Monday, September 17, 2007

Kaya tapi tertinggal

Kalau kuingat kunjunganku untuk pelatihan Perencanaan Partisipatif ke Taman Nasional Wasur tahun 1997 lalu, terkadang aku terkenang-kenang kepengin berkunjung ke sahabat-sahabat lama di ujung Timur Papua itu. Pada saat itu peserta pelatihan berjumlah sekitar 30 orang antara lain berasal dari suku Kanum, Marind dan Moyo. Secara umum mereka sangat ramah, lugu, sederhana dan bersahabat. Bahkan beberapa peserta pelatihan dari suku Moyo (atau Muyu) cara berpikirnya cukup kritis.

Dengan lingkungan yang masih alami, sumberdaya alam (termasuk flora fauna) mereka cukup melimpah. Bahkan pada sekitar bulan Oktober, udang harganya sangat murah karena panen laut yang berlimpah ruah dan akses pemasaran yang masih terbatas. Hal itulah yang ironis karena SDA yang melimpah ruah, tidak diimbangi dengan sentuhan pembangunan yang memadai. Dengan kondisi geografis yang terpencil di ujung Timur Indonesia, membuat pembangunan prasarana transportasi, kesehatan dan pendidikan masih minim walaupun kita sudah lebih dari 50 tahun merdeka. Dengan kondisi seperti itu, aku sangat memahami kalau saudara2 kita di ujung Papua kepengin memisahkan diri dari Indonesia. Kemerdekaan yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan mereka, ternyata tiada membuahkan kenyataan indah. Sumberdaya alam mereka dikeruk, alam diperkosa dan kemanusiaan dinistakan atas nama pembangunan. Harkat martabat mereka tersisih oleh sebuah persaingan kehidupan yang tidak adil. Cita-cita luhur Negara Republik Indonesia yang bertujuan “melindungi segenap tumpah darah Indonesia” hanya menjadi slogan tak berarti di tangan birokrasi yang tidak tahu diri.

Kalau kita renungkan kembali, kondisi ketertinggalan, penindasan dan ketimpangan itu terjadi di banyak tempat khususnya daerah terpencil. Semoga segenap komponen pemerintahan yang memimpikan lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) nantinya bisa lebih mampu melihat secara jernih dan mampu menyadari akar persoalan ini. Sehingga mereka tidak asal main tembak dan menggunakan pendekatan represif untuk menumpas separatisme yang disebabkan oleh ketimpangan semacam ini. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk mau dan mampu memperbaiki paradigma pembangunan di masa mendatang. Kalau selama ini pembangunan terkonsentrasi di Jawa, hendaknya di masa depan Luar Jawa perlu dikembangkan. Kalau selama ini perkotaan menjadi pusat pembangunan, semoga nanti desa bisa menjadi sentra pembangunan. Kalau selama ini industry jadi idola, semoga nanti pertanian jadi primadona. Kalau selama ini pemodal besar jadi tumpuan, semoga nanti wong cilik, pengusaha mikro dan sector informal bisa jadi andalan. Semoga perubahan terus bergulir agar sanak saudaraku di Papua, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan berbagai belahan wilayah lainnya benar-benar bisa menikmati kue pembangunan. Semoga…semoga….

No comments: