Saturday, June 03, 2023

SEKA SENGKETA: Pergulatan Pengalaman Resolusi Konflik


 

SEKA SENGKETA: Pergulatan Pengalaman Resolusi Konflik

Indonesian Business Council for Sustainable Development (IBCSD)

Jakarta, 2020

ISBN 978-623-91659-2-5

336 halaman


Buku ini ditulis oleh Tim Penulis dari Conflict Resolution Unit/CRU – IBCSD yang terdiri Agus Mulyana, Ambrosius Ruwindrijarto, Arief Wicaksono dan Ilya Moeliono. Para penulis tersebut merupakan aktivis berpengalaman di dunia Organisasi Masyarakat Sipil khususnya dalam penerapan pendekatan partisipatif. CRU-IBCSD sendiri merupakan sebuah unit yang diinisiasi oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) untuk menangani konflik dunia usaha khususnya konflik lahan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pembentukan CRU IBCSD ini dilandasi keprihatinan dengan semakin merebaknya konlik lahan dan pengelolaan SDA di Indonesia. Meningkatnya nilai ekonomis lahan, peraturan yang tumpang tindih, tidak transparansinya proses perijinan dan tata ruang dan banyak factor lainnya menjadi penyebab banyaknya konflik lahan tersebut. Di sisi lain, konflik-konflik tersebut tidak segera teratasi karena ketiadaan lembaga mediasi konflik yang handal dan bisa diterima para pihak di tingkat local. 

Buku ini memuat pengalaman penanganan kasus konflik dibeberapa daerah yakni:

  1. Penanganan kasus konflik lahan Suku Besar Yerisiam Gua di Kampung  Sima, Kabupaten Nabire, Papua vs perusahaan perkebunan sawit PT Nabire Baru.
  2. Penanganan kasus konflik masyarakat Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi (yang didalamnya ada Suku Anak Dalam dan pendatang) vs pemegang ijin restorasi ekosistem PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI).
  3. Penanganan kasus konflik masyarakat Suku Anak Dalam di Desa Muara Kilis, kabupaten Tebo, Jambi  vs pemegang ijin HTI PT Wirakarya Sakti (WKS) 
  4. Penanganan kasus konflik batas Desa di Kabupaten Kapuas Hulu oleh Desk Resolusi Konflik Kabupaten Kapuas Hulu
  5. Penanganan kasus konflik masyarakat Desa Sambik Elen dan Desa Baturakit, Kab. Lombok Utara, NTB vs pemegang Ijin HTI PT Sadhana Arifnusa (SAN)
  6. Penanganan kasus konflik antar Kelompok Tani Hutan di desa Sitiarjo dan desa Tambakrejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
  7. Pencegahan konflik melalui penerapan Free, Prior, Inform and Consent (FPIC)  dan kolaborasi program pemberdayaan masyarakat oleh pemegang ijin restorasi ekosistem PT Rimba Makmur Utama (PT RMU) dengan masyarakat beberapa desa di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
  8. Penanganan kasus konflik antara masyarakat transmigrant di beberapa kecamatan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara vs perusahaan sawit PT Damai Jaya Lestari (DJL) 


Dalam penanganan kasus konflik, secara umum CRU melakukan pendekatan sebagai berikut:

1. Pra Mediasi

a) Kunjungan awal ke para pihak untuk trust building dan membangun kerjasama dengan para pemangku kepentingan.

b) Kajian konflik untuk mengidentifikasi pokok konflik, isu-isu dari pemangku kepentingan,, scenario penanganan konflik, uji kelayakan mediasi dll.

c) Mendokumentasikan hasil kajian dalam sebuah Dokumen

d) Menyiapkan pihak yang bersengketa sebelum memasuki tahap perundingan midal menyiapkan tim perunding, penandatanganan Dokumen penting,  seperti persetujuan mediasi, surat pernyataan permintaan pendampingan mediasi, nota kesepakatan para pihak untuk menempuh mediasi.

e) Menyiapkan rancangan proses perundingan/dialog, strategi fasilitasi, menetapkan aturan dasar perundingan, draft naskah kesepahaman memulai perundingan, simulasi fasilitasi dialog, dan pembagian peran tim mediator. 


2. Perundingan

a) Penyepakatan naskah kesepahaman memulai perundingan

b) Penyepakatan aturan dasar perundingan

c) Penjelasan proses dan tujuan perundingan oleh mediator

d) Presentasi tentang usulan dan jalan keluar dari masing-masing pihak

e) Dialog internal oleh masing-masing tim perunding  untuk menyiapkan tanggapan dan keputusan

f) Dialog antar tim perunding

g) Penandatanganan kesepakatan mediasi yakni (1) kesepakatan mengakhiri konflik dan (2) kesepakatan Kerjasama dalam pengelolaan lahan dan SDA


3. Paska Perundingan

a) Monitoring dan evaluasi  butir-butir kesepakatan 


Beberapa catatan penting hasil refleksi terhadap pengalaman Tim CRU dalam penanganan konflik antara lain sebagai berikut:

1. Sebagian orang sering alergi terhadap istilah “konflik” atau sengketa karena sering disalah maknai konfrontatif dan mengandung unsur kekerasan.
2. Sebagian prasyarat perundingan perlu diciptakan. Dalam penanganan kasus konflik, perlu dilakukan penapisan dengan 14 variable untuk melihat sebuah kasus layak ditangani atau tidak, agar tidak terjadi pemborosan sumberdaya. Adanya kejelasan pihak yang bersengketa, kesediaan berunding, kesediaan dukungan pihak berwenang, sumber dan jenis informasi memadai dll merupakan prasyarat agar mediasi dianggap layak. Namun kenyataannya, prasyarat tersebut belum  tentu tersedia sehingga Tim CRU terkadang harus melakukan pendampingan kepada pihak yang bersengketa agar prasyarat tersebut tercipta.
3. Persetujuan dan Kesukarelaan dari pihak yang bersengketa untuk dimediasi oleh CRU, sangat esensial
4. Dalam proses mediasi, mediator terkadang harus “mendidik” para pihak untuk memahami tahapan proses mediasi, prinsip-prinsip mediasi, memahami cara nalar pihak lain, manfaat jangka panjang mediasi, mendidik untuk bersikap sabar dan lain-lain.
5. Tahapan proses bertumpang tindih dan berkesinambungan. Berbagai proses kajian terkadang perlu dilakukan ulang untuk menjawab kebutuhan informasi yang terus berkembang.
6. Pengkajian sengketa lebih dari separuh pekerjaan. Kajian perlu intensif dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat, valid dan memadai. Selain itu kajian ini perlu dilakukan sebagai ajang membangun penyadaran dan pemahaman para pihak tentang pokok sengketa. Kajian ini sekaligus juga untuk menyiapkan prasyarat-prasyarat  perundingan seperti yang dimaksud dalam pojn 2 di atas. Dalam melakukan kajian, pendekatan partisipatif sangat efektif. Hal yang perlu dicermati dalam kajian ini adalah kompleksitas dan cakupan kajian, ketajaman menemukan sengketa yang riil,  dan pelaporan yang cermat dan lengkap.
7. Tim Pengkaji dan mediator sebaiknya tidak dipisahkan karena mediator akan lebih mudah memandu proses mediasi ketika dia juga memahami situasi-situasi dan informasi para pihak secara mendalam. 
8. Dalam sebuah proses mediasi, Mediator Pemagang bisa dilibatkan sebagai co mediator, sebagai anggota tim kajian, dan atau   supporting unit (organizers). Proses pelibatan mediator pemagang ini sangat baik sebagai proses belajar dalam penanganan kasus secara langsung. Program magang untuk Mediator ini sangat strategis untuk memperbanyak local champions di bidang mediasi.
9. Pelibatan mitra lembaga local sebagai penyelenggara, akan sangat bagus sebagai strategi pengembangan kapasitas dan jejaring pengembangan mediasi. Meski demikian lembaga local ini perlu diseleksi agar bisa didapatkan lembaga local yang layak untuk diajak Kerjasama.
10. Pemberdayaan para pihak untuk mengatasi ketimpangan kekuatan termasuk dengan mendorong para pihak untuk bersikap positif terhadap pandangan, usulan dan masukan pihak lainnya.
11. Institusi pemerintah bisa dilibatkan dan berperan dalam pengelolaan sengketa misalnya sebagai tuan rumah (convenor), pihak yang bersengketa, pengamat dan mediator. Selama ini peran instansi pemerintah sebagai pihak yang bersengketa dalam proses mediasi masih terbatas. Perlu kehati-hatian ketika instansi pemerintah menjadi mediator, karena seringkali mudah terpeleset dalam ketidak netralan.
12. Konteks local mempengaruhi, bahkan mungkin menentukan. Situasi keamanan, politik local, konflik kepentingan pemerintah/oknum, penunggang liar, kekompakan internal akan mempengaruhi proses mediasi. 
13. Adanya gangguan dari orang di luar pihak yang bersengketa yang terganggu kepentingannya karena adanya proses mediasi.
14. Sejauh mana lembaga mediator selesai tugasnya? Apakah setelah ada kesepakatan para pihak? atau setelah ada implementasi tindak lanjut kesepakatan? Hal ini perlu dipertimbangkan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki.
15. Mengelola “proyek” mediasi, cukup rumit karena cakupan kegiatan antara satu kasus dengan kasus lain berbeda-beda, kompleksitas, proses yang tidak linear, kriteria keberhasilan yang tidak pasti, dll yang mengakibatkan sulitnya menentukan standar biaya. 
16. Orientasi profit dan pandangan SDA sebagai sumber ekonomi semata, membuat perusahaan seringkali mengutamakan pendekatan legalistic, keamanan dan bahkan uang untuk menyelesaikan persoalan mereka. Di sisi internal, orang-orang lapang perusahaan tidak memiliki otoritas mengambil keputusan, sedangkan level pengambil keputusan sering tidak memahami situasi lapangan. Oleh karenanya konsolidasi tim perusahaan perlu dilakukan termasuk mengidentifikasi usulan yang bisa ditawarkan ke masyarakat missal CSR.
17. Mediator harus memegang teguh Kompas Moral yakni kaidah umum mediasi seperti netral, tidak diskriminasi, kesukarelaan para pihak, menjaga kepercayaan dan rahasia. Mediator juga harus mampu menjadi mediator aktivis yakni mediator yang bertanggungjawab untuk memandu proses agar menghasilkan solusi terbaik bagi para pihak.
18. Mencegah konflik adalah lebih efisien dari pada mengatasi konflik.
19. Dimensi gender perlu diperhatikan dalam pengelolaan konflik karena proses penyepakatan yang efektif perlu mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan SDA tersebut (missal perempuan). Minimnya mediator perempuan juga menjadi tantangan dalam melakukan kajian dan fasilitasi mediasi yang target groupnya perempuan, karena di banyak masyarakat terdapat masyarakat yang sangat menjaga diri terhadap orang luar yang lawan jenis.

Saya pikir buku ini sangat bagus sebagai sebuah sumbangan pemikiran dan pengalaman dalam mengatasi konflik tenurial dan sumberdaya alam. Secara umum buku ini mudah dicerna karena kasus-kasus yang ada disampaikan dengan cara bertutur (story telling) secara runtut. Kritik dari saya adalah pilihan font yang agak kecil dan tipis sehingga seringkali sedikit sulit dibaca untuk orang yang sudah tua seperti saya… 😊


No comments: