Saturday, December 02, 2023

CHAT GPT UNTUK PERGURUAN TINGGI

 


CHAT GPT UNTUK PERGURUAN TINGGI

Penulis: Baharuddin

Penerbit: ITB Press, Bandung 2023

ISBN 978-623-297-297-1

80 halaman

 

Buku in mengupas tentang penggunaan kecedasasan buatan dalam dunia Perguruan Tinggi khhususnya dalam bidang penelitian. Menurut H. A. Simon (1987) Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) merupakan kawasan penelitian, aplikasi dan instruksi yang terkait dengan pemrograman komputer untuk melakukan sesuatu hal yang -dalam pandangan manusia adalah- cerdas.

Chat GPT ssebagai salah atu aplikasi AI dapat  dipergunakan di link https:////chat.openai.com  Pengunjung nanti  bisa membuat akun di link tersebut dan juga bisa menggunakan akun yang ssudah dimiliki di Google atau akun Microsoft. Untuk Chat GPT ini, pengunjung bisa memilih chat GPT yang gratis ataupun yang berbayar. Tentu saja aplikasi berbayar akan mempunyai fitur, kualitas kerja dan kecepatan yang lebih baik,

Dalam buku ini selain mengajari untuk membuat akun Chat GPT, penulis menjelaskan manfaat chat GPT khususnya untuk penelitian yang mencakup:

1. Persiapan penelitian:

·       Membantu memilih tema atau variable  penelitian
·       Membantu memilih metode penelitian yang tepat
·       Membantu memiih bahan bacaan pendukung
·       Membantu formulasi instrument penelitian missal kuesioner

2. Pengolahan data:

·      Membantu Menyusun data deskriptif menjadi tabular
·      Membantu pengolahan dan interpretasi data statistic

3. Penulisan Hasil Penelitian:

·      Membantu Menyusun outline hasil penelitian
·      Membantu memperbaiki tata Bahasa dan penulisan kata
·      Membantu memiih bahan bacaan pendukung
·      Membantu membuat abstrak/summary
·      Mengidentifiikasi keyword

4. Publikasi Hasil Penelitian:

·    Membantu peneliti untuk memperhatikan kisi-kisi yang harus diperhatikan ketika men-submit sebuah tulisan ke lembaga jurnal

Meski AI menjanjikan banyak kemudahan bagi peneliti, penulis juga mengingatkan bahwa AI juga punya berbagai keterbatasan sehingga kejelasan memberikan perintah dan pengecekan ulang hasil kerja AI tetap diperlukan. Penulis juga mengingatkan bahwa adanya AI bisa menimbulkan maraknya plagiasi (peniplakan) dan berkurangnya orisinalitas para peneliti. Walaupun saat ini semakn banyak aplikasi untuk menangkal plagiasi, namun penanaman etika peneliti tetap merupakan ssebuah hal prioritas.

Dari pengalaman saya sendiri, aplikasi Chat GPT juga bisa digunakan untuk membantu membuat draft surat kantor. Bahkan saya pernah iseng menyuruh Chat GPT membuat surat cinta yang romantic, aplikasi itu bisa membuatnya. Semakin jelas dan lengkap perintah kita maka hasilnya akan semakin mendekati keinginan kita.

Secara umum buku ini ringan dan bahasanya mudah dipahami. Buku ini tidak banyak menjelaskan detail teknis bagaimana memberikan perintah kepada aplikais chat GPT namun hanya menjelaskan manfaat secara umum.  Oleh karenanya menurut saya buku yang 80 halaman ini terassa agak mahal ketika dibandrol Rp. 100,000 per eksemplar.

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, November 21, 2023

ALAMPUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN



ALAMPUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN

Penulis: Mas Achmad Santosa

Penerbit as@-prima Pustaka,

Jakarta 2016

ISSBN 978-602-14145-7-6

318 halaman

 

Buku ini ditulis oleh Mas Achmad Santosa yang merupakan salah seorang pakar hukum lingkungan terkemuka di Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan tulisan beliau yang  didukung oleh co-author, yang mencakup beberapa topik  yakni:

1.   Greener Constitution

Topik ini menegaskan bahwa untuk mendukung Pembangunan berkelanjutan, dperlukan konstitusi dan perangkat hijau yang berpihak pada kelestarian lingkungan,  Penulis berpendapat bahwa komitmen konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945) terhadap Pembangunan Hijau termasuk  dalam kategori “sedang”.  Hal ini diindikasikan dengan adanya pengakuan hak-hak subyektif dan kewajiban negara untuk  melakukan upaya dini dan tepat sasaran. Meski demikian konstitusi yang ada belum memberikan pengakuan atas hak hukum untuk alam (the right for the nature) serta memberikan arahan paradigma pembangunan.  Oleh karenanya penulis berpendapat perlu adanya dukungan politik para pemangku kepentingan untuk  penguatan konstitusi dan regulasi serta arah pembangunan yang lebih memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.

 

2.   Illegal Fishing dan Perdagangan Manusia

Kegiatan Illegal Fishing selain dimaknai sebagai pencurian ikan lintas negara juga mencakup unreported fishing dan unregulated fishing (IUU fishing).  Kegiatan IUU fishing ini merupakan kejahatan  yang melanggar kedaulatan negara , mengakibatkan kerugian ssekitar 20 milyar dollar per tahun, mengancam terubu karang di Indonesia. Kejahatan tersebut juga berpengaruh terhadap pendapatan nelayan kecil karena  berkurangnya stok ikan. IUU fishing juga erkait dengan kejahatan keuangan (financial crimes) sseperti pencucian uang, korupsi dan penggelapan pajak. Baahkan IUU fishing ini juga banyak terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia karena banyak karyawan kapal ikan adalah korban perdagangan orang (trafficking in persons) dan praktik kerja paksa (forced Labour).

Untuk mengatasi IUU fishing, Pemerintah di tahun 2014 melakukan pembenahan regulasi, pembentujan Satgas Pencegahan dan Pemberantasan IUU fishing (lintas sektor) serta law enforcement melalui jalur administrasi, pidana maupun perdata. Salah satu langkah terkenal dalam penegakan hukum ini adalah penenggelaman kapal ikan asing yang melakukan pelanggaran.

Upaya pencegahan dan pemberantasan IUU fishing tersebut membawa hasil yang positif. Meski demikian   penanganan perkara IUU fishing menjumpai sejumlah kendala yakni: (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, (2) lemahnya pemerintah dalam 3A-- ability to detect, ability to respond dan ability to punish, (3) kelemahan penegak hukum dalam melakukan pendekatan multidoor – pendekatan berlapis dengan berbagai rezim peraturan perundangan, (4) integritas apparat penegak hukum yang rawan korupsi.

Untuk mengatasi kendala di atas, penulis memberikan rekomendasi antara lain: (1) pembentukan satgas penegak hukum bidang kejahatan perikanan, (2) penguatan Kerjasama internasional missal interpol, (3) perbaikan tata Kelola di bidang pengusahaan perikanan, (4) pemberdayaan komunitas nelayan agar bisa mengelola sumberdaya prikananb secara lestari.

 

3.   Potensi penegakan hukum administrasi  dalam perlindungan lingungan hidup

Tulisan ini merupakan ringkasan disertasi penulis dengan studi kasus di Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang tahun 2014.

Penegakan hukum administrasi  memiliki potensi kuat sebagai perangkat pencegahan sebelum terjadi pelanggaran yang serius dan berdampak negative terhadap kualitas lingkungan hidup. Potensi pencegahan ini dilakkan melalui pengawasan dan penjatuhan sanksi administrative yang bertujuan memperbaii kondisi ketidaktaatan. Secara finansial, biaya penegakan hukum administrasi (sekitar 10 juta rupiah per kasus)  lebih murah dibandingkan biaya penegakan hukum pidana atau perdata (sekitar 250 juta rupiah per kasus). Penegakan hukum administasi juga akan lebih hemat waktu karena eksekusinya tidak harus menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Beberapa jenis sanksi hukum administrasi tersebut mencakup persuasi,  surat peringatan, denda perdata/civil penalty, paksaan pemerintah , denda pidana/criminal penalty, pembekuan ijin, dan pencabutan ijin. Meski peenegakan hukum administrasi relative efisien namun dalam kenyataannya penegakan hukum administrasi dalam kasus pencemaran lingkungan masih belum optimal.

Dalam melakukan analisis peenegakan hukum administrasi penuis menggunakan pendekatan Analisis Kecukupan “3A+I” yang mencakup ability to detect, ability to respond, ability to punish dan ability to build perception that 3A condition exist yang dijabarkan dalam 31 indikator. Hasil analisis kecukupan 3A+I di Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang adalah ssbb:

  1. Pada tataran kebijakan nasional, hampir seluruh prasyarat normative  sudah diatur cukup lengkap meski terdapat beberapa lobang yakni belum tesedianya peraturan operasional berupa Peraturan Pemerintah untuk beberapa issu.  Terdapat iinisiatif Pemprov Jateng dan Pemkot Semarang untuk mengisi kekosongan tersebut dengan pembuatan Perda.
  2. Pendelegasian kewenangan dari Pimpinan Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) kepada pejabat Teknis (Kepala Badan LH) sebagai legitimasi hukum pendelegasian pengawasan dan penjatuhan sanksi administrasi baru dilaksanakan dii Pemprov Jateng dan Pemkot Semarang. Akibatnya Pemkab Semarang tidak pernah memberikan sanksi paksaan ke Perusahaan peencemar lingkungan.
  3. Tiga daerah yang diteliti tidak mempunyai anggaran yang memadai untuk menjalankan  fungsi pengawasan ecara rutin dan menyeluruh dan penyediaan sarana pendukung (misal labortorium). Untuk Pemprov Jateng kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp. 7,7 milyar namun yang tersedia hanya Rp. 531 juta. Untuk Pemkot Semarang kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp. 628  juta namun yang tersedia hanya Rp. 294 juta. Untuk Pemkab Semarang kebutuhan anggaran diperkirakan sekitar Rp. 232  juta namun yang tersedia hanya Rp. 20 juta.
  4. Kualitas dan kuanitas SDM di tiga lokasi studi kasus belum mencukupi untuk melaksanakan kegiatan pengawasan  rutin, inssientil dan mnindaklanjuti pengaduan masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi  ketidakcukupan prasyarat #A+I tersebut antara lain: (1) lemahnya political will dari Pimpinan Daerah untuk mengalokasikan anggaran, SDM dan menyusun regulasi pendukung, (2) Pembinaan Pemerintah Pusat (KLH) kepada Pemda yang tidak optimal.  

Untuk mengatasi kelemahan di atas, perlu koordinasi lintas lembaga untuk mengatur alokasi anggaran dan juga SDM guna mendukung penegakan hukum lingkungan. Selain itu KLH perlu memetakan kekuatan dan kelemahan kapasitas Pemda,  melakukan need assessment untuk penguatan kapasitas Pemda, memberikan dukungan dan bantuan nyata ke Pemda melalui Dana Dekonsentrasi atau Dana Alokasi Khusus, serta mengatur penyediaan tenaga fungssional untuk pengawasan Iingkungan hidup.

 

4.   Membuka akses keadilan melalui Citizen Law Suit (CLS).

CLS atau Gugatan warga negara adalah mekanisme bagi warga negaara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas keelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Warga negara yang mengajukan gugatan  tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian ssecara langsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakii. CLS ersama-sama dengan NGO standing merupakan bagian dari actio popularis.

Di Indonesia, CLS udah dipergunakan dalam beberapa kasus seperti Komari dkk yang menggungat Pemerintah RI cq Pemprop Kaltim cq Pemkot Samarinda yang lalai dalam melaksanakan kewajiban  mnciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat khususnya dengan banyaknya tambang di Kaltim. Hasil dari beberapa kasus gugatan cukup beragam.

Meski sudah diterapkan, saat ini belum ada pengaturan CLS secara spesifik. Hakim  seharusnya dapat menerima gugatan CLS  untuk mengisi kekosongan hukum saat ini. Meski demkian  pengaturan CLS dalam undang-undang diperlukan di masa mendatang supaya ada kepastian hukum  bagi Masyarakat penggugat dan hakim yang mengadili perkara.

Bagi Masyarakat ssebagai penggugat, ada ruang-ruang yang  perlu diekssplorasi  untuk perkara CLS yakni: (a) ruang lingkup CLS, (b) kapan CLS bia diajukan terkait dengan suatu pelanggaran atau pembiaran,(c) kewajiban untuk mengganti ongkos penasehat hukum bila warga memenangkan gugatan.

 

5.   Climate change dan Reduce Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD)

Menurut penulis, sampai dengan tahun 2012  (saat artikel  ditulis)  belum  ada kerangka hukum perubahan iklim yang kuat di Indonesia. Hal ini diperparah oleh lembaga penegak hukum yang jauh dari efektif, integritas, komitmen dan professionalismenya yang sering dipertanyakan.

Meski demikian sikap Pemerintah terhadap perubahan iklim merupakan hal yang positif dan terdapat beberapa perkembangan di bidang kebijakan. Upaya penurunan emisi 26% ecara wadaya dan 41% dengan dukungan internasional telah membangkitkan berbagai pemikiran untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Letter of Intent Pemerintah Indonesia dengan Norwegia mendorong Pemerintah Indonessia untuk melakukan Langkah kongkret  menyelesaikan persoalan reboisasi dan degradasi hutan melalui REDD+ termasuk moratorium ijin baru di hutan alam, hutan skunder dan lahan gambut serta meningkatkan praktik penegakan hukum yang memberikan efek jera. Beberapa inissiatif lain aalah: (a) penataan kelembagaan Badan REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, (b) Pembentukan Tim Gabungan Penegakan Hukum yang lintas sektor merupakan hal positif untuk mendorong penegakan hukum lebih terpadu, (c) mendorong adanya sertifikasi hakim yang menangani perkara kasus lingkungan, (d) kerjassama dengan KPK untuk pencegahan korupsi di sektor Kehutanan, karena korupssi bissa mengancam kesiapan dan implementasi REDD+.

REDD+ tidak sekedar upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Tetapi merupakan pintu massuk untuk mendorong keadilan lingkungan, melindungi hutan, mendorong reformasi tata kelola ssumberdaya alam dan pemberdayaan Masyarakat yang tergantung kepada hutan. Perlu kunci sukses untuk mendorong tata Kelola lingkungan yang baik dan mengurangi resiko korupsi termasuk mendorong transparansi, akses ke informasi, partisipasi public, birokrasi yang responsif dan bersih, kerangka hukum  yang koheren serta mekanisme penegakan hukum yang kuat.

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan REDD+ antara lain: pendekatan sectoral, sistem pemerintah daerah yang tidak terstruktur dengan baik, ketidak mampan organisasi masyarakat sipil untuk advokasi exploitasi sumberdaya alam serta rendahnya kapasitas politik local untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan. Tidak adanya mekanissme insentif yang jelas untuk pelestarian lingkungan, membuat para pemimpin daerah melakukan pemanfaatan ssumberdaya alam yang berorientasi jangka pendek dan eksploitatif. Kurangnya kotrol public dan penegakan hukum membuat dampak negatif desentralisasi semakin terasa dan korupsi merajalela.  Jika REDD+ ingin dijadikan pintu massuk untuk mewwujudkan keadilan sosial dan lingkungan, tantangan tersebut harus diatasi.

Dari sisi teknis Kelola kawasan, pengembangan REDD+ juga menjumpai sejumlah tantangan yakni:   (1) belum adanya kesamaan peta referensi antar instansi, (2) perbedaan kriteria  Kawasan lindung dan Kawasan produktif antar sektor, (3) perbedaan data  antara peta padu serasi dengan peta tata ruang,  (4) belum selesainya pengukuhan hutan, (5) maraknya konflik tenurial dan ketidak pastina status Kawasan. Beberapa inisiatif pemerintah untuk mengatasi tantangan tersebut anatara lain: (1) kebijakan satu peta, (2) Percepatan pengukuhan hutan, (3) penerbitan Inpres  no 2 tahun 2013 tentang resolusi konflik, (4) penyusunan draft regulasi pengelolaan lahan gambut. Issu lain yang juga penting adalah penataan perijinan usaha yang transparan dan berkeadilan serta berbasis kelestarian.

 

Menurut saya, secara umum buku ini mudah dipahami, karena Mas Otta menggunakan bahasa baku dan logika berpikir yang mudah ditangkap oleh orang awam. Satu hal yang agak mengganjal bagi saya adalah topik yang ditulis dalam buku ini cukup luas mulai dari teori (seperti artikel greener constitution, citizen law suit), hingga terapannya (seperti penegakan hukum administrasi). Dari isu darat (artikel REDD+) hingga air (artikel illegal fishing). Krena rentang topik yang luas jadi keasyikan membaca tersasa terpenggal-penggal.


Monday, September 04, 2023

SAMIN; mistisisme petani di tengah pergolakan

 



SAMIN; mistisisme petani di tengah pergolakan

Penulis: Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin

Penerbit Gigih Pustaka Mandiri

Semarang, 2014

218 halaman

ISBN 978-602-1220-02-3

 

Bagi Sebagian orang luar, Orang Samin dianggap identik dengan sekelompok masyarakat yang punya karakter “nyleneh” (berbeda dari kelaziman), keras kepala, tiak mau diatur, hanya menuruti pendapat sendiri, tidak mau tunduk kepada hukum dan pemerintah.  Orang Samin atau sering menyebut diri “Wong Sikep” atau “Sedulur Sikep” merupakan sekelompok masyarakat yang mengikuti ajaran dari Samin Surosentiko. Mereka tersebar di beberapa daerah antara lain Kabupaten Pati, Blora, Kudus (Jawa Tengah) dan  kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur). Kesederhanaan, keluguan dan ketaatan orang Samin terhadap aturan internal tradisional mereka mungkin hampir sama dengan Masyarakat suku Badui di Banten.

Samin Surosentiko sendiri merupakan seorang tokoh yang lahir di Randublatung, Blora sekitar tahun 1859. Terdapat kesimpang siuran terkait latar belakang keluarga Samin karena tidak adanya Dokumen tertulis tentang kelahirannya. Ada yang menduga Samin berasal dari keluarga bangsawan, namun ada yang meperkirakan Samin berasal dari keluarga santri (pemuka Islam) dan ada pula yang memperkirakan Samin berasal dari orang Kalang yang berprofesi sebagai blandhong kayu (pekerja hutan). Samin mulai mengajarkan ilmu kebatinan sekitar tahun 1890.

Pada saat Samin tumbuh remaja dan dewasa, Pemerintah Kolonial menetapkan regulasi domein verklaring (1870) untuk menguasai lahan Masyarakat yang tidak ada bukti kepemilikannya, iuran pajak kepala sebagai pengganti kerja wajib (1882), penetapan houtvesterijen yang membatasi akses Masyarakat mengambil kayu dari hutan (1897). Melihat kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda tersebut, Samin dan pengikutnya di tahun 1905 mulai melakukan pembangkangan membayar pajak. Mereka melakukan pembangkangan dengan cara non kekerasan. Tahun 1907, Samin dan beberapa penikutnya ditangkap dan dibuang ke Sawahlunto, Padang. Meskipun Samin dibuang ke pengasingan, para pengikut Samin terus melakukan pembangkangan bahkan sering disertai dengan aksi kekerasan.

Menilik ajaran Samin Surosentiko sendiri, salah satu ajaran yang beliau kemukakan adalah “kebo brujul lebokno, kebo branggah ulehno” atau Kerbau  Jawa akan tinggal, Kerbau Asing yang besar akan pulang ke negaranya . Ajaran tersebut mengandung makna datangnya suatu masa orang Jawa akan menggantikan pemerintah colonial. Pada masa pergantian tersebut, akan datang seorang “Ratu Adil” yang muncul. Ratu Adil inilah yang akan memimpin Jawa ke dalam masa kemakmuran.

Beberapa poin lain ajaran dari Samin Surosentiko mengandung nilai-nilai moral yang tinggi seperti  integritas, kedermawanan, non kekerasan dan ramah lingkungan. Ajaran tersebut kemudian dijadikan angger-angger (aturan internal) antara lain:

  • Ojo drengki, srei, tukar padu, dahwen lan kemeren (jangan dengki, serakah berdebat dengan kasar, menuduh dan iri).
  • Ojo kutil, jumput, mbedhog, colong, nemu wae disimpangi,   (jangan  mengutil, mengambil, merampok atau memalak, mencuri, mengambil barang temuan saja harus dihindari.
  • Dagang, kulak, mblantik, mbakul, nganakno duwit emoh, bujuk, apus, akal, krenah, ngampungi pernah, ajo dilakoni (berdagang, kulak, menjadi makelar, berjualan, membungakan uang, merayu, berbohong, bersiasat, mendaku, menelikung, jangan dijalani)
  • Lakonana  sabar, trokal Sabare dieling-eling, trokale dilakoni (jalanilah sabar dan tawakkal. Sabarnya diingat-ingat, tawakalnya dijalani.
  • Jangan berzina, jangan menganggur, jika dihina tetap diam, jangan meminta dari siapapun tetapi berilh jika ada yang meminta makanan atau uang.
  • Wong urip iku kudungerti uripe, sebab urip siji digawa selawase (orang hidup harus mengertihidupnya sebab hidup satu akan dibawa selamanya). Orang harus bisa menjalankan tatane wong (tata manusia) yakni sikep rabi bergaul dengan istri, dan tata nggauto (tata kerja) seperti berladang dengan sungguh-sungguh dan hati-hati agar bisa mencapai tujuan hidup.

Di antara para pengikutnya, ajaran Samin seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Hal ini disebabkan:

  • Pengikut Samin pada awalnya sebagian besar berlatar belakang petani yang buta huruf.  Sehingga Samin menyampaikan ajarannya dengan cara lisan (ceramah). Cara ini membuat penangkapan makna antara seorang pengikut dengan pengikut lainnya sering berbeda-beda.
  • Pengajaran oleh Samin dilakukan dengan Bahasa Jawa yang terkadang penuh kiasan atau metafora sehingga interpretasi satu orang dengan orang lain berbeda tergantung kemampuan analisisnya.
  • Konteks local dan dimensi waktu yang berbeda antar generasi, bisa menimbulkan interpretasi berbeda terhadap suatu poin ajaran tertentu.

Dari pengamatan saya terhadap buku ini, saya merasa ajaran Samin ini merupakan gabungan antara nilai-nilai Kejawen dan Islam.

Di masa paska kemerdekaan, sekitar tahun 1950-an Masyarakat Samin mulai membuka diri. Pada sekitar tahun 1955 salah seorang tokoh Masyarakat Samin menghadap presiden Soekarno dan diberi tahun bahwa Indonesia telah Merdeka. Mereka tetap mengikuti ajaran Samin sebagai ajaran moral dalam keluarga namun sudah mulai mengikuti aturan pemerintahan yang ada. Pada tahun 1967, seorang tokoh Samin yakni Mbah Suro Nginggil yang merupakan pendukung Soekarno, dituduh melindungi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sehingga diserbu tentara. Penyerbuan ini membuat stigma bahwa Masyarakat Samin adalah pendukung PKI. Hal ini   mengakibatkan Masyarakat Samin menutup diri kembali.

Di tahun 1980 an, Masyarakat Samin sering mendapatkan tekanan dari pemerintah untuk mngikuti aturan pemerintah seperti soal agama. Karena “pemaksaan” harus memilih agama, Sebagian Masyarakat Samin memilih agama Buddha. Agama Buddha dipilih bukan karena kesamaan ajaran namun Buddha adalah akronim dari Bahasa local “Buda(mleBUne uDA atau masuknya telanjang).  Pada tahun 1990 an semakin banyak pihak yang mencoba mempromosikan keberadaan Masyarakat Adat Samin. Di Masyarakat sendiri sudah semakin banyak yang terbuka dan mendapatkan pelayanan dasar seperti pendidikan formal dan non formal.

Buku ini enak dibaca walau terkesan ada pengulangan di beberapa bagian. Masyarakat Samin di balik segala keunikannya, mengajarkan kepada kita nilai-nilai luhur yang saat ini sudah semakin luntur di masyarakat awam. Kesederhanaan hidup mereka mampu membuat mereka tetap arif dan bijak ditengah gempuran materialisme dan konsumerisme. Saya rekomendasikan untuk dibaca oleh pegiat Ilmu Sosial atau orang-orang yang menyukai kisah sejarah.


Thursday, August 24, 2023

Valuasi Ekonomi Wilayah Adat; Teori dan Praktek

 


Valuasi Ekonomi Wilayah Adat; Teori dan Praktek

Penulis: Stefanus Masiun, Vinsensius Vermy, Matius Jon

Penerbit Sinar Begawan Khatulistiwa

Palangkaraya, 2023

180 halaman

ISBN: 978-623-5890-15-9

 

Para penulis buku ini merupakan tokoh-tokoh yang aktif bergiat di  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Kalimantan Barat. Buku ini mengisahkan tentang indicator pembangunan yang berorientasi ekonomi telah menimbulkan kerusakan ekologi dan sosial secara massif karena  keberhasilan hanya diukur dari angka-angka seperti income perkapita, PDRB dan lain-lain. Sedangkan kerusakan ekologis dan budaya jarang menjadi pertimbangan.  Contoh nyata dari kasus ini adalagh pemerintah menyambut gembira investasi  HPH dan sawit yang berkembang pesat dimana-mana karena keuntungan ekonomi dari HPH dan perkebunan sawit dirasakan sangat besar dan pengembalian investasinya (return on investment) diperoleh dalam tempo yang tidak terlalu lama.  Kerusakan ekologis dan sosial yang ditimbulkan oleh perkebunan sawit sendiri tidak terlalu dihiraukan karena tertutupi keuntungan ekonomis tadi. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi ini juga menimbulkan persoalan sosial, karena demi menggelar karpet merah untuk investor, pemerintah seringkali menafikan keberadaan masyarakat adat , dan mengambil alih wilayah kelola masyarakat adat dan diberikan ke investor. Pembangunan berorientasi ekonomi ini juga cenderung menimbulkan disparitas sosial karena adanya penumpukan keuntungan di tangan segelintir orang (pemilik modal), sedangkan sebagian masyarakat tidak memperoleh benefit secara proporsional.

Berkaca dari berbagai kasus marginalisasi masyarakat adat di era orde baru dan era reformasi, muncul berbagai pemikiran dan aksi seperti yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk  memperjuangkan masyarakat adat untuk memperoleh hak menentukan nasib sendiri. Perjuangan ini tidak berdiri sendiri karena di level internasional, di berbagai negara muncul kegiatan advokasi yang serupa. Perjuangan untuk memperkuat posisi Masyarakat Adat ini antara lain dilakukan melalui upaya memperoleh pengakuan dari pemerintah terhadap keberadaan Masyarakat Adat, Pengakuan Pemerintah terhadap klaim wilayah Kelola Masyarakat adat, dan lain-lain.

Di bidang perencanaan pembangunan,  untuk mengoreksi pendekatan pembangunan yang terlalu pro pertumbuhan ekonomi, banyak pemikir kemudian mengembangkan pendekatan  Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development) yang berusaha menyeimbangkan aspek pertumbuhan dengan aspek kelestarian ekologi dan sosial. Dari sisi sosial, Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan ini juga memuat poin penting untuk memberikan perlindungan hak-hak Masyarakat (adat) dari dampak negatif Pembangunan.

Untuk mendukung advokasi Pembangunan berkelanjutan, salah satu strategi yang dikembangkan oleh banyak pakar adalah pengembangan metode valuasi ekonomi sumberdaya. Dalam hal ini, cost benefit analysis terhadap sebuah aktivitas investasi dinilai tidak hanya dari manfaat ekonomi dari barang dan jasa yang dihasilkan namun juga dinilai dari manfaat sosial dan ekologis. Tentu saja diperlukan formula dan pendekatan yang standar untuk penilaian (valuasi) manfaat sosial dan ekologis ini. Salah satunya dengan metode Total Economic Value (TEV). Adanya valuasi ekonomi sumberdaya ini diharapkan akan membantu para pengambil keputusan dan Masyarakat untuk menilai secara obyektif apakah sebuah investasi akan menguntungkan dari sisi ekonomi, ekologi dan sosial atau tidak. Sehingga penerimaan sebuah program Pembangunan atau investasi tidak hanya melihat kalkulasi keuntungan ekonomi semata-mata.

Saya merekomendasikan buku ini dibaca oleh para pegiat advokasi masyarakat adat dan juga birokrat dan politisi/ anggota legislatif. Secara umum buku ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita terkait perlunya koreksi pendekatan pembangunan pro pertumbuhan (pro growth) menuju pro keberlanjutan (sustainable development).  Dalam buku ini, metode valuasi ekonomi sumberdaya dengan menggunakan TEV juga dibahas. Namun sayangnya pembahasannya kurang mendalam sehingga saya pribadi kesulitan untuk membayangkan proses praktik penilaian secara detail. Saya yang awam dalam TEV, akan kesulitan untuk melakukan simulasi penilaian ekonomi sumberdaya bila hanya mengandalkan buku ini. Kalau melihat judul buku “Valuasi Ekonomi Wilayah Adat; Teori dan Praktek” akan lebih baik bila penulis bisa mengupas aspek metodologis penilaian ekonomi sumberdaya dengan menggunakan TEV secara lebih detail dan aplikatif.

Buku ini memuat  pula berbagai kasus penilaian ekonomi sumberdaya di beberapa kampung/desa atau kelompok Masyarakat. Terdapat penilaian ekonomi yang  hasilnya positif (diatas PDRB per kapita daerah tersebut atau Upah Minimum Regional/UMR ), namun juga ada beberapa kampung yang hasilnya negative ((diatas PDRB per kapita daerah tersebut atau UMR). Saya sendiri kesulitan membandingkan hasil valuasi ekonomi antar kampung tersebut karena yang disajikan langsung angka-angka TEV sehingga kita tidak mengetahui dengan persis apakah metodologi dan proses penelitiannya comparable atau tidak. Demikian pula muncul pertanyaan, apakah membandingkan hasil valuasi ekonomi sumberdaya dengan TEV dengan PDRB per kapita atau UMR cukup tepat? Apakah tidak lebih tepat bila membandingkan hasil TEV dengan simulasi cost benefit analysis dengan investasi baru yang akan masuk (missal sawit)?  Hal lain yang juga cukup penting yang belum ada di buku ini adalah strategi komunikasi hasil valuasi dengan TEV. Apa yang harus diperbuat bila data hasil valuasi tersedia? Apakah harus digunakan sebagai bahan advokasi ke pengambil keputussan? Ataukah untuk penyadaran public? Kalau ada kasus valuasi ekonomi sumberdaya yang berhasil digunakan sebagai alat advokasi di pemerintahan atau masyarakat, tentu akan sangat bermanfaat bagi para pembaca.

Monday, August 21, 2023

PEKERJAAN SOSIAL DI INDONESIA

 


PEKERJAAN SOSIAL DI INDONESIA

Sejarah dan Dinamika Perkembangan

Penulis: Edi Suharto dkk

Penerbit Samudra Biru

Yogyakarta 2011

246 halaman

ISBN 978-602-96516-2-1

 

Buku ini merupakan kumpuan artikel yang sebagian besar ditulis oleh para akademisi dan alumni dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Buku membahas Sejarah Pekerjaan Sosial sebagai sebuah kegiatan kemanusiaan karitatif untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat yang mengalami masalah sosial.

Di Eropa Barat pada awal revolusi Industri (1760-1830), pekerjaan kemanusiaan merupakan urusan pribadi dan kegiatan antar pribadi. Namun revolusi Industri tersebut menimbulkan berbagai masalah sosial seperti urbanisasi, Krisi ekonomi, kemiskinan, pengangguran dan lain-lain. Menghadapi hal tersebut pekerja sosial yang bekerja secara individu tidak mampu mengatasinya.  Gereja kemudian terpanggil untuk mengorganisir pekerja kemanusiaan dan kegiatan pelayanan kemanusiaan. Hal tersebut memicu tumbuhnya organisasi karitas  seperti Charity Organization Society (COS) tahun 1869 di London dan kemudian diikuti di berbagai kota lainnya. Organisasi-organisasi  karitas ini kemudian merekrut sukarelawan untuk pekerjaan kemanusiaan.  Dari sinilah kemudian muncuk istilah pekerja sosial menggantikan istilah pekerja kemanusiaan. 

Dalam perkembangannya, di awal abad 20, para pekerja sosial yang semula didasari semangat volunterisme kemudian memperoleh bayaran. Supaya bisa mendapatkan bayaran, pada tahun 1904 para pekerja sosial harus menempuh Pendidikan magang atau pelatihan pekerja sosial. Program pelatihan dirasa tidak cukup membekali calon pekerja sosial, sehingga berkembang Pendidikan pekerjaan sosial secara formal seperti Sekolah Pekerjaan Sosial di New York.

Paradigma Pekerjaan Sosial sendiri semula bersifat “blaming the victims” dimana masalah sosial muncul karena individu korban mempunyai “masalah” sehingga tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya. Sehingga untuk treatmentnya, individu korban harus diberi therapy agar bisa menjalankan fungsi sosialnya. Analogi sederhananya, orang miskin itu disebabkan individu tersebut malas. Sehingga untuk mengatasi kemiskinannya, dia harus ditreatment supaya rajin bekerja.

Paradigma blaming the victims tersebut kemudian mengalami pergeseran dengan adanya paradigma Person in Environment (PiE). Konsep ini menekankan bahwa seorang individu itu terkait dengan banyak system seperti keluarga, system agama, system Pendidikan, Sistem Politik, Sistem Pekerjaan, Sistem Pelayanan Sosial dll. Sehingga sebuah masalah sosial muncul bisa jadi disebabkan ada kesalahan atau ketidak berfungsian sebuah system. Oleh karenanya untuk treatmentnya, perlu dilakukan perbaikan di level system atau kebijakan. Ilustrasinya kemiskinan di kalangan petani terjadi bukan karena petani malas, tetapi karena ongkos produksi yang mahal sedang harga jual beras rendah. Untuk perbaikannya diperlukan intervensi di level system untuk penyediaan subsidi saprotan atau penetapan harga beras yang kompetitif.

Di level negara, terdapat dua kutub cara negara mensikapi pekerjaan sosial. Negara-negara Konservatif  seperti Inggris di jaman Margaret Thatcher dan USA di jaman Ronald Reagan merupakan tipikal negara yang berusaha sesedikit mungkin campur tangan dalam urusan pekerjaan sosial bagi warganya.  Masyarakat sejahtera atau tidak itu urusan warga masyarakat itu sendiri. Negara konservatif ini cenderung memakai paradigma blaming the victims dalam menyikapi masalah sosial di negaranya. Sisi lain adalah negara liberal yang menjunjung tinggi isu kesetaraan dan hak asasi manusia.  Masalah sosial muncul karena ada system yang salah atau tidak berfungsi. Kebijakan sosial merupakan sebuah bentuk kewajiban pelayanan negara kepada rakyatnya.

Di Indonesia, pekerjaan sosial tidak mempunya akar sejarah yang mendalam karena jaman Kerajaan, penjajahan Belanda dan Jepang tidak banyak mewariskan program kesejahteraan sosial. Adanya modal sosial yang cukup kuat di masyarakat seperti jiwa gotong royong dan dermawan/bersedekah, membuat pekerjaan sosial cukup ditangani oleh masyarakat itu sendiri.  Pengembangan pekerjaan sosial kemudian semakin berkembang dengan adanya organisasi Muhammadiyah yang mengembangkan berbagai kegiatan pelayanan sosial. Di masa kemerdekaan, persoalan kemiskinan dan masalah sosial menjadi isu krusial, namun negara tidak banyak bisa berbuat karena keterbatasan sumberdaya.

Dalam perkembangannya Pemerintah Indonesia dengan didukung PBB melalui Departemen Sosial mengembangkan Lembaga Sosial Desa (LSD) di tingkat desa untuk memberikan bimbingan sosial kepada Masyarakat. LSD ini berkembang hingga tahun 1970an  yang kemudian berubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Untuk Pendidikan Pekerjaan Sosial pada awal tahun 1960an Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendirikan Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS). Sedangkan Dinas Sosial kemudian menyelenggarakan Kursus Dinas Sosial A (KDSA) yang berubah menjadi Kursus Keahian Sosial Tinggi (KKST). KKST ini yang menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). Pembentukan STKS ini diikuti oleh beberapa universitas yang mengembangkan Jurusan Kesejahteraan Sosial.

Perjalanan program Kesejahteraan Sosial di mas Orde Baru dan Orde Reformasi mengalami pasang surut dan sejumlah tantangan seperti:

1.    Kelembagaan Departemen Sosial (Pusat) dan Dinas Sosial (di daerah) yang tidak sinergis serta tidak dianggap strategis sehingga tidak memperoleh alokasi anggaran, SDM berkualitas dan dukungan politik memadai.

2.    Paradigma Pekerja Sosial di Indonesia masih sering berkutat pada blaming the victims. Padahal dalam konteks Indonesia, masalah sosial sering muncul karena adanya system dan kebijakan yang tidak adil. Kemiskinan di Indonesia sering merupakan kemiskinan structural yang disebabkan oleh adanya struktur yang menindas kalangan bawah.

3.    Paradigma yang digunakan ooleh lembaga Pendidikan dan lembaga Diklat Pekerja Sosial masih seringkali berorientasi pada blaming the victims, sehingga materi Pelajaran yang dipelajari di bangku kuliah dan pelatihan sering tidak compatible dengan realitas lapangan.

4.    Paradigma, metodologi dan aksi Pekerjaan Sosial  yang digunakan di Indonesia seringkali meng-copy paste pendekatan Barat yang konteks system budaya dan system sosialnya berbeda. Hal ini mengakibatkan pendekatan yang ditempuh sering tidak efektif. Kontekstualisasi pekerjaan sosial menjadi kebutuhan di masa depan.

5.    Profesi Pekerja Sosial Profesional belum diakui dan dipahami secara utuh di masyarakat. Pekerja Sosial masih banyak dianggap sebagai relawan kemanusiaan yang bekerja dengan mengutamakan komitmen saja. Padahal profesi Pekerja Sosial Profesional menuntut komitmen, pengetahuan dan ketrampilan.

 

Secara umum artikel yang dimuat di buku ini , disampaikan dengan Bahasa yang mudah dipahami. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penulis, saya merasa di buku ini terdapat beberapa artikel yang terasa mengulang-ulang. Meski demikian saya sangat menghargai penerbitan buku ini yang menjadi salah satu starting point untuk mendiskusikan pemikiran-pemikira terkait Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial

Buku ini saya baca setelah membaca buku Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) terbitan FISIPOL UGM. Terlihat pertautan yang sangat erat, karena keduanya bergerak di bidang Kesejahteraan. Hanya saja Departemen  PSDK yang dulu juga menekuni Pekerjaan Sosial sebagai salah satu isu, sejak 2010 mereposisi untuk lebih banyak menggunakan pendekatan “system”. Sedangkan Pekerjaan Sosial saat ini masih banyak yang menggunakan paradigma blaming in victim, walau tidak sedikit yang mengusulkan agar Pekerjaan Sosial menggeser paradigma ke pendekatan system (Person in Environment). Bagi saya, sebenarnya antara PSDK dan Pekerjaan Sosial ini bisa saling mengisi, karena ada masalah sosial  seperti penanganan ODGJ klinis yang pemecahannya ada di level individu.

Semoga melalui Pekerjaan Sosial, pemerintah ke depannya punya visi dan langkah yang lebih kongkrit untuk mewujudkan Tujuan Negara Indonesia: (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa,(4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Semoga semua bukan retorika belaka…..

