Saturday, June 25, 2016

MAX HAVELAAR

Oleh Multatuli
Penerbit Narasi
Yogyakarta, 2014
396 halaman
ISBN 979-168-088-4 atau 978-979-168-088-2

Buku ini ditulis oleh Multatuli di Belgia tahun 1859. Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker. Dia adalah anggota Dewan Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda yang ditempatkan di Batavia tahun 1840. Tahun 1842, dia dipindahkan ke Sumatera Barat terus ke Sumatera Utara. Setelah itu dia ditempatkan di Lebak - Banten sebagai Asisten Residen. Cerita ini merupakan novel tetapi didalamnya banyak cerita yang berawal dari kisah nyata yang dibuat fiksi.

Pada saat penjajahan Belanda, pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jendral. Gubernur Jenderal dibantu oleh Residen (seperti kepala provinsi). Dan di bawah Kabupaten terdapat Asisten Residen (Pengawas Tingkat Divisi/Kabupaten). Jabatan Gubernur Jendral, Residen dan Asisten Residen diisi oleh orang-orang Belanda. Di tingkat divisi, Asisten Residen lebih merupakan pengawas karena pimpinan daerahnya biasanya berasal dari bangsawan local  yang bergelar adipati atau sering disebut “Regen”. Di sinilah kecerdikan pemerintah Belanda yang menyadari masyarakat Hindia Belanda adalah paternalistic maka mereka menggunakan pemimpin local sebagai pimpinan daerah dan mereka mengendalikan pemimpin local dengan menggunakan pengawas (Asisten Residen).

Tokoh utama cerita ini yakni Max Havelaar merupakan seorang tokoh idealis, cerdas dan mempunyai empati tinggi terhadap masyarakat di wilayah tugasnya. Sikap empatinya tercermn dengan kehidupannya yang sederhana dan punya banyak hutang demi membantu sahabat atau warga di lingkungannya. Namun sikap idealismenya dirasa mengganggu kedamaian “atasannya” sehingga dia dibuang ke daerah-daerah yang minus dan bergolak seperti Natal – Sumatera Utara dan Lebak – Banten.

Sebagai Asisten Residen di Lebak,  Max Havelaar bertugas untuk mendongkrak pendapatan daerah dari pajak dan hasil bumi, memobilisasi sumberdaya tenaga masyarakat untuk kepentingan penjajah, melindungi masyarakat local dari pemerasan yang dilakukan pejabat local (adipati dan keluarganya) serta mencegah dan mengendalikan pemberontakan di wilayahnya. Selama sebulan bekerja di Lebak, Max dihadapkan pada fakta bahwa kemiskinan penduduk Lebak masih tinggi sehingga pendapatan daerah dari pajak relative kurang memadai.  Fakta lain yang dijumpai adalah penduduk usia produktif di Lebak relative sedikit disbanding divisi lainnya. Dari penyelidikan yang dilakukan, Max menemukan bahwa  adipati dan kroninya seringkali merampas ternak penduduk (missal kerbau) sehingga penduduk tidak bisa mengolah lahannya secara optimal.  Perbuatan lain dari adipati adalah mengerahkan tenaga penduduk untuk mengolah lahan sang adipati, sehingga penduduk tidak cukup punya waktu mengelola lahan pertanian miliknya sendiri.  Tidak adanya ternak untuk mengelola lahan pertanian dan terbatasanya waktu untuk mengelola lahannya sendiri berakibat produksi pertanian mereka rendah produktivitasnya.  Untuk menggenjot pendapatan dari pajak, sang adipati memberikan pajak yang tinggi dan tidak jarang disertai hukuman bagi yang menunggaknya.  Hal inilah yang memicu banyak warga Lebak pindah ke daerah lain yang pemimpin daerahnya relative lebih akomodatif.  Dengan kondisi jumlah warga yang terbatas yang bisa dimobilisasi untuk gotong royong, tidak mengherankan pembangunan infrastruktur seperti jalan menjadi terabaikan.

Menghadapi situasi tersebut, Max melaporkan kepada Residen Banten selaku atasannya.  Namun Residen Banten merasa terusik ketenangan dan prestasinya dengan laporan itu. Residen Banten malah memojokkan Max. Max tidak putus asa  dan melaporkan kasusnya kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Namun Gubernur Jenderal yang berada di ambang pension malah mengacuhkan Max karena laporan Max dianggap berpotensi merusak reputasinya. Max kemudian “dibuang” dan  akan dipindahkan ke Ngawi Jawa Timur. Max yang merasa diperlakukan tidak adil karena tidak diberi kesempatan membeberkan kasus dan melakukan pembelaan diri secara terbuka, secara ksatria kemudian minta dipecat dengan hormat dari jabatannya.

Max yang diberhentikan dengan hormat kemudian melanjutkan perjuanganya melalui tulisan. Dia sadar bahwa selama ini banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Warga Belanda di Eropa, saat itu hanya mendengar cerita manis tentang perlakuan pemerintah Belanda untuk membuat warga Hindia Belanda supaya lebih beradab.  Padahal kenyataannya jauh berbeda  karena pemerintah Belanda di Hindia Belanda  banyak melakukan pembiaran terhadap ulah pejabat pribumi yang menyalahgunakan jabatan untuk merampas harta masyarakat dan menguras tenaga rakyat untuk kepentingan pribadinya.  Tulisan dari Max kemudian memperoleh sambutan yang luar biasa yang menggugah kesadaran warga Belanda di Eropa terhadap sikap perilaku pemerintahnya di negara jajahan.

Secara umum, cerita dalam buku ini cukup menarik walau terkadang ada beberapa bagian yang susah dipahami. Mungkin ini disebabkan factor penterjemahan karya yang sudah seabad lebih sehingga Bahasa Belanda  yang digunakan saat itu berbeda dengan Bahasa Belanda saat ini, selain itu context cerita saat itu juga sudah berbeda sehingga sulit untuk membayangkan context yang ada saat itu.



No comments: