Sunday, April 28, 2024

SENI MENCINTA


 

SENI MENCINTA

Penulis Erich Fromm

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1987

155 halaman

 

Erich Fromm (1900-1980) merupakan seorang ahli filsafat dan ilmu Jiwa kelahiran Jerman yang kemudian migrasi ke Amerika Serikat. Buku ini merupakan terjemahan buku The Art of Loving karya Erich Fromm yang diterbitkan Harper & Row Publishers, New York and Evanston tahun 1962. The Art of Loving" oleh Erich Fromm adalah sebuah karya yang mengeksplorasi konsep cinta dalam konteks psikologis, sosial, dan filosofis.

Cinta merupakan sebuah kebutuhan bagi manusia dan sekaligus bukti eksistensi manusia. Dalam buku ini Fromm mengungkapkan cinta merupakan suatu seni sehingga memerlukan pengetahuan dan latihan. Hal ini berbeda dengan pandangan yang banyak berkembang saat ini bahwa cinta merupakan perasaan menyenangkan ketika seseorang beruntung mengalami “jatuh cinta” atau sebuah ketidaksengajaan sehingga tidak perlu dipelajari.

Orang sering terjebak dalam kekeliruan  memandang cinta sebagai suatu proses yang tidak perlu dipelajari karena:

  • Kebanyakan orang melihat masalah cinta ini pertama-tama sebagai masalah “dicintai” dan bukan masalah kemampuan orang untuk “mencintai”. Sehingga mereka terjebak dalam upaya agar mereka menarik dan dicintai oleh orang lain.
  • Masalah cinta lebih terkait dengan “obyek” dan bukan “bakat” dimana orang lebih focus belajar mencari obyek untuk dicintai dan bukan mempelajari bagimana mencintai orang lain.
  • Orang sering terfokus pada proses “jatuh cinta” dan terlupa untuk “memelihara rasa cinta” pada tahap selanjutnya.

Untuk mengatasi kekeliruan tersebut, Fromm menyarankan orang memperbaiki diri dengan: (1) menyadari cinta adalah suatu seni, sehingga kita harus mempelajarinya, (2) menguasai teori dan prakteknya, (3) menguasai seni sebagai salah satu tujuan/prioritas tertinggi.

Secara umum, beberapa pointer penting yang disampaikan Fromm dalam buku ini yang saya rangkum dari catatan saya dan AI adalah sebagai berikut:

Konsep Cinta: Fromm mendefinisikan cinta sebagai suatu tindakan yang terdiri dari elemen-elemen seperti perhatian, kepedulian, tanggung jawab, penghormatan, dan komitmen. Menurutnya, cinta bukanlah suatu perasaan yang pasif, tetapi sebuah kegiatan yang aktif dan dinamis. Cinta itu terutama memberi, dan bukan menerima. Orang yang kaya akan cinta adalah bukan orang yang kaya rasa cinta, tetapi orang yang “memberi banyak”. Ia memberi tidak untuk pamrih menerima balasan tapi memberi itu adalah kegembiraan yang sangat indah..

Asal-Usul Cinta: Fromm mengajukan bahwa cinta tidaklah bawaan atau naluri, melainkan suatu keterampilan yang bisa dipelajari dan dikembangkan. Dia berpendapat bahwa orang belajar cara mencintai dari lingkungan dan budaya mereka.

Jenis cinta; Di dalam keluarga seorang anak tumbuh dalam “kasih sayang dan pengasuhan ibu” yang tulus secara naluriah tanpa pamrih. Secara normal setiap ibu pasti akan mencintai bayinya yang tidak berdaya.  Setelah berkembang, anak tumbuh dalam “cinta kasih bapak” yang cenderung sudah berpamrih, dimana anak harus melakukan segala sesuatu yang diperintahkan ayahnya agar bisa mendapatkan kasih sayangnya secara penuh. Rasa cinta tersebut kemudian berkembang lebih lanjut menjadi kepada “cinta sesama makhluk”. Cinta kepada sesame ini akan tumbuh selaras dengan didikan Keluarga dan lingkungannya. Seseorang yang dibesarkan dalam Keluarga yang penuh kepedulian terhadap orang lain, cenderung akan mudah mempunyai emphaty terhadap orang lain. Bentuk cinta lain adalah "cinta erotis" dari seorang pria kepada wanita atau sebaliknya. Cinta erotis ini bersifat ekslusif, karena seseorang dapat meleburkan diri sepenuhnya dengan mendalam hanya kepada satu pribadi saja. Fromm tidak setuju dengan pendapat Freud bahwa kecocokan dan kepuasan seksual akan menumbuhkan rasa cinta.  Bahkan Fromm berpendapat bahwa cinta yang tulus lah yang akan menghasilkan kepuasan seksual. Oleh karena ketika seseorang mempunyai masalah seksual, treatment pengobatannya dilakukan dengan memperbaiki rasa cintanya.  Bentuk cinta yang lain adalah “Cinta diri”. Cinta diri adalah jika engkau mencintai orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri. Cinta diri ini merupakan kebalikan dari konsep mementingkan diri sendiri. Manusia juga mempunya "cinta kepada Allah", yang dianggap sebagai sesuatu yang Maha Tinggi yang harus disembah dan diikuti sehingga sifat-sifat baik Tuhan melebur dalam perilaku sesorang tersebut.

Cinta dan Kemandirian: Fromm menekankan pentingnya kemandirian dalam cinta. Dia mengatakan bahwa seseorang harus menjadi pribadi yang utuh dan mandiri sebelum dapat mencintai secara sehat. Cinta yang sejati memperkaya individualitas dan kemandirian masing-masing pasangan.

Cinta dan Kebebasan: Fromm menyoroti hubungan antara cinta dan kebebasan. Dia berpendapat bahwa cinta sejati membutuhkan kebebasan individu, bukan pemaksaan atau kontrol. Cinta yang sehat memberikan ruang bagi kedua pasangan untuk tumbuh dan berkembang. Cinta adalah anak dari kebebasan dan bukan dari penguasaan. Ketika seseorang mencintai orang lain, dia harus siap menerima orang itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Keterlibatan Sosial dan Politik: Fromm juga membahas relevansi konsep cinta dalam konteks sosial dan politik. Dia menekankan pentingnya cinta sebagai kekuatan untuk mengatasi egoisme dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan. Dalam kehidupan masyarakat Barat yang individualis dan materialistis, cinta menjadi salah satu kebutuhan untuk menjaga eksistensinya. Perlu ditanamkan rasa cinta dan emphaty kepada sesame, yang didasari ketulusan tanpa pamrih. Rasa cinta kepada Tuhanpun perlu dikembangkan agar manusia menyadari keterbatasannya dan dia sadar bahwa ada tempat bersandar untuk segala permasalahan hidupnya.

Berlatih cinta; untuk mempelajari seni mencinta, seseorang harus mempunyai jiwa disiplin, konsentrasi, sabar, perhatian yang tinggi untuk menguasai seni mencinta, belajar melalui seni yang lain seperti seorang pemanah harus belajar ilmu pernapasan. Latihan kepercayaan, keberanian dan bersikap obyektif. Pada intinya, kita harus berani banyak melakukan kontemplasi dan pengorbanan waktu untuk mengenali diri kita maupun untuk menemukan hakikat cinta.

Membaca karya Erich Fromm ini, saya jadi menemukan benang merah dengan karya para sufi seperti Ibn’ Rusdy dan Jalaludin Rumi serta Paulo Coelho (khususnya Alchemist). Mereka banyak mengupas tentang perlunya memupuk cinta kepada kekasih, kepada sesama maupun kepada Tuhan. "The Art of Loving" memberikan wawasan yang dalam tentang sifat cinta dan bagaimana kita dapat memahaminya serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan yang multidimensional, Fromm mengajak pembaca untuk mempertimbangkan peran cinta dalam membangun hubungan yang bermakna dan memperbaiki dunia di sekitar kita.

Tantangan membaca buku ini adalah karena buku ini adalah buku terjemahan, terkadang saya menemukan kalimat yang agak sulit dicerna karena mungkin sulit dicari padanan katanya. Selain itu karena buku ini terbitan lama (terbitan tahun 1962 untuk buku asli dan terbitan 1987 untuk terjemahan, terkadang saya harus kilas balik membayangkan situasi sosial politik pada saat buku ini dituliskan agar memperoleh pemahaman yang sesuai.