Monday, November 26, 2007

Bapakku, wong ndeso yang lugu dan pekerja keras

Menurut KTP, bapakku lahir tahun 1928 tanpa ada keterangan tanggal dan bulan. Beliau seaktu kecil bernama Ngabdul. Mungkin nama beliau diadopsi dari bahasa Arab "Abdul", hanya saja karena kesangkut lidah Jawa yang medok maka jadi Ngabdul. Setelah ayahku menikah dengan ibuku, beliau punya nama tua Sastrodiharjo. Meki demikian sebagian orang masih menyebut bapakku dengan sebutan Pak Ngabdul, Pak sastro ngabdul atau terkadang pak Sastro.

Meski namanya Sastro, sungguh mati bapakku bukan seorang sastrawan. Beliaupun kayaknya nggak pernah lulus Sekolah Rakyat (nama lain dari SD jaman itu). Beliau konon tidak terlalu cerdas di sekolah. Meski demikian sewaktu aku masih kelas 1-2 SD, bapakku dulu sangat rajin mengajariku membaca di bawah temaram lampu teplok minyak di setiap malam. Sehingga tidak mengherankan sewaktu kelas 1 SD aku sudah lancar membaca dan buku atau majalah apapun kulalap termasuk cerita silat Nogososro Sabukinten maupun Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja. Bapakku juga rajin membuatkan aku batang lidi untuk alat bantu berhitung. Mungkin bapakku berpikir bahwa beliau tidak bisa menempuh pendidikan yang memadai, maka beliau rela melakukan apapun agar aku bisa sekolah dengan baik.

Menjelang makan malam di atas balai-balai di dapur, sambil menunggu masakan dihidangkan oleh ibuku, bapakku biasa ngajari aku dengan lagu-lagu jawa sederhana. Balai-balai di dapur ini menjadi ajang kumpul keluarga setiap harinya sambil menikmati makan malam.

Bapaku seorang petani tulen. Dengan perawakan yang tinggi besar, beliau sangat kuat untuk mencangkul di kebun atau sawah. Aku sangat senang menemani beliau mencangkul sambil mencari dan mengumpulkan belut atau gangsir (jangkrik besar) untuk dibuat lauk makan. Aku paling suka lihat bapakku makan sehabis mencangkul, karena beliau akan makan dengan lahap meski menunya hanya nasi dengan sayuran hijau.

Bapakku seorang yang sangat lugu. Konon sewaktu sehabis G30S, banyak kerabat bapakku yang diciduk aparat karena diduga terlibat G30S. Saat itu bapakku tidak melarikan diri malah beliau kemudian mendatangi tentara dan menanyakan mengapa dirinya tidak ikut ditahan seperti saudara-saudaranya. Mungkin tentara saat itu tidak menangkap bapakku karena dianggapnya bapakku orang yang bodoh sehingga tidak perlu dicurigai ikut gerombolan G30S.

Bapakku terkasih meninggal dunia pada bulan puasa tahun 1996. Aku saat itu sedang kerja di Jakarta dan kaget bukan kepalang karena selama ini tidak dengar kabar beliau sakit. Dari ibuku aku mendengar bahwa bapakku menjelang meninggalnya masih sempat makan sahur terus kemudian bermain-main dengan salah seorang cucu di halaman rumah sambil berjemur. Sekitar jam 8 pagi beliau pergi ke kebun di samping rumah dan jam 9 pagi pulang ke rumah terus tiduran. Sekitar setengah jam kemudian ibuku mendengar bapakku mengorok dan ibu berusaha membangunkan bapakku. Tapi saat itu badan bapakku terasa dingin maka ibuku kemudian mengundang mantri kesehatan yang segera datang ke rumah. Meski sudah dilakukan beberapa upaya pertolongan, pada jam 11 pagi, ayahku sudah dipanggil menghadap Illahi.

Satu hal yang terkadang tersisa di hatiku adalah sebersit penyesalan karena ayahku meninggal ketika aku belum bisa membahagiakan beliau. Beliau yang telah bekerja keras membesarkanku dan menyekolahkanku, belum sempat menikmati buah atau hasil kerja kerasnya. Aku yakin beliau melakukan semua itu dengan ikhlas tanpa pamrih, tapi hati kecilku menyesal karena merasa aku belum berbuat sesuatu untuk membahagiakan bapakku. Aku hanya bisa mengirimkan doa untuk bapakku, semoga beliau diampuni segenap dosanya dan diberi limpahan surgawi oleh Illahi....

Wahai Bapakku yang lugu, dengarkanlah bahwa aku sangat mencintaimu ....

No comments: