Saturday, July 08, 2023

Parijs van Java; darah, keringat dan airmata


 

Parijs van Java; darah, keringat dan airmata

Pengarang: Remy Silado

Kepustakaan Populer Gramedia,  Jakarta 2003

597 halaman,  ISBN 979-9023-89-0

Novel ini ditulis dengan setting Bandung di awal tahun 1920an. Alkisah, novel ini bercerita tentang seorang gadis cantik bernama Gertruida van Veen atau biasa dipanggil Gerry yang pintar bermain piano.  Gerry lahir di New York, namun menjelang remaja keluarganya pindah kembali ke tanah airnya di negeri Belanda. Ayahnya yakni Mark van Veen adalah seorang dosen filologi Semit di fakultas Theologi di Utrecht. (Wikipedia: filologi adalah sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang sejarah, pranata, dan kehidupan suatu bangsa yang terdapat dalam naskah-naskah lama). Selain menjadi dosen, Mark juga menjadi pastor Anabaptis. Mark mendidik  Gerry dengan cara yang kolot dan over protective, seperti dilarang ke theatre, nonton bioskop dan lain-lain. Berbeda dengan ayahnya, Ibu Gerry yang bernama Jennifer Schmidt, merupakan mantan artis yang yang berperangai lemah lembut dan ngemong terhadap Gerry.

Di usia 16 tahun, Gerry berkenalan dengan Rob Verschoor, seorang pelukis jalanan yang berbakat. Rob berniat menjadikan Gerry yang cantik sebagai model lukisannya. Perkenalan tersebut berlanjut menjadi kisah asmara. Gerry berusaha memperkenalkan Rob pada ayahnya namun Mark malah mengusir Rob. Gerry yang sakit hati dengan perlakuan ayahnya terhadap Rob, kemudian malah nekat dan pacaran lewat jalan belakang. Akhirnya Gerry hamil di usia muda. Kehamilan Gerry membuat ayahnya berang dan mengusirnya. Pada saat itu Gerry baru tahu bahwa sesungguhnya ayahnya bukan Mark van Veen tetapi Matthew van Veen. Matthew yang berprofesi actor dan berpacaran dengan Jennifer. Namun Matthew meninggal dalam kecelakaan dan meninggalkan Jennifer dalam kondisi hamil tanpa nikah. Untuk menutup aib tersebut, Mark kemudian menikahi Jennifer.

Gerry yang sedang hamil muda dan diusir oleh ayahnya kemudian menerima ajakan Rob untuk merantau ke Hindia Belanda.  Rob sendiri tertarik untuk merantau ke Hindia Belanda karena tawaran dari Rumondt, seorang Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda. Rumondt bercerita bahwa dia bisa mengenalkan Rob dengan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda dan para bangsawan Jawa yang kaya raya dan menyukai karya seni lukisan. Rumondt bercerita bahwa Rob pasti nanti akan kebanjiran pesanan lukisan. Selain termotivasi oleh cerita Rumondt, Rob juga termotivasi karena kakaknya juga menjadi suster di Hindia Belanda tepatnya di kota Lembang Jawa Barat. Rob dan Gerry bersama Rumondt akhirnya berlayar bersama ke Hindia Belanda. Selama perjalanan ini, Gerry merasa tidak nyaman dan curiga karena Rumondt sering menatap dan memperlakukannya dengan cara yang kurang sopan.

Sesampai di Hindia Belanda, Rob dan Gerry diantar oleh Rumondt ke Jogjakarta. Di sana Rob diperkenalkan dengan Martosuwignyo, seorang bangsawan kaya raya, beristri banyak namun suka berbuat mesum. Rob diminta untuk membuat lukisan di rumah baru Martosuwignyo. Selama di Jogja, Rob dan Gerry kemudian tinggal di salah satu rumah Martsuwignyo dan bertetangga baik dengan keluarga Scholten.

Rumondt sendiri kemudian ke Bandung. Dia ternyata mengelola bordil elit berkedok cafe De Duif (Merpati) di Bandung yang menyediakan wanita-wanita penghibur high class asli Belanda. Martosuwignyo sendiri merupakan salah satu pelanggan tetap De Duif tersebut. Dalam menjalankan operasinya, Rumondt didukung oleh Van der Wijk seorang pengusaha perkebunan Belanda yang kaya raya di Bandung. Van der Wijk inilah sebenarnya otak dan pemilik de Duif.  Bersama pengusaha lain mereka membentuk kelompok elite Preanger Planters. Mereka menginisiasi konsep wisata Parijs van Java atau kota kembang yang menawarkan kemolekan wanita. Konsep Parijs van Java ini mendapatkan perlawanan dari kalangan mahasiswa pergerakan, kalangan rohaniawan dan partai politik. Perlawanan tersebut mencapai puncaknya dengan dibakarnya bordil de Duif oleh pengikut partai politik komunis.

Pembakaran de Duif tersebut membuat Rumondt dan Van der Wijk tiarap mengatur strategi beberapa saat. Mereka kemudian membangun café baru di luar kota Bandung yang diberi nama de Druif (anggur). Mereka memboyong wanita-wanita dari de Duif ke café baru ini. Mereka juga mencari wanita-wanita Belanda yang cantik untuk dijadikan pelacur di café ini. Mereka kemudian teringat dengan Gerry yang sedang berada di Jogja ersama Rob suaminya. Mereka bertekad akan membaca Gerry guna dijadikan mascot café de Druif. Ternyata inilah motivasi sesungguhnya dari Rumondt sehingga mau berjerih payah membawa Rob dan Gerry ke Hindia Belanda. Ternyata Gerry  yang cantik jelita hendak dijadikan pelacur kelas elite di café milik Rumondt dan van der Wijk.

Di Jogja, usia kehamilan Gerry sudah memasuki saat melahirkan. Namun Rob yang terlalu asyik dengan pekerjaannya lalai terhadap  saat-saat krusial tersebut. Sampai akhirnya Gerry yang tertekan batinnya, melahirkan anak yang langsung meninggal dunia. Meninggalnya buah cinta mereka mengakibatkan Gerry mengalami depresi dan menyalahkan Rob.

Rumondt yang sedang mencari cara memboyong Gerry dari Jogja ke Bandung, kemudian menemukan jalan dengan  menawari Rob untuk melakukan pameran lukisan guna pengumpulan dana bagi lembaga gereja. Meski sejatinya penggalangan dana ini merupakan strategi kooptasi dari Preanger Planters terhadap para rohaniawan yang menentang konsep Parijs van Java. Rob menerima tawaran itu guna mencari situasi baru setelah Gerry sempat depresi karena kematian anaknya. Kebetulan Rob sudah selesai melakukan pekerjaan melukis di rumah Martosuwignyo sehingga dia bebas kemanapun juga. Gerry yang semula menolak pindah dari Jogja, akhirnya bersedia pindah ke Bandung karena dia akan dekat dengan kakak iparnya yang menjadi suster di Lembang.

Perpindahaan ke Bandung berjalan lancar. Di Bandung, Rob dan Gerry berkenalan dengan tetangga mereka yakni Abdoelkarim bin Abdoelkadir atau yang biasa disebut AbA. Dia merupakan seorang mahasiswa Fakultas Teknik. Dia seorang penganut Islam Kejawen dan suka menolong orang lain. AbA menyukai keluarga Rob karena mereka Rob bersikap egaliter dan tidak rasialis seperti orang Belanda yang tringgal di Bandung. Rob sendiri menyukai AbA karena Rob bisa belajar banyak pada pandangan batiniah Islam Kejawen yang dimiliki AbA.

Setelah menjalani prosesi pernikahan di gereja, Rob dan Gerry kemudian memulai kehidupan mereka di Bandung. Gerry berbahagia karena dia mulai hamil Kembali. Hal ini membuat Rob termotivasi dalam melukis. Dalam tempo singkat, Rob berhasil menyelesaikan lukisan-lukisannya dan siap dipamerkan. Dalam pameran yang disponsori Preanger Planters, Rob mendapat apresiasi dan banyak karyanya dibeli para orang kaya. Sebagian dana tersebut kemudian disumbangkan ke lembaga agama. Gerry sendiri saat pameran tidak muncul karena dia enggan bertemu Rumondt dan Van der Wijk. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Rumondt yang dengan sembunyi-sembunyi datang ke rumah Rob dan memperkosa Gerry yang sedang hamil. Perkosaan itu tidak diketahui orang. Hanya AbA yang melihat Rumondt pergi tergesa-gesa dari rumah Rob di malam itu dan menjalankan mobilnya dengan laju.

Pemerkosaan itu membuat Gerry depresi hingga berniat bunuh diri. Gerrypun kemudian dirawat di rumah sakit.  Rumondt berpura-pura tidak mengetahui kejadian itu. Dia bilang ke Rob bahwa Gerry depresi mungkin karena gangguan makhluk halus di rumahnya. Namun serapat-rapatnya ditutupi, bau bangkai akhirnya tercium juga. Rob akhirnya tahu bahwa Gerry depresi karena diperkosa  Rumondt. Rob kemudian menghajar Rumondt, meski Rob dikeroyok oleh Rumondt dan Piet Hein si penjaga café. Dengan licik Rumondt menusuk Piet Hein sampai meninggal dan Rob dijadikan tersangka. Rob kemudian disidang dandidakwa melakukan pembunuhan terhadap Piet Hein. Rob  akhirnya ditawan di penjara orang Belanda di Semarang.

Mengetahui Rob ditawan di Semarang, AbA yang prihatin dengan kondisi Gerry kemudian mengungsikan Gerry ke gereja tempat Suster Theresa (kakak Rob) di Lembang. AbA sudah menduga bahwa Rumondt akan memanfaatkan situasi Rob yang ditahan, untuk mendekati dan berbuat jahat kepada Gerry. Dugaan tersebut benar, Rumondt blingsatan mencari Gerry yang menghilang. Dia kemudian mencecar AbA tentang keberadaan Gerry. Saking jengkelnya terhadap AbA yang merahasiakan keberadaan Gerry, Rumondt sampai hati mencelakai AbA dengan menabrak AbA yang mengendarai sepeda. Berutung AbA selamat walau sempat mengalami gegar otak.

Rasa kangen membuat Gerry menengok rumah tinggalnya di Bandung. Hal ini tidak luput dari pengintaian Rumondt. Suatu ketika Rumondt dan Van der Wijk menyuruh anak buahnya untuk menculik Gerry dan membawa ke rumah perkebunan milik Van der Wijk yang terisolir di daerah Situ Patenggang Ciwidey. Rencananya, Gerry akan diisolasi hingga melahirkan bayinya, dan setelah lahir bayinya akan diberikan ke orang dan Gerry akan dijadikan pelacur di café de Druif. Rencana itu berjalan mulus. Gerry melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Indonesia. Bayi tersebut kemudian diculik oleh bidan suruhan Van der Vijk yang berpura-pura membantu proses persalinan Gerry.

Di penjara Semarang, Rob bersahabat dengan Dan Miero seorang Yahudi Belanda. Dan Miero merupakan pimpinan napi yang disegani, namun dia tidak berkutik berkelahi dengan Rob. Dan Miero mengajaknya bersekongkol dengan kepala penjara bernama Ter Braak untuk mencuri sekotak berlian. Dan Miero yang berhasil mencuri kotak berlian akhirnya dikhianati  dan dibunuh oleh Ter Braak. Rob yang perannya melukis wajah Dan Miero menjadi wajah Hastingh pemilik berlian, pada saat perampokan tidak dilibatkan dan disuruh menanti di sebuah gubug oleh Dan Miero dan Ter Braak. Ternyata Rob juga dikhianati oleh Ter Braak dan disingkirkan dengan cara dibakar gubugnya sampai habis. Akhirnya berlian tersebut dikuasai oleh Ter Braak dan digunakan untuk berfoya-foya dengan istrinya yang masih muda namun suka bermewah-mewah.

Gerry yang marah karena anaknya diculik kemudian kabur dari rumah perkebunan Van der Wijk. Dia pulang ke Bandung dalam kondisi acak-acakan, dan ditolong oleh keluarga AbA. Gerry kemudian melaporkan kasus penculikan anaknya oleh Van der Wijk dan Rumondt kepada Polisi. Polisi kemudian menindaklanjutinya dengan menangkap Can der Wijk. Rumondt akhirnya ditangkap polisi namun dengan tuduhan pembunuhan terhadap seorang rohaniawan yang kritis terhadap Preanger Planters. Dalam persidangan kemudian Van der Wijk dihukum sepuluh tahun di penjara Semarang. Dalam kasus pembunuhan rohaniawan, Rumondt terbukti tidak bersalah namun dia dihukum berat karena melakukan keonaran di pengadilan dan ada saksi yang bersaksi bahwa Rumondt-lah yang membunuh Piet Dien. Rumondt akhirnya juga ditawan limabelas tahun di penjara Semarang. Adanya pengakuan itu membuat Departemen Justisi mengeluarkan surat pembebasan untuk Rob. Namun di Semarang sana, Rob sudah dibunuh di gubugnya oleh Ter Braak.

Ditawannya Van der Wijk dan Rumondt membuat Gerry merasa bebas. Dia kemudian mencari anaknya Indonesia ke Yogyakarta, karena mendengar anaknya dititipkan di panti asuhan di Jogja. Namun dia kecele karena anaknya sudah diambil kembali dan dibawa ke tempat lain oleh bidan gadungan yang membantu persalinannya. Dengan rasa kecewa Gerry kemudian melanjutkan perjalanan ke semarang untuk menemui Rob yang ditawan di sana. Namun Gerry yang didampingi Ter Braak hanya menemukan kuburan dengan palang salib bertuliskan nama Rob. Gerry yang putus asa kemudian pulang ke Lembang dan disana dia menemukan anaknya yang dirawat oleh suster Theresa kakak iparnya. Mungkin karena dorongan kemanusiaannya, bidan gadungan meletakkan bayi Indonesia didepan rumah Gerry di Bandung. Untunglah keluarga AbA segera melihatnya dan menolongnya. Oleh AbA bayi Indonesia tersebut kemudian diantar ke suster Theresa untuk dirawat.

Gerry merasa hidup di Indonesia tanpa sanak keluarga membuat dia kesepian. Oleh karenanya dia merencanakan untuk membawa Indonesia ke Amerika untuk berkumpul dengan keluarga besarnya. Sebelum berangkat Gerry bermaksud mengajak Indonesia ziarah ke makam Rob di Semarang. Namun di sana dia menjumpai manusia aneh buruk rupa yang mengendap-endap di makam Rob. Ternyata manusia itu adalah Rob yang raganya rusak akibat terbakar gubugnya. Saat itu Rob ditlong oleh seorang tabib sinshe China yang ternyata tinggal di dekat gubug yang dibakar. Meskipun jiwanya tertolong, namun raga dan wajahnya sudah terlanjur rusak. Rob merasa rendah diri dengan penampilannya sehingga dia menjauh dari khalayak ramai. Diapun menjauh dari Gerry karena kuatir Gerry akan takut dan menolaknya. Setelah melalui berbagai pendekatan, Rob akhirnya bersedia diajak pulang oleh Gerry ke Bandung.

Selang sebulan kemudian, mereka kemudian diantar oleh Suster Theresa,  keluarga AbA, keluarga Scholten dari Yogya dan berbagai handai taulan lainnya ke Pelabuhan. Rob, Gerry dan Indonesia telah meneguhkan hati untuk menuju tanah harapan negeri Amerika dan meninggalkan darah dan airmata di Hindia Belanda.

Novel Parijs van Java ini merupakan novel keempat Remy Sylado yang pernah kubaca. Novel lainnya adalah Ca Bau Kan, Kerudung Merah  Kirmizi dan Malaikat Lereng Tidar. Membaca karya Remy Sylado, kita akan dihadapkan pada novel yang bernuansa cerita sejarah dengan penjabaran lokasi yang detail. Saya menduga Remy Silado menulis novel didahului dengan berbagai studi terlebih dulu, setidaknya desk study. Selain aspek kesejarahan, nilai positif dari novel ini adalah Remy berusaha menampilkan kehidupan yang toleransi dan saling menghargai antar umat beragama dan antar ras. Bahwa perasaan sebagai ras unggul yang menghinggapi orang Belanda colonial, tidaklah berarti apa-apa dibanding nilai-nilai ketimuran yang ada. Remy berusaha mengangkat nilai-nilai humanisme universal dalam novel ini. Novel ini juga sarat dengan pesan moral karena dalam setiap bab, Remy menyisipkan peribahasa atau quotes bijak dari Bahasa Belanda  yang bisa menjadi bahan renungan kita. Dari sisi penulisan, saya menyukai cara Remy memenggal alur tulisan sehingga masing-masing Bab-nya tidak terlalu tebal. Pembagian bab yang tipis membuat, saya merasa tidak terlalu capek lembar demi lembar karya tulisannya. Dari sisi penulisan, saya menemukan banyak kosa kata ‘sastrawi” yang baru saya temukan kali ini. Kemungkinan kata-kata tersebut diambil dari Bahasa Sanskerta. Memang kata-kata tersebut seperti pasir yang terkunyah ketika makan nasi. Bikin kaget dan berkata “aduh”, namun kemudian membuat kita untuk pelan-pelan dan berhati-hati mengunyah ramuan kata-kata yang ada di depan kita.


No comments: