Wednesday, November 09, 2022


Rajah Merah di Ladang Kentang

Penulis: Hery Santoso

Interlude, Yogyakarta 2019

458 halaman

ISBN 978 602 5873 935

 

Buku ini bercerita tentang Desa Puncak Wangi di daerah pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang berada di ketinggian 2.300 di atas permukaan air laut. Dengan kondisi yang berada di ketinggian ekstrim, Desa Puncakwangi bersuhu 10-15 derajat Celsius di malam hari bahkan pada bulan kemarau (Juli-Agustus) shu bisa mencapai 0 derajat di pagi hari. Dari dokumentasi yang ada, desa ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1880-an. Di tahun 2010 penduduk des aini berjumlah sekitar 1.200-an jiwa.

Dengan kondisi yang terisolir di dataran tinggi, infrastruktur jalan dan fasilitas umum lainnya seperti sekolah di desa Puncakwangi pada awalnya sangat minim. Lingkungan yang punya ketinggian ekstrim, juga menyebabkan daerah ini kurang cocok untuk tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan terpaksa harus dibeli dari daerah/desa lain. Dalam beberapa kasus dijumpai masyarakat desa  ini pernah mengalami bencana kelaparan.  Untuk mensiasati kebutuhan ekonomi di lingkungan yang kurang bersahabat tersebut, Sebagian masyarakat mengembangkan system pertanian tumpangsari beberapa komoditi. Alternatif lain adalah mereka melakukan migrasi dan menjual tenaga menjadi buruh tani di desa-desa sekitarnya. Dengan keterbatasan tersebut masyarakat desa ini sering dikonotasikan masyarakat “ngiwa” atau terbelakang (marginal).

Kondisi prasarana jalan dan sekolah mulai dibangun than 1970an. Dari sisi pertanian, sejak jaman colonial Belanda sd tahun 1970an, di daerah Dieng banyak diintroduksikan tanaman tembakau dan jagung. Pada tahun 1970an, kubis (kuban ekspress) mulai diintroduksi  dan tahun 1980an, tanaman kentang Bandung (Granola yang diintroduksi oleh petai dari Pengalengan Jawa Barat) mulai banyak dikembangkan.

Di desa Puncakwangi, budidaya tanaman kentang ini membawa perubahan ekonomi yang signifikan karena tanaman kentang sangat cocok dibudidayakan di desa ini. Masyarakat berlomba-lomba berinvestasi menanam kentang. Lahan-lahan yang ada dimaksimalkan untuk budidaya kentang. Lahan pertanian yang semula memakai system tumpangsari heterokultur, dirombak menjadi monokultur kentang. Mereka berani berinvestasi menggunakan pupuk  dan obat-obatan dari pabrik karena kentang termasuk rakus hara. Merekapun berani membayar buruh tani dari desa lain karena kentang membutuhkan pemeiharaan intensif. Keuntungan yang mengalir deras  membuat desa ini lepas dari cengkeraman kemiskinan, bahkan banyak warga desa lain yang mencoba berinvestasi kentang di desa ini. Booming kentang di desa ini mengundang masuknya Lembaga perbankan yang menyediakan jasa permodalan,  industry obat-obatan dan pupuk pabrik serta buruh tani dari luar yang menyediakan jasa tenaga kerja.  Masyarakat juga memaksimalkan profit dengan melakukan budidaya kentang 3 musim panen dalam setahun.

Masyarakat desa Puncakwagi memanfaatkan surplus pendapatan dari budidaya kentang ini untuk menaikkan status sosial mereka dengan pergi naik haji, menyekolahkan anak ke pesantren, pendidikan menengah atau tinggi, membeli perabotan skunder, membangun masjid yang megah  investasi ke sector lain maupun  untuk foya-foya seperti pesta kembang api saat menyambut lebaran.  Maraknya anak-anak yang bersekolah di pesantren membawa perubahan sosial dimana masyarakat desa Puncakwangi yang semula menganut Islam Kejawen, berangsur-angsur beralih ke Islam Pesantren. Ritual-ritual adat sedikit demi sedikit ditinggalkan dan bergeser menjadi ritual agama pesantren seperti pengajian, barzanji dan lain-lain.

Bulan madu masyarakat Puncakwangi dengan Kentang Bandung ini mulai surut di awal tahun 2000 an. Serangan jamur, angin  dan babi hutan  mengakibatkan gagal panen atau produktivitas menurun. Hal ini diperparah dengan terkurasnya unsur hara dan erosi yang tinggi  karena masyarakat menanam kentang tanpa ada terasering. Pemakaian pupuk dan obat-obatan pabrik yang tidak terkendali, membuat kondisi lahan rusak. Cilakanya sebagian besar masyarakat   malah memperbanyak pemakaian pupuk dan obat pabrik di luar takaran yang seharusnya untuk menggenjot produksinya.

Pemakaian pupuk dan obat pabrik yang banyak mengakibatkan membengkaknya biaya produksi. Di sisi lain penurunan produktivitas mengakibatkan pendapatan turun. Tidak seimbangnya biaya produksi dan pendapatan mengakibatkan investasi merugi. Dalam kondisi seperti ini sebagian masyarakat menjadi terlilit hutang ke bank yang bunganya sangat tinggi. Kegagalan panen kentang yang berulang, mengakibatkan mereka semakin tenggelam dalam lobang hutang yang mereka gali. Sebagian dari mereka terjebak dalam romantisme kejayaan kentang, sehingga mereka ingin segera dapat penghasilan besar dari kentang dan bisa membayar lunas hutang-hutangnya. Namun kenyataan berkata lain, jebakan hutang semakin dalam sehingga mereka terpaksa harus menjual asset-asetnya (bahkan termasuk lahan) untuk menutup hutangnya. Jual beli ini dilakukan kepada petani kaya di desa Puncakwangi sendiri, karena ada aturan di desa yang berisi larangan jual beli tanah kepada orang dari desa lain (orang luar).  Kondisi ini berakibat munculnya fenomena tuan tanah – tuan tanah di desa yang menguasai asset lahan, dan munculnya petani tuna kisma (tidak punya lahan).  Para petani yang tidak punya lahan biasanya menempuh beberapa alternatif untuk bertahan hidup, antara lain: (1) bertahan di desa sendiri dengan menjadi buruh tani, (2) melakukan migrasi ke luar desa atau keluar daerah/ke luar Jawa dengan bekerja sebagai buruh tani/buruh kelapa sawit, (3) bekerja di sector informal seperti tukang parkir dan lain-lain.

Dari pengalaman di desa Puncakwangi ini, ada beberapa orang yang bisa bertahan bahkan berhasil melakukan akumulasi kekayaan dengan budidaya kentang, yakni: (1) orang yang memiliki lahan luas sehingga dia bisa melakukan subsidi silang ketika gagal panen di satu petak, dengan mengkompensasi dari petak lain yang berhasil, (2) orang yang mempunyai akses modal memadai sehingga bisa membayar sarana produksi dan tenaga yang diperlukan, (3) orang yang tekun dan giat di lapangan karena kentang perlu penanganan intensif (4) orang yang mampu dan disiplin mengelola sumberdaya secara efisien/hemat (5) orang yang mampu berhitung cost-benefit secara jernih missal berani melawan arus dengan melakukan penanaman 2 kali karena secara kalkulasi ekonomi penanaman 2 kali setahun hasilnya hampir sama dengan penanaman yang 3 kali setahun. Di sisi lain penanaman 2 kali setahun malah memberikan manfaat agar lahan bisa bernafas dan memutus siklus hama atau jamur.

Pesan yang bisa ditarik dalam buku ini antara lain program-program pembangunan yang berniat mulia ketika diserahkan ke mekanisme pasar, terkadang dalam jangka panjang hasilnya berkebalikan dari apa yang diharapkan. Monokulturisasi kentang selain menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat massif, juga telah mereproduksi kemiskinan di desa Puncakwangi. Kegagalan budidaya kentang ini telah menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat sehingga banyak yang berharap anak keturunannya kelak tidak menjadi petani ( “deagrarianisasi”) dan beralih ke mata pencaharian lain. Keputusasaan masyarakat juga tercermin dengan cara mencari pemecahan masalah secara supranatural seperti pemasangan jimat rajah merah untuk mengusir hama dan penyakit tanaman kentang.

Dalam buku ini penulis menggambarkan bahwa tesis konflik antar kelas dari Marx tidak sepenuhnya terbukti dalam kasus di desa Puncakwangi ini. Sebaliknya pula, asumsi kaum kapitalis bahwa  pasar akan mensejahterakan masyarakat juga tidak terbukti secara signifikan. (CMIIW…)

Mas Hery dalam buku ini sangat piawai dalam bertutur. Membaca buku ini seperti membaca sebuah kisah yang terangkai dalam kata-kata yang mudah dikunyah. Saya menyandingkan buku ini dengan  buku Perubahan Sosial di Yogyakarta karya Prof. Selo Soemardjan, yang ditulis dengan cara bertutur pula.

Dari sisi isi, buku ini cukup komprehensif mengupas berbagai aspek kehidupan. Saya pikir pemikiran Mas Hery ini sangat bermanfaat untuk merekonstruksi pengetahuan kita tentang pola perilaku orang gunung (dataran tinggi). Bahwa mereka bukan orang terbelakang dan hanya berorientasi subsisten belaka, tetapi banyak perilaku mereka didasari perhitungan rasionalitas  ekonomi. Dalam konteks ini saya menyandingkan Mas Hery dengan Michael Dove yang ahli perladangan di Indonesia.

Secara umum buku ini sangat bagus dan well recommended. Meski demikian pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”. Input saya  untuk buku ini adalah saya merasa ada beberapa bagian yang terkesan mengulang-ulang. Pengulangan ini tidak terlalu mengganggu, tapi kalau bisa pengulangan ini diperbaiki agar keruntutan alur bacaan menjadi lebih mengalir.

 

No comments: