Sunday, March 04, 2012

KRITERIA ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KEBIJAKAN MAKRO MITIGASI PERUBAHAN IKLIM KEHUTANAN INDONESIA


Oleh: Ditjen Perencanaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan
Jakarta, 2011
49 halaman

Buku ini membahas tentang poensi  dan peluang perdagangan karbon,  berbagai skema dalam perdagangan karbon itu sendiri serta arahan pemanfaatan ruang kawasan hutan dalam perdagangan karbon tersebut.
Kawasan hutan di Indonesia mencapai 130,68 juta hektar  yang terdiri dari 26,82 juta hektar hutan konservasi, 28,86  juta hektar hutan lindung, 32,60 juta hektar hutan produksi, 24,46 juta hektar hutan produksi terbatas dan 17,94 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi.  Dari sisi tutupan hutan 41,26 merupakan hutan primer, 45,55 juta hektar hutan sekunder, 2,82 juta hektar hutan tanaman dan areal tidak berhutan 41, 05 juta hektar. Dengan luasan tersebut, Indonesia berpotensi besar untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi di level internasional.

Dalam kaitan dengan pengurangan emisi, terdapat tiga jenis kawasan yakni: (1) Kawasan penyimpanan karbon yang diarahkan pada kawasan hutan yang keadaannya masih baik dan simpanan karbon hutannya tinggi seperti kawasan konservasi yang masih bagus (2) Kawasan Penyerapan karbon yang diarahkan pada kawasan hutan dan non hutan yang kondisinya kritis/kurang baik sehingga setalah dilakukan penanaman atau rehabilitasi akan memiliki potensi penyerapan kabon yang tingi (3) Kawasan pencegahan emisi yang diarahkan pada kawasan hutan dan non hutan yang memiliki potensi nilai ekologi atau sosial atau ekonomi tinggi sehingga  jika tetap dipertahankan sebagai hutan perlu kompensasi.

Dari sisi mekanisme  pola pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim, dalam buku ini disajikan beberapa jenis skema yakni (1) payment environmental service/PES yaitu sejumlah pembayaran yang harus diberikan oleh konsumen jasa lingkungan kepada produsen jasa lingkungan, (2) Liability Rule/LR yaitu pembayaran kompensasi oleh suatu pihak tertentu yang bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu kegiatasn misalnya polusi.  Sehingga konsep ini sering disebut polluter  pays principle, (3) Purchasing Development Right/PDR yaitu sejumlah kompensasi yang harus diberikan kepada pemilik sumberdaya untuk tujuan publik tertentu.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan ruang kehutanan, skema pendanaan PES  hendaknya  diterapkan untuk perdagangan karbon untuk kawasan konservasi dan hutan lindung walau kedua lokasi ini tidak mempunyai “additionality”, karena lokasi ini menghasilkan oksigen dan menyediakan jasa penyimpanan karbon.  Skema LR,  dapat diarahkan untuk lokasi yang penyerapan karbonnya tinggi seperti di areal hutan atau lahan kritis atau hutan terdegradasi. Sedangkan PDR bisa diterapkan untuk lokasi  kawasan hutan yang memiliki nilai strategis  tinggi. Supaya hutan tersebut tidak ditebang atau dikonversi, diperlukan adanya kompensasi.

Secara umum buku ini bagus untuk meningkatkan pengetahuan tentang berbagai isu perdagangan karbon. Meski demikian dengan masih belum jelasnya mekanisme dan komitmen perdaganag karbon di level internasional  (seperti hasil Konperensi di Durban), maka perdagangan karbon ini masih belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat ini. Selain itu, masih menjadi pertanyaan apakah mekanisme2 yang ada di buku ini akan disetujui oleh pihak pembeli (buyer)? Adalah suatu hal yang jamak bila buyer akan berusaha cari mekanisme yang selalu menguntungkan mereka sendiri, seperti diskusi yang selama ini ada memunculkan isu bahwa perdagangan karbon tidak bisa dilaksanakan di kawasan konservasi karena sudah meruakan mandatory untuk melindungi kawasan konservasi.  Sebuah spirit yang cukup bagus tercantum dalam buku ini bahwa kita harus membangun mekanisme sendiri agar tidak mudah disetir atau ditekan oleh buyer.  Selain itu harus diingat bahwa ada atau tidak ada perdagangan karbon kita harus tetap melestarikan hutan kita... Jadikan perdagangan karbon sebagai cara untuk menggali sumber pendanaan, tapi jangan jadikan sebagai tujuan...

No comments: