Tuesday, September 23, 2008

Tarawihku dulu...

Saat aku masih berumur kurang dari 12 tahunan, suasana Ramadhan di malam hari terasa sekali berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Hal itu disebabkan adanya kesibukan orang-orang di kampungku untuk menunaikan shalat tarawih dan tadarus al Qur'an di musholla. Kampung yang biasanya gelap gulita dengan penerangan lampu teplok/tempel, berubah menjadi benderang karena di mushola dipasang lampu petromax. Anak-anakpun riang gembira bermain dengan diterangi sorot lampu itu. Tidak sedikit pula, anak-anak yang menyalakan kembang api. Kembang api ini dibeli di pasar yang berjarak 1-2 kilometer dari kampungku. Meski daerahku termasuk daerah "Islam abangan", namun di bulan puasa suasana kemeriahan sekaligus kekhusukan ibadah cukup kental terasa.
Pada masa itu, AKABRI di Gunung Tidar - Magelang sering membunyikan suara meriam sebanyak 3 kali untuk menandakan saat maghrib. Suara dentuman meriam itu terdengar sampai di kampungku yang berjarak sekitar 15 kilometer dari kota Magelang. Biasanya menjelang magrib, saya dan teman-teman duduk-duduk di pojok kampung yang terbuka sambil mengamati dan menantikan suara dentuman meriam itu. Di kampungku, jarang ada budaya ta'jil atau buka puasa bersama. Masing-masing keluarga berbuka puasa di rumahnya sendiri kemudian setelahnya mereka melakukan shalat maghrib di mushola atau di rumah. Setelah shalat Isya, acara dilanjutkan dengan shalat tarawih. Shalat tarawih dan witir di kampungku memakai cara tradisional yakni 23 rakaat. Sehingga agak lama dan bagi anak-anak dirasa melelahkan. Terkadang ada beberapa anak yang ikut tarawih 8 rakaat trus istirahat dan nanti ketika si Imam shat witir, anak-anak itu ikut bergabung shalat lagi.
Seusai shalat tarawih dan witir, para jemaah menyanyikan kidung pujian dengan diiringi beduk yang dipukul bertalu-talu. Kidung pujian ini setahuku berisi sebutan Asmaul Husna. Tapi sejak saya kecil, syair kidung pujian ini sudah mulai terkikis karena tidak adanya proses pewarisan ke generasi berikut baik secara tertulis maupun dengan diajarkan secara lisan. sayang memang budaya-budaya luhur semacam ini hilang tak tersisa...
Setelah kidung pujian selesai dinyanyikan, untuk anak-anak biasanya dibagikan minuman "jaburan" atau semacam bajigur. Inilah saat-saat yang ditunggu oleh anak-anak. Minuman jaburan ini biasanya dibuat hanya saat ramadhan, dan setiap rumah di kampungku mendapat jatah secara bergilir untuk menyuguhkan jaburan pada anak-anak yang shalat tarawih di mushola.
Untuk orang-orangtua, acara biasanya dilanjutkan dengan tadarus Al Quran. Meski didominasi orang-orang tua, terkadang ada anak-anak yang ikut tadarus ini karena dalam tadarus biasanya juga akan dihidangkan berbagai macam kue dan teh manis. Pada saat itu, kue-kue lokal tradisional macam kue bolu, kue pipis, nogosari, jadah ketan, wajik dll masih menjadi makanan mewah... Karena rumahku persis di depan musholla, akupun dulu rajin untuk berebut jaburan maupun ikut-ikutan tadarus agar dapat snack he..he...Tadarus ini dilakukan sampai malam ke 21 karena di malam 21 satu ini pembacaan Al Quran sudah harus khatam (selesai). Di malam 21 ini biasanya juga dilakukan kenduri khataman untuk mengucap syukur atas selesainya pembacaan Quran.
Tadarus biasanya dilakukan sampai jam 12 malam. pembacaan Al Quran biasanya dilakukan secara bergantian. Setelah tadarus biasanya banyak anak-anak yang tidur di musholla dan mereka akan bangun awal sekitar jam 3 pagi untuk meronda keliling kampung membangunkan warga untuk sahur. Saat itu musholla di kampungku belum memiliki pengeras suara sehingga untuk membangunkan warga, kami keliling kampung sambil memukul kentongan secara berirama sambil teriak: sahur...sahur......sahur........
Ah, kenangan masa kecilku yang kini telah musna tergerus aliran jaman...betapa cepat waktu trus berlalu...........

No comments: