Thursday, August 08, 2024

“Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”.

 


 “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”.

Pidato pengukuhan Guru Besar dalam kajian Jurnalisme  tanggal 10 Maret 2022

Oleh: Profesor Ana Nadhya Abrar

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 2022

33 halaman

 

Menurut Sartono Kartodirdjo, biografi sudah mulai ada sejak zaman Romawi. Sejak zaman Romawi sudah muncul biografi, antara lain yang ditulis oleh Tacitus mengenai kaisar-kaisar Romawi. Tradisi penulisan biografi selanjutnya sangat penting dalam penulisan sejarah. Tradisi penulisan biografi memperkuat gambaran betapa besarnya peranan tokoh politik dalam sejarah, bahkan sering menjurus kepada pendapat seolah-olah sejarah dibuat oleh tokoh atau orang besar dalam sejarah (Kartodirdjo, 1993). Penulisan biografi mempunyai manfaat untuk bisa membantu memahami dinamika sejarah karena sejarah bisa dipahami melalui tokoh yang dikisahkan, menganalisis tempat dan waktu yang menjadi setting sejarah sang tokoh dan lain-lain.

Biografi yang baik tidak hanya menceritakan riwayat hidup tokoh, tetapi juga menjelaskan catatan pertanggungjawaban sumber informasi sehingga biograf (penulis biografi) melakukan penelitian yang sungguh-sungguh dengan berbagai sumber (Kuntowijoyo, 2003). Biografi yang baik juga menggambarkan kisah perjalanan hidup seorang tokoh yang bisa menjadi inspirasi positif bagi orang lain dalam membangun masa depannya.

Penulisan Biografi, bisa dilakukan oleh sejahrawan, wartawan atau profesi lainnya. Meski demikian hasil penelitian Safari Daud terhadap 30 biografi menunjukkan, sebagian besar biograf adalah wartawan. Banyaknya biograf yang berlatarbelakang wartawan mungkin disebabkan mereka sudah terbiasa melakukan praktek pengumpulan informasi, menganalisis, menuliskan dan menyajikan informasi kepada public.

 

Ada beberapa kisi-kisi penting penerapan jurnalisme dalam penulisan biografi yakni:

1.        Batas Atas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:  Meningkatkan Intelektualitas Khalayak.

·        Menulis sebuah biografi hendaknya merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kualitas intelektual public dalam bentuk tulisan. Dalam konteks ini seorangbiograf harus bisa menentukan “angle” atau sudut pandang sebuah penulisan yang bisa menstimulasi pembaca untuk merenungkan, menganalisis dan mengambil pembelajaran dari situasi yang dialami oleh tokoh yang baersangkutan.

2.        Batas Kanan Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Mengutamakan Nilai Kemanusiaan

·        Nilai yang utama agar suatu biografi menarik menurut Ana Nadhya Abrar (2005) adalah nilai manusiawi. Ini masuk akal. Karena, dengan nilai manusiawi itu khalayak bisa tersentuh perasaannya. Kisah yang disajikan bisa menimbulkan tawa, tangis, haru, senang, bahkan marah. Semakin menyentuh kisah itu, semakin lama pesannya tertanam dalam pikiran khalayak. Kalau sudah begini, bukan mustahil pesan itu menjadi inspirasi baru bagi mereka.

3.        Batas Bawah Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:  Memanfaatkan Jurnalisme Investigasi

·        Biografi bisa menunjukkan kisah masa lalu seorang tokoh. Namun biografi juga memiliki fungsi mengungkapkan misteri masa lalu sang tokoh. Ia bisa memuaskan rasa penasaran khalayak. Ia bahkan bisa menjawab berbagai teka-teki atau spekulasi yang selama ini beredar di kalangan khalayak. Tentu tidak mudah memperoleh informasi yang bisa menjawab sebuah teka-teki atau membongkar sebuah misteri. Soalnya, tidak jarang informasi tersebut bersifat rahasia. Untuk itu, diperlukan teknik mengumpulkan fakta yang canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini, dalam jurnalisme, biasa disebut investigasi. Lalu, fakta yang diperoleh dengan menggunakan investigasi, disebut jurnalisme investigasi.

·        Melalui jurnalisme investigasi, yang dicari, kata Jakob Oetama, bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak. “Tetapi latar belakang, riwayat dan prosesnya, hubungan kausal maupun hubungan interaktif”. (Oetama, 2003). Bertolak dari sinilah, kemudian kita mengetahui jurnalisme investigasi menggunakan seluruh teknik mengumpulkan fakta yang dikenal dalam jurnalisme. Ia meliputi press release, konperensi pers, wawancara dan dokumen. Khusus yang dua terakhir ini, biasanya wawancara dengan narasumber rahasia dan menelusuri dokumen rahasia. Yang namanya rahasia, tentu posisinya tersembunyi. Karena tersembunyi, usaha untuk menemukannya sangat sulit. Itulah sebabnya tidak banyak wartawan yang bersedia mempraktikkan jurnalisme investigasi.

4.        Batas Kiri Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Membentuk Selera Narasi

·        Di dalam jurnalisme, terdapat pedoman dasar untuk mengumpulkan fakta. Pedoman ini dikenal dengan 5W + 1H, yakni singkatan dari What (apa), Who (siapa), When (kapan), Where (di mana), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Jawaban keenam pertanyaan inilah yang kemudian ditulis menjadi berita.

·        Cara menyajikan informasi dalam bentuk narasi akan ikut menentukan apakah sebuah biografi akan terus dibaca atau segera ditinggalkan. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, lugas dan menarik. Akan tetapi jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Begitu juga dia harus memperhatikan ejaan yang benar. Akhirnya, dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat

·        Biograf berkerja untuk tokoh yang ditulisnya dan khalayak   pembaca. Dalam bekerja untuk tokoh, seorang biograf harus menampilkan semua wacana yang terkandung dalam diri sang tokoh. Dalam bekerja untuk khalayak pembaca, seorang biograf harus menyajikan tali-temali kasus yang diberitakan secara obyektif.

Penutup

Bagi jurnalisme, tujuan akhir sebuah biografi adalah menyampaikan wacana yang terkandung dalam diri tokoh yang dikisahkan. Wacana yang lahir dari biografi menjadi penting di samping narasi yang berkualitas. Dari sekian banyak wacana yang ditampilkan biografi, tentu ada wacana utama yang harus ditangkap oleh khalayak.

Semua wacana yang ditampilkan itu bertumpu pada bukti-bukti yang objektif. Bertolak dari bukti inilah seorang biograf memahami dan menjelaskan kenyataan yang ada. Dalam konteks ini, dia membutuhkan imajinasi agar tulisannya bisa jadi hidup dan berarti. Namun, dalam menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri tokoh yang dikisahkannya, dia harus memiliki kepekaan tentang cara bertutur yang baik.

Ketika seorang biograf menggunakan teknis jurnalisme dalam bertutur tentang tokoh yang dikisahkannya, dia tidak mengambil oper peran sejarawan. Dia hanya menampilkan pesona sejarah. Dia menampilkan fakta yang penting, menarik, dramatis dan mengandung human interest. Semua fakta ini mengisyaratkan pentingnya nilai kemanusiaan. Pengutamaan nilai kemanusiaan ini menjadi batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi.

Batas kanan jurnalisme itu bukan satu-satunya batas yang perlu dipertimbangkan biograf dalam menulis biografi menggunakan teknis jurnalisme. Ada lagi batas kiri jurnalisme, yakni membentuk selera narasi; batas atas jurnalisme, yakni meningkatkan intelektualitas khalayak; dan batas bawah jurnalisme, yakni memanfaatkan jurnalisme investigasi. Keempat batas ini menjadi dasar teknis jurnalisme dalam menulis biografi. Ketika keempatnya saling membentuk garis, sesungguhnya ia membentuk ruangan yang harus diisi oleh jurnalisme dalam penulisan biografi. Inilah yang bisa disebut cara mengintegrasikan jurnalisme ke dalam penulisan biografi. Inilah pula sumbangan jurnalisme bagi penulisan biografi.

 

(disarikan dari pidato pengukuhan Prof. Ana Nadhya Abrar, https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/18/2022/03/Prof.-Ana-Nadya-Abrar.pdf)

No comments: