Monday, March 05, 2012

SISI-SISI LAIN HUKUM DI INDONESIA


Oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH.
Penerbit Buku Kompas
Jakarta, 2009
ISBN 978-979-709-112-5
258 halaman

Buku ini merupakan kumpulan artikel Prof Tjip dalam harian Kompas, yang dieditori oleh Karolus Kopong Medan  dan  Frans J. Rengka.
Membaca tulisan Prof. Tjip, kita akan mendapatkan gambaran pemikiran beliau yang bernas, cerdas dan berani melawan arus.  Dalam artikel-artikelnya beliau menyoroti bahwa kita seharusnya menegakkan supremasi moral atauy supremasi keadilan, dan bukan supremasi hukum (yang seringkali disimplifikasi pada kalimat undang-undang).  Hukum harusnya diciptakan untuk kesejahteraan manusia dan bukan sebaliknya.
Dari sisi substansi hukum, hukum merupakan  perilaku dan budaya masyarakat dan tidak bebas nilai sehingga hukum tidak boleh terkungkung dengan apa yang tertulis dalam tekstual regulasi. Aturan hukum itu sendiri harus disusun dengan memperhatikan budaya, sistem sosial dan karakter bangsa dan tidak boleh menjiplak mentah-mentah sistem hukum asing yang tidak sesuai kultur kita. Sebagai sebuah sistem perilaku dan budaya, aturan hukum sendiri perlu dikaji dari berbagai disiplin ilmu dan tidak semata-mata menjadi domain para ahli hukum semata.  Masih dari sisi aturan hukum, Prof. Tjip menekankan bahwa hukum dituntut untuk dinamis . Oleh karena ini prinsip “judge make a law”, perlu dihormati dan dikembangkan. Peran pengadilan khususnya Mahkamah Agung dalam memberikan input untuk pembuatan regulasi perlu didorong lebih aktif walaupun domain MA lebih merupakan aspek yudikatif.

Dari sisi tata laksana hukum,  sisi kualitas dan integritas hakim dan penegak hukum lainnya perlu mendapatkan pembenahan. Aparat hukum idealnya harus berani menegakkan keadilan substanstif  (sekalipun harus mengorbankan prosedur). Namun kondisi saat ini sedang terbalik dimana aparat penegak hukum banyak terjebak pada prosedur dan tekstual hukum  dan seringkali mengabaikan keadilan substantif. Seorang  hakim dituntut untuk mempunyai kepekaan sosial terhadap suara masyarakat untuk menghindarkan adanya kediktatoran pengadilan. Karena perannya sangat sentral, maka muncul istilah “di tangan seorang hakim yang baik, walaupun regulasinya tidak memadai, akan tetap bisa dihasilkan keputusan yang adil”. Selakinya, walaupun regulasinya bagus tapi kalau hakimnya tidak berintegritas dan berkualitas, maka akan dihasilkan keputusan-keputusan  yang tidak adil.  Selain menyoroti soal hakim dan mafia pengadilan yang perlu diberantas, Prof. Tjip juga menyoroti perlunya pembenahan manajemen perkara sehingga perkara di pengadilan tidak menumpuk. Salah satu solusinya adalah penyelesaian perkara di luar pengadilan dan  pembatasan kasasi untuk penyelesaian perkara secara berjenjang .

 Dari sisi budaya hukum, Prof. Tjip menyoroti bahwa pembangunan hukum yang ada di Indonesia harusnya memperhatikan kultur masyarakatnya. Penyelesaian perkara terkadang tidak harus di pengadilan namun bisa dilakukan melalui musyawarah.  Beliau malah menyarankan  untuk pembangunan hukum ke depan, Indonesia bisa belajar dari jepang yang kulturnya lebih dekat dengan kita dibanding sistem hukum Eropa.
Bagi saya yang awam di bidang hukum, tulisan Prof. Tjip ini sangat mencerahkan. Pandangan beliau merupakan antithesis terhadap lawyer-lawyer para pembela koruptor yang marak sekarang ini.  Lawyer-lawyer sekarang banyak yang berprinsip “maju tak gentar membela yang membayar, dan tidak mempedulikan rasa keadilan publik”.  Para lawyer tersebut menegakkan supremasi hukum tapi dengan mengangkangi supremasi moral.   Keluasan cakrawala pemikiran Prof. Tjip yang rendah hati ini,  membuat saya  berpikir bahwa selayaknya beliau  diangkat menjadi salah satu “begawan hukum” Indonesia ....

No comments: