Sunday, August 11, 2024

Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan, dan Negara di Indonesia


 

 

"Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan, dan Negara di Indonesia"

Penulis Dr. Susetiawan

Penerbit Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2000

ISBN 979-9289-49-1

345 halaman

 

Buku Konflik Sosial ini merupakan hasil penelitian tahun 1992-1993 yang menjadi disertasi Pak Susetiawan (Dosen Jurusan Ilmu Sosiatri – FISIPOL UGM) sewaktu menempuh studi doctor di Universitas Bielefeld – Jerman. Penelitian itu berkaitan dengan dinamika hubungan antara buruh, perusahaan, dan negara dalam konteks hubungan industrial di 2 perusahaan tekstil di Yogyakarta. Titik penelitian ini adalah dampak kebudayaan dan nilai-nilai tradisional  terhadap hubungan industrial serta dampak hubungan industrial terhadap perilaku para buruh di tempat kerja.

Harmoni merupakan salah satu nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa. Hal ini yang kemudian dijadikan salah satu dasar dalam pengaturan hubungan industrial di Indonesia di jaman Orde Baru. Pemerintah melalui berbagai kebijakan berusaha mendorong iklim usaha yang kondusif dan harmonis agar industri bisa berkembang sehingga bisa menciptakan lapangan kerja, memberikan pendapatan untuk negara serta memberikan berbagai multiplier effect positif lainnya.

Untuk menciptakan iklim usaha kondusif tersebut, pemerintah Orba berusaha mengendalikan Gerakan kaum buruh dengan adanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang menjadi wadah advokasi gerakan buruh di Indonesia. SPSI sendiri dalam kenyataannya tidak bisa terlalu banyak melakukan advokasi bagi kaum buruh karena posisinya yang di-kooptasi oleh Pemerintah. Dalam banyak kasus perburuhan, Pemerintah Orba yang seharusnya bertindak sebagai mediator seringkali cenderung lebih memihak kepada kaum pengusaha daripada buruh sehingga memperlebar jurang ketidak adilan sosial tersebut. Berbagai tindak intimidasi dan kekerasan dialami oleh kaum buruh yang lantang memperjuangkan nasibnya.

Di tingkat Perusahaan, manajemen perusahaan tekstil yang padat karya menggunakan konsep “harmoni” untuk mengontrol para buruh. Manajemen perusahaan biasanya merekrut karyawan baru melalui “getok tular” atau dari mulut ke mulut oleh internal karyawan perusahaan. Rekrutmen semacam ini diharapkan dapat dengan mudah memilih orang-orang yang mempunyai  semangat kerja tinggi, loyal dan patuh terhadap perintah atasan. Selain itu rekrutmen ini juga merupakan cara ampuh untuk mengontrol buruh karena si pemberi rekomendasi secara moral nanti harus ikut mengontrol karyawan baru yang direkomendasikannya. Cara control lain terhadap buruh adalah melalui struktur kerja yang hirarkhis dengan pengawasan oleh coordinator atau mandor.

Nilai lain yang dikembangkan oleh manajemen Perusahaan adalah “saling tolong menolong”. Perusahaan mengharapkan mereka bisa membangtu memberi perkerjaan kepada para buruh, namun sebaliknya mereka berharap buruh juga menolong perusahaan dengan bekerja keras dan patuh agar Perusahaan bisa meraih untung seoptimal mungkin.

Konflik antara buruh dan perusahaan mulai muncul karena perbedaan kepentingan, terutama terkait dengan upah, kondisi kerja, dan keamanan kerja. Perusahaan yang dikejar target untuk maksimalisasi keuntungan, sering melakukan penyimpangan terhadap hak normative karyawan sepertu upah rendah, cuti, asuransi kesehatan dan lain-lain. Perusahaan berani melakukan pelanggaran tersebut karena bargaining position mereka yang kuat. Kaum buruh sendiri pada posisi tawarnya  lemah dan terpaksa menerima perlakukan perusahaan karena mereka sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan peluang kerja di tempat lain sangat terbatas. Sebagian besar buruh kasar (blue collar), bekerja di perusahaan sambil mencari peluang tambahan penghasilan karena gaji dari Perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (bersama keluarga).

Dari kacamata buruh, konsep nilai “harmoni” dan “tolong menolong”  tersebut dirasakan lebih menguntungkan Perusahaan. Namun untuk melakukan protes atau perlawanan terbuka, kaum buruh perlu berpikir panjang karena posisi mereka yang lemah dan membutuhkan pekerjaan. Kaum buruh kebanyakan melakukan “perlawanan dalam diam” dengan melakukan sabotase seperti membolos kerja, tidak hadir dan pulang tepat waktu serta tidak terlalu memperhatikan kualitas hasil kerja.

Secara spesifik terdapat tiga tipe buruh dalam mensikapi manajemen Perusahaan:

  1. Para buruh yang mengutamakan harmoni dan kedamaian/ketentraman. Mereka ini cenderung loyal, nerimo  dan menjaga hubungan mereka terbebas dari konflik.
  2. Para buruh yang opportunis yang berusaha menjalin hubungan baik dengan manajemen untuk kepentingan/keuntungan  pribadi. Mereka ini bisa jadi mata-mata untuk mengontrol buruh yang dianggap agresif.
  3. Para buruh yang memahami hak-hak buruh dan mengkritik Perusahaan atas pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan-aturan ketenaga kerjaan yang berlaku.

 Adanya hegemoni  dimana negara dan perusahaan bekerja sama untuk menjaga dominasi mereka atas buruh melalui penggunaan ideologi dan kebijakan yang memperkuat status quo, telah menimbulkan hubungan yang timpang antara perusahaan dan buruh. Untuk memperbaiki situasi tersebut, peran Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan mediator perlu dikembalikan  ke posisi yang netral dan adil. Konflik-konflik Perusahaan dan buruh tidak harus dihindari, tetapi dijadikan sebagai bahan dialog menuju terciptanya harmoni sosial yang baru serta  resolusi yang adil dan berkelanjutan.

 


No comments: