Monday, January 09, 2023

ATHEIS

 



ATHEIS

Karya: Achdiat Karta Mihardja

Penerbit Balai Pustaka

Jakarta 1990 (cetakan sebelas)

ISBN 979-407-185-4

232 halaman

 

Buku ini terbit pertama kali tahun 1949, dengan setting masyarakat Indonesia di kota Bandung awal permulaan abad 20 hingga jaman penjajahan Jepang yang ditandai dengan pergeseran gaya hidup tradisional ke gaya hidup modern. Buku Atheis  yang saya baca, merupakan buku digital yang tidak terlalu rapi lay-outnya.

Alkisah, Hasan merupakan seorang  pemuda terpelajar dari keluarga bangsawan Sunda yang relijius. Di saat remaja, Hasan jatuh hati kepada Rukmini, seorang remaja anak orang biasa. Namun cintanya tidak berjalan mulus karena keluarga Hasan menginginkan Hasan kelak mendapatkan istri dari keluarga bangsawan. Sedangkan keluarga Rukmini mengharapkan Rukmini mendapatkan suami dari kalangan orang biasa. Untuk mengobati kegundahan hatinya dan mendapatkan ketenangan batin, Hasan tertarik mengikuti ajaran orang tua untuk mendalami ilmu agama Islam dan tarekat yang merujuk pada amalan dari Syekh Abdul Qadir Djaelani.

Setelah lulus Sekolah Menengah, Hasan kemudian bekerja untuk kantor jawatan air di Kota Bandung (seperti PDAM jaman sekarang). Ketika menjalankan pekerjaannya, Hasan bertemu dengan Rusli seorang teman SD-nya yang dulu terkenal bandel dan sekarang sudah menjadi tokoh pergerakan komunis.  Melalui Rusli, Hasan berkenalan dengan Kartini yang merupakan janda muda simpatisan komunis. Kartini bergabung dengan Rusli karena merasa mendapatkan perlindungan dari mantan suaminya yang feodalis dan suka melakukan kekerasan terhadapnya.

Pertemuan Hasan dengan Rusli terus berlanjut dan Hasan sering mengikuti diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh Rusli dan kelompoknya. Demikian pula pertemuan Hasan dengan Kartini juga semakin intens dilakukan, karena Hasan terpesona dengan penampilan Kartini yang mirip dengan Rukmini, cinta pertamanya. Diskusi yang sering dilakukan, membuat pendirian Hasan lama-kelamaan menjadi goyah. Ajaran agama mulai ditinggalkan dan lebih banyak mendekatkan diri  pada kehidupan duniawi semata. Puncak kegoyahan iman Hasan terjadi ketika dia berdebat dengan ayahnya tentang ajaran agama. Hasan merasa ajaran agama tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan dunia sehingga dia menjadi Atheis. Hasan juga nekat menikahi Kartini walaupun keluarga menolaknya. Akhirnya hubungan Hasan yang tinggal di Bandung dengan keluarga ayahnya di kampung menjadi  semakin jauh.

Dalam perjalanan rumah tangganya, Hasan dan Kartini ternyata  tidak menemukan kedamaian. Mereka sering cek cok karena Hasan cemburu dengan Kartini yang lebih mengutamakan kehidupan kelompok politiknya daripada rumahtangganya. Sampai suatu saat mereka cekcok hebat dan Kartini kabur dari rumah. Dalam pelariannya, Kartini dibantu oleh Anwar seorang seniman simpatisan komunis. Namun setelahnya ketahuan bahwa Anwar hanya ingin menjadikan Kartini sebagai tempat pelampiasan nafsu birahinya.

Hasan yang menyesal bertengkar dengan Kartini kemudian mencari Kartini namun tak kunjung bertemu. Muncul berita dari kampung, bahwa ayah Hasan sakit keras karena memendam rasa sedih yang mendalam karena Hasan telah meninggalkan ajaran dari agamanya. Hasan yang segera berkunjung ke ayahnya, menemukan ayahnya yang sakit tak berdaya bahkan dengan halus mengusir Hasan karena telah menyimpang dari ajaran agaman keluarga. Tak lama kemudian Ayahnya meninggal dunia. Meninggalnya ayahanda yang sangat disayanginya serta kepergian Kartini, telah membuat kondisi fisik Hasan menurun dan jatuh sakit terkena penyakit TBC. Hingga suatu saat dia ditangkap Kempetei (polisi Jepang) karena dia tidak mau bersembunyi ketika sedang ada serangan udara tentara Sekutu.  Penderitaan lahir dan batin selama di penjara menghantar Hasan menemui ajalnya.

Mninggalnya Hasan akhirnya sampai ke telinga Kartini. Kartiniun menyesal karena dia sejatinya masih memendam cinta yang teramat dalm kepada Hasan. Kartini menyesal tidak bisa menjadi istri yang baik bagi Hasan. Tapi penyesalan hanya tinggal penyesalan karena nasi telah menjadi bubur….

Buku roman ini enak dibaca. Saya terpesona dengan gaya bahasa dan kosa kata ejaan lama di awal abad 20 an. Imajinasi juga terpancing untuk membayangkan situasi sosial dan budaya yang berkembang saat itu. Achdiat Karta Mihardja selaku penulis buku juga sangat piawai untuk memberikan ilustrasi contoh perdebatan kaum agamis dan kaum komunis yang atheis. Saya pikir hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang memang memahami konsep dasar politik komunisme maupun konsep dasar agama. Sebuah kepiawaian yang tidak mengherankan karena selain sosok yang relijius, Achdiat Karta Mihardja merupakan pembelajar filsafat, ahli kebudayaan, wartawan dan juga seorang dosen berkualitas.

 

No comments: