Saturday, January 06, 2024

Akhir yang tidak selesai; Gelombang Kedatangan Tanaman dan Perubahan Wilayah Pedalaman

 


Akhir yang tidak selesai; Gelombang Kedatangan Tanaman dan Perubahan Wilayah Pedalaman

Hery Santoso

Penerbit Interlude, Yogyakarta 2023

ISBN 978-623-8275-04-5

216 halaman

 

Dalam buku ini mas Hery menuturkan pasang surut komoditi boomcrop. Boomcrop dalam hal ini dimaknai sebagai komoditas yang menimbulkan berbagai kejutan  dalam waktu yang relative singkat, baik berupa lonjakan produksi, yang kemudian diikuti  dengan keuntungan, hingga  gelombang migrasi ke wilayah-wilayah baru utamanya di wilayah pedalaman. Beberapa komoditi yang dibahas antara lain Tembakau, Karet, Kentang, Kopi, Kakao dan Kelapa Sawit.

 

Tembakau (Emas Hijau)

Budidaya tembakau di wilayah Temanggung dan Dieng, dipicu oleh Sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel) sekitar tahun 1870 . Meskipun system tanam paksa dihentikan, masyarakat setempat  masih terus membudidayakan tembakau. Wilayah dataran tinggi merupakan wilayah yang ekosistemnya unik sehingga komoditi yang sesuai untuk wilayah dataran tinggi relative sangat terbatas. Keterbatasan komoditi ini membuat mereka hanya mempunyai pilihan terbatas sebagai sumber penghidupan, sehingga daerah dataran tinggi sering dikonotasikan sebagai daerah yang miskin. Oleh karena itu ketika tembakau diintroduksi di sana dan cocok dibudidayakan, tembakau menjadi salah satu harapan bagi masyarakat untuk memperbaiki kondisi ekonominya. Meskipun budidaya tembakau membutuhkan external input  tinggi termasuk dari curah tenaga kerja, tembakau juga menjanjikan keuntungan yang luar biasa. Penerimaan masyarakat yang sangat positif terhadap tembakau kemudian melebur ke mitos dan ritual-ritual masyarakat terkait dengan tembakau.

Pada awalnya tembakau seringh dikombinasikan dengan jagung sebagai makanan pokok, kacang-kacangan untuk penyubur tanah dan ternak untuk sumber tenaga kerja dan pupuk. Kombinasi tersebut menciptakan ekologi yang seimbang. Perpaduan yang menguntungkan tersebut juga didukung oleh adanya migrasi penduduk  ke daerah dataran tinggi. Namun karena pertimbangan efisiensi dan mencari untung yang lebih besar, lama kelamaan banyak petani tembakau meninggalkan konsep tersebut. Mereka lebih banyak melakukan budidaya tembakau secara monokultur. Dengan sistem monokultur ini unsur hara tergerus dan  mereka membutuhkan input yang disupply dari pupuk dan obat-obatan pabrik. Input-input tersebut relatif mahal sehingga petani banyak yang memanfaatkan jasa Lembaga keuangan formal maupun informal. Kerusakan ekologis yang mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap input dari luar serta margin keuntungan yang semakin menipis membuat budidaya tembakau di beberapa daerah menjadi surut dan beralih ke komoditas lain.

 

Karet (emas putih)

Pada awal abad 19-20, karet bersama tembakau menjadi komoditas yang menjanjikan di Deli-Sumatera Utara. Berbagai komoditas perkebunan seperti karet, teh, dan tembakau diproduksi  oleh Kongsi dagang internasional dari Belanda, Inggris, Perancis dan Amerika. Praktik Perkebunan di Pantai Timur Sumatera ini menghidupkan adanya praktik perbudakan dengana adanya kuli kontrak dari Jawa dan Cina. Ribuan perempuan juga didatangkan dari Jawa untuk menyediakan layanan seks untuk para pekerja perkebunan. Komoditi karet yang dihasilkan dari Perkebunan tersebut sebagian besar dikirim ke Amerika.

Penyebaran varietas baru karet Brazil yang sangat pesat mengakibatkan penguasaan lahan oleh masyarakat semakin terdesak. Meskipun di lahan perusahaan, tersedia sistem jalur untuk memberi kesempatan budidaya tanaman pangan, namun dirasa tidak mencukupi. Masyarakat local kemudian mensiasatinya dengan mengembangkan  kebun karet rakyat dengan perladangan gilir balik dengan pola agroforestry tanaman karet dengan padi ladang, tanaman buah, rotan dan lain-lain.  Pengembangan agroforestry tersebut ditengarai lebih merupakan pilihan rasional untuk maksimalisasi keuntungan dan bukan pertimbangan kelestarian ekologi semata. Pengembangan agroforestry tersebut lebih merupakan agroekosistem ekstensif yang dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dari sisi tenaga kerja dan kesuburan tanah. Pengembangan budidaya karet di Sumatera ini kahirnya membawa banyak perubahan sosial dan ekonomi dari sisi tenurial yang mengarah ke individual, munculnyasistem tenaga kerja upahan dan lain-lain.

Di Kalimantan, sebagian masyarakat  telah mengambil karet alam  seperti Willunghbeia sp,  gutta percha dari Nyatoh (Palaquium sp) dan getah jelutong (Dyera costulanta).  Saat itu mereka hanya mengambil dari alam sehingga sering menghadapi ancaman Binatang buas maupun perebutan areal antar suku. Adanya introduksi budidaya karet varietas baru , membuat Masyarakat Dayak kemudian mengembangkan pertanian semi menetap. Meski demikian pengembangan budidaya karet di Kalimantan tidak cukup merata karena adanya komoditas lain yang berniali ekonomi tinggi seperti lada dan rotan.

Karet mengalami booming pada tahun 1920, namun kemudian merosot di tahun 1930. Pada saat itu kebutuhan pasar yang tinggi, kondisi geografis dan klimatologis yang mendukung budidaya karet, ketersediaan tenaga kerja serta aspek historis masyarakat yang sudah mengenal karet alam, membuat perkembangan budidaya karet melonjak pesat. Saat ini karetpun masih menjadi komoditas penting untuk sokoguru ekonomi local jutaan petani, penyerapan tenaga kerja dan devisa negara. Pada tahun 2016, karet berkontribusi sekitar 25-40%  dari total ekspor subsector perkebunan. Perkebunan karet rakyat mencapai 85% dari total area kebun karet nasional yang mencapai 3,5 juta hektar. Sedangkand ari sisi produksi, karet rakyat mencapai 76% dari total produksi karet nasional. Dari sisi ekonomi rumah tangga, di beberapa daerah seperti di Bungo – Jambi, 70% pendapatan rumah tangga berasal dari karet. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan karet rakyat ini adalah banyak agroforestry karet sudah tua dan tidak produktif lagi sehingga perlu dicarikan jalan pemecahannya.

 

Kentang

Di lereng atas Daerah Dataran Tinggi Dieng merupakan daerah yang terbelakang karena kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya yang terbatas. Lokasi yang tinggi mengakibatkan budidaya pertanian menjadi terbatas. Sebelum tahun 1970-an mereka menanam jangung dan tembakau. Kondisi kemudian membaik di tahun 1970 ketika sayuran kubis/kol dibudidayakan dan masyarakat lereng atas mendapatkan keuntungan dari budidaya sayuran tersebut.

Kondisi tersebut semakin berkembang dengan dibudidayakannya tanaman kentang Granola pada tahun 1980-1990 an yang hanya bisa tumbuh di atas ketinggian 1800 dpl. Meskipun budidaya kentang membutuhkan input eksternal yang tinggi, namun itu tidak terlalu menjadi masalah bagi masyarakat karena di lingkungannya terdapat Lembaga keuangan formal dan informal yang menyediakan pinjaman modal. Booming kentang ini menyebabkan desa-desa lereng atas yang semula dianggap miskin dan terbelakang menjadi desa yang makmur. Pembangunan kampung seperti tempat ibadah (masjid dan mushola), ritual keagamaan, pesta kembang api, Pendidikan anak semakin berkembang. Kehidupan sosialpun cenderung makin individualis  dan terjadi pengelompokan antar keluarga berdasar alur darah keturunan (sistem bani/trah).  

Untuk maksimalisasi keuntungan, masyarakat petani kentang menggenjot produksi dengan mengelola lahan tanpa jeda (panen 3 kali setahun). Mereka mengatasi kebutuhan nutrisi tanah dengan memanfaatkan pupuk dan obat-obatan pabrik. Selain itu mereka melakukan ekstensifikasi  perluasan lahan kentang dengan merambah hutan dan Kawasan cagar budaya. Untuk mengatasi kebutuhan tenaga kerja, petani di lereng atas kemudian menerapkan sistem upahan dengan mendatangkan pekerja dari desa di lereng bawah. Akibat eksploitasi lahan yang berlebihan, kejayaan kentang hanya bertahan 2-3 dekade saja. Nutrisi lahan semakin habis sehingga terjadi ketergantungan yang semakin tinggi terhadap pupuk pabrik. Selain itu muncul berbagai penyakit tanaman yang sulit diobati. Ekosistem lereng atas yang rentan, menjadi tergerus oleh pertanian kentang yang eksploitatif.  Erosi pun semakin meningkat. Kondisi tersebut berakibat pada produktifitas yang menurun, dan margin keuntungan yang semakin menipis. Semua itu berujung pada kebangkrutan sebagian petani yang tidak mampu mengembalikan pinjaman modal kepada lembaga keuangan yang menjadi kreditornya.

 

Kopi (Emas Hitam)

Pada tahun 1700an, Masyarakat Priangan mulai membudidayakan kopi yang dirasa prospektif. Masyarakat berani menempuh resiko membudidayakan kopi untuk menggantikan komoditas konvensional yang mereka budidayakan sebelumnya. Secara perlahan kemakmuran mereka meningkat walaupun tidak sepenuhnya berhasil menghapus kemiskinan. Pemerintah colonial yang melihat kopi sebagai komoditi yang menguntungkan kemudian memaksakan monopoli dan membeli harga kopi dengan sangat murah. Masyarakat kemudian melakukan perlawanan dengan menjual kopi mereka ke pedagang Cina.

Kopi bagi Masyarakat Gayo Aceh merupakan komoditi yang melegenda, meski mereka mengadopsi kopi  setelah kopi mengalami kejayaan di Priangan satu abad sebelumya. Kopi   telah mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan religi masyarakat. Kontribusi kopi terhadap pendapatan ekonomi rumah tangga di Gayo, sangatlah signifikan. Biaya produksi kopi yang cukup mahal, tidaklah menjadi penghalang untuk petani membudidayakan kopi karena berbagai Lembaga permodalan tersedia di lingkungannya. Walau perlu diakui bahwa tidak selamanya kopi menghasilkan kisah manis, karena terdapat kepedihan seperti kemiskinan yang tak kunjung usai, renternir yang merajalela dan resiko-resiko yang selalu mengintai. Meski demikian budidaya kopi menjadi salah satu pilihan yang terus dilakukan masyarakat paska perkebunan kopi oleh kongsi pemerintah colonial berakhir.

Di daerah lain seperti Pegunungan Tengger, sejak perluasan tanam paksa, adopsi tanaman kopi juga sangat massif. Kopi yang semula ditanam sebagai tanaman pagar, dikembangkan memenuhi petak-petak pertanian lahan kering Masyarakat. Sekitar tahun 1840 diperkirakan sekitar 400.000-500.000 keluarga terlibat dalam budidaya kopi. Lahan-lahan tidur atau sebagian Kawasan hutan disulap menjadi kebun kopi.

Kopi sebagai emas hitam yang bernilai tinggi, membuat pemerintah colonial melakukan control secara ketat seperti dalam bentuk monopoli, control harga dan lain-lain. Masyarakat disuruh menanam kopi di kebunnya untuk kepentingan pemerintah colonial. Akibat tekanan ini lahan produksi pangan masyarakat menjadi terbengkelai sehingga muncul kondisi rawan pangan. Masyarakat juga kehilangan kesempatan untuk budidaya tanaman komersial lain yang potensial menjadi alternatif tambahan pendapatan mereka. Walau kopi menguntungkan, namun keuntungan itu hanya dinikmati pemerintah colonial dan masyarakatnya malah miskin. Bahkan secara ekstrim dikatakan Masyarakat yang menanam kopi tidak bisa menikmati kopi yang ditanamnya karena semua disetorkan ke Kongsi pemerintah. Tradisi minum seduhan daun kopi, kopi luwak dan kopi jagung, merupakan sebuah bentuk kemiskinan karena mereka tidak bisa menikmati kopi berkualitas yang dihasilkan di kebunnya. Mereka hanya bisa memanfaatkan sisa-sisa kopi yang tidak lolos seleksi oleh Kongsi pemerintah. Kuatnya control dan intervensi pemerintah colonial dalam budidaya kopi di waktu lalu, mengakibatkan tidak muncul pengusaha pribumi yang tangguh. Karena penikmat utama keuntungan bisnis kopi adalah pemerintah colonial.

Tanam paksa kopi dihapus 1908. Di dataran Tinggi Kerinci-Sumatera, produksi kopi meningkat  sepuluh kali lipat antara tahun 1923-1926. Hal ini menunjukkan Masyarakat mempunyai rasionalitas sendiri dalam budidaya kopi. Ketika mereka melihat kopi menguntungkan dan membawa kemakmuran, mereka akan membudidayakannya walau investasi cukup besar dan demikian pula dengan resikonya. Walaupun daya dukung lingkungan menurun dan muncul penyakit tanaman baru yang mengakibatkan kejatuhan produksi kopi, namun Sebagian petani kelas menengah nampaknya tetap bertahan dengan kopi. Apalagi ditemukan beberapa varietas kopi baru yang dianggap menjanjikan. Untuk maksimalisasi keuntungan, petani menemukan langkah-langkah adaptif. Misalnya untuk mengurangi resiko cuaca yang tidak menentu, mereka biasa melakukan panen ketika biji masih hijau. Untuk mengatasi pencurian kopi, mereka membuat kamuflase dengan membiarkan kebun kopi mereka seperti hutan belukar.

Padsa saat ini, minum kopi sudah menjadi gaya hidup. Produksi kopi pun lebih berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Selama lima tahun terakhir, produksi kopi berkisar 600.000 ton pertahun. Kopi telah berhasil memberikan kontribusi signifikan bagi Sebagian petani kopi. Meski demikian terdapat sejumlag tantangan yang diohadapi petani kopi seperti produktivitas yang rendah, margin keuntungan tipis, ketidakberdayaan dalam mobilisasi factor produksi, lemahnya posisi tawar,dan  tuntutan standar kualitas yang semakin meningkat.

Sebuah pembelajaran dari kasus kopi ini adalah di daerah pedalaman yang jarang terjangkau oleh kehadiran negara, peranan pasar ternyata bisa sangat menentukan dalam mendorong dinamika Masyarakat. Petani yang kelihatanya bernalar pikir sederhana, mempunyai rasionalitas dan keberanian tersendiri Ketika menghadapi tantangan masa depan dan kemakmuran keluarganya.

 

Kakao (Emas Coklat)

Kakao merupakan salah satu komoditi di Sulawesi yang sudah diproduksi sejak jaman colonial. Kakao pernah mengalami booming pada tahun 1820-1880 meski dalam skala relative kecil. Kakao saat itu dijadikan sebagai komoditi cadangan yang bisa menggantikan komoditi lain (misal teh, kopi, karet) ketika komoditi lain tersebut mengalami kemunduran. Kakao kemudian dikembangkan secara massif oleh pemerintah colonial Ketika pasar internasional minuman coklat semakin meningkat. Mulai abad 19, kakao telah diekspor dari Sulawesi ke Filipina. Ekspor tersebut terhenti di tahun 1928 ketika produksi kakao merosot. Ekspansi kakao kemudian merambah Ambon dan Jawa. Meski demikian Suklawesi tetap dianggap penting karena menjadi sentra kakao tertua di Indonesia. Kemerosotan produksi kakao tersebut antara lain disebabkan oleh kemunduran ekosistem penopangnya, serta hama dan penyakit tanaman. 

Booming kakao Kembali terjadi tahun 1980an Ketika pasokan kakao dunia terhambat karena serangan hama kakao di Pantai Gading dan Ghana. Kakao di Sulawesi yang selama setengah abad mati suri, kembali menggeliat dengan peluang pasar itu. Banyak orang Bugis dari dataran rendah migrasi ke dataran tinggi di Napu dan Kulawi (Sulawesi Tengah) untuk membuka lahan kakao baru yang dikelola secara mandiri. Kakao dipandang sebagai komoditi yang menjanjikan kemakmuran dibanding tembakau dan bawang yang selama ini menopang kehidupan Masyarakat di sana.

Anatara decade 1980-1990an  produksi kakao meningkat signifikan dan Indonesia menjadi penghasil kakao ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Lonjakan produksi ini dilakukan oleh petani kakao (bukan Perusahaan) di Sulawesi. Di tahun 2004, total pengapalan kakao dari pelabuhan Makassar mencapai 200.000 ton (produksi tahunan nasional sekitar 309.000 ton).

Booming kakao di atas antara lain dipengaruhi oleh: (1) tersedianya lahan yang luas dan cenderung masih subur dan segar, (2) tersedianya tenaga kerja melimpah seperti migran Bugis, (3) tersedianya pengetahuan tentyang teknik budidaya dan pasar kakao, (4) terbukanya pasar dunia akibat penurunan produksi di Pantai Gading dan Ghana, (5) jaringan infrastruktur yang memadai, (6) merosotnya nilai rupiah terhadap dollar sehingga komoditi ekspor diuntungkan. Booming kakao yang menghipnotis banyak orang, memang memberikan peningkatan kemakmuran bagi sebagian petani. Namun di sisi lain, booming kakao tersebut juga disertai dengan kebutuhan lahan yang meningkat. Untuk mengatasi kebutuhan lahan tersebut, sebagian masyarakat memanfaatkan lahan hutan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Selain dampak negative perambahan hutan, hal lain yang perlu diantisipasi adalah politik identitas karena ada pandangan stereotype (yang belum tentu benar) bahwa yang mendapatkan keuntungan dari booming kakao adalah pendatang (seperti orang Bugis) dan bukan penduduk asli setempat.

Saat ini kakao Kembali mengalami penurunan produksi.Satu hektar kebun kakao yang semula bisa menghasilkan 700 kg kakao, saat ini hanya bisa menghasilkan separuhnya. Seperti apakah strategi untuk bertahan hidup ke depan? Kembali ke jagung dan buah-buahan? Ataukah beralih ke sawit?

 

Kelapa Sawit

Budidaya sawit di Pantai Timur Sumatera dimulai tahun 1911 seluar 2.630 hektar yang kemudian berkembang menjadi 2.715 hektar (tahun 1915), 6.916 hektar (tahun 1922) 31.600 hektar (tahun 1925), 90.000 hektar (tahun 1938) dan 100.000 hektar  (tahun 1939). Budidaya sawit tersebut dilakukan melalui Perusahaan Perkebunan.

Selama tiga decade terakhir, animo masyarakat untuk terlibat dalam produksi sawit  terjadi hamper secara merata di Sumatera, Kalimantan Sulawesi bahkan Papua. Mereka seolah berkompetisi dengan Perusahaan yang terus berekspansi ke berbagai wilayah penjuru tanah air. Nilai ekonomis sawit dipandang sangat menjanjikan sehingga sebagian petani rela menggantikan komoditi karet dan lainnya dengan sawit. Ekspansi ini cukup massif, dimana di tahun 1968 luas kebun sawit nasional hanya 119.660 hektar. Namun di tahun 2015 luas kebun sawit nasional telah mencapai 11.445.808 hektar. Dari luasan 11,4 juta hektar tersebut 41% merupakan kebun sawit rakyat. Ekspansi ini antara lain dipengaruhi oleh keuntungan yang menjanjikan, promosi Pembangunan pemerintah dan peluang pasar lemak nabati di Tingkat global. Ekspansi ini juga membawa perubahan sosial dari Masyarakat yang subsisten menjadi Masyarakat konsumsi. Selain itu terkadi perubahan agroekosistem heterogen yang stabil (karet, kakao, kopi, lada dll) menjadi ekosistem homogen yang tidak stabil (sawit).

Budidaya sawit oleh pemerintah Indonesia dan Bank Dunia dimulai sejak tahun 1970an melalui Perkebunan Inti Rakyat. Pekebun diorganisir dan dicangkokkan ke Perusahaan. Selain itu terdapat proyek OPHIR  yang merupakan Kerjasama pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jerman yang mencangkokkan 2.400 petani local (termasuk purnawirawan) dengan luasan kebun 5.903 hektar ke Perusahaan negara PTPN VI di Sumatera Barat. Konsep ini kemudian menjadi cikal bakal program inti plasma.

Di tingkat petani sawit sendiri, dapat dikategorikan menjadi petani swadaya local yang independent, petani plasma local yang terikat Perusahaan dan petani kapitalis   yang didominasi para migran dan spekulan tanah  dan sudah bersandar pada prinsip akumulasi kapital. Diantara ketiga petani tersebut petani swadaya merupakan petani yang paling marginal  karena akses terhadap factor produksi lemah yang berakibat pada rendahnya produktivitas mereka. Lahan yang dikelola petani swadaya seringkali tidak mempunyai status yang jelas atau bahkan illegal sehingga mereka tidak bisa mengakses berbagai layanan produksi yang disediakan pemerintah termasuk peremajaan sawit, standarisasi Perkebunan berkelanjutan.

Di tahun 2018, luas kebun sawit nasional diperkirakan 14,3 juta hektar dan 5,7 juta hektar (40%) diantaranya merupakan kebun sawit rakyat. Namun produktifitas sawit rakyat tersebut hanya 50% lebih rendah dari produktivitas sawit milik Perkebunan swasta. Diantara 5,7 juta hektar sawit rakyat, 1,96 juta hektar merupakan sawit milik petani swadaya. Dari sisi produksi,  sawit rakyat menghasilkan 16,8 juta ton (35%) dari total produksi nasional 48,68 ton. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sawit Perusahaan menyerap 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Sedangkan sawit rakyat menyerap tenaga kerja 4,6 juta orang.

Isu lahan merupakan isu krusial dalam budidaya sawit ini. Karena keterbatasan lahan, tidak jarang petani mengembangkan budidaya sawit di Kawasan hutan.  Terhadap lahan yang di luar Kawasan hutanpun mereka seringkali tidak didukung dengan bukti kepemilikan yang sah seperti sertifikat. Surat yang dimiliki paling hanya berupa Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan otoritas desa. Para migran dan investor seringkali membeli lahan dari penduduk local, dan penduduk local menggunakan uang hasil penjualan untuk berinvestasi di lahan baru mereka. Karena penguasaan lahan didasarkan mekanisme pasar maka para pekebun yang mempunyai akses permodalan kuat bisa memiliki kebun sawit puluhan bahkan ratusan hektar. Sedangkan pekebun yang tidak punya akses modal hanya memiliki kebun 1-2 hektar saja. Dengan basis mekanisme pasar pula, banyak orang kota termasuk pejabat local yang memiliki kebun2 sawit di pedalaman yang dikelola oleh tenaga kerja setempat. Status tanah yang illegal ini menjadi semakin pelik ketika si pemilik berhadapan dengan penegak hukum (missal Instansi Kehutanan) dan disaat yang sama dia harus membayar hutang ke Lembaga penyedia modal.

Sawit merupakan tanaman yang cepat rusak dan harus segera diolah. Dalam tempo 3 hari setelah dipanen, sawit harus diolah di pabrik. Untuk minimalisasi resiko tersebut, Sebagian petani yang jauh dari pabrik pengolahan mengembangkan inovasi dengan mengembangkan kebun sawit campuran missal dengan karet. Harapannya, mereka mempunyai Cadangan income bila sawit gagal panen atau harganya jatuh.  

Sawit memang kontroversial. Dari sisi ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa sawit telah memberikan alternatif pendapatan bagi negara dan juga petani. Namun dari sisi ekologi, dan praktik budidaya selama ini muncul berbagai dampak yang perlu diwaspadai.

 

-----------------------------

Dalam buku ini, Mas Hery sebagai aktivis bidang lingkungan mencoba  menggali fenomena boomcorp dengan menggunakan pendekatan anthropologis. Beliau tidak menggunakan pendekatan romantisme terhadap kehidupan pedesaan yang penuh harmoni. Namun menggunakan pendekatan emic yang melihat fenomena dari sudut orang dalam (petani) ketika mereka mengadopsi sebuah komoditi. Dari pengamatannya, disimpulkan bahwa petani di pedalaman adalah orang-orang yang rasional dalam memilih komoditi yang akan dibudidayakan. Petani akan memilih komoditi yang paling menguntungkan secara ekonomis karena dinamika lingkungannya yang semakin berorientasi pada masyarakat konsumtif. Secara alamiah para petani pedalaman juga ingin hidup makmur, seperti warga Masyarakat di daerah lain atau berprofesi lain. Bahkan mereka berani mengambil resiko tertentu terkait pilihannya tersebut. Secara implisit, pertimbangan ekologis nampaknya bukan menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan suatu komoditi.

Petani pekebun di pedalaman juga memiliki karakter inovatif dalam mensiasati tantangan dan hambatan yang ada. Upaya maksimalisasi keuntungan sering melahirkan gagasan-gagasan yang win-win solution dari sisi ekonomi maupun ekologi. Seperti kebun campuran, dari sisi ekonomi bermanfaat untuk penganeka ragaman pendapatan, tetapi dari sisi ekologi ternyata bermanfaat untuk menjaga biodiversity termasuk  mencegah serangan hama yang massif.

Akses lahan, akses permodalan, peluang pasar, infrastruktur pendukung, tenaga kerja dan pengetahuan teknis dan pengetahuan tentang pasar, menjadi factor penting dalam pemilihan komoditi boomcorp oleh para petani. Hal itu pula yang menjadi salah satu kunci perkebunan rakyat menjadi eksis walaupun banyak budidaya boomcrop dulu diinisiasi oleh Perusahaan/Kongsi dagang.

Komoditi boomcorp mengalami pasang surut, kejayaan dan kemunduran. Negara seringkali terlambat hadir di daerah pedalaman. Kehadiran negara seringkali digantikan oleh pasar, dan disinilah pergumulan sering terjadi. Petani-petani kecil dengan aksesnya yang terbatas seringkali tidak bisa memanfaatkan peluang dan layanan yang tersedia, sehingga produktivitasnya rendah. Itu mengapa boomcrop menguntungkan bagi sebagian orang tapi belum bisa menghapus kemiskinan yang ada.

 

 

No comments: