Wednesday, October 26, 2022

 



MASYARAKAT, HUTAN, DAN NEGARA (Setengah Abad Perhutanan Sosial di Indonesia 1970-2020)

Penulis: Hery Santoso dan Edi Purwanto

Penerbit;  Tropenbos Indonesia dan Interlude, Yogyakarta

Tahun 2021

192 halaman

 

Buku setebal 192 halaman ini berkisah tentang sejarah Perhutanan Sosial di Indonesia dan latar belakangnya.  Buku ini dibuka dengan kegagalan model pengelolaan hutan  skala industry di Indonesia saat ini. Pengelolaan Kehutanan konvensional yang cenderung mengutamakan aspek ekonomi telah melupakan aspek ekologi dan aspek sosial. Hal ini berakibat pengelolaan hutan oleh pemegang konsesi kehutanan skala besar (yang didukung oleh Kehutanan akademik) telah menimbulkan deforestasi yang sangat massif dan marginalisasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.  

Di sisi lain, di berbagai daerah sebenarnya terdapat praktik-praktik pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh masyarakat local seperti simpukng di Kalimantan Timur, repong di Lampung, talun di Jawa Barat, wono di Jawa dan lain-lain. Sayangnya konsep-konsep pengelolaan hutan tersebut tidak memperoleh dukungan yang berarti dari pemerintah.

Berkembangnya pendekatan pengelolaan hutan yang lebih memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan mulai tahun 1970an dengan adanya Kongres Kehutanan Sedunia dengan slogan Forest for Social Development, Forest for People dan lain-lain.  Pemerintah Indonesia sendiri mulai mengadopsi konsep tersebut melalui beberapa program pembangunan kehutanan yang melibatkan masyarakat melalui Perum Perhutani di Jawa.  Perhutani antara lain mengembangkan Program Prosperity Approach (1970-1980), Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan/PMDH (1980-1990an), Program Perhutanan Sosial (1990-2000an) dan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (2000an-sekarang). Implementasi program-program tersebut antara lain dilakukan melalui tumpangsari agroforestry di lahan hutan, pengembangan peternakan, pengembangan usaha di luar Kawasan, pengembangan kelembagaan masyarakat dan lain-lain. Penulis buku ini menyoroti bahwa spirit dari program-program tersebut adalah untuk melestarikan hutan dengan cara mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan, sehingga upaya-upaya yang dilakukan tidak banyak menyentuh aspek tenurial.  

Pengalaman saya pribadi sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam Program Perhutanan Sosial/PS (tahun 1991-1998), melihat bahwa dalam program tersebut para pesanggem (penggarap hutan/anggotaKelompok Tani Hutan) menandatangani kontrak sepanjang masa daur tanaman pokok Kehutanan. Namun pola tanam dan jarak tanam sudah diatur dengan ketentuan Perum Perhutani. Demikian pula untuk penentuan jenis tanaman pokok Kehutanan ditentukan oleh Perum Perhutani. Masyarakat mempunyai hak mengusulkan jenis tanaman buah dan tanaman semusim yang akan digunakan dalam agroforestry di kawasan PS, namun keputusan akhir di tangan Perhutani. Pada saat itu, para pesanggem juga memperoleh insentif sarana produksi seperti bibit tanaman semusim, pupuk, upah membuat guludan/terasering di daerah yang berkelerengan dan lain-lain.  Pendampingan dalam pengembangan kelembagaan masyarakat dan pengembangan usaha juga dilakukan melalui penyaluran kredit Uskop (Usaha Kecil dan Koperasi). Secara umum agroforestry di lahan garapan pesanggem akan produktif menghasilkan tanaman semusim hingga tahun ke 3-4. Namun tahun berikutnya produktifitas akan semakin menurun dengan adanya kanopi tanaman pokok kehutanan yang semakin rapat.

Pada tahun 1995, Pemerintah memberikan perhatian untuk Program Perhutanan Sosial dengan mengeluarkan regulasi Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 tentang Hutan Kemasyarakatan. Regulasi ini merupakan buah kerjakeras dari beberapa pemangku kepentingan baik dari Pemerintah, Perhutani, akdemisi dan LSM untuk mempromosikan Community Based Forest Management/CBFM. Program Hutan Kemasyarakatan tersebut smengalami beberapa penyempurnaan dari sisi regulasi, namun penulis tidak banyak mengupas tentang kemajuan program ini.

Pada tahun 2009-2014, Pemerintah mengembangkan program Pemberdayaan Masyarakat  melalui skema Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan Desa/HD, Hutan Tanaman Rakyat/HTR dan Kemitraan. Target yang dicapai adalah 2,5 juta hektar untuk Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Namun realisasi Penetapan Areal Kerja-nya hanya mencapai sekitar 25%, dan Ijin HKm dan HD  hanya sekitar 148.570 hektar. Rendahnya capaian program periode ini disebabkan oleh (1) prosedur birokrasi pengurusan Penetapan Areal Kerja yang rumit dan panjang yang mencapai 26 meja, (2) keterbatasan SDM dari jumlah dan kualitas serta sebaran, (3) keterbatasan anggaran, (4) koordinasi lintas sector dan antara pusat-daerah masih minim.

Pada tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Permen LHK No. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial/PS.  Dalam Program PS ini terdapat 5 skema yakni Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan Desa/HD, Hutan Tanaman Rakyat/HTR,  Kemitraan dan Hutan  Adat.  Dalam RPJMN 2014-2019 dan RPJMN 2019-2024 pemerintah mengalokasikan 5 juta hektar untuk Reforma Agraria dan 12,7 juta hektar  untuk program PS. Sampai tahun 2018, capaian kumulatif Izin  PS hanya mencapai 2,138,139 hektar (16% dari target).

Dari sisi luasan, Program PS menunjukkan peningkatan dari capaian luas ijin yang diterbitkan. PS juga telah berhasil mendorong adanya kolaborasi multipihak seperti Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah, Akademisi dan LSM.  Meski demikian penulis memberi catatan bahwa: (1) manfaat ekonomi dari Ijin PS belum dirasakan secara signifikan oleh masyarakat, (2) PS memperbaiki hubungan masyarakat dengan pemerintah/KLHK dalam mengatasi konflik tenurial. Namun persoalan tenurial yang sudah mulai tertangani belum diikuti dengan fasilitasi pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara produktif, (3) Kelembagaan masyarakat  seperti Kelompok Tani Hutan berkembang dari sisi jumlah. Namun kualitas kelembagaan masyarakat tadi belum cukup solid untuk menopang kegiatan kelompok dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

Untuk mengatasi persoalan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran perbaikan yakni: (1) Mendorong peran aktif birokrasi  Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan PS, (2) Mendorong kerjasama multi sector, (3) mobilisasi sumberdaya manusia  missal penyuluh  dan anggaran yang memadai (4) dukungan skema investasi dan kerjasama di lahan PS, (5) penajaman Peta Indikatif Areal PS/PIAPS dengan memperhatikan kondisi lapangan supaya areal yang dimasukkan dalam PIAPS benar-benar layak secara ekonomis untuk dikelola oleh masyarakat, (6) penyederhanaan tata usaha kayu dari lahan PS, (7) Desentralisasi perijinan PS ke daerah. Dalam  bagian penutup, penulis menekankan Kembali agar para pegiat dan birokrat yang mendukung Program PS untuk menghindarkan simplifikasi dn romantisme masyarakat dalam pelestaran sumberdaya hutan. Adanya pergeseran dari subsistensi ke masyarakat ekonomi uang, harus disikapi dengan upaya fasilitasi Tata Kelola Kelembagaan, Tata Kelola Usaha dan Tata Kelola Kawasan agar  masyarakat dapat mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari dan seoptimal mungkin

Secara umum buku ini mampu memberikan gambaran menyeluruh tentang dinamika Program Perhutanan Sosial di Indonesia, baik dari sisi capaian dan tantangan yang dihadapinya.  Buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca oleh para pegiat atau pemerhati Perhutanan Sosial.

Sebuah senggolan untuk para penulis, mungkin menarik untuk dikaji apakah skema-skema Program PS ini sudah nyambung dengan  aspek sosio kultural dan aspirasi politik warga masyarakat? Apakah skema Hutan Adat yang ada saat ini secara spirit dan filosofis sudah match dengan spirit dan filosofis dari sisi masyarakat adat? Bagaimana dengan skema lain? Ataukah sebenarnya perlu ada perbaikan-perbaikan? Semoga ke depannya akan ada penelitian  dan publikasi  yang lebih detail untuk meneropong dinamika masing-masing skema dari sisi filosofis, kelembagaan sosial, hukum, budaya dan lain-lain.

1 comment:

Sien BumiA3 said...

Tulisan nya Menyegarkan kami pembaca pak, salam Gayus