Friday, August 24, 2007

Taman Nasional Wasur, riwayatmu dulu..

Taman Nasional Wasur merupakan sebuah hutan alam yang menyimpan kekayaan alam (flora fauna) yang melimpah seperti ikan, burung, reptile, kanguru, rusa dll. Kawan-kawan WWF Merauke mengatakan bahwa di lokasi itu juga terdapat Danau Biru yang merupakan sebuah danau dengan kepadatan ikan yang termasuk paling tinggi di dunia. Namun dengan semakin terbukanya akses daerah itu, ancaman kepunahan satwa semakin meningkat karena banyaknya perburuan satwa serta penebangan kayu. Untuk perburuan, sebenarnya penduduk asli diperbolehkan berburu dalam jumlah yang dibatasi dan dengan menggunakan peralatan tradisional seperti panah dan tombak. namun saat itu ada indikasi aturan tersebut sering dilanggar karena ada perburuan-perburuan (oleh pendatang) yang menggunakan senapan dan sepeda motor untuk masuk ke lokasi.

Sewaktu kami praktek PRA di lapangan sekitar 10 kilometer dari kota Merauke pada tahun 1997, para peserta menyarankan agar kami cukup membawa beras saja karena lauk mudah dicari. Disana setiap pagi dan sore kami menggunakan jaring seperti net badminton dan kami beramai-ramai masuk ke arah laut sekitar 50 meter dari bibir pantai . Ketika jaring tersebut ditarik ke daratan, berbagai jenis ikan terjaring termasuk ikan kakap, udang, lele laut dll. Ikan kakap sangat mudah didapat. Bahkan ketika kami dapat ikan kakap ukuran besar (panjang 50 cm) dan kemudian agak bau basi karena kami lambat memasaknya, penduduk bilang :’sudahlah pak, buang ikan itu. Nanti kita nangkap lagi yang besar”. Aku yang jarang melihat ikan laut segar tentu sayang untuk membuang ikan itu, apalagi membayangkan harganya di Jakarta pasti selangit. Tapi karena mereka terus mendesakku, akhirnya ikan itu terpaksa di buang.

Suatu saat jaring yang kami tarik ke darat terasa berat sekali. Dikiranya jarring tersebut nyangkut di karang atau tonggak, ternyata yang kami dapatkan adalah seekor ikan pari ukuran diameter sekitar 1 meter yang kemudian kami lepas lagi karena kata penduduk local ikan sebesar itu dagingnya keras kayak ban mobil. Ikan pari yang enak adalah yang seukuran piring. Di sana aku benar-benar merasakan "sorga ikan", ibaratnya kalau mau makan ikan tinggal ngambil dari kolam ikan besar. Sampai suatu saat aku sempat "mabok" pusing-pusing karena kebanyakan makan ikan he..he...he.,..


Di saat lain ketika kami akan pergi ke kampung Sota di perbatasan dengan Papua Nugini, kulihat banyak transmigran dari Jawa atau tempat lain sedang nyemplung ke parit di pinggir jalan. Ternyata mereka sedang mengumpulkan ikan Gator (Gabus Toraja) yang ukurannya mencapai ukuran lengan orang dewasa. Mereka tinggal mengambil ikan di kubangan-kubangan yang airnya tinggal sedikit karena saat itu musim kemarau. Ikan tersebut biasanya terjebak di kubangan lumpur dan tidak susah untuk menangkapnya. Penduduk asli sendiri konon tidak doyan dengan ikan Gabus karena bentuk dan sisiknya seperti ular.


Melihat orang-orang mencari ikan gabus, kami sendiri merencanakan di Sota akan mencari tas plastik kresek untuk tempat ikan. Sewaktu dalam perjalanan pulang dari Sota, kami mampir dan cari ikan di kubangan. Tapi yang kami dapatkan hanya sisa-sisa berupa ikan “bethik” (seperti mujahir). Bandhu (teman dari WWF) menyarankan agar kami ambil ikan bethik itu karena kalau digoreng kering, rasanya enak dan “kemremes”. Kami tiba di rumah sudah agak malam sehingga ikan sebanyak dua plastic kresek itu kami taruh di ember di kamar mandi. Pagi-pagi kami dikejutkan oleh suara Bandhu yang sedang muntah-muntah. Ternyata pagi itu dia masuk ke kamar mandi, dan dia mendapati kamar mandi bau bangkai busuk yang menyengat yang berasal dari ikan bethik yang sebagian mati dan berserakan di lantai karena melompat dari ember. Akhirnya ikan-ikan tersebut kami buang begitu saja karena kami tiada waktu untuk memasaknya…..

Penduduk lokal menceritakan bahwa mereka sering makan ikan arowana yang ada di perairan tawar sekitar daerah itu. Selain itu saat bulan Oktober udang laut harganya jatuh karena panen melimpah sementara tidak ada pemasaran keluar daerah. Yach, itulah potret Indonesia yang kaya raya, namun kita belum mampu mengelolanya secara optimal…

No comments: