Saturday, May 17, 2014

AMUK WISANGGENI; Ksatria Sejati dari Kawah Candradimuka

Oleh; Suwito Sarjono
Penerbit Diva Press
Yogyakarta 2012
344 halaman

Buku ini bercerita tentang kisah wayang babad Mahabarata. Alkisah, Arjuna yang telah mengalahkan raja raksasa Niwitakawaca mendapatkan anugerah dewa untuk tinggal di kahyangan dan bidadari cantik Betari Dersanala, putri Dewa Brahma. Namun kisah manis itu berakhir tragis karena raja dewa yakni Betara Guru terkena hasutan anaknya yang bernama Dewasrani, yang ingin menyunting Betari Dersanala. Arjuna diusir dari kahyangan dan Betari Dersanala yang sedang mengandung diculik oleh Dewasrani.

Betari Dersanala yang sedang mengandung kemudian melahirkan anak secara prematur. Demi menuruti keinginan Dewasrani yang ingin menyunting Betari Dersanala, Betara Guru mengutus dewa bawahannya untuk membunuh jabang bayi anak Dersanala. Dewa yang disuruhnya tidak tega membunuh jabang bayi yang tidak bersalah dan membuangnya ke dalam hutan dan kemudian ke kawah Candradimuka  yang terkenal panas membara. Namun jabang bayi tersebut mempunyai kesaktian sehingga kawah Candradimuka tidak bisa menghanguskannya bahkan jabang bayi segera tumbuh cepat dan semakin meningkat kesaktiannya.

Semar yang melihat kesewenang-wenangan Betara Guru tergerak untuk menegakkan kebenaran. Dia kemudian mendampingi jabang bayi  yang sudah tumbuh remaja tersebut, untuk meminta pertanggungjawaban Betara Guru. Remaja yang diberi nama Wisanggeni tersebut mengejar Betara Guru untuk meminta keterangan tentang jatidirinya. Betara Guru mengerahkan pasukannya namun mereka tidak bisa menandingi kesaktian Wisanggeni. Betara Guru kemudian kabur ke Amarta untuk meminta pertolongan Pandawa, namun dikejar terus oleh Wisanggeni. Kemudian Betara Guru pergi ke tempat Dewasrani, namun Dewasranipun dikalahkan oleh Wisanggeni. Akhirnya Betara Guru mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Wisanggeni, Arjuna dan Dersanala.

Secara umum buku ini mudah dicerna, karena Bahasa dan alur yang sederhana (khususnya bagi pembaca yang sering mendengar cerita wayang). Sayangnya pesan-pesan moral terkesan “ditempelkan” dan kurang merasuk dalam alur cerita secara terintegrasi.


No comments: