Monday, September 04, 2023

SAMIN; mistisisme petani di tengah pergolakan

 



SAMIN; mistisisme petani di tengah pergolakan

Penulis: Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin

Penerbit Gigih Pustaka Mandiri

Semarang, 2014

218 halaman

ISBN 978-602-1220-02-3

 

Bagi Sebagian orang luar, Orang Samin dianggap identik dengan sekelompok masyarakat yang punya karakter “nyleneh” (berbeda dari kelaziman), keras kepala, tiak mau diatur, hanya menuruti pendapat sendiri, tidak mau tunduk kepada hukum dan pemerintah.  Orang Samin atau sering menyebut diri “Wong Sikep” atau “Sedulur Sikep” merupakan sekelompok masyarakat yang mengikuti ajaran dari Samin Surosentiko. Mereka tersebar di beberapa daerah antara lain Kabupaten Pati, Blora, Kudus (Jawa Tengah) dan  kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur). Kesederhanaan, keluguan dan ketaatan orang Samin terhadap aturan internal tradisional mereka mungkin hampir sama dengan Masyarakat suku Badui di Banten.

Samin Surosentiko sendiri merupakan seorang tokoh yang lahir di Randublatung, Blora sekitar tahun 1859. Terdapat kesimpang siuran terkait latar belakang keluarga Samin karena tidak adanya Dokumen tertulis tentang kelahirannya. Ada yang menduga Samin berasal dari keluarga bangsawan, namun ada yang meperkirakan Samin berasal dari keluarga santri (pemuka Islam) dan ada pula yang memperkirakan Samin berasal dari orang Kalang yang berprofesi sebagai blandhong kayu (pekerja hutan). Samin mulai mengajarkan ilmu kebatinan sekitar tahun 1890.

Pada saat Samin tumbuh remaja dan dewasa, Pemerintah Kolonial menetapkan regulasi domein verklaring (1870) untuk menguasai lahan Masyarakat yang tidak ada bukti kepemilikannya, iuran pajak kepala sebagai pengganti kerja wajib (1882), penetapan houtvesterijen yang membatasi akses Masyarakat mengambil kayu dari hutan (1897). Melihat kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda tersebut, Samin dan pengikutnya di tahun 1905 mulai melakukan pembangkangan membayar pajak. Mereka melakukan pembangkangan dengan cara non kekerasan. Tahun 1907, Samin dan beberapa penikutnya ditangkap dan dibuang ke Sawahlunto, Padang. Meskipun Samin dibuang ke pengasingan, para pengikut Samin terus melakukan pembangkangan bahkan sering disertai dengan aksi kekerasan.

Menilik ajaran Samin Surosentiko sendiri, salah satu ajaran yang beliau kemukakan adalah “kebo brujul lebokno, kebo branggah ulehno” atau Kerbau  Jawa akan tinggal, Kerbau Asing yang besar akan pulang ke negaranya . Ajaran tersebut mengandung makna datangnya suatu masa orang Jawa akan menggantikan pemerintah colonial. Pada masa pergantian tersebut, akan datang seorang “Ratu Adil” yang muncul. Ratu Adil inilah yang akan memimpin Jawa ke dalam masa kemakmuran.

Beberapa poin lain ajaran dari Samin Surosentiko mengandung nilai-nilai moral yang tinggi seperti  integritas, kedermawanan, non kekerasan dan ramah lingkungan. Ajaran tersebut kemudian dijadikan angger-angger (aturan internal) antara lain:

  • Ojo drengki, srei, tukar padu, dahwen lan kemeren (jangan dengki, serakah berdebat dengan kasar, menuduh dan iri).
  • Ojo kutil, jumput, mbedhog, colong, nemu wae disimpangi,   (jangan  mengutil, mengambil, merampok atau memalak, mencuri, mengambil barang temuan saja harus dihindari.
  • Dagang, kulak, mblantik, mbakul, nganakno duwit emoh, bujuk, apus, akal, krenah, ngampungi pernah, ajo dilakoni (berdagang, kulak, menjadi makelar, berjualan, membungakan uang, merayu, berbohong, bersiasat, mendaku, menelikung, jangan dijalani)
  • Lakonana  sabar, trokal Sabare dieling-eling, trokale dilakoni (jalanilah sabar dan tawakkal. Sabarnya diingat-ingat, tawakalnya dijalani.
  • Jangan berzina, jangan menganggur, jika dihina tetap diam, jangan meminta dari siapapun tetapi berilh jika ada yang meminta makanan atau uang.
  • Wong urip iku kudungerti uripe, sebab urip siji digawa selawase (orang hidup harus mengertihidupnya sebab hidup satu akan dibawa selamanya). Orang harus bisa menjalankan tatane wong (tata manusia) yakni sikep rabi bergaul dengan istri, dan tata nggauto (tata kerja) seperti berladang dengan sungguh-sungguh dan hati-hati agar bisa mencapai tujuan hidup.

Di antara para pengikutnya, ajaran Samin seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Hal ini disebabkan:

  • Pengikut Samin pada awalnya sebagian besar berlatar belakang petani yang buta huruf.  Sehingga Samin menyampaikan ajarannya dengan cara lisan (ceramah). Cara ini membuat penangkapan makna antara seorang pengikut dengan pengikut lainnya sering berbeda-beda.
  • Pengajaran oleh Samin dilakukan dengan Bahasa Jawa yang terkadang penuh kiasan atau metafora sehingga interpretasi satu orang dengan orang lain berbeda tergantung kemampuan analisisnya.
  • Konteks local dan dimensi waktu yang berbeda antar generasi, bisa menimbulkan interpretasi berbeda terhadap suatu poin ajaran tertentu.

Dari pengamatan saya terhadap buku ini, saya merasa ajaran Samin ini merupakan gabungan antara nilai-nilai Kejawen dan Islam.

Di masa paska kemerdekaan, sekitar tahun 1950-an Masyarakat Samin mulai membuka diri. Pada sekitar tahun 1955 salah seorang tokoh Masyarakat Samin menghadap presiden Soekarno dan diberi tahun bahwa Indonesia telah Merdeka. Mereka tetap mengikuti ajaran Samin sebagai ajaran moral dalam keluarga namun sudah mulai mengikuti aturan pemerintahan yang ada. Pada tahun 1967, seorang tokoh Samin yakni Mbah Suro Nginggil yang merupakan pendukung Soekarno, dituduh melindungi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sehingga diserbu tentara. Penyerbuan ini membuat stigma bahwa Masyarakat Samin adalah pendukung PKI. Hal ini   mengakibatkan Masyarakat Samin menutup diri kembali.

Di tahun 1980 an, Masyarakat Samin sering mendapatkan tekanan dari pemerintah untuk mngikuti aturan pemerintah seperti soal agama. Karena “pemaksaan” harus memilih agama, Sebagian Masyarakat Samin memilih agama Buddha. Agama Buddha dipilih bukan karena kesamaan ajaran namun Buddha adalah akronim dari Bahasa local “Buda(mleBUne uDA atau masuknya telanjang).  Pada tahun 1990 an semakin banyak pihak yang mencoba mempromosikan keberadaan Masyarakat Adat Samin. Di Masyarakat sendiri sudah semakin banyak yang terbuka dan mendapatkan pelayanan dasar seperti pendidikan formal dan non formal.

Buku ini enak dibaca walau terkesan ada pengulangan di beberapa bagian. Masyarakat Samin di balik segala keunikannya, mengajarkan kepada kita nilai-nilai luhur yang saat ini sudah semakin luntur di masyarakat awam. Kesederhanaan hidup mereka mampu membuat mereka tetap arif dan bijak ditengah gempuran materialisme dan konsumerisme. Saya rekomendasikan untuk dibaca oleh pegiat Ilmu Sosial atau orang-orang yang menyukai kisah sejarah.