Thursday, August 17, 2023

PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

 


PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Jejak Pemikiran, Pendekatan dan Isu Kotemporer

Editor; Susetiawan, Bahruddin dan Milda L. Pinem

Penerbit: Gadah Mada University Press

Yogyakarta 2002

524 halaman

ISBN 978-623-359-107-2

 

Buku ini berisi sekitar 20 artikel riset dari para dosen dan akademisi di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), FISIPOL Universitas Gadjah Mada. Departemen PSdK ini dulunya bernama Jurusan Ilmu Sosiatri (1957-2010). Saya sendiri kuliah di jurusan Ilmu Sosiatri pada tahun 1985-1991. Jurusan Ilmu Sosiatri lahir tahun 1957 sebagai sebuah upaya berkontribusi UGM secara langsung untuk mengatasi isu sosial seperti kemiskinan, kebodohan, dan berbagai kondisi patologi sosial lainnya. Dengan demikian jurusan Ilmu Sosiatri tidak hanya merupakan ilmu sosial yang menjelaskan berbagai fenomena penyakit sosial, namun juga ilmu terapan yang mampu memberikan solusi pemecahan masalah terhadap permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat. Alumni Sosiatri akan memiliki kompetensi sebagai social diagnostician dan social therapist dalam Pembangunan Masyarakat baik jasmani, rohani dan sosial.

Di kalangan masyarakat awam seringkali istilah “Ilmu Sosiatri” seringkali sulit untuk dipahami. Terkadang orang menginterpretasikan sebagai Jurusan Ilmu Pathologi Sosial. Adapula yang menerjemahkan sebagai Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan lain-lain. Interpretasi tersebut tidak semuanya benar, walau sebagian juga tidak salah. Akhirnya apada tahun 2010 dilakukan penataan dan redefinisi terhadap jurusan Ilmu Sosiatri menjadi Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK). Hasil redefinisi tersebut mengarahkan bahwa Profil alumni PSdK nanti mempunyai kompetensi sebagai (1) Analis Kebijakan sosial , Pemberdayaan masyarakat dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan/CSR, (2) Peneliti sosial, (3) Pendamping Masyarakat/Community Development Officer (CDO) dan (4) Penggerak usaha bisnis sosial .

Bagian Pertama buku ini terdiri 2 artikel membahas tentang cara menalar dan etika didalam proses produksi pengetahuan yang berkaitan dengan Pembangunan sosial.  Nalar Induktif, deduktif dan abduktif merupakan varian penalaran yang dipakai dalam penelitian Pembangunan sosial. Selain pemalaran tersebut, aspek kemanfaatan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia merupakan salah satu pilar utama dalam pengembangan studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.

Bagian Kedua buku ini terdiri 7 artikel yang terkait aspek kerangka studi dan refleksi teoritis yang berkontribusi bagi pengembangan studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Artikel tersebut antara lain: (1) Penguatan Riset Pembangunan Sosial di Indonesia, (2) Path Creation, kerangka alternatif dalam studi Institusi Kesejahteraan, (3) Pengembangan kelembagaan Desa di era Pemberdayaan, (4) Teorisasi Pemberdayaan Perempuan, (5) Adaptasi Pemberdayaan Masyarakat menuju Endemi, (6) Review Literatur Sistematik; Memahami negara Kesejahteraan Digital, (7) Review Literatur Sistematik; Kesejahteraan Pekerja Digital di Indonesia.

Bab Ketiga terdiri 3 artikel riset yang berisi tentang kontribusi sektor swasta dalam Pembangunan sosial.  Artikel tersebut antara lain: (1) Peran Perusahaan dalam Pembangunan Sosial, Dinamika dan implementasi CSR di Indonesia, (2) Prospek Penggunaan Social Return on Investment (SROI) untuk analisis Pembangunan soaial, (3) Tata Kelola Komoditas berkelanjutan; Pemetaan berbagai pendekatan untuk produktivitas Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Bab Keempat terdiri 3 artikel yang terkait dengan praktik pemberdayaan Masyarakat yang mencakup: (1) Praktik Community Based Conservation oleh Organisasi Masyarakat Sipil dalam Pelestarian Lingkungan, (2) Kewirausahaan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat: Alternatif model Pengembangan Masyarakat, (3) Kewiralembagaan, meninjau ulang kelembagaan untuk Pembangunan sosial.

Bab Kelima terdiri 3 artikel yang terkait dengan issu krusial kekinian terkait Pembangunan sosial seperti: (1) Rezim perumahan  daalam konteks Pembangunan sosial di Indonesia, (2) Rezim Kesejahteraan dan disabilitas; merajut inklusivitas pada Jaminan Kesehatan Khusus bagi Difabel, (3)  Implementasi Kota Ramah Lansia.

Membaca berbagai artikel riset di buku ini memang mengasyikkan karena biasanya ada pembatasan scope, kejelasan metodologi riset yang digunakan, definisi cukup jelas, kerangka teori, analisis dan kesimpulan akhir. Walau isi buku ini merupakan riset oleh akademisi, namun alur penulisan artikel runtut  dan bahasa yang digunakan cenderung mudah dipahami.

 Pembangunan Sosial memiliki dimensi yang sangat luas. Isu Pembangunan sosial termasuk Pemberdayaan Masyarakat merupakan isu yang sudah muncul sejak beberapa decade lalu. Meski demikian dalam buku ini, saya banyak belajar tentang teori, pendekatan baru, cakupan sektor baru untuk Pembangunan Sosial. Dinamika perubahan sosial yang sangat cepat juga potensial menimbulkan  masalah-masalah sosial baru.  Dan itu perlu diantisipasi dan disitulah ilmu perlu direproduksi, agar kampus tiidak menjadi Menara Gading tapi  menjadi mercusuar yang mampu menerangi kegelapan di sekitarnya. Seperti kata salah seorang penulis bahwa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan harus memiliki kemanfaatan dalam kehidupan dengan berlandaskan moralitas seperti keberpihakan kepda kaum marginal.

 

Wednesday, July 12, 2023


 

Doa dan Shalawat Menjelang Pernikahan  Yayan dan Zasa

123 halaman

 

Buku ini berisi untaian doa, shalawat dan nasehat perkawinan untuk keponakanku Yayan dan Zasa yang menikah 5 Juli 2023. Dalam buku ini terdapat nasehat perkawinan tentang ciri-ciri Keluarga Sakinah, yakni:

A.    Hubungan Internal keluarga:

  1. Menikah demi keluarga
  2. Memiliki semangat kebersamaan dan keikhlasan dalam keluarga
  3. Menjaga kebersihan aqidah, jauh dari syirik.
  4. Memelihara ibadah
  5. Hubungan anak dan orangtua akrab
  6. Anak-anak berakhlak mulia dan shaleh/shalehah
  7. Hubungan sesama anak penuh kasih sayang
  8. Memperlakukan pelayan dengan baik dan manusiawi
  9. Bekerja giat sejak pagi hari
  10. Memakan rejeki yang halal
  11. Membelanjakan uang dengan baik
  12. Tidak berhutang atau membayar hutangnya dengan penuh amanah
  13. Tidak memaksa diri dalam kehidupan dunia
  14. Suasana rumah Islami
  15. Semarak dengan amal shaleh
  16. Menjaga kebersihan dan kesehatan

 

B.    Hubungan ke Luar:

  1. Gemar berbuat amar ma’ruf nahi munkar
  2. Terbuka terhadap kehadiran  tamu
  3. Rajin menyantuni anak yatim
  4. Berhubungan baik dengan kerabat
  5. Menjalin hubungan baik dengan tetangga
  6. Memiliki teman-teman baik yang berakhlak mulia
  7. Rajin membantu pihak yang lemah dan membutuhkan
  8. Memiliki lingkungan tinggal yang baik

Saturday, July 08, 2023

Parijs van Java; darah, keringat dan airmata


 

Parijs van Java; darah, keringat dan airmata

Pengarang: Remy Silado

Kepustakaan Populer Gramedia,  Jakarta 2003

597 halaman,  ISBN 979-9023-89-0

Novel ini ditulis dengan setting Bandung di awal tahun 1920an. Alkisah, novel ini bercerita tentang seorang gadis cantik bernama Gertruida van Veen atau biasa dipanggil Gerry yang pintar bermain piano.  Gerry lahir di New York, namun menjelang remaja keluarganya pindah kembali ke tanah airnya di negeri Belanda. Ayahnya yakni Mark van Veen adalah seorang dosen filologi Semit di fakultas Theologi di Utrecht. (Wikipedia: filologi adalah sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang sejarah, pranata, dan kehidupan suatu bangsa yang terdapat dalam naskah-naskah lama). Selain menjadi dosen, Mark juga menjadi pastor Anabaptis. Mark mendidik  Gerry dengan cara yang kolot dan over protective, seperti dilarang ke theatre, nonton bioskop dan lain-lain. Berbeda dengan ayahnya, Ibu Gerry yang bernama Jennifer Schmidt, merupakan mantan artis yang yang berperangai lemah lembut dan ngemong terhadap Gerry.

Di usia 16 tahun, Gerry berkenalan dengan Rob Verschoor, seorang pelukis jalanan yang berbakat. Rob berniat menjadikan Gerry yang cantik sebagai model lukisannya. Perkenalan tersebut berlanjut menjadi kisah asmara. Gerry berusaha memperkenalkan Rob pada ayahnya namun Mark malah mengusir Rob. Gerry yang sakit hati dengan perlakuan ayahnya terhadap Rob, kemudian malah nekat dan pacaran lewat jalan belakang. Akhirnya Gerry hamil di usia muda. Kehamilan Gerry membuat ayahnya berang dan mengusirnya. Pada saat itu Gerry baru tahu bahwa sesungguhnya ayahnya bukan Mark van Veen tetapi Matthew van Veen. Matthew yang berprofesi actor dan berpacaran dengan Jennifer. Namun Matthew meninggal dalam kecelakaan dan meninggalkan Jennifer dalam kondisi hamil tanpa nikah. Untuk menutup aib tersebut, Mark kemudian menikahi Jennifer.

Gerry yang sedang hamil muda dan diusir oleh ayahnya kemudian menerima ajakan Rob untuk merantau ke Hindia Belanda.  Rob sendiri tertarik untuk merantau ke Hindia Belanda karena tawaran dari Rumondt, seorang Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda. Rumondt bercerita bahwa dia bisa mengenalkan Rob dengan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda dan para bangsawan Jawa yang kaya raya dan menyukai karya seni lukisan. Rumondt bercerita bahwa Rob pasti nanti akan kebanjiran pesanan lukisan. Selain termotivasi oleh cerita Rumondt, Rob juga termotivasi karena kakaknya juga menjadi suster di Hindia Belanda tepatnya di kota Lembang Jawa Barat. Rob dan Gerry bersama Rumondt akhirnya berlayar bersama ke Hindia Belanda. Selama perjalanan ini, Gerry merasa tidak nyaman dan curiga karena Rumondt sering menatap dan memperlakukannya dengan cara yang kurang sopan.

Sesampai di Hindia Belanda, Rob dan Gerry diantar oleh Rumondt ke Jogjakarta. Di sana Rob diperkenalkan dengan Martosuwignyo, seorang bangsawan kaya raya, beristri banyak namun suka berbuat mesum. Rob diminta untuk membuat lukisan di rumah baru Martosuwignyo. Selama di Jogja, Rob dan Gerry kemudian tinggal di salah satu rumah Martsuwignyo dan bertetangga baik dengan keluarga Scholten.

Rumondt sendiri kemudian ke Bandung. Dia ternyata mengelola bordil elit berkedok cafe De Duif (Merpati) di Bandung yang menyediakan wanita-wanita penghibur high class asli Belanda. Martosuwignyo sendiri merupakan salah satu pelanggan tetap De Duif tersebut. Dalam menjalankan operasinya, Rumondt didukung oleh Van der Wijk seorang pengusaha perkebunan Belanda yang kaya raya di Bandung. Van der Wijk inilah sebenarnya otak dan pemilik de Duif.  Bersama pengusaha lain mereka membentuk kelompok elite Preanger Planters. Mereka menginisiasi konsep wisata Parijs van Java atau kota kembang yang menawarkan kemolekan wanita. Konsep Parijs van Java ini mendapatkan perlawanan dari kalangan mahasiswa pergerakan, kalangan rohaniawan dan partai politik. Perlawanan tersebut mencapai puncaknya dengan dibakarnya bordil de Duif oleh pengikut partai politik komunis.

Pembakaran de Duif tersebut membuat Rumondt dan Van der Wijk tiarap mengatur strategi beberapa saat. Mereka kemudian membangun café baru di luar kota Bandung yang diberi nama de Druif (anggur). Mereka memboyong wanita-wanita dari de Duif ke café baru ini. Mereka juga mencari wanita-wanita Belanda yang cantik untuk dijadikan pelacur di café ini. Mereka kemudian teringat dengan Gerry yang sedang berada di Jogja ersama Rob suaminya. Mereka bertekad akan membaca Gerry guna dijadikan mascot café de Druif. Ternyata inilah motivasi sesungguhnya dari Rumondt sehingga mau berjerih payah membawa Rob dan Gerry ke Hindia Belanda. Ternyata Gerry  yang cantik jelita hendak dijadikan pelacur kelas elite di café milik Rumondt dan van der Wijk.

Di Jogja, usia kehamilan Gerry sudah memasuki saat melahirkan. Namun Rob yang terlalu asyik dengan pekerjaannya lalai terhadap  saat-saat krusial tersebut. Sampai akhirnya Gerry yang tertekan batinnya, melahirkan anak yang langsung meninggal dunia. Meninggalnya buah cinta mereka mengakibatkan Gerry mengalami depresi dan menyalahkan Rob.

Rumondt yang sedang mencari cara memboyong Gerry dari Jogja ke Bandung, kemudian menemukan jalan dengan  menawari Rob untuk melakukan pameran lukisan guna pengumpulan dana bagi lembaga gereja. Meski sejatinya penggalangan dana ini merupakan strategi kooptasi dari Preanger Planters terhadap para rohaniawan yang menentang konsep Parijs van Java. Rob menerima tawaran itu guna mencari situasi baru setelah Gerry sempat depresi karena kematian anaknya. Kebetulan Rob sudah selesai melakukan pekerjaan melukis di rumah Martosuwignyo sehingga dia bebas kemanapun juga. Gerry yang semula menolak pindah dari Jogja, akhirnya bersedia pindah ke Bandung karena dia akan dekat dengan kakak iparnya yang menjadi suster di Lembang.

Perpindahaan ke Bandung berjalan lancar. Di Bandung, Rob dan Gerry berkenalan dengan tetangga mereka yakni Abdoelkarim bin Abdoelkadir atau yang biasa disebut AbA. Dia merupakan seorang mahasiswa Fakultas Teknik. Dia seorang penganut Islam Kejawen dan suka menolong orang lain. AbA menyukai keluarga Rob karena mereka Rob bersikap egaliter dan tidak rasialis seperti orang Belanda yang tringgal di Bandung. Rob sendiri menyukai AbA karena Rob bisa belajar banyak pada pandangan batiniah Islam Kejawen yang dimiliki AbA.

Setelah menjalani prosesi pernikahan di gereja, Rob dan Gerry kemudian memulai kehidupan mereka di Bandung. Gerry berbahagia karena dia mulai hamil Kembali. Hal ini membuat Rob termotivasi dalam melukis. Dalam tempo singkat, Rob berhasil menyelesaikan lukisan-lukisannya dan siap dipamerkan. Dalam pameran yang disponsori Preanger Planters, Rob mendapat apresiasi dan banyak karyanya dibeli para orang kaya. Sebagian dana tersebut kemudian disumbangkan ke lembaga agama. Gerry sendiri saat pameran tidak muncul karena dia enggan bertemu Rumondt dan Van der Wijk. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Rumondt yang dengan sembunyi-sembunyi datang ke rumah Rob dan memperkosa Gerry yang sedang hamil. Perkosaan itu tidak diketahui orang. Hanya AbA yang melihat Rumondt pergi tergesa-gesa dari rumah Rob di malam itu dan menjalankan mobilnya dengan laju.

Pemerkosaan itu membuat Gerry depresi hingga berniat bunuh diri. Gerrypun kemudian dirawat di rumah sakit.  Rumondt berpura-pura tidak mengetahui kejadian itu. Dia bilang ke Rob bahwa Gerry depresi mungkin karena gangguan makhluk halus di rumahnya. Namun serapat-rapatnya ditutupi, bau bangkai akhirnya tercium juga. Rob akhirnya tahu bahwa Gerry depresi karena diperkosa  Rumondt. Rob kemudian menghajar Rumondt, meski Rob dikeroyok oleh Rumondt dan Piet Hein si penjaga café. Dengan licik Rumondt menusuk Piet Hein sampai meninggal dan Rob dijadikan tersangka. Rob kemudian disidang dandidakwa melakukan pembunuhan terhadap Piet Hein. Rob  akhirnya ditawan di penjara orang Belanda di Semarang.

Mengetahui Rob ditawan di Semarang, AbA yang prihatin dengan kondisi Gerry kemudian mengungsikan Gerry ke gereja tempat Suster Theresa (kakak Rob) di Lembang. AbA sudah menduga bahwa Rumondt akan memanfaatkan situasi Rob yang ditahan, untuk mendekati dan berbuat jahat kepada Gerry. Dugaan tersebut benar, Rumondt blingsatan mencari Gerry yang menghilang. Dia kemudian mencecar AbA tentang keberadaan Gerry. Saking jengkelnya terhadap AbA yang merahasiakan keberadaan Gerry, Rumondt sampai hati mencelakai AbA dengan menabrak AbA yang mengendarai sepeda. Berutung AbA selamat walau sempat mengalami gegar otak.

Rasa kangen membuat Gerry menengok rumah tinggalnya di Bandung. Hal ini tidak luput dari pengintaian Rumondt. Suatu ketika Rumondt dan Van der Wijk menyuruh anak buahnya untuk menculik Gerry dan membawa ke rumah perkebunan milik Van der Wijk yang terisolir di daerah Situ Patenggang Ciwidey. Rencananya, Gerry akan diisolasi hingga melahirkan bayinya, dan setelah lahir bayinya akan diberikan ke orang dan Gerry akan dijadikan pelacur di café de Druif. Rencana itu berjalan mulus. Gerry melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Indonesia. Bayi tersebut kemudian diculik oleh bidan suruhan Van der Vijk yang berpura-pura membantu proses persalinan Gerry.

Di penjara Semarang, Rob bersahabat dengan Dan Miero seorang Yahudi Belanda. Dan Miero merupakan pimpinan napi yang disegani, namun dia tidak berkutik berkelahi dengan Rob. Dan Miero mengajaknya bersekongkol dengan kepala penjara bernama Ter Braak untuk mencuri sekotak berlian. Dan Miero yang berhasil mencuri kotak berlian akhirnya dikhianati  dan dibunuh oleh Ter Braak. Rob yang perannya melukis wajah Dan Miero menjadi wajah Hastingh pemilik berlian, pada saat perampokan tidak dilibatkan dan disuruh menanti di sebuah gubug oleh Dan Miero dan Ter Braak. Ternyata Rob juga dikhianati oleh Ter Braak dan disingkirkan dengan cara dibakar gubugnya sampai habis. Akhirnya berlian tersebut dikuasai oleh Ter Braak dan digunakan untuk berfoya-foya dengan istrinya yang masih muda namun suka bermewah-mewah.

Gerry yang marah karena anaknya diculik kemudian kabur dari rumah perkebunan Van der Wijk. Dia pulang ke Bandung dalam kondisi acak-acakan, dan ditolong oleh keluarga AbA. Gerry kemudian melaporkan kasus penculikan anaknya oleh Van der Wijk dan Rumondt kepada Polisi. Polisi kemudian menindaklanjutinya dengan menangkap Can der Wijk. Rumondt akhirnya ditangkap polisi namun dengan tuduhan pembunuhan terhadap seorang rohaniawan yang kritis terhadap Preanger Planters. Dalam persidangan kemudian Van der Wijk dihukum sepuluh tahun di penjara Semarang. Dalam kasus pembunuhan rohaniawan, Rumondt terbukti tidak bersalah namun dia dihukum berat karena melakukan keonaran di pengadilan dan ada saksi yang bersaksi bahwa Rumondt-lah yang membunuh Piet Dien. Rumondt akhirnya juga ditawan limabelas tahun di penjara Semarang. Adanya pengakuan itu membuat Departemen Justisi mengeluarkan surat pembebasan untuk Rob. Namun di Semarang sana, Rob sudah dibunuh di gubugnya oleh Ter Braak.

Ditawannya Van der Wijk dan Rumondt membuat Gerry merasa bebas. Dia kemudian mencari anaknya Indonesia ke Yogyakarta, karena mendengar anaknya dititipkan di panti asuhan di Jogja. Namun dia kecele karena anaknya sudah diambil kembali dan dibawa ke tempat lain oleh bidan gadungan yang membantu persalinannya. Dengan rasa kecewa Gerry kemudian melanjutkan perjalanan ke semarang untuk menemui Rob yang ditawan di sana. Namun Gerry yang didampingi Ter Braak hanya menemukan kuburan dengan palang salib bertuliskan nama Rob. Gerry yang putus asa kemudian pulang ke Lembang dan disana dia menemukan anaknya yang dirawat oleh suster Theresa kakak iparnya. Mungkin karena dorongan kemanusiaannya, bidan gadungan meletakkan bayi Indonesia didepan rumah Gerry di Bandung. Untunglah keluarga AbA segera melihatnya dan menolongnya. Oleh AbA bayi Indonesia tersebut kemudian diantar ke suster Theresa untuk dirawat.

Gerry merasa hidup di Indonesia tanpa sanak keluarga membuat dia kesepian. Oleh karenanya dia merencanakan untuk membawa Indonesia ke Amerika untuk berkumpul dengan keluarga besarnya. Sebelum berangkat Gerry bermaksud mengajak Indonesia ziarah ke makam Rob di Semarang. Namun di sana dia menjumpai manusia aneh buruk rupa yang mengendap-endap di makam Rob. Ternyata manusia itu adalah Rob yang raganya rusak akibat terbakar gubugnya. Saat itu Rob ditlong oleh seorang tabib sinshe China yang ternyata tinggal di dekat gubug yang dibakar. Meskipun jiwanya tertolong, namun raga dan wajahnya sudah terlanjur rusak. Rob merasa rendah diri dengan penampilannya sehingga dia menjauh dari khalayak ramai. Diapun menjauh dari Gerry karena kuatir Gerry akan takut dan menolaknya. Setelah melalui berbagai pendekatan, Rob akhirnya bersedia diajak pulang oleh Gerry ke Bandung.

Selang sebulan kemudian, mereka kemudian diantar oleh Suster Theresa,  keluarga AbA, keluarga Scholten dari Yogya dan berbagai handai taulan lainnya ke Pelabuhan. Rob, Gerry dan Indonesia telah meneguhkan hati untuk menuju tanah harapan negeri Amerika dan meninggalkan darah dan airmata di Hindia Belanda.

Novel Parijs van Java ini merupakan novel keempat Remy Sylado yang pernah kubaca. Novel lainnya adalah Ca Bau Kan, Kerudung Merah  Kirmizi dan Malaikat Lereng Tidar. Membaca karya Remy Sylado, kita akan dihadapkan pada novel yang bernuansa cerita sejarah dengan penjabaran lokasi yang detail. Saya menduga Remy Silado menulis novel didahului dengan berbagai studi terlebih dulu, setidaknya desk study. Selain aspek kesejarahan, nilai positif dari novel ini adalah Remy berusaha menampilkan kehidupan yang toleransi dan saling menghargai antar umat beragama dan antar ras. Bahwa perasaan sebagai ras unggul yang menghinggapi orang Belanda colonial, tidaklah berarti apa-apa dibanding nilai-nilai ketimuran yang ada. Remy berusaha mengangkat nilai-nilai humanisme universal dalam novel ini. Novel ini juga sarat dengan pesan moral karena dalam setiap bab, Remy menyisipkan peribahasa atau quotes bijak dari Bahasa Belanda  yang bisa menjadi bahan renungan kita. Dari sisi penulisan, saya menyukai cara Remy memenggal alur tulisan sehingga masing-masing Bab-nya tidak terlalu tebal. Pembagian bab yang tipis membuat, saya merasa tidak terlalu capek lembar demi lembar karya tulisannya. Dari sisi penulisan, saya menemukan banyak kosa kata ‘sastrawi” yang baru saya temukan kali ini. Kemungkinan kata-kata tersebut diambil dari Bahasa Sanskerta. Memang kata-kata tersebut seperti pasir yang terkunyah ketika makan nasi. Bikin kaget dan berkata “aduh”, namun kemudian membuat kita untuk pelan-pelan dan berhati-hati mengunyah ramuan kata-kata yang ada di depan kita.