Sunday, November 27, 2022


Bagaimana Undang-Undang Dibuat

Oleh: Erni Setyowati, Rival Gulam Ahmad dan Soni Maulana Sikumbang

Diterbitkan atas Kerjasama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), The Asia Foundation dan USAID.

Jakarta, 2003

105 halaman

ISBN 979-96-494-6-3

 

Buku ini ditulis pada saat masih hangatnya reformasi di awal 2000-an. Sesuai kondisi saat itu, buku ini nampaknya berusaha memberikan sajian pendidikan kewarganegaraan (civic education) bagi public khususnya terkait dengan penyusunan Undang-undang yang merupakan salah satu fungsi utama dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penulisan buku ini nampaknya juga dilatarbelakangi oleh belum optimalnya DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan, sehingga DPR dirasa tidk berkontribusi secara signifikan dalam memperbaiki kinerja penyelenggaraan pemerintahan. Di bidang pembuatan perundangan  (legislasi), ditengarai terdapat beberapa gejala umum sebagai berikut: (1) produk Undang-Undang yang dihasilkan DPR tidak efektif  atau berhasil mencapai tujuan yang diharapkan (2) UU tidak implementatif, (3) UU tidak responsive terhadap aspirasi masyarakat sehingga ada penolakan (4) UU yang dihasilkan menimbulkan masalah baru (5) UU tidak sesuai prioritas kebutuhan  masyarakat.

Pada jaman Orde Baru, Pemerintahan Soeharto  membatasi ruang gerak demokrasi bagi public maupun bagi Lembaga Negara seperti DPR. Dengan bergulirnya reformasi, terjadi euphoria demokrasi yang dikuatirkan bisa merusak tatanan demokrasi itu sendiri. DPR menjadi kekuatan yang sangat powerful, sedangkan tidak ada kekuatan penyeimbang yang mampu menjalankan check and balances. Oleh karena itu, penulis buku ini mendorong perlu adanya pengawasan public secara proaktif  terhadap DPR. Pengawasan terhadap DPR penting karena: (1) DPR adalah Lembaga perwakilan masyarakat sehingga masyarakat berhak tahu apa yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Masyarakat yang berhak terlibat tidak hanya dalam proses PEMILU tetapi juga mengawasi wakil-wakil rakyat yang telah mereka pilih, (2) DPR memegang peranan strategis dalam berbangsa dan bernegara serta menentukan nasib masyarakat melalui kebijakan yang mereka buat. (3) DPR perlu diawasi karena DPR yang seharusnya menjalankan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan dari konstituennya, tidak jarang malah berbeda kepentingan dengan konstituen yang diwakilinya.

DPR mempunyai tiga fungsi pokok yang mencakup: (1) fungsi LEGISLASI atau pembuatan Undang-undang muali dari tahap perencanaan, perancangan, pembahasan, perdebatan persetujuan dan pengesahan bersama eksekutif, (2) fungsi PENGAWASAN yang berupa control dan evaluasi terhadap eksekutif dalam penyelenggaraan negara, (3) fungsi PENGANGGARAN yang berupa persetujuan terhadapa APBN yang diusulkan oleh eksekutif beserta pengawasan/audit  penggunaannya.  

Tugas dan wewenang DPR di atur dalam UUD 1945 pasal 19 sd 22 B. Namun karena dirasa kurang detail, tugas dan kewenangan tersebut kemudian dijabarkan dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Untuk internal DPR, tugas dan kewenangan mereka kemudian dijabarkan dalam Tata Tertib DPR.

Dalam menjalankan Tugas dan Fungsinya, memiliki alat kelengkapan tetap yang terdiri dari: (1) Pimpinan DPR, (2) Komisi dan sub Komisi, (3) Badan Musyawarah/Bamus, (4) Badan Urusan Rumah Tangga/BURT, (5) Badan Legislasi/Baleg, (6) Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP, (7)  Panitia Anggaran/Panggar. Selain itu terdapat alat kelengkapan yang sifatnya sementara seperti Dewan Kehormatan, Panitia Kerja/Panja, dan Panitia Khusus/Pansus.  Dalam menjalankan tugasnya,  DPR ditopang oleh Sekretariat Jendral (Setjen) DPR yang menjalankan fungsi-fungsi kesekretariatan dan administrasi.

Di DPR  terdapat 6 jenis rapat yang mencakup (1) Rapat Paripurna, (2) Rapat Paripurna Luar Biasa, (3) Rapat Kerja, (4) Rapat Dengar Pendapat/RDP, (5) Rapat Dengar Pendapat Umum/RDPU, (6) Rapat tingkat alat kelengkapan DPR seperti rapat Komisi, Rapat Baleg dll. Rapat-rapat tersebut secara umum bersifat terbuka. Meski demikian dalam situasi tertentu bisa dilakukan secara tertutup. Proses pengambilan keputusan dalam rapat dilakukan dengan memperhatikan “kuorum”. Proses pengambilan keputusannya bisa dilakukan secara musyawarah mufakat ataupun voting suara terbanyak.

Berkaitan dengan Penyusunan Undang-Undang di DPR, tahap yang harus dilalui adalah:

  • PERENCANAAN.  Dalam tahap ini disusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang berisi daftar Undang-undang yang akan disusun selama 5 tahun mendatang. Daftar tersebut kemudian dibahas oleh eksekutif dan DPR untuk penentuan prioritas UU yang perlu disusun setiap tahunnya.
  • Perancangan dan PENGUSULAN.  UU bisa diusulkan oleh pihak Pemerintah maupun diusulkan oleh DPR. Pihak ketiga seperti LSM bisa juga mengajukan Rancangan UU  kepada DPR seperti yang dilakukan oleh ICEL yang mengusulkan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi.
  • PEMBAHASAN TINGKAT PERTAMA antara DPR dengan Pemerintah yang berisi (1) Pemandangan Umum Fraksi terhadap RUU yang diajukan Pemerintah atau Tanggapan Pemerintah terhadap RUU yang diusulkan DPR, (2) Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi atau Jawaban pimpinan Komisi atau Pimpinan Baleg terhadap tanggapan Pemerintah, (3) Pembahasan dan Persetujuan bersama atas RUU antara Pemerintah dan DPR dalam Panitia Kerja/Panja dengan mengacu pada Daftar Inventarisasi Masalah. Pada tahap ini, masyarakat bisa berpartisipasi dalam memberikan masukan terhadap draft RUU yang sedang disusun.
  • PEMBAHASAN TINGKAT KEDUA yang berupa pengambilan kepurusan dalam Rapat Paripurna berupa persetujuan pimpinan DPR  untuk pengesahan RUU yang dibahas.

 

Dalam buku ini penulis juga menyampaikan bahwa ada beberapa pihak penting yang bisa dihubungi ketika masyarakat ingin berpartisipasi dalam memberikan masukan untuk penyusunan UU, yakni: (1) anggota DPR dari Komisi/Pansus yang membahas, (2) Badan Legislasi DPR, (3) Asisten 1 Setjen DPR Bidang Perundang-undangan, (4) Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi/P3I, (5) Fraksi-fraksi. Penyampaian usulan tersebut bisa dilakukan melalui Rapat dengar Pendapat Umum/RDPU, Diskusi/hearing dengan Fraksi-fraksi, Rapat Konsultasi Publik maupun hearing dengan Badan Legislasi DPR.

Buku ini ditulis dengan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami oleh orang awam. Dari sisi isi tulisan, buku ini masih bersifat umum (generic) dan baru bersifat pengenalan umum tentang proses penyusunan UU sehingga belum bisa memandu pembaca yang ingin praktik menyalurkan aspirasinya dalam penyusunan UU melalui jalur DPR. Secara proporsi tulisan, buku ini mungkin lebih cocok diberi judul “Pengenalan Tugas dan Fungsi DPR dalam penyusunan UU” karena 60 halaman dari 90 halaman yang ada lebih banyak bercerita tentang tugas dan fungsi DPR. Adapun tulisan tentang proses penyusunan UU hanya sekitar 30 halaman saja. Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan ketatanegaraan. Saya rekomendasikan dibaca untuk kawan-kawan pemerhati atau pegiat advokasi kebijakan.

 

 

 

No comments: