Monday, November 28, 2022


Hutan Desa: Proses dan Pembelajaran

Oleh Dewan Kehutanan Daerah (DKD) Kalimantan Timur

Diterbitkan oleh DKD Kalimantan Timur bekerjasama dengan GIZ FORCLIME dan WWF Indonesia – Kalimantan Timur, 2012

82 halaman

 

Buku ini ditulis tahun 2012 ketika Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat masih menjadi bagian dari Program Pemberdayaan Masyarakat. Isi tulisan buku ini diangkat dari  makalah dan diskusi yang mengemuka dalam workshop “Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan Hutan Desa di Region Kalimantan” yang diselenggarakan  oleh DKD Kalimantan Timur bekerjasama dengan GIZ FORCLIME dan WWF Indonesia – Kalimantan Timur, di Samarinda tanggal 13-14 April 2011. Pada bagian akhir buku ini juga dituliskan pengalaman Hutan Desa pertama di desa Lubuk Beringin Provinsi Jambi yang difasilitasi oleh KKI Warsi.

Dalam buku ini, penulis lebih banyak menyoroti Tahapan Perijinan Pengelolaan Hutan Desa yang mencakup: 

  1. Penetapan Areal Kerja Hutan Desa oleh Menteri
  2. Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa oleh Gubernur
  3. Pengesahan Rencana Kerja Hutan Desa oleh Gubernur/Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
  4. Pengesahan Rencana Tahunan Hutan Desa oleh Bupati/Walikota cq Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota
  5. Pemberian IUPHHK Hutan Alam/Hutan Tanaman (bila Hutan Produksi) oleh Menteri/Gubernur
  6. Pengelolaan Hutan Desa oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD)
  7. Pelaporan Tahunan Pengelolaan Hutan Desa oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) kepada Menteri/Gubernur.

Beberapa rekomendasi dari penulis untuk pengembangan Hutan Desa antara lain:

  • Penyederhanaan proses perijinan yang relative rumit yang sulit dilakukan sendiri pengurusannya oleh masyarakat kampung.
  • Perlu komitmen pendampingan dan penganggaran dalam pengurusan ijin dan pendampingan paska ijin dari pemerintah daerah.
  • Perlu dibangun komitmen dari Kementerian Kehutanan untuk mendukung Hutan Desa melalui pengalihan areal berijin yang tidak dikelola oleh si pemegang ijin IUPHHK (areal “idle”).
  • Perlu sosialisasi tentang program Hutan Desa di tingkat akar rumput dan pemerintahan daerah.
  • Optimalisasi wadah multi pihak untuk wadah komunikasi dan sinergi guna akselerasi program Hutan Desa dan Program Pemberdayaan Masyarakat yang lain.

Saat ini sebagian isi buku sudah kurang sesuai karena adanya perubahan regulasi seperti UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengalihkan kewenangan urusan pemerintahan bidang Kehutanan ke Pemerintah Provinsi, UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020  beserta peraturan turunannya seperti Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial. Meski demikian buku ini tetap bermanfaat untuk menelusuri jejak langkah perjalanan program Hutan Desa beserta dinamika tantangan yang dihadapinya. Kitapun juga akan bisa melihat masalah mana sajakah yang sudah teratasi, ataupun masalah yang masih jalan di tempat.  

Buku enak dibaca karena disajikan dalam bahasa yang sederhana dan penuh ilustrasi gambar sehingga kesannya “ringan”. Bahasa hukum yang terdapat dalam berbagai regulasi yang dikutip, menjadi cair dan mudah dipahami ketika disajikan dalam bahasa yang lebih informal dan dalam ilustrasi grafis.

Sunday, November 27, 2022


Bagaimana Undang-Undang Dibuat

Oleh: Erni Setyowati, Rival Gulam Ahmad dan Soni Maulana Sikumbang

Diterbitkan atas Kerjasama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), The Asia Foundation dan USAID.

Jakarta, 2003

105 halaman

ISBN 979-96-494-6-3

 

Buku ini ditulis pada saat masih hangatnya reformasi di awal 2000-an. Sesuai kondisi saat itu, buku ini nampaknya berusaha memberikan sajian pendidikan kewarganegaraan (civic education) bagi public khususnya terkait dengan penyusunan Undang-undang yang merupakan salah satu fungsi utama dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penulisan buku ini nampaknya juga dilatarbelakangi oleh belum optimalnya DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan, sehingga DPR dirasa tidk berkontribusi secara signifikan dalam memperbaiki kinerja penyelenggaraan pemerintahan. Di bidang pembuatan perundangan  (legislasi), ditengarai terdapat beberapa gejala umum sebagai berikut: (1) produk Undang-Undang yang dihasilkan DPR tidak efektif  atau berhasil mencapai tujuan yang diharapkan (2) UU tidak implementatif, (3) UU tidak responsive terhadap aspirasi masyarakat sehingga ada penolakan (4) UU yang dihasilkan menimbulkan masalah baru (5) UU tidak sesuai prioritas kebutuhan  masyarakat.

Pada jaman Orde Baru, Pemerintahan Soeharto  membatasi ruang gerak demokrasi bagi public maupun bagi Lembaga Negara seperti DPR. Dengan bergulirnya reformasi, terjadi euphoria demokrasi yang dikuatirkan bisa merusak tatanan demokrasi itu sendiri. DPR menjadi kekuatan yang sangat powerful, sedangkan tidak ada kekuatan penyeimbang yang mampu menjalankan check and balances. Oleh karena itu, penulis buku ini mendorong perlu adanya pengawasan public secara proaktif  terhadap DPR. Pengawasan terhadap DPR penting karena: (1) DPR adalah Lembaga perwakilan masyarakat sehingga masyarakat berhak tahu apa yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Masyarakat yang berhak terlibat tidak hanya dalam proses PEMILU tetapi juga mengawasi wakil-wakil rakyat yang telah mereka pilih, (2) DPR memegang peranan strategis dalam berbangsa dan bernegara serta menentukan nasib masyarakat melalui kebijakan yang mereka buat. (3) DPR perlu diawasi karena DPR yang seharusnya menjalankan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan dari konstituennya, tidak jarang malah berbeda kepentingan dengan konstituen yang diwakilinya.

DPR mempunyai tiga fungsi pokok yang mencakup: (1) fungsi LEGISLASI atau pembuatan Undang-undang muali dari tahap perencanaan, perancangan, pembahasan, perdebatan persetujuan dan pengesahan bersama eksekutif, (2) fungsi PENGAWASAN yang berupa control dan evaluasi terhadap eksekutif dalam penyelenggaraan negara, (3) fungsi PENGANGGARAN yang berupa persetujuan terhadapa APBN yang diusulkan oleh eksekutif beserta pengawasan/audit  penggunaannya.  

Tugas dan wewenang DPR di atur dalam UUD 1945 pasal 19 sd 22 B. Namun karena dirasa kurang detail, tugas dan kewenangan tersebut kemudian dijabarkan dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Untuk internal DPR, tugas dan kewenangan mereka kemudian dijabarkan dalam Tata Tertib DPR.

Dalam menjalankan Tugas dan Fungsinya, memiliki alat kelengkapan tetap yang terdiri dari: (1) Pimpinan DPR, (2) Komisi dan sub Komisi, (3) Badan Musyawarah/Bamus, (4) Badan Urusan Rumah Tangga/BURT, (5) Badan Legislasi/Baleg, (6) Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP, (7)  Panitia Anggaran/Panggar. Selain itu terdapat alat kelengkapan yang sifatnya sementara seperti Dewan Kehormatan, Panitia Kerja/Panja, dan Panitia Khusus/Pansus.  Dalam menjalankan tugasnya,  DPR ditopang oleh Sekretariat Jendral (Setjen) DPR yang menjalankan fungsi-fungsi kesekretariatan dan administrasi.

Di DPR  terdapat 6 jenis rapat yang mencakup (1) Rapat Paripurna, (2) Rapat Paripurna Luar Biasa, (3) Rapat Kerja, (4) Rapat Dengar Pendapat/RDP, (5) Rapat Dengar Pendapat Umum/RDPU, (6) Rapat tingkat alat kelengkapan DPR seperti rapat Komisi, Rapat Baleg dll. Rapat-rapat tersebut secara umum bersifat terbuka. Meski demikian dalam situasi tertentu bisa dilakukan secara tertutup. Proses pengambilan keputusan dalam rapat dilakukan dengan memperhatikan “kuorum”. Proses pengambilan keputusannya bisa dilakukan secara musyawarah mufakat ataupun voting suara terbanyak.

Berkaitan dengan Penyusunan Undang-Undang di DPR, tahap yang harus dilalui adalah:

  • PERENCANAAN.  Dalam tahap ini disusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang berisi daftar Undang-undang yang akan disusun selama 5 tahun mendatang. Daftar tersebut kemudian dibahas oleh eksekutif dan DPR untuk penentuan prioritas UU yang perlu disusun setiap tahunnya.
  • Perancangan dan PENGUSULAN.  UU bisa diusulkan oleh pihak Pemerintah maupun diusulkan oleh DPR. Pihak ketiga seperti LSM bisa juga mengajukan Rancangan UU  kepada DPR seperti yang dilakukan oleh ICEL yang mengusulkan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi.
  • PEMBAHASAN TINGKAT PERTAMA antara DPR dengan Pemerintah yang berisi (1) Pemandangan Umum Fraksi terhadap RUU yang diajukan Pemerintah atau Tanggapan Pemerintah terhadap RUU yang diusulkan DPR, (2) Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi atau Jawaban pimpinan Komisi atau Pimpinan Baleg terhadap tanggapan Pemerintah, (3) Pembahasan dan Persetujuan bersama atas RUU antara Pemerintah dan DPR dalam Panitia Kerja/Panja dengan mengacu pada Daftar Inventarisasi Masalah. Pada tahap ini, masyarakat bisa berpartisipasi dalam memberikan masukan terhadap draft RUU yang sedang disusun.
  • PEMBAHASAN TINGKAT KEDUA yang berupa pengambilan kepurusan dalam Rapat Paripurna berupa persetujuan pimpinan DPR  untuk pengesahan RUU yang dibahas.

 

Dalam buku ini penulis juga menyampaikan bahwa ada beberapa pihak penting yang bisa dihubungi ketika masyarakat ingin berpartisipasi dalam memberikan masukan untuk penyusunan UU, yakni: (1) anggota DPR dari Komisi/Pansus yang membahas, (2) Badan Legislasi DPR, (3) Asisten 1 Setjen DPR Bidang Perundang-undangan, (4) Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi/P3I, (5) Fraksi-fraksi. Penyampaian usulan tersebut bisa dilakukan melalui Rapat dengar Pendapat Umum/RDPU, Diskusi/hearing dengan Fraksi-fraksi, Rapat Konsultasi Publik maupun hearing dengan Badan Legislasi DPR.

Buku ini ditulis dengan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami oleh orang awam. Dari sisi isi tulisan, buku ini masih bersifat umum (generic) dan baru bersifat pengenalan umum tentang proses penyusunan UU sehingga belum bisa memandu pembaca yang ingin praktik menyalurkan aspirasinya dalam penyusunan UU melalui jalur DPR. Secara proporsi tulisan, buku ini mungkin lebih cocok diberi judul “Pengenalan Tugas dan Fungsi DPR dalam penyusunan UU” karena 60 halaman dari 90 halaman yang ada lebih banyak bercerita tentang tugas dan fungsi DPR. Adapun tulisan tentang proses penyusunan UU hanya sekitar 30 halaman saja. Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan ketatanegaraan. Saya rekomendasikan dibaca untuk kawan-kawan pemerhati atau pegiat advokasi kebijakan.

 

 

 

Saturday, November 19, 2022

Dari Perbendaharaan Lama (versi e-book)

Karya Buya Hamka 

Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1982

212 halaman

Buku ini bercerita tentang Sejarah Islam di Nusantara, mulai dari Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, Kerajaan Bantam (Banten?), Kerajaan Cirebon, Kesultanan Makassar, Kesultanan Ternate, Kerajaan Aceh, Kerajaan di Riau dll. Sejarah yang diungkap dalam buku ini terutama terkait peran kerajaan Islam tersebut dalam menghadapi kolonialisme Belanda dan Portugis. Pada akhir buku ini, Buya Hamka juga menyinggung adanya berbagai kisah Tarekat yang digunakan untuk menjustifikasi posisi seorang Raja Kerajaan Islam di mata penduduknya.

Buku ini dituliskan dengan bahasa Melayu/Indonesia  yang sderhana dan dengan model bertutur (story telling) sehingga kita seperti mendengarkan sebuah kisah dongeng. Saya sangat mengagumi Buya Hamka yang secara autodidak rajin membaca sehingga wawasannya sangat luas. Untuk menulis buku ini, saya yakin beliau pasti membaca banyak referensi. Hanya saja referensi tersebut tidak dicantumkan dalam buku ini baik berupa "Catatan Kaki" maupun "Daftar Pustaka", sehingga kita susah untuk melacak  dan membandingkan sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan penulisan buku ini.

Semoga pahala mengalir untuk beliau yang rajin menuangkan pemikiran dan pengalamannya sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua......


Orang Asli Papua (Kondisi Demografi dan perubahannya)

Oleh: Haning Romdiyati, GustiAyu  Ketut Surtiari, Luh Kitty Katherina, Dwiyanti Kusumaningrum, Ari Purwanto Sarwo Prasojo

Yayasan Pustaka Obor Indonesia  bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Jakarta, 2019

ISBN 978 602 433 878 7

238 halaman

 

Buku ini bercerita tentang Orang Asli Papua (OAP) di Provinsi Papua Barat dengan mengambil kasus di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamberauw . Orang Asli Papua dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki nama  dengan marga/suku bangsa asli suku-suku Papua. Analisis data kuantitatif dalam buku ini ditulis antara lain dengan mengacu pada data Sensus Penduduk (SP) 2010 dan Suplemen SP 2010.

Jumlah penduduk Propinsi Papua Barat berdasar Sensus Penduduk 2010 berjumlah 760.442 jiwa atau 0,32% dari jumlah penduduk Indonesia. Di tahun 2015, jumlah penduduk meningkat menjadi 868.819 jiwa  dengan laju pertambahan penduduk sekitar 2,7% per tahun. Laju pertambahan penduduk tersebut utamanya disebabkan adanya migrasi penduduk khususnya di daerah perkotaan seperti Kota Sorong dan Kabupaten Sorong. Daerah Sorong sendiri sejak tahun 1970 merupakan daerah transmigrasi dengan transmigrant dari Jawa.  Saat ini sudah banyak pendatang lain seperti dari Bali, Sumatra Utara, Menado, Buton dan Ambon.

Masuknya migran (baik transmigrasi dan migran spontan) telah mengubah komposisi penduduk. Di tahun 2010 OAP berjumlah 381.933 jiwa (atau 52,1% dari jumlah penduduk Papua Barat ), namun di tahun 2015 prosentasi jumlah OAP berkurang menjadi 50,3% walaupun secara absolut jumlah OAP meningkat menjadi 436.869 jiwa. Di derah Sorong, masuknya migran ini mengakibatkan OAP terdesak  ke daerah pinggiran atau pedalaman. Jumlah OAP saat ini sekitar sepertiga dari jumlah penduduk Kabupaten Sorong.  Selain itu dengan tingkat Pendidikan yang rendah, mengakibatkan OAP tidak bisa bersaing dengan pendatang di pasar tenaga kerja sector formal dan pemerintahan. Keterdesakan OAP ini juga semakin menjadi dengan adanya pelepasan wilayah ulayat mereka untuk kepentingan pembangunan, di sewa pendatang maupun dibeli investor tambang  dan perkebunan. Di daerah Kabupaten Tamberauw yang belum terlalu terbuka¸ arus migrasi belum terlalu besar walaupun cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga di daerah perkotaan Kabupaten Tamberauw, proporsi penduduk OAP masih  cukup tinggi.

Dari sisi pertumbuhan alami, jumlah kelahiran di keluarga OAP berkisar 5-6 orang. Kondisi Kabupaten Sorong yang relative lebih baik dalam penyediaan fasilitas kesehatan, informasi dan komunikasi membuat situasi kelahiran keluarga OAP di Sorong lebih baik dibanding di Tamberauw.

Di Papua, seorang anak mempunyai milai secara kultural maupun ekonomi. Anak laki-laki merupakan penerus marga dan penerus hak waris atas ulayat.  Sehingga semakin banyak anak  laki-laki maka peluang untuk mempertahankan tanah ulayat semakin besar. Sedangkan anak perempuan  merupakan sumber tenaga kerja di kebun, sekaligus asset ekonomi untuk mendapatkan pembayaran mahar (mas kawin). Adaya motif kultural dan ekonomi tersebut mengakibatkan upaya penurunan angka kelahiran menjadi terkendala. Meski demikian semakin terbukanya akses informasi dan lapangan kerja bagi kaum perempuan telah membuat banyak keluarga OAP di perkotaan melakukan penjarangan waktu melahirkan. OAP sendiri sebenarnya mempunyai kearifan local untuk melakukan penjarangan kelahiran dengan menggunakan ramuan tradisional. Penjarangan kelahiran tersebut terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup keluarga OAP misalnya anak-anak bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik dan Kesehatan ibu lebih terjamin.

Melihat kondisi terdesaknya OAP, penulis buku ini menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1.    Kualitas SDM OAP ditingkatkan melalui layanan Pendidikan dan Kesehatan agar mereka nanti mampu bersaing dengan pendatang di dunia pasar tenaga kerja.

2.    Pemberdayaan masyarakat dalam sector primer pertanian lahan kebun.

3.    Perlindungan hak ulayat agar tidak mudah dipindahtangankan ke pihak ketiga termasuk pendatang.

4.    Pembangunan infrastruktur harus mengakomodir kepentingan OAP.

 

Secara umum buku  ini cukup mudah dipahami isinya, karena analisanya tidak terlalu rumit dan bahasanya mudah dipahami. Direkomendasikan untuk dibaca oleh rekan-rekan yang ingin memahami kondisi makro OAP di Tanah Papua khususnya di Papua Barat, yang saat ini telah dimekarkan menjadi Papua Barat  dan Papua Barat Daya. Lokus studi ini Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamerauw nampaknya masuk ke Provinsi baru yakni Provinsi Papua Barat Daya.

Wednesday, November 09, 2022


Rajah Merah di Ladang Kentang

Penulis: Hery Santoso

Interlude, Yogyakarta 2019

458 halaman

ISBN 978 602 5873 935

 

Buku ini bercerita tentang Desa Puncak Wangi di daerah pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang berada di ketinggian 2.300 di atas permukaan air laut. Dengan kondisi yang berada di ketinggian ekstrim, Desa Puncakwangi bersuhu 10-15 derajat Celsius di malam hari bahkan pada bulan kemarau (Juli-Agustus) shu bisa mencapai 0 derajat di pagi hari. Dari dokumentasi yang ada, desa ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1880-an. Di tahun 2010 penduduk des aini berjumlah sekitar 1.200-an jiwa.

Dengan kondisi yang terisolir di dataran tinggi, infrastruktur jalan dan fasilitas umum lainnya seperti sekolah di desa Puncakwangi pada awalnya sangat minim. Lingkungan yang punya ketinggian ekstrim, juga menyebabkan daerah ini kurang cocok untuk tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan terpaksa harus dibeli dari daerah/desa lain. Dalam beberapa kasus dijumpai masyarakat desa  ini pernah mengalami bencana kelaparan.  Untuk mensiasati kebutuhan ekonomi di lingkungan yang kurang bersahabat tersebut, Sebagian masyarakat mengembangkan system pertanian tumpangsari beberapa komoditi. Alternatif lain adalah mereka melakukan migrasi dan menjual tenaga menjadi buruh tani di desa-desa sekitarnya. Dengan keterbatasan tersebut masyarakat desa ini sering dikonotasikan masyarakat “ngiwa” atau terbelakang (marginal).

Kondisi prasarana jalan dan sekolah mulai dibangun than 1970an. Dari sisi pertanian, sejak jaman colonial Belanda sd tahun 1970an, di daerah Dieng banyak diintroduksikan tanaman tembakau dan jagung. Pada tahun 1970an, kubis (kuban ekspress) mulai diintroduksi  dan tahun 1980an, tanaman kentang Bandung (Granola yang diintroduksi oleh petai dari Pengalengan Jawa Barat) mulai banyak dikembangkan.

Di desa Puncakwangi, budidaya tanaman kentang ini membawa perubahan ekonomi yang signifikan karena tanaman kentang sangat cocok dibudidayakan di desa ini. Masyarakat berlomba-lomba berinvestasi menanam kentang. Lahan-lahan yang ada dimaksimalkan untuk budidaya kentang. Lahan pertanian yang semula memakai system tumpangsari heterokultur, dirombak menjadi monokultur kentang. Mereka berani berinvestasi menggunakan pupuk  dan obat-obatan dari pabrik karena kentang termasuk rakus hara. Merekapun berani membayar buruh tani dari desa lain karena kentang membutuhkan pemeiharaan intensif. Keuntungan yang mengalir deras  membuat desa ini lepas dari cengkeraman kemiskinan, bahkan banyak warga desa lain yang mencoba berinvestasi kentang di desa ini. Booming kentang di desa ini mengundang masuknya Lembaga perbankan yang menyediakan jasa permodalan,  industry obat-obatan dan pupuk pabrik serta buruh tani dari luar yang menyediakan jasa tenaga kerja.  Masyarakat juga memaksimalkan profit dengan melakukan budidaya kentang 3 musim panen dalam setahun.

Masyarakat desa Puncakwagi memanfaatkan surplus pendapatan dari budidaya kentang ini untuk menaikkan status sosial mereka dengan pergi naik haji, menyekolahkan anak ke pesantren, pendidikan menengah atau tinggi, membeli perabotan skunder, membangun masjid yang megah  investasi ke sector lain maupun  untuk foya-foya seperti pesta kembang api saat menyambut lebaran.  Maraknya anak-anak yang bersekolah di pesantren membawa perubahan sosial dimana masyarakat desa Puncakwangi yang semula menganut Islam Kejawen, berangsur-angsur beralih ke Islam Pesantren. Ritual-ritual adat sedikit demi sedikit ditinggalkan dan bergeser menjadi ritual agama pesantren seperti pengajian, barzanji dan lain-lain.

Bulan madu masyarakat Puncakwangi dengan Kentang Bandung ini mulai surut di awal tahun 2000 an. Serangan jamur, angin  dan babi hutan  mengakibatkan gagal panen atau produktivitas menurun. Hal ini diperparah dengan terkurasnya unsur hara dan erosi yang tinggi  karena masyarakat menanam kentang tanpa ada terasering. Pemakaian pupuk dan obat-obatan pabrik yang tidak terkendali, membuat kondisi lahan rusak. Cilakanya sebagian besar masyarakat   malah memperbanyak pemakaian pupuk dan obat pabrik di luar takaran yang seharusnya untuk menggenjot produksinya.

Pemakaian pupuk dan obat pabrik yang banyak mengakibatkan membengkaknya biaya produksi. Di sisi lain penurunan produktivitas mengakibatkan pendapatan turun. Tidak seimbangnya biaya produksi dan pendapatan mengakibatkan investasi merugi. Dalam kondisi seperti ini sebagian masyarakat menjadi terlilit hutang ke bank yang bunganya sangat tinggi. Kegagalan panen kentang yang berulang, mengakibatkan mereka semakin tenggelam dalam lobang hutang yang mereka gali. Sebagian dari mereka terjebak dalam romantisme kejayaan kentang, sehingga mereka ingin segera dapat penghasilan besar dari kentang dan bisa membayar lunas hutang-hutangnya. Namun kenyataan berkata lain, jebakan hutang semakin dalam sehingga mereka terpaksa harus menjual asset-asetnya (bahkan termasuk lahan) untuk menutup hutangnya. Jual beli ini dilakukan kepada petani kaya di desa Puncakwangi sendiri, karena ada aturan di desa yang berisi larangan jual beli tanah kepada orang dari desa lain (orang luar).  Kondisi ini berakibat munculnya fenomena tuan tanah – tuan tanah di desa yang menguasai asset lahan, dan munculnya petani tuna kisma (tidak punya lahan).  Para petani yang tidak punya lahan biasanya menempuh beberapa alternatif untuk bertahan hidup, antara lain: (1) bertahan di desa sendiri dengan menjadi buruh tani, (2) melakukan migrasi ke luar desa atau keluar daerah/ke luar Jawa dengan bekerja sebagai buruh tani/buruh kelapa sawit, (3) bekerja di sector informal seperti tukang parkir dan lain-lain.

Dari pengalaman di desa Puncakwangi ini, ada beberapa orang yang bisa bertahan bahkan berhasil melakukan akumulasi kekayaan dengan budidaya kentang, yakni: (1) orang yang memiliki lahan luas sehingga dia bisa melakukan subsidi silang ketika gagal panen di satu petak, dengan mengkompensasi dari petak lain yang berhasil, (2) orang yang mempunyai akses modal memadai sehingga bisa membayar sarana produksi dan tenaga yang diperlukan, (3) orang yang tekun dan giat di lapangan karena kentang perlu penanganan intensif (4) orang yang mampu dan disiplin mengelola sumberdaya secara efisien/hemat (5) orang yang mampu berhitung cost-benefit secara jernih missal berani melawan arus dengan melakukan penanaman 2 kali karena secara kalkulasi ekonomi penanaman 2 kali setahun hasilnya hampir sama dengan penanaman yang 3 kali setahun. Di sisi lain penanaman 2 kali setahun malah memberikan manfaat agar lahan bisa bernafas dan memutus siklus hama atau jamur.

Pesan yang bisa ditarik dalam buku ini antara lain program-program pembangunan yang berniat mulia ketika diserahkan ke mekanisme pasar, terkadang dalam jangka panjang hasilnya berkebalikan dari apa yang diharapkan. Monokulturisasi kentang selain menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat massif, juga telah mereproduksi kemiskinan di desa Puncakwangi. Kegagalan budidaya kentang ini telah menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat sehingga banyak yang berharap anak keturunannya kelak tidak menjadi petani ( “deagrarianisasi”) dan beralih ke mata pencaharian lain. Keputusasaan masyarakat juga tercermin dengan cara mencari pemecahan masalah secara supranatural seperti pemasangan jimat rajah merah untuk mengusir hama dan penyakit tanaman kentang.

Dalam buku ini penulis menggambarkan bahwa tesis konflik antar kelas dari Marx tidak sepenuhnya terbukti dalam kasus di desa Puncakwangi ini. Sebaliknya pula, asumsi kaum kapitalis bahwa  pasar akan mensejahterakan masyarakat juga tidak terbukti secara signifikan. (CMIIW…)

Mas Hery dalam buku ini sangat piawai dalam bertutur. Membaca buku ini seperti membaca sebuah kisah yang terangkai dalam kata-kata yang mudah dikunyah. Saya menyandingkan buku ini dengan  buku Perubahan Sosial di Yogyakarta karya Prof. Selo Soemardjan, yang ditulis dengan cara bertutur pula.

Dari sisi isi, buku ini cukup komprehensif mengupas berbagai aspek kehidupan. Saya pikir pemikiran Mas Hery ini sangat bermanfaat untuk merekonstruksi pengetahuan kita tentang pola perilaku orang gunung (dataran tinggi). Bahwa mereka bukan orang terbelakang dan hanya berorientasi subsisten belaka, tetapi banyak perilaku mereka didasari perhitungan rasionalitas  ekonomi. Dalam konteks ini saya menyandingkan Mas Hery dengan Michael Dove yang ahli perladangan di Indonesia.

Secara umum buku ini sangat bagus dan well recommended. Meski demikian pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”. Input saya  untuk buku ini adalah saya merasa ada beberapa bagian yang terkesan mengulang-ulang. Pengulangan ini tidak terlalu mengganggu, tapi kalau bisa pengulangan ini diperbaiki agar keruntutan alur bacaan menjadi lebih mengalir.