Wednesday, July 04, 2007

Wayang dan Sinden

Kata ibu saya, sejak kecil saya sudah menyukai budaya Jawa dan menyukai "perempuan cantik". Ketika masih bayi, kalau saya sedang menangis, saya akan terdiam ketika mendengar alunan gamelan atau klonengan (instrumental musik Jawa).Ketika ada kerabat yang sedang punya hajatan dan mereka mengundang wayang atau kethoprak, ketika balita saya biasanya akan minta didudukkan dekat atau dipangku Sinden (penyanyi Jawa), bahkan makanpun minta disuapin sama si Sinden. Sinden saat itu merupakan representasi wanita cantik ala ndeso, karena ketika nyinden mereka biasanya akan berdandan dan berbau wangi bedak atau wewangian lainnya. Di hari-hari biasa, perempuan ndeso biasanya jarang dandan kecuali kalau mau bepergian.... Karena saking sukanya sama sinden-sinden yang cantik, salah seorang famili saya sering memintakan foto Sinden itu untuk kenang-kenangan bagiku (saat itu kamera masih menjadi barang mewah, maka ketika aku dapat foto mereka hm... luar biasa gembira hatiku he...he...he...)
Salah satu kesenian tradisional lainnya yang kusukai adalah wayang kulit. Dengan wayang kita bisa belajar budi pekerti, prinsip hidup, karakter orang, bahasa dan lain-lain. Saya lebih menyukai wayang kulit model Jogja daripada Solo. Kalau gaya Jogja suara kecrek pak dalangnya berbunyi cling..cling..cling kalau gaya Solo bunyinya crek..crek...crekkk....(itu cara paling mudah membedakannya). Jaman aku kecil ada beberapa dalang Jogja yang terkenal misalnya Ki Suparman, Ki Gito - Ki Gati (dalang kembar), Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Hadi Sugito dll. Salah satu dalang favoritku adalah Ki Hadi Sugito, karena guyonannya segar dan kemampuan monolog-nya luar biasa. kalau beliau mendalang, kita akan mendengar suaranya bagai beberapa orang sedang berdialog. Karakterisasi suara untuk masing-masing tokoh wayang dan kecepatan dialognya luar biasa.... Dengan mendengar suara tokoh wayang Kresna di radio, saya sudah bisa menebak, dalangnya Ki Hadi Sugito atau bukan....
Saya suka mendengarkan wayang melalui radio, kalau nonton langsung kurang begitu suka. Makanya dulu bapakku sering komplain karena radionya boros batere. Biasanya sejak sore radio kusetel wayang (acara wayang di radio biasanya semalam suntuk), radio tersebut terus "on" sampai pagi walau saya tertidur. Terkadang tengah malam saya tertawa sendiri kalau ada adegan lucu terdengar di radio....
Sayang budaya wayang ini kayaknya semakin pudar karena kaderisasi dalang yang terbatas. Selain itu gencarnya serbuan budaya asing yang didukung teknologi canggih dan modal kuat, lambat laun membuat budaya wayang ini makin terdesak dan kekurangan peminat...

No comments: