Monday, June 19, 2023

Martabat Petani Hutan

 


Martabat Petani Hutan

Penulis: Erna Rosdiana dan Johanna Ernawati

Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, KLHK

Jakarta, 2022

ISBN 978-602-61100-3-9

503 halaman

 

Kalau melihat cerita dalam buku ini, saya menduga bahwa buku ini merupakan kumpulan biografi pendek yang dituangkan dalam bentuk cerita (story telling). Adapun orang yang dijadikan tokoh-tokoh dalam buku ini adalah para petani hutan dan pegiat Perhutanan Sosial (atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di Indonesia, baik dari unsur birokrat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan petaninya itu sendiri. Meski demikian tokoh sentral buku ini adalah Whina yang merupakan seorang birokrat di Departemen Kehutanan dan bekerja menangani program Hutan Kemasyarakatan (yang menjadi embrio Program Perhutanan Sosial yang kita kenal sekarang).

Whina merupakan seorang gadis yang merupakan cucu dari keluarga yang berlatar belakang petani (juragan tanah) dengan keluarga yang berlatar belakang pengusaha. Whina yang diterima di Fakultas Kehutanan, semula merasa kurang nyaman dengan pilihannya karena pada awalnya Whina tidak menyukai kehidupan petani di perdesaan. Meski demikian perlahan-lahan mulai menyukai bidang Kehutanan khususnya ketika dia bergabung dalam kelompok mahasiswa pecinta alam. Setelah lulus kuliah tahun 1984, Whina lolos seleksi dan bekerja di Departemen Kehutanan. Whina ditempatkan di Kanwil Kehutanan Wilayah Jawa Barat. Di tempat barunya Whina menunjukkan prestasi kerja yang menggembirakan berkenaan dengan penyusunan Petujuk Teknis Pemungutan Iuran Hasil Hutan. Pekerjaan ini membuat Whina banyak bergaul dengan para pengusaha Hutan.

Prestasi kerja yang bagus mengantar Whina memperoleh posisi jabatan structural eselon VI di Departemen Kehutanan di Jakarta pada tahun 1995. Jabatan yang disandang Whina adalah Kepala Seksi Aneka Usaha Hasil Hutan (non kayu), yang menuntut Whina untuk bergaul dengan pengusaha kecil dan masyarakat awam.  Dalam pekerjaan barunya Whina belajar tentang pelibatan masyarakat melalui skema Hutan Kemasyarakatan Dana Reboisasi dimana masyarakat dilibatkan sebagai buruh dalam program reboisasi sehingga dia berhak dapat upah buruh dan diberi hak untuk melakukan tumpangsari di wilayah yang direboisasi (SK 622/Kpts-II/1995 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan).

Whina juga belajar tentang konsep-konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat seperti yang dilakukan oleh proyek Social Forestry Development Project (SFDP) di Sanggau yang menggunakan pendekatan partisipatif dalam proses perencanaannya. Whina juga mulai berkenalan dan bergaul dengan lembaga donor, akademisi, dan aktivis LSM yang mendampingi program pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Krui Lampung, Sumatra, dan lain-lain. Selama  ini lingkungan kampus dan birokrasi telah membuat Whina memiliki stigma bahwa masyarakat itu perusak hutan dan tidak akan mempu meengelola hutan secara lestari. Whina yang semula sangsi masyarakat mampu untuk mengelola hutan secara lestari, setelah melihat banyak bukti di lapangan  akhirnya terbuka mata hatinya bahwa pandangannya selama ini salah. Dia juga menemukan fakta-fakta bahwa ekspektasi masyarakat sebenarnya bukan sesuatu yang muluk atau tinggi. Mereka hanya ingin memiliki akses legal dan kepastian hukum terhadap lahan sehingga bisa mengelola secara tenang.

Pergaulannya dengan aktivis LSM, akademisi dan lembaga donor membuat Whina terbuka emphatynya dan dia mempunyai niatan untuk memperbaiki regulasi Hutan Kemasyarakatan yang ada agar masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai buruh tanam, tetapi masyarakat bisa memperoleh akses legal terhadap hutan.  Niat Whina tersebut memperoleh dukungan dari semesta. Adanya momentum reformasi tahun 1998, Menteri Kehutanan Muslimin Nasution yang berorientasi populis, menyetujui penerbitan SK 677/Kep-II/1998 tentang Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan, yang draftnya diinisiasi oleh Whina dan diperkaya dari masukan jejaringnya. Dalam SK 677 tersebut masyarakat diberikan akses mengelola hutan selama 35 tahun.

Bagi Whina, perjuangan menerbitkan SK 677 tersebut tidaklah mudah. Whina harus menghadapi perlawanan dari sebagian birokrat Departemen Kehutanan konvensional yang masih belum rela untuk memberikan akses lahan hutan bagi masyarakat. Mereka berpandangan bahwa mengelola hutan butuh modal besar dan SDM yang berkompeten. Itu dua modal yang tidak dimiliki oleh masyarakat, kata mereka.  Di sisi lain, Whina juga menghadapi complain dari Sebagian aktivis LSM yang masih belum puas dengan pemberian hak Kelola, karena mereka menginginkan hal milik. Selain itu mereka juga mempertanyakan kesanggupan Departemen Kehutanan dalam mengembangkan program Hutan Kemasyarakatan yang memperhatikan kondisi spesifik local.

Terlepas dari pro kontra yang ada, terbitnya SK 677 telah memberikan kegembiraan bagi Sebagian pemangku kepentingan termasuk petani dan aktivis LSM. Meskipun tidak selalu berjalan mulus, sayup-sayup program Hutan Kemasyarakatan semakin sering terdengar.  Berbagai event terkait Hutan Kemasyarakatan menjadi concern di tingkat menteri bahkan di tingkat yang lebih atas. Upaya internalisasi pendekatan sosialpun semakin intens dilakukan untuk merupah perilaku apparat Kehutanan menjadi lebih humanis dan lebih dialogis.

Selain ringkasan   di atas,  saya menangkap beberapa fenomena menggelitik, yakni:

  1. Dari cerita tokoh Myla, Bilal, Sena dan Whina sewaktu jadi mahasiswa ada kecenderungan mereka tidak memperoleh cukup pembelajaran tentang kepekaan sosial di dalam kampus. Kepekaan sosial terhadap lingkungannya tumbuh setelah mereka berinteraksi  melalui kegiatan ekstra kurikuler atau bahkan kegiiatan di luar kampus. Bahkan ada kemungkinan dalam kampus sendiri secara sadar atau tidak telah tertanam stigma-stigma yang tidak sepenuhnya benar tentang masyarakat desa hutan. Apakah dalam hal ini telah terjadi fenomena yang oleh Paulo Freire disebut “Pendidikan merupakan salah satu instrument penguasa untuk melanggengkan kekuasaan”?? Apakah kurikulum Kehutanan  di kampus dibangun dengan sikap kritis? Ataukah kurikulum yang ada dibangun untuk mendukung kebijakan dan program pemerintah yang cenderng memihak pengusaha besar?  
  2. Kebijakan pengusahaan hutan melalui HPH, telah diimplementasikan sejak tahun 1970an. Saat itu Kehutanan menjelma menjadi sector penghasil devisa, dan tentu saja banyak pejabat dan birokrat Kehutanan yang kecipratan rejeki. Hal ini telah menjelma jadi budaya orgaanisasi yang tertanam cukup kuat. Oleh karenanya ketika ingin mendorong program pengelolaan hutan berbasis masyarakat, budaya organisasi lama yang pro pengusaha besar harus dikikis sedikit demi sedikit.
  3. Whina merupakan salah satu actor yang terlibat cukup intensif dalam mengawal program Hutan Kemasyarakatan. Hal ini perlu disyukuri karena adanya “pengawal setia” ini membuat alur kesinambungan program menjadi terjaga. Walaupun hal ini dibayar mahal karena karir Whina jadi tersendat. Saya mempunyai hipotesis, banyak program Kehutanan tidak bisa berjalan berkesinambungan karena tingginya rotasi kepemimpinan, dan ketiadaan instrument seperti roadmap yang kokoh ditaati bersama.
  4. Keberhasilan upaya mendorong laju Program Hutan Kemasyarakatan, menunjukkan bahwa birokrat bisa bekerjasama dengan petani, LSM, akademisi, dan lembaga donor. Yang diperlukan dari para pihak adalah kesediaan untuk mendengarkan, berdialog, saling memahami  dan keihklasan untuk mencari solusi terbaik.

 Secara umum buku ini mudah dibaca karena hurufnya agak besar, Bahasa yang digunakan juga bahasa sederhana dengan alur yang runtut. Sedikit ganjalan mungkin pertautan cerita antar tokoh dalam cerita ini mungkin perlu lebih “dipererat” supaya semua terangkai menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Tetap semangat bagi mbak Whina, Myla, Bilal, Parman dll untuk mewujudkan petani hutan yang sejahtera, berdaulat dan bermartabat.

No comments: