Monday, February 12, 2024

BIOGRAFI GUS DUR

 


BIOGRAFI GUS DUR

The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid

Penulis: Greg Barton

Penerbit LKiS, Yogyakarta 2003

ISBN 979-3381-25-6

516 halaman

 

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Gus Dur  berasal dari keluarga musim tradisional yang identic dengan pesantren. Beliau merupakan anak dari tokoh nasional Kiai Wahid Hasyim dan merupakan cucu Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri organisasi muslim terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama/NU).

Gus Dur dibesarkan di Jakarta. Setelah ayahnya meninggal tahun 1953 dan dia lulus Sekolah Menengah Ekonomi Pertama sambil mondok di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Selanjutnya beliau mondok di Pesantren Tegalrejo-Magelang, Pesantren Denanyar-Jombang dan Pesantren Tambakberas-Jombang. Selama masa sekolah, Gus Dur merupakan kutu buku yang sangat rajin membaca termasuk buku-buku Barat,  suka menonton film dan suka menonton sepakbola. Beliau juga mulai menunjukkan ketertarikan terhadap mistik dan sufisme Islam dengan suka berziarah ke makam-makam keramat.

Sekitar tahun 1964, Gus Dur mendaftar di Universitas Al Azhar, Kairo – Mesir. Karena tidak puas dengan pembelajaran di Universitas Kairo, Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku, nonton sepakbola dan nonton film bioskop. Karena sering bolos kuliah dan pikirannya yang terganggu peristiwa pemberontakan G30S/PKI, dia tidak lulus beberapa mata kuliah dan beasiswanya dihentikan.

Gus Dur di tahun 1966 kemudian pindah kuliah di Universitas Baghdad di Irak. Di universitas Baghdad ini Gus Dur menemukan tempat belajar yang dia inginkan sehingga beliau giat belajar, rajin berdiskusi, dan rajin menulis. Gus Dur juga mengasah ketrampilan berbahasa asing sehingga beliau bisa menguasai Bahasa Inggris, Arab dan Perancis.  Pada tahun 1968, Gus Dur menikahi Nuriyah walaupun hubungan mereka bersifat Long Distance Relationship/LDR.

Pada tahun 1970, Gus Dur lulus dari Universitas Baghdad. Beliau kemudian mengajak Nuriyah pergi ke Eropa untuk mencari peluang studi di Eropa. Namun upayanya gagal dan mereka kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.  Pulang di Indonesia Gus Dur menunjukkan ketertarikan terhadap upaya pemberdayaan masyarakat dan bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM. Beliau tinggal di Jombang untuk mengajar di Pesantren Tambakberas namun sering ke Jakarta karena beliau  bekerja paruh waktu dengan LP3ES yang menerbitkan jurnal sosial “PRISMA” yang merupakan salah satu jurnal berkualitas di Indonesia. Beliau saat itu mulai rajin menulis berbagi analisis sosial di jurnal PRISMA dan majalah Tempo.

Di sekitar tahun 1978, Gus Dur mulai bergabung menjadi Dewan Syuriah NU dan mulai tinggal menetap di Jakarta Bersama keluarganya yang sudah dikaruniai 3 orang anak putri. Di tahun 1978 ini parpol PPP yang menjadi tempat bernaung NU, memilih J. Naro sebagai Ketua. Naiknya Naro sebagai Ketua PPP diikuti dengan marginalisasi NU di PPP.  Marginalisasi NU ini membawa perpecahan dalam tubuh NU, karena banyak kiai berpengaruh tidak puas dengan kinerja Idham Chalid yang merupakan Pengurus NU untuk sayap politik. Sehingga muncul Gerakan untuk mengembalikan NU ke Khittah 1926 dimana NU akan focus pada kegiatan sosial ekonomi dan tidak merambah dunia politik praktis. NU yang merupakan organisasi Islam moderat, kemudian menerima asas Tunggal Pancasila sebagai Upaya untuk menjaga keutuhan NKRI.

Kiprah Gus Dur di organisasi NU membuat namanya  semakin popular, apalagi pemikiran-pemikirannya bernas. Dia juga berkenalan dengan LB Moerdani, pimpinan intelijen yang menyediakan berbagai informasi rahasia terkait pergerakan politik termasuk Gerakan Islam Radikal. Di akhir tahun 1984, beliau terpilih sebagai Ketua PB NU dalam Muktamar di Situbondo. Terpilihnya beliau juga diterima baik oleh Presiden Soeharto, penguasa saat itu. Gus Dur membawa pembaharuan di NU dengan mengembangkan pemikiran kritis kepada lingkungan di sekitarnya. Banyak diskusi-diskusi terbuka dilakukan untuk membuka pemikiran-pemikiran baru termasuk dialog antar iman. Bulan madu dengan Soeharto tidak berjalan lama karena mulai 1987, Gus Dur sering mengkritisi kebijakan Soeharto secara terbuka. Gus Dur kemudian terpilih kembali sebagai Ketua PB NU pada Muktamar 1989. Soeharto Kembali mendukung Gus Dur karena menyadari anggota NU yang sangat besar merupakan kekuatan politik yang akan bermanfaat bagi Soeharto.

Pada akhir tahun 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) terbentuk dipimpin oleh BJ Habibie. Meskipun bersifat organisasi cendekiawan, namun ICMI tidak bisa dipungkiri juga mempunyai tujuan politik.  Gus Dur melihat ICMI bersifat sekatrian sehingga tidak mau bergabung dan lebih suka mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) yang anggotanya pluralis. Selama memimpin NU dan Fordem ini Gus Dur menerima banyak tekanan politik dan intimidasi dari Soeharto, politisi maupun militer yang pro Soeharto. Meski demikian pesona Gus Dur masih cukup kuat bagi public NU sehingga beliau terpilih Kembali dalam Muktamar 1994 di Cipasung Tasikmalaya.

Mulai tahun 1995, Gus Dur mulai berjejaring dengan  Megawati yang menjadi Ketua Partai PDIP. Mereka berdua bersama Amin Rais dan Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh sentral Gerakan Reformasi yang melengserkan Soeharto tahun 1998. Gus Dur kemudian mendirikan Partai kebangkitan Bangsa yang menjadi perahu politik dan berhasil menduduki jabatan presiden Republik Indonesia ke 4. Gus Dur terpilih menjadi Presiden dalam pemilihan oleh anggota DPR tahun 1999, sedang Megawati terpilih sebagai wakil presiden.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, selain pemulihan kondisi ekonomi, pemerintah juga dihadapkan dengan isu separatism di Aceh dan Papua, perlawanan kroni Soeharto, Gerakan Islam Radikal, Militer “Hijau”, konflik horizontal seperti di Poso, Maluku dan berbagai tekanan internasional. Kondisi Gus Dur yang kondisi fisiknya menurun serta gaya manajemennya yang sembrono membuat beliau tidak bisa bekerja dengan optimal. Beberapa hal lain yang menghambat kinerja beliau adalah:

  1. Harapan publik yang terlalu besar agar Gus Dur bisa memcahkan semua masalah dalam waktu pendek.
  2. Lawan-lawan yang kuat seperti kroni Suharto, koruptor, militer, radikalis.
  3. Masyarakat sipil yang lemah untuk jadi partner membangun
  4. Pers yang dipengaruhi oleh politik karena dimiliki oleh sejumlah politisi
  5. Kekurangan modal politik atau partai pendukung sehingga mudah digoyang oleh lawan politik
  6. Gerakan reformasi yang terbelah midalnya perpecahan dengan Megawati dan Amin Rais
  7. Kaum Islamis modern cenderung menjadi ujung tombak bagi kaum oposisi untuk menyerang Gus Dur
  8. Tidak adanya konstitusi yang demokratik sehingga DPR begitu super power
  9. Sikap aparatur negara yang memusuhi pemerintahan Gus Dur karena tidak banyak benefit mereka terima dari pemerintahan Gus Dur
  10.  Sistem Hukum yang tidak berfungsi dengan baik (hakim korup dll)
  11. Negara rente yang bekerjasama dengan kejahatan yang terorganisir
  12.  Pembangkangan oleh militer


Gus Dur yang merupakan tokoh nasional yang berpemikiran cemerlang, pluralis, inklusif, sosialis/berpihak ke umat, suka guyon,  tulus, liberal dan smart, ternyata tidak mampu bertahan menghadapi tekanan dan keroyokan para politikus opportunis di DPR. Beliau harus mundur dari jabatannya di tahun 2001. Meski demikian di belakang hari banyak orang kemudian menyadari bahwa Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang unik namun berperan besar meletakkan pondasi demokrasi di Indonesia. Sampai-sampai di saat Pemilu, banyak calon presiden  atau calon legislative yang menjual nama besar Gus Dur untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih.

 

 

 

 

No comments: