Friday, April 07, 2023

Hutan Kaya, Rakyat Melarat

 



Hutan Kaya, Rakyat Melarat

Penguasaan sumberdaya dan perlawanan di Jawa

Penulis: Nancy Lee Peluso

Penerbit: KONPHALINDO, 2006

ISBN 979-8483-20-0

414 Halaman

 

Buku ini ditulis oleh Nancy yang merupakan seorang peneliti dari Cornell University -Amerika. Kalau melihat daftar referensi, Nancy nampaknya juga menulis beberapa publikasi hasil riset bidang kehutanan di Kalimantan Timur dan Jawa. Buku ini ditulis dengan menggunakan hasil penelitian di masyarakat sekitar hutan Jawa Tengah khususnya Blora dan Brebes. Untuk riset ini, dia menggunakan dua pertanyaan panduan yakni: (1) mengapa dan bagaimana orang menggunakan hutan di Jawa, (2) apa penyebab konflik terkait pemanfaatan hutan antara negara dan penduduk desa hutan di Jawa. Nancy menggunakan pendekatan sejarah untuk menganalisis pola pemanfaatan dan konflik dalam pengelolaan hutan tersebut.

Periode pra kolonial (sebelum 1600-an), pemanfaatan hutan di Jawa mempunyai karakter sebagai berikut:

·         Penduduk Jawa diperkirakan 3,4 juta jiwa.

·         Hutan untuk memasok kayu (jati) untuk bangunan bagi raja, bangsawan  dan masyarakat. Masyarakat juga memanfaatkan hutan untuk lahan pertanian dan penggembalaan ternak.

·         Terdapat kelompok orang Kalang (bukan Jawa) yang ahli di bidang menebang, mengangkut dan mengerjakan kayu jati. Mereka harus membayar pajak dan upeti kepada Raja.

·         Raja mengklaim suatu kawasan (termasuk hutan) dengan tujuan utama untuk menguasai orang didalamnya sebagai sumber tenaga kerja (dan bukan klaim pemilikan Kawasan). Penduduk membayar dengan tenaga atau upeti untuk hak akses pemanfaatan hutan yang diperolehnya. Sebagai haknya masyarakat bisa membuka lahan dan menjadikan raja sebagai pengayom ketika mereka bermasalah dengan pihak lain (hubungan patron-client).

 

Periode Kongsi Dagang VOC/Kompeni (1619-1796), kronologi dan karakter pemanfaatan hutan di Jawa mempunyai sebagai berikut:

·         VOC menggunakan kayu jati untuk bahan pembuatan kapal. VOC menentukan kuota tahunan yang harus disetor penguasa local ke pos-pos pantai milik VOC. VOC lebih menekankan pada penguasaan sumberdaya tenaga kerja dan kayu, dan kurang menekankan penguasaan Kawasan.

·         Masyarakat dan penguasa local boleh menebang kayu untuk kepentingan subsistensi

·         VOC bekerjasama dengan swasta pedagang Cina atau produser lain untuk mendapatkan kayu. Tapi dia harus dapat persetujuan raja atau bangsawan Jawa untuk mengekspor kayu.

·         Tahun 1677, VOC membangun galangan kapal di Rembang. 36 desa (terutama orang Kalang) dilibatkan dalam pembalakan, penebangan dan pengangkutan kayu dengan kerbau. Kerbau ini antara lain berasal dari milik petani.

·         Tahun 1684, beberapa penebang pohon dari Jerman dilibatkan dalam mengawasi berbagai kegiatan Kehutanan di Cirebon.

·         Tahun 1705 Cirebon, Pemanukan, Indramayu dan Gabang dikuasai VOC. Kompeni juga melakukan penaklukan militer di beberapa kesultanan yang belum tunduk ke VOC. 1743 dan 1745 pantai timur laut Jawa diserahkan ke Kompeni. VOC yang semula memonopoli pembuatan kapal yang panjangnya kurang dari 80 kaki (24 meter), memberikan ijin kepada swasta untuk membuat kapal yang berukuran kecil

·         Tahun 1770 pemberontakan orang Kalang (di wilayah bupati Pekalongan dan Jepara) akibat VOC menekan orang kalang agar menyetorkan kayu ke Kompeni dan bukan ke Raja.

·         Tahun 1776 para buruh hutan dibebaskan dari bayar pajak kepala dan sumbangan tenaga kegiatan non hutan, namun mereka harus mau kerja bakti wajib dalam pekerjaan hutan di wilayah hutan. Kerja bakti ini disebut dengan blandongdiensten atau blandong. Mereka bekerja di bawah pengawas Belanda atau Jerman.

·         Tahun 1777 penerapan penebangan selektif untuk kayu jati. Penggunaan tenaga kerbau untuk pengangkutan terkadang over eksploitasi sehingga banyak ternak yang mati.

·         Tahun 1796 pembentukan komisi  untuk menyelidiki keadaan hutan di Jepara dan Rembang. Hasil kerja komisi ini adalah penghentian penebangan di daerah Jepara dan Rembang serta pengurangan kuota 50% untuk wilayah Blora. Namun rekomendasi ini tidak dijalankan. Pembalakan terus jalan dengan ijin residen. Pembalakan hutan yang ada dilakukan tidak efisien dan merusak tanah (ada yang mengistilahkan penambangan kayu/timber extraction). Ada upaya penanaman kembali namun tidak dilakukan secara serius dan hanya ditabur. Pada tahun 1796 ini VOC dinyatakan bangkrut.

 

Periode kolonial Belanda – Daendels (1796-1811),

·         Pada era Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal Jawa Daendels (1801-1811)  membentuk instansi pemerintah Dienst van het Boschwezen (Dinas Kehutanan) untuk mengurusi tanah atau tempat tanaman jati tumbuh atau dapat ditanam. Pembentukan instansi ini dilakukan untuk menjamin monopoli pemerintah atas kayu jati, serta tenaga kerja dan pembuatan kapal. Daendels kemudian juga membentuk manajer hutan tingkat kecamatan (bosgangers) yang bertugas mengawasi pembalakan, penanaman kembali, pengumpulan benih jati dan “teres” (pengeringan pohon jati sebelum ditebang dengan mengupas kulit). Bosgangers ini kebanyakan berasal dari mantan prajurit.

·         Empat unsur yang diterapkan oleh Daendels dalam pengelolaan hutan: (1) semua hutan adalah tanah negara (lands domein) untuk dikelola demi kemaslahatan negara, (2) penyerahan pengelolaan hutan pada suatu instansi, (3) pembagian wilayah hutan menjadi persil  untuk ditebang dan ditanami dengan system rotasi, (4) pembatasan akses masyarakat terhadap jati untuk maksud komersial, masyarakat boleh memanfaatkan kayu mati dan hasil hutan non kayu.

·         Daendels menerapkan kebijakan untuk melawan korupsi dan “penjahat hutan”. Pelapor terjadinya tindak kejahatan memperoleh insentif 1/3 dari nilai denda yang dibayarkan oleh terlapor.

·         Kebijakan lain dari Daendels adalah menghapus eksploitasi hutan oleh swasta dan memonopoli perdagangan dan pengangkutan kayu jati untuk negara. Buruh hutan, diberi upah 1,5 kg beras per hari dan mereka bekerja  selama 8-14 hari perbulan selama Februari-November).


 

 

Periode kolonial Inggris – Raffles (1811-1815),

·         Raffles berusaha melakukan efisiensi dalam pengelolaan hutan. Dia merasa pengelolaan hutan cara Daendels dan monopoli perdagangan kayu jati memboroskan banyak uang untuk pengawasan, sehingga dia mencabut reformasi organisasi Kehutanan yang dibentuk Daendels. Pengelolaan hutan Kembali ditangani residen. Raffles menetapkan hutan yang luas dan potensinya tinggi dikelola negara, sedangkan sisanya disewa dan diusahakan oleh pengusaha.

·         Raffles menerapkan konsep pembatasan penebangan sekitar 40.000-50.000 gelondong kayu jati. Dia juga lebih lunak dalam menindak kejahatan Kehutanan. Raffles juga menekankan bahwa akses Inggris terhadap kayu dan tenaga kerja. Sedangkan sultan berkuasa atas tanah.

·         Pada jaman Raffles, untuk efisiensi usaha Kehutanan, buruh (blandong) dan petani hutan dikenai pajak sewa tanah. Namun dibayar dengan tenaga untuk kerja di hutan.

 

Periode kolonial Belanda (1816-1940)

·         Menerapkan desentralisasi dengan penugasan pengelolaan hutan kepada residen, meski demikian penebangan kayu terkadang banyak dilakukan untuk kepentingan sector lain.

·         Tahun 1832 penerapan system Tanam Paksa (Kultuurstelsel). Hutan di Jawa dibawah yurisdiksi Direktur Pertanian namun secara administrative tetap di bawah Residen. Terjadi penebangan besar-besaran untuk membangun pabrik gula, Gudang kopi, pengeringan tembakau dan rumah dinas. Selain itu kebutuhan kayu meningkat untuk kayu bakar di pabrik-pabrik tersebut. Diperkirakan pada tahun 1843 penebangan mencapai 100.000 gelondong kayu dan meningkat  menjadi 175.000 batang pada sekitar 1863.Selain itu penebangan tak resmi juga berlanjut karena pengusaha kapal juga membeli kayu dari makelar Cina, Arab dan Eropa yang tak resmi.

·         Tahun 1849 Dua orang rimbawan dan seorang supervisor dari Jerman ditempatkan di Rembang untuk mengelola hutan jati. Mereka mengembangkanpembagian persil yang sederhana dan teratur, menetapkan wilayah penebangan dan penanaman setiap tahun. Tenaga jerman ini kemudian bertambah di tahun 1855. Pada tahun 1857, empat orang rimbawan Belanda dikirim ke Jerman untuk studi bidang Kehutanan.

·         Tahun 1865 pembuatan undang-undang Kehutanan yang memaparkan secara rinci prosedur penebangan, penjarangan jati dan jenis-jenis pengelolaan lainnya seperti pembagian petak. UU Kehutanan ini mengusung pendekatan pengelolaan hutan “ilmiah” dari Jerman dimana pengelolaan hutan dilakukan dengan ketaatan sistematis terhadap rencana kerja penebangan dan penanaman Kembali di Kawasan hutan sesuai kaidah silvikultur yang dikembangkan melalui eksperimentasi dari waktu ke waktu. UU Kehutanan ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Dinas Kehutanan (Boschwezen) yang diisi oleh rimbawan professional berlatar belakang pendidikan kehutanan dan juga dibentuk polisi hutan untuk melindungi hutan.  Hutan juga dibagi menjadi Hutan Jati dan Hutan Non Jati (Wildhoutbosschen). Pada tahun 1865 ini blandongdiensten yang semula dilakukan mengikuti cara Reffles, akhirnya dihapus dan digantikan  system tenaga kerja lepas. Penghapusan system blandong ini disertai dengan penerapan pembayaran pajak dengan uang tunai yang menyulitkan petani dan buruh yang selama ini subsisten dan penghasilan dari hutan semakin terbatas karena pembatasan akses terhadap hutan. Undang-undang Kehutanan ini mengalami perbaikan tahun 1913, 1927, 1928, 1931 dan 1934 walaupun yang lebih dominan dipakai  adalah hasil revisi tahun 1927.

·         Tahun 1870 penetapan Domein Verklaring yang menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak diklaim, bero lebih 3 tahun  dan semua tanah hutan adalah ranah (domain) negara. Penetapan ini merubah orientasi pengelolaan hutan oleh colonial Belanda yang semula berorientasi penguasaan species (kayu) menjadi penguasaan tanah. Dengan demikian ada pembatasan terhadap masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan terutama kayu dan penggembalaan ternak.

·         Tahun 1875 peraturan pengawasan polisi dan kejahatan kehutanan diberlakukan. Konsesi swasta terus berkembang dan 93% supply kayu dilakukan oleh kontraktor swasta yang Sebagian besar menggunakan metode  tebang habis (clear cutting). Dinas Kehutanan menguasai hutan jati monopoli kayu jati untuk kepentingan ekonomi. Namun mereka juga menguasai batas aliran sungai  dengan dalih konservasi

·         Tahun 1873, W. Buurman memulai system tumpangsari (taungya) di lahan yang akan direhabilitasi. Tahun 1881, system ini dinilai berhasil di Semarang. Pemberian akses lahan kepada petani hutan ini melalui system tumpang sari kemudin digunakan sebagai strategi rehabilitasi hutan di daerah yang petaninya lapar lahan. Di Tahun 1912, 61% peremajaan hutan dilakukan dengan system tumpangsari. Pemberian akses kepada petani tumpangsari selama 2 tahun dianggap sangat efisien dan murah bagi Dinas Kehutanan untuk peremajaan hutan.

·         Tahun 1890-1905 gerakan Samin yang dipimpin tokoh Samin Surosentiko mulai berkembang di Randublatung Jawa Tengah. Mereka melakukan perlawanan terhadap perebutan akses terhadap hutan oleh negara serta pembebanan pajak dan pungutan yang memberatkan serta tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Mereka melakukan perlawanan dengan cara anti kekerasan dan membangkang membayar pajak. Selain masyarakat Samin, sebenarnya pelarangan akses terhadap hutan telah menimbulkan perlawanan dalam bentuk kejahatan hutan seperti pncurian kayu. Pada tahun 1905 sebanyak 45.000 orang ditahan karena kejahatan hutan khususnya pencurian kayu. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat tidak bisa dipisahkan dari hutan.

·         Pada tahun 1894 selesailah pembangunan jalan kereta api  yang menghubungkan Batavia, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Pembangunan jalan kereta api membutuhkan kayu untuk bantalan rel dan juga untuk bahan bakar kereta api. Jawatan Kereta Api Negara (SS) akhirnya diberi konsesi hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Dinas Kehutanan sendiri juga membangun jalur rel  untuk mengangkut kayu yang mencapai 1.000 km pada tahun 1916. Over eksploitasi ini menunjukkan adanya konflik kepentingan antara Dinas Kehutanan yang mendapat mandate mengelola dan melindungi hutan versus industry perusahaan negara dan masyarakat sebagai pemanfaatan hutan.

·         Tahun 1897 pembentukan distrik Kehutanan (houtvesterij) yang wajib memiliki rencana pengelolaan hutan sepuluh tahun. Di tingkat perusahaan kontraktor mereka menyusun rencana sementara (bosdistricts). Reorganisasi ini dibantu pakar Jerman yang didatangkan tahun 1909. Reorganisasi yang lain adalah konsolidas Dinas Kehutanan sebagai penguasa lahan dan sumberdaya hutan. Dinas Kehutanan yag semula di bawah Departemen Dalam Negeri dipindahkan ke Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan. Hal ini untuk menunjukkan Dinas Kehutanan focus pada komoditi dan bukan masyarakat hutan. Polisi hutan yang semula di bawah Departemen Dalam Negeri dipindah ke Dinas Kehutanan supaya mereka bisa menjalankan fungsi pengawasan dan juga pembinaan teknis. Kewenangan polisi hutan, bersifat terbatas yakni hanya menangkap “penjahat hutan”. Menjelang abad 20, pemanfaatan kayu jati mengalami pergeseran dari bahan untuk kapal menjadi bahan eksport kayu mewah.

·         Tahun 1913, pengembangan Pangkalan Percobaan Hutan untuk riset intensifikasi hutan. Pada tahun 1927 dirumuskan fungsi hidrologis, klimatologis  dan kesejahteraan sosial dalam pengelolaan hutan batas aliran sungai. Di tahun 1925 terjadi pengembangan otonomi kepala distrik hutan (administrateur). Reformasi ini kemudian diikuti penggabungan Djatibedrijf (badan usaha pengelola jati) yang berorientasi komersial dengan Dinas Kehutanan Tropis (Dienst der Wildhoutbosschen) menjadi Diesnt Bosschen op Java en Madura. Konsekwensi penggabungan ini adalah ekploitasi hutan oleh swasta dihentikan  dan kewenangan penuh negara dalam produksi dan penjualan produk kayu mentah.

·         Tahun 1940 Dinas Kehutanan Kolonial Belanda telah mengambil lebih 3 juta hektar tanah Jawa ke bawah kekuasaannya. Pembatasan akses masyarakat ke hutan telah menimbulkan persoalan baru karena myarakat kehilangan tempat usaha untuk bertani, beternak dll. Sedangkan lapangan kerja di desa sangat terbatas. Adanya monopoli perdagangan kayu jati juga menimbulkan persoalan karena masyarakat (khususnya yang miskin) tidak mampu membeli kayu untuk bangunan rumah mereka sendiri. Sedangkan kayu substitusi yang lain sangat terbatas.

 

Periode penjajahan Jepang (1942-1945)

·         Pada tahun 1942, era transisi masuknya penjajah Jepang, Belanda melakukan politik bumi hangus dengan menghancurkan sarana dan prasarana kehutanan seperti kantor, tempat penampungan kayu, penggergajian, rek kereta dll  agar tidak bisa dimanfaatkan oleh Jepang. Di lapangan, terjadi situasi chaos dan banyak terjadi penjarahan kayu jati oleh masyarakat, oleh penguasa local maupun oleh rimbawan itu sendiri.

·         Jepang membentuk Jawatan Kehutanan Jepang yng merupakan bagian Departemen Perindustrian. Namun kemudian  pindah ke Biro Perkapalan karena kayu jati sangat diperlukan untuk membuat kapal. Kemeudian pindah ke bawah Departemen Produksi Perang. Karena untuk mensupply kebutuhan perang, eksploitasi kayu jati mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 1944 diperkirakan 120.000-250.000 kubik kayu untuk membuat kapal. Selain itu Jepang membutuhkan banyak kayu untuk memperbaiki rel kereta yang hancur akibat bumi hangus Belanda.

·         Over eksploitasi kayu ini tidak disertai dengan reforestasi yang memadai. Selama 3 tahun, Jepang hanya bisa melakukan reforestasi 20.000 hektar hutan jati dan 6.000 hektar bukan jati. Padahal normalnya mereka harus melakukan rehabilitasi 43.000 hektar hutan jati dan 27.300 hektar non jati.

·         Untuk pengerjaan hutan, Jepang memobilisasi masyarakat melalui kerja paksa (romusha). Petani disuruh menebang dan mengangkut kayu. Mereka juga dipindahkan ke dalam hutan untuk membuka hutan baru. Tahun 1945 eksploitasi kayu menurun karena kurangnya alat kerja, tenaga pengangkut serta kondisi represif yang dihadapi buruh hutan.

 

Periode jaman awal revolusi Kemerdekaan (1945-1948)

·         Pada awal Kemerdekaan, Jawata Kehutanan dipindahkan ke Yogyakarta. Perambahan hutan oleh masyarakat massif karena situasi yang chaos. Pembangunan hutan relative mandeg karena masyarakat tidak mau bekerja memburuh di sector Kehutanan khususnya untuk menebang kayu bakar. Di tahun 1945-1947 kejahatan Kehutanan mencapai 34.490 kasus yang tidak terselesaikan di pengadilan.

·         Orientasi pemanfaatan kayu untuk kebutuhan domestic yang mencapai 87% di tahun 1946. Pemakaian kayu bakar cukup tinggi untuk bahan bakar kereta api.

·         Terdapat pertentangan antara rimbawan konvensional yang mengedepankan fungsi konservasi dan produksi hutan bagi negara dengan kelompok rimbawan yang mengutamakan kepentingan masyarakat.

·         220.000 hektar hutan rusak dan 108.640 diantaranya disebabkan dibakar. Terdapat sekitar 110.000 hektar yang dijarah oleh masyarakat dan didukung militer untuk kayu gelondongan dan kayu bakar.

·         Terdapat upaya pemerintah untuk mengembalikan lahan konsesi ke pemegang ijin namun mendapat perlawanan dari buruh hutan yang didukung oleh Sarekat Buruh Kehutanan Seluruh Indonesia (SARBUKSI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI)

·         Pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1948 telah menghancurkan berbagai infrastruktur Kehutanan di berbagai daerah.

·         Sampai akhir tahun 1949 terdapat 400.000 hektar (14% dari tanah hutan negara di Jawa) dikuasai buruh atau dicuri kayunya. Bagi buruh dan masyarakat, pemerintahan telah beralih dari colonial Belanda ke Indonesia, namun idiologi pengelolaan hutan dirasakan sama dengan jaman colonial.

·         Sekitar tahun 1950an tenaga ahli Kehutanan Belanda dan Jerman dilibatkan sebagai penasehat termasuk jadi pengajar di Universitas Gadjah Mada. Industri kayu makin berkembang sehingga ekploitasi hutan meningkat. Saran Becking (penasehat Kehutanan) agar dilakukan pengurangan produksi kayu selama 30 tahun agar kondisi hutan membaik, tidak dijalankan. Akses masyarakat miskin untuk kayu bangunan dan arang makin terbatas karena terbatasnya alokasi kayu untuk masyarakat dan daya beli yang rendah.

·         Sampai tahun 1957, Jawatan Kehutanan berada di bawah Departemen Pertanian. Terdapat pembagian peran Pusat dan Daerah. Namun adanya pertentangan idiologi politik antar pejabat mengakibatkan fungsi pelaksanaan dan pengawasan program tidak berjalan optimal. Terdapat 4 aktor penting yang mempengaruhi pengelolaan hutan era ini yakni: (1) Darul Islam/tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menggunakan hutan sebagai tempat gerilya sehingga mereka berusaha mempertahankan hutan yang ada, (2) Militer yang membakar hutan untuk memaksa tentara DI/TII menyerah, (3) Partai Komunis Indonesia melalui Sarbuksi dan BTI yang mendukung masyarakat ntuk melakukan land reform, (4) Partai Nasionalis yang berusaha untuk mendukung program pemerintah.

·         Terdapat penambahan populasi penduduk sekitar hutan sehingga tekanan terhadap hutan semakin tinggi. Jawatan Kehutanan mulai meningkatkan Kerjasama dengan polisi, militer dan tokoh masyarakat untuk mengatasi hal ini melalui kampanye pelestarian hutan, penegakan hukum dan transmigrasi.

·         Untuk penyelesaian klaim lahan, masyarakat diperbolehkan klaim lahan asal mempunyai Dokumen pendukung seperti sertifikat. Terhadap penghuni liar, militer dapat mengusir mereka keluar dari hutan.

·         Tahun 1961, Perhutani dibentuk. Di bidang perburuhan, terbentuk pula Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sebagai tandingan Sarbukti yang berafiliasi ke PKI. Berbagai aliran idiologis mempunyai kecenderungan sama yakni tidak memiliki konsep yang jelas untuk pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat.

Jaman Orde Baru (1966

·         UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal menandai terbukanya investasi asing di Indonesia. Produk Kehutanan diarahkan menjadi sumber pendapatan negara. Perhutani mempunyai mandate untuk mengelola hutan untuk memproduksi kayu jati dan hasil hutan lain, memasarkan produk Kehutanan, mengatur SDM dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk tugas tersebut Perhutani didukung oleh tenaga spesialis teknis Kehutanan, Polisi Hutan dan tenaga administrasi. Adanya Perhutani yang “nasionalis” dan berlandaskan Pancasila membuat jiwa korsa rimbawan semakin menguat. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa di mata masyarakat,  Perhutani dipandang sebagai pihak “luar” yang sedikit banyak akan mengatur kehidupan masyarakat desa hutan. Jiwa korsa rimbawan tadi mengalami benturan di tingkat bawah seperti level mandor yang penghasilannya rendah dan mudah tergiur oleh iming-iming suap .

·         Terdapat upaya manajemen antara lain berupa: (1) ukuran distrik hutan diciutkan dan dibagi dalam wilayah distrik jati dan non jati, (2) perluasan produksi non jati untuk penganekaragaman income negara, (3) Pemasukan hasil usaha domestic dikelola oleh Perhutani tingkat Unit di Propinsi, sedang hasil ekspor kayu dikelola Perhutani Pusat, (4) Diberlakukannya subsidi silang daerah surplus (Jateng dan Jatim) ke daerah minus (Jawa Barat).

·         Secara kelembagaan Perhutani semula berbentuk Perusahaan Negara yang anggarannya ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Namun kemudian pada tahun 1969 berubah menjadi Perum Perhutani yang lebih otonom tapi wajib menyetorkan 55% keuntungan ke Anggaran Pendapatan Negara. Pada tahun 1972, Jawatan Kehutanan Jawa Tengah dan Jawa Timur bergabung dengan Perum Perhutani. Hal ini disusul oleh Dinas Kehutanan Jawa Barat yang bergabung di Perhutani tahun 1978. Tahun 1983 Departemen Kehutanan dibentuk sehingga Perhutani bertanggungjawab ke Departemen ini setelah pada periode sebelumnya bertanggungjawab ke Departemen Pertanian. Sampai saat ini wilayah hutan Yogyakarta berdiri sendiri dan tidak termasuk dalam wilayah Perhutani.

·         Dalam menjalankan tugasnya Perhutani melakukan pengelolaan hutan dengan strategi; (1) menguasai lahan sehingga Perhutani memberlakukan pengawasan preventif dan represif secara ketat, (2) Penguasaan spesies dimana Perhutani  mengontrol budidaya Kehutanan skala besar, bibit, jenis tanaman yang boleh ditanam, penentuan jarak tanam, apa hak masyarakat atas tanaman, dan berbagai aspek silvikultur lainnya. (3) penguasaan tenaga kerja masyarakat pinggiran hutan yang mensupply tenaga kerja murah.

·         Di lapangan kayu jati harganya makin mahal karena gagalnya reforestasi, lokasi tebangan makin jauh dan biaya angkut semakin mahal, dan potensi produksi kayu per hektar makin menurun.  Pengelolaan hutan jati terancam tidak lestari karena over eksploitasi penebangan dengan praktek cuci mangkok, semakin banyaknya wilayah hutan yang digunakan untuk pertanian oleh masyarakat dan jaringan pencurian kayu yang terorganisir. Di sisi lain terdapat perilaku rimbawan local yang berkontribusi terhadap degradasi hutan seperti adanya toleransi2 terhadap penyimpangan aturan yang ada missal memperbolehkan petani menanam singkong di hutan yang menguras unsur hara, adanya favoritisme dalam pembagian petak reforestasi kepada orang yang mudah diajak Kerjasama sehingga bias target group dan penyimpangan penggunaan  anggaran pembuatan tanaman.

·         Perhutani berinisiasi mengembangkan program seperti Mantri-Lurah (MALU), Prosperity approach dan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus untuk mendukung kelancaran produksi hutan. Namun program tersebut kurang berhasil karena tujuan pemberdayaan masyarakat tersebut tidak terointegrasi utuh dalam praktik pengelolaan hutan. Bahkan ada kecenderungan program tersebut ingin mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan, dan bukan menciptakan siombiose mutualisme yang saling menguntungkan antara hutan dengan masyarakat. Adanya pendekatan top down yang kurang memperhatikan kebutuhan lapangan dan bias elite dalam pemilihan target group, juga memberikan kontribusi signifikan dalam kegagalan tersebut.

·         Konflik tenurial wilayah hutan di Jawa nampaknya akan masih jauh untuk diselesaikan. Pertambahan populasi penduduk meningkatkan tekanan terhadap hutan. Sedangkan Perhutani sendiri masih belum memiliki sebuah pendekatan yang jitu untuk menyelesaikan konflik tersebut. Meningkatnya biaya kebutuhan hidup, terbatasnya lapangan kerja di pedesaan, pendekatan petugas Perhutani yang lebih berorientasi pengawasan serta kepentingan ‘aktor luar”  akan berakumulasi untuk berlangsungnya praktik2 pelanggaran aturan kehutanan  di lapangan.

No comments: