Monday, August 21, 2023

PEKERJAAN SOSIAL DI INDONESIA

 


PEKERJAAN SOSIAL DI INDONESIA

Sejarah dan Dinamika Perkembangan

Penulis: Edi Suharto dkk

Penerbit Samudra Biru

Yogyakarta 2011

246 halaman

ISBN 978-602-96516-2-1

 

Buku ini merupakan kumpuan artikel yang sebagian besar ditulis oleh para akademisi dan alumni dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Buku membahas Sejarah Pekerjaan Sosial sebagai sebuah kegiatan kemanusiaan karitatif untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat yang mengalami masalah sosial.

Di Eropa Barat pada awal revolusi Industri (1760-1830), pekerjaan kemanusiaan merupakan urusan pribadi dan kegiatan antar pribadi. Namun revolusi Industri tersebut menimbulkan berbagai masalah sosial seperti urbanisasi, Krisi ekonomi, kemiskinan, pengangguran dan lain-lain. Menghadapi hal tersebut pekerja sosial yang bekerja secara individu tidak mampu mengatasinya.  Gereja kemudian terpanggil untuk mengorganisir pekerja kemanusiaan dan kegiatan pelayanan kemanusiaan. Hal tersebut memicu tumbuhnya organisasi karitas  seperti Charity Organization Society (COS) tahun 1869 di London dan kemudian diikuti di berbagai kota lainnya. Organisasi-organisasi  karitas ini kemudian merekrut sukarelawan untuk pekerjaan kemanusiaan.  Dari sinilah kemudian muncuk istilah pekerja sosial menggantikan istilah pekerja kemanusiaan. 

Dalam perkembangannya, di awal abad 20, para pekerja sosial yang semula didasari semangat volunterisme kemudian memperoleh bayaran. Supaya bisa mendapatkan bayaran, pada tahun 1904 para pekerja sosial harus menempuh Pendidikan magang atau pelatihan pekerja sosial. Program pelatihan dirasa tidak cukup membekali calon pekerja sosial, sehingga berkembang Pendidikan pekerjaan sosial secara formal seperti Sekolah Pekerjaan Sosial di New York.

Paradigma Pekerjaan Sosial sendiri semula bersifat “blaming the victims” dimana masalah sosial muncul karena individu korban mempunyai “masalah” sehingga tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya. Sehingga untuk treatmentnya, individu korban harus diberi therapy agar bisa menjalankan fungsi sosialnya. Analogi sederhananya, orang miskin itu disebabkan individu tersebut malas. Sehingga untuk mengatasi kemiskinannya, dia harus ditreatment supaya rajin bekerja.

Paradigma blaming the victims tersebut kemudian mengalami pergeseran dengan adanya paradigma Person in Environment (PiE). Konsep ini menekankan bahwa seorang individu itu terkait dengan banyak system seperti keluarga, system agama, system Pendidikan, Sistem Politik, Sistem Pekerjaan, Sistem Pelayanan Sosial dll. Sehingga sebuah masalah sosial muncul bisa jadi disebabkan ada kesalahan atau ketidak berfungsian sebuah system. Oleh karenanya untuk treatmentnya, perlu dilakukan perbaikan di level system atau kebijakan. Ilustrasinya kemiskinan di kalangan petani terjadi bukan karena petani malas, tetapi karena ongkos produksi yang mahal sedang harga jual beras rendah. Untuk perbaikannya diperlukan intervensi di level system untuk penyediaan subsidi saprotan atau penetapan harga beras yang kompetitif.

Di level negara, terdapat dua kutub cara negara mensikapi pekerjaan sosial. Negara-negara Konservatif  seperti Inggris di jaman Margaret Thatcher dan USA di jaman Ronald Reagan merupakan tipikal negara yang berusaha sesedikit mungkin campur tangan dalam urusan pekerjaan sosial bagi warganya.  Masyarakat sejahtera atau tidak itu urusan warga masyarakat itu sendiri. Negara konservatif ini cenderung memakai paradigma blaming the victims dalam menyikapi masalah sosial di negaranya. Sisi lain adalah negara liberal yang menjunjung tinggi isu kesetaraan dan hak asasi manusia.  Masalah sosial muncul karena ada system yang salah atau tidak berfungsi. Kebijakan sosial merupakan sebuah bentuk kewajiban pelayanan negara kepada rakyatnya.

Di Indonesia, pekerjaan sosial tidak mempunya akar sejarah yang mendalam karena jaman Kerajaan, penjajahan Belanda dan Jepang tidak banyak mewariskan program kesejahteraan sosial. Adanya modal sosial yang cukup kuat di masyarakat seperti jiwa gotong royong dan dermawan/bersedekah, membuat pekerjaan sosial cukup ditangani oleh masyarakat itu sendiri.  Pengembangan pekerjaan sosial kemudian semakin berkembang dengan adanya organisasi Muhammadiyah yang mengembangkan berbagai kegiatan pelayanan sosial. Di masa kemerdekaan, persoalan kemiskinan dan masalah sosial menjadi isu krusial, namun negara tidak banyak bisa berbuat karena keterbatasan sumberdaya.

Dalam perkembangannya Pemerintah Indonesia dengan didukung PBB melalui Departemen Sosial mengembangkan Lembaga Sosial Desa (LSD) di tingkat desa untuk memberikan bimbingan sosial kepada Masyarakat. LSD ini berkembang hingga tahun 1970an  yang kemudian berubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Untuk Pendidikan Pekerjaan Sosial pada awal tahun 1960an Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendirikan Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS). Sedangkan Dinas Sosial kemudian menyelenggarakan Kursus Dinas Sosial A (KDSA) yang berubah menjadi Kursus Keahian Sosial Tinggi (KKST). KKST ini yang menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). Pembentukan STKS ini diikuti oleh beberapa universitas yang mengembangkan Jurusan Kesejahteraan Sosial.

Perjalanan program Kesejahteraan Sosial di mas Orde Baru dan Orde Reformasi mengalami pasang surut dan sejumlah tantangan seperti:

1.    Kelembagaan Departemen Sosial (Pusat) dan Dinas Sosial (di daerah) yang tidak sinergis serta tidak dianggap strategis sehingga tidak memperoleh alokasi anggaran, SDM berkualitas dan dukungan politik memadai.

2.    Paradigma Pekerja Sosial di Indonesia masih sering berkutat pada blaming the victims. Padahal dalam konteks Indonesia, masalah sosial sering muncul karena adanya system dan kebijakan yang tidak adil. Kemiskinan di Indonesia sering merupakan kemiskinan structural yang disebabkan oleh adanya struktur yang menindas kalangan bawah.

3.    Paradigma yang digunakan ooleh lembaga Pendidikan dan lembaga Diklat Pekerja Sosial masih seringkali berorientasi pada blaming the victims, sehingga materi Pelajaran yang dipelajari di bangku kuliah dan pelatihan sering tidak compatible dengan realitas lapangan.

4.    Paradigma, metodologi dan aksi Pekerjaan Sosial  yang digunakan di Indonesia seringkali meng-copy paste pendekatan Barat yang konteks system budaya dan system sosialnya berbeda. Hal ini mengakibatkan pendekatan yang ditempuh sering tidak efektif. Kontekstualisasi pekerjaan sosial menjadi kebutuhan di masa depan.

5.    Profesi Pekerja Sosial Profesional belum diakui dan dipahami secara utuh di masyarakat. Pekerja Sosial masih banyak dianggap sebagai relawan kemanusiaan yang bekerja dengan mengutamakan komitmen saja. Padahal profesi Pekerja Sosial Profesional menuntut komitmen, pengetahuan dan ketrampilan.

 

Secara umum artikel yang dimuat di buku ini , disampaikan dengan Bahasa yang mudah dipahami. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penulis, saya merasa di buku ini terdapat beberapa artikel yang terasa mengulang-ulang. Meski demikian saya sangat menghargai penerbitan buku ini yang menjadi salah satu starting point untuk mendiskusikan pemikiran-pemikira terkait Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial

Buku ini saya baca setelah membaca buku Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) terbitan FISIPOL UGM. Terlihat pertautan yang sangat erat, karena keduanya bergerak di bidang Kesejahteraan. Hanya saja Departemen  PSDK yang dulu juga menekuni Pekerjaan Sosial sebagai salah satu isu, sejak 2010 mereposisi untuk lebih banyak menggunakan pendekatan “system”. Sedangkan Pekerjaan Sosial saat ini masih banyak yang menggunakan paradigma blaming in victim, walau tidak sedikit yang mengusulkan agar Pekerjaan Sosial menggeser paradigma ke pendekatan system (Person in Environment). Bagi saya, sebenarnya antara PSDK dan Pekerjaan Sosial ini bisa saling mengisi, karena ada masalah sosial  seperti penanganan ODGJ klinis yang pemecahannya ada di level individu.

Semoga melalui Pekerjaan Sosial, pemerintah ke depannya punya visi dan langkah yang lebih kongkrit untuk mewujudkan Tujuan Negara Indonesia: (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa,(4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Semoga semua bukan retorika belaka…..

No comments: