnusdottir. Agnes ini merupakan terpidana hukuman mati terakhir di Islandia.

Agnes merupakan seorang gadis sebatang kara. Dia dilahirkan oleh seorang perempuan pelayan dan tidak jelas siapa ayahnya. Dia mempunyai saudara tiri seibu tapi jarang bertemu karena sejak kecil Agnes dititipkan ke orang-orang yang membutuhkan jasa pembantu sedangkan ibunya mengembar mencari pekerjaan di tempat lain. Agnes yang terhimpit dalam kemiskinan, sejak kecil menjalani profesi sebagai pembantu. Namun di tengah himpitan penderitaannya, Agnes merupakan orang yang rajin belajar sehingga dia pinter membaca dan menulis.

Agnes tumbuh menjadi remaja cantik. Suatu ketika Agnes yang sedang menjadi pembantu di sebuah keluarga, bertemu dengan dokter Nathan Ketilson yang sedang bertamu. Nathan yang playboy memberikan perhatian khusus kepada Agnes dan berjanji akan mengajak Agnes menjadi kepala pelayan di rumahnya. Angan Agnes melayang, karena dia sadari dia telah jatuh cinta ke Nathan. Dokter Nathan memenuhi janjinya untuk memboyong Agnes ke rumahnya, namun Agnes kecewa karena di rumah tersebut sudah ada Sigga perempuan yg lebih muda dan cantik jelita yang menjadi kepala pelayan. Agnes berusaha menerima keadaan, dan berusaha melayani Nathan dengan penuh cinta. Namun lama-kelamaan Agnes tahu bahwa Nathan juga bercinta dengan Sigga.

Kecantikan Sigga, telah mempesona Fridrik seorang bujang pengangguran. Fridrik  telah meminta Sigga dengan baik-baik kepada Nathan. Nathan mengijinkan melepas Sigga setelah Fridrik memberikan sejumlah uang kepada Nathan. Namun seiring perjalanan waktu, Nathan ingkar janji dan hal ini membangkitkan dendam kemarahan Fridrik. Agnes sendiri mengalami perlakuan yang kejam dari Nathan yang mengusir Agnes di rumahnya pada saat musim dingin tanpa berbekal pakaian yang memadai. Hingga suatu saat terjadi pertengkaran antara Fridrik, Sigga dan   Agnes di satu pihak melawan Nathan di pihak lain. Pertengkaran tersebut berakhir dengan upaya pembunuhan Nathan oleh Fridrik. Nathan yang tertidur, hancur tanganya setelah terkena palu yang dihantamkan oleh Fridrik. Fridrik berusaha menghantam kepala Nathan dengan palu tapi hanya terkena tangan Nathan. Agnes yang tidak tega melihat Nathan yang dicintainya (walaupun telah menyengsarakannya juga) terluka dan menderita kesakitan  teramat sangat kemudian menusukkan pisau ke tubuh Nathan, supaya Nathan segera terlepas dari penderitaan.

Oleh pengadilan, Fridrik dan Agnes dijatuhi pidana hukuman mati. Sebelum eksekusi hukuman mati dilakukan, Agnes dititipkan kepada keluarga Jon yang menjadi petugas sipir, karena saat itu fasilitas penjara sedang penuh dan lokasi jauh. Fridrik dan Agnes juga dibimbing oleh pendeta agar mereka siap secara mental dan spiritual untuk menjalani hukuman mati. Agnes meminta didampingi oleh Totti, seorang asisten pendeta yang pernah hadir dalam mimpinya dan pernah berjumpa serta membantu Agnes saat Agnes mau menyeberangi sungai yang banjir. 

Kehadiran Agnes di Keluarga Jon semula menimbulkan ketakutan dan kekuatiran bahwa Agnes akan berbuat jahat. Namun kekuatiran itu sirna karena Agnes bekerja sangat rajin di keluarga tersebut bahkan dia dengan pengetahuannya bisa memberikan bantuan pengobatan kepada Margret (istri Jon) yang sedang sakit dan kepada tetangga yang melahirkan.  Akhir cerita Keluarga Jon dengan berat hati melepas Agnes yang akan menghadapi hukuman pancung.   Asisten Pendeta Totti, yang sedang sakit beberapa bulan karena memaksakan diri menempuh perjalanan jauh di musim dingin untuk memberikan pelayanan bimbingan kepada Agnes, ketika mendengar Agnes akan dieksekusi segera bergegas menembus musim dingin untuk menemui dan menguatkan Agnes. Dengan tekad membaja, Toti akhirnya berhasil menemui Agnes dan memberikan penghiburan di saat terakhirnya.  Eksekusi untuk Fridrik dan Agnes akhirnya dilakukan, dengan meninggalkan duka yang dalam bagi orang-orang yang menyayanginya.

Novel ini menarik dari sisi alur maupun bahasa terjemahan yang enak dicerna. Ada beberapa pesan moral yang bisa kita petik nari novel ini seperti kasih sayang terhadap sesama yang terpinggirkan, positive thinking terhadap orang lain, pengabdian tulus terhadap pekerjaan dan kemanusiaan dan lain-lain.....