Saturday, November 19, 2022


Orang Asli Papua (Kondisi Demografi dan perubahannya)

Oleh: Haning Romdiyati, GustiAyu  Ketut Surtiari, Luh Kitty Katherina, Dwiyanti Kusumaningrum, Ari Purwanto Sarwo Prasojo

Yayasan Pustaka Obor Indonesia  bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Jakarta, 2019

ISBN 978 602 433 878 7

238 halaman

 

Buku ini bercerita tentang Orang Asli Papua (OAP) di Provinsi Papua Barat dengan mengambil kasus di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamberauw . Orang Asli Papua dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki nama  dengan marga/suku bangsa asli suku-suku Papua. Analisis data kuantitatif dalam buku ini ditulis antara lain dengan mengacu pada data Sensus Penduduk (SP) 2010 dan Suplemen SP 2010.

Jumlah penduduk Propinsi Papua Barat berdasar Sensus Penduduk 2010 berjumlah 760.442 jiwa atau 0,32% dari jumlah penduduk Indonesia. Di tahun 2015, jumlah penduduk meningkat menjadi 868.819 jiwa  dengan laju pertambahan penduduk sekitar 2,7% per tahun. Laju pertambahan penduduk tersebut utamanya disebabkan adanya migrasi penduduk khususnya di daerah perkotaan seperti Kota Sorong dan Kabupaten Sorong. Daerah Sorong sendiri sejak tahun 1970 merupakan daerah transmigrasi dengan transmigrant dari Jawa.  Saat ini sudah banyak pendatang lain seperti dari Bali, Sumatra Utara, Menado, Buton dan Ambon.

Masuknya migran (baik transmigrasi dan migran spontan) telah mengubah komposisi penduduk. Di tahun 2010 OAP berjumlah 381.933 jiwa (atau 52,1% dari jumlah penduduk Papua Barat ), namun di tahun 2015 prosentasi jumlah OAP berkurang menjadi 50,3% walaupun secara absolut jumlah OAP meningkat menjadi 436.869 jiwa. Di derah Sorong, masuknya migran ini mengakibatkan OAP terdesak  ke daerah pinggiran atau pedalaman. Jumlah OAP saat ini sekitar sepertiga dari jumlah penduduk Kabupaten Sorong.  Selain itu dengan tingkat Pendidikan yang rendah, mengakibatkan OAP tidak bisa bersaing dengan pendatang di pasar tenaga kerja sector formal dan pemerintahan. Keterdesakan OAP ini juga semakin menjadi dengan adanya pelepasan wilayah ulayat mereka untuk kepentingan pembangunan, di sewa pendatang maupun dibeli investor tambang  dan perkebunan. Di daerah Kabupaten Tamberauw yang belum terlalu terbuka¸ arus migrasi belum terlalu besar walaupun cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga di daerah perkotaan Kabupaten Tamberauw, proporsi penduduk OAP masih  cukup tinggi.

Dari sisi pertumbuhan alami, jumlah kelahiran di keluarga OAP berkisar 5-6 orang. Kondisi Kabupaten Sorong yang relative lebih baik dalam penyediaan fasilitas kesehatan, informasi dan komunikasi membuat situasi kelahiran keluarga OAP di Sorong lebih baik dibanding di Tamberauw.

Di Papua, seorang anak mempunyai milai secara kultural maupun ekonomi. Anak laki-laki merupakan penerus marga dan penerus hak waris atas ulayat.  Sehingga semakin banyak anak  laki-laki maka peluang untuk mempertahankan tanah ulayat semakin besar. Sedangkan anak perempuan  merupakan sumber tenaga kerja di kebun, sekaligus asset ekonomi untuk mendapatkan pembayaran mahar (mas kawin). Adaya motif kultural dan ekonomi tersebut mengakibatkan upaya penurunan angka kelahiran menjadi terkendala. Meski demikian semakin terbukanya akses informasi dan lapangan kerja bagi kaum perempuan telah membuat banyak keluarga OAP di perkotaan melakukan penjarangan waktu melahirkan. OAP sendiri sebenarnya mempunyai kearifan local untuk melakukan penjarangan kelahiran dengan menggunakan ramuan tradisional. Penjarangan kelahiran tersebut terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup keluarga OAP misalnya anak-anak bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik dan Kesehatan ibu lebih terjamin.

Melihat kondisi terdesaknya OAP, penulis buku ini menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1.    Kualitas SDM OAP ditingkatkan melalui layanan Pendidikan dan Kesehatan agar mereka nanti mampu bersaing dengan pendatang di dunia pasar tenaga kerja.

2.    Pemberdayaan masyarakat dalam sector primer pertanian lahan kebun.

3.    Perlindungan hak ulayat agar tidak mudah dipindahtangankan ke pihak ketiga termasuk pendatang.

4.    Pembangunan infrastruktur harus mengakomodir kepentingan OAP.

 

Secara umum buku  ini cukup mudah dipahami isinya, karena analisanya tidak terlalu rumit dan bahasanya mudah dipahami. Direkomendasikan untuk dibaca oleh rekan-rekan yang ingin memahami kondisi makro OAP di Tanah Papua khususnya di Papua Barat, yang saat ini telah dimekarkan menjadi Papua Barat  dan Papua Barat Daya. Lokus studi ini Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamerauw nampaknya masuk ke Provinsi baru yakni Provinsi Papua Barat Daya.

No comments: