Tuesday, August 13, 2024

Kesejahteraan Masyarakat yang Terpasung

 


Kesejahteraan Masyarakat yang Terpasung; Ketidakberdayaan para pihak  melawan konstruksi neoliberalisme

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada FISIPOL – UGM  pada tanggal 27 Mei 2009

Oleh Prof. Dr. H. Susetiawan, S.U.

26 halaman

 

Dalam pidato ini Pak Sus menggugat isu pengentasan kemiskinan yang selalu menjadi komoditi politik namun upaya pengentasan kemiskinan tidak menunjukkan hasil yang benar-benar tuntas. Kemiskinan Bersama hutang  luar negeri menjadi never ending issues di Indonesia. Mengapa kemiskinan tersebut susah diberantas?  Apakah konsep Pembangunannya yang salah?

Pak Sus menyoroti bahwa kolonialisme dan imperialisme oleh negara Barat telah usai namun bermetamorfosa dalam bentuk lain. Pertumbuhan industry di negara Barat membutuhkan pasar-pasar  baru dan yang potensial adalah negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang rata-rata merupakan bekas negara jajahan. Negara-negara Barat berusaha  membuka pasar di negara berkembang  dengan mempengaruhi para pemimpin politik negara berkembang sehingga mereka mau mengikuti agenda-agenda perluasan pasar industry tersebut.

Hasil teknologi dan produksi, hak paten, hak cipta dan intelektual, diatur secara sistematis dalam tata dunia internasional. Konsep pengaturan kelembagaan  tata dunia tunggal (the global world) yang lekat dengan neoliberalisme dilakukan melalui WTO (World Trade Organization), Bank Dunia, IMF dan lain-lain.

Pembangunan di negara berkembang, diarahkan mengikuti modernitas dunia barat. Pembangunan di negara berkembang dibiayai dengan dana-dana dari negara maju yang disalurkan melalui Lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF, dan sebagai imbalannya negara berkembang harus mengikuti konsep Pembangunan yang disodorkan para Lembaga sponsor tersebut. Hasilnya apa? Banyak Pembangunan tidak bisa berjalan optimal karena konsep pembangunannya tidak benar-benar menjawab persoalan fundamental di Masyarakat. Sisi lain yang terjadi adalah serbuan produk asing dan produk global melanda Masyarakat kita seperti produk Mc Donald, KFC, Pizza Hut dll merajalela mengalahkan produk-produk local kita.

Dari sisi konsep Pembangunan, terdapat aliran intervensionis yang berpendapat bahwa intervensi negara terhadap Masyarakat akan membantu perkembangan ekonomi dan Kesejahteraan mereka. Pendapat ini ditentang oleh kaum neoliberalis yang menginginkan intervensi negara terbatas hanya untuk membantu masyarakat yang paling miskin saja.  

Di negara berkembang, intervensi negara dalam perencaan Pembangunan ternyata lebih sering menguntungkan para actor yang terlibat baik dari birokrat, swasta dan organisasi sosial. Sedangkan masyarakat tidak mendapatkan manfaat yang memadai. Kaum  neoliberalis kemudian masuk ke negara berkembang dengan menyodorkan dana pinjaman dengan konsep pembangunan versi mereka sendiri. Untuk mendukung promosi konsep tersebut kaum neoliberalis yang diback up oleh Multinational Corporation sering menggunakan Lembaga keuangan internasional, dan LSM internasional.

 

Bank Dunia dan IMF, berupaya mendorong negara sedang berkembang untuk membangun konstruksi neoliberalisme dengan mengejar pertumbuhan ekonomi, privatisasi, pasar bebas dan minimalisasi pelayanan sosial. Banyak sektor Pembangunan di negara berkembang seperti infrastruktur, industrialisasi, transportasi, pertanian dll dibiayai dengan dukungan dana pinjaman Lembaga keuangan tersebut. Selain bisnis keuangan, keberadaan Lembaga keuangan internasional juga bisa berubah peran menjadi pressure group bagi negara berkembang yang melawannya. Kelompok negara-negara  maju  juga relative kompak dalam menjaga kepentingan mereka dalam memaksa negara berkembang menerapkan neolibneralisme dengan menggunakan ancaman instrument pembatasan perdagangan, embargo dan lain-lain

Dukungan Lembaga Keuangan Internasional tersebut ternyata seringkali tidak menunjukkan hasil positif yang signifikan. Mencuatnya isu kemiskinan, Kesejahteraan, tata Kelola, desentralisasi, disparitas dll merupakan kritik-kritik yang  banyak muncul dari LSM, Perguruan Tinggi yang didukung oleh berbagai Lembaga donor internasional. Namun dalam kenyataannya banyak negara sedang berkembang, LSM, Perguruan tinggi dan sektor swasta, yang tidak berdaya melawan konstruksi neoliberalisme yang makin mengganas tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka kemudian menyerah dan menjadi bagian kaum neoliberalis tersebut.

Salah satu contoh kegagalan dalam Pembangunan pertanian yang didukung Lembaga internasional adalah “Revolusi Hijau” di sektor pertanian. Konsep Panca Usaha Tani melalui: pengolahan lahan dengan tractor, penggunaan bibit unggul produksi pabrik, pemberantasan hama dan penyakit  menggunakan pestisida pabrik, dan Pembangunan irigasi, telah menelan biaya finansial yang sangat besar.  Selain itu kerugian biaya sosial terjadi dengan hilangnya kearifan local masyarakat   dalam menyiapkan bibit local, pestisida alamai, pupuk organic dan lain-lain. Meskipun peningkatan produksi terjadi namun biaya produksi juga meningkat signifikan sehingga pendapatan petani relatif tidak meningkat. Demikian pula banyak subsidi pupuk tidak tepat sasaran, dan dinikmati pengusaha kaya.

Pembangunan pertanian yang seharusnya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan domestic, saat ini berantakan karena banyaknya komoditi kebutuhan pangan yang harus diimport dengan negara lain.  Hal ini tentu akan mengancam ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bangsa kita.

Dalam penutupnya Pak Sus mengajak kita semua untuk merenung dan menggagas perlunya rekonstruksi konsep pembangunan kita. Kita selama ini sering dicekoki dengan standar-standar kesejahteraan yang berasal dari antah berantah dan bukan berasal dari konsepsi kesejahteraan menurut masyarakat. Kita seringkali dijejali dengan pendekatan kesejahteraan dengan ukuran ekonomi kuantitatif, dan lupa memperhatikan bahwa banyak aspek kesejahteraan yang sifatnya kualitatif dan spiritual emosional. Karena kita banyak menggunakan pendekatan yang diimpor dari negara asing, banyak konsep-konsep kearifan local seperti lumbung desa, community insurance, social capital yang akhirnya tergusur dan musnah.

Akhirnya, Kita perlu membangkitkan keberdayaan Masyarakat dengan menggunakan potensi internal mereka baik yang berupa social capital, economic capital, kearifan local,dll. Kita harus berani membongkar konsep-konsep Pembangunan yang  tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Kalau neoliberalisme tidak cocok untuk bangs akita, kita juga harus berani melawan dan membongkarnya!!!

Sunday, August 11, 2024

Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan, dan Negara di Indonesia


 

 

"Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan, dan Negara di Indonesia"

Penulis Dr. Susetiawan

Penerbit Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2000

ISBN 979-9289-49-1

345 halaman

 

Buku Konflik Sosial ini merupakan hasil penelitian tahun 1992-1993 yang menjadi disertasi Pak Susetiawan (Dosen Jurusan Ilmu Sosiatri – FISIPOL UGM) sewaktu menempuh studi doctor di Universitas Bielefeld – Jerman. Penelitian itu berkaitan dengan dinamika hubungan antara buruh, perusahaan, dan negara dalam konteks hubungan industrial di 2 perusahaan tekstil di Yogyakarta. Titik penelitian ini adalah dampak kebudayaan dan nilai-nilai tradisional  terhadap hubungan industrial serta dampak hubungan industrial terhadap perilaku para buruh di tempat kerja.

Harmoni merupakan salah satu nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa. Hal ini yang kemudian dijadikan salah satu dasar dalam pengaturan hubungan industrial di Indonesia di jaman Orde Baru. Pemerintah melalui berbagai kebijakan berusaha mendorong iklim usaha yang kondusif dan harmonis agar industri bisa berkembang sehingga bisa menciptakan lapangan kerja, memberikan pendapatan untuk negara serta memberikan berbagai multiplier effect positif lainnya.

Untuk menciptakan iklim usaha kondusif tersebut, pemerintah Orba berusaha mengendalikan Gerakan kaum buruh dengan adanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang menjadi wadah advokasi gerakan buruh di Indonesia. SPSI sendiri dalam kenyataannya tidak bisa terlalu banyak melakukan advokasi bagi kaum buruh karena posisinya yang di-kooptasi oleh Pemerintah. Dalam banyak kasus perburuhan, Pemerintah Orba yang seharusnya bertindak sebagai mediator seringkali cenderung lebih memihak kepada kaum pengusaha daripada buruh sehingga memperlebar jurang ketidak adilan sosial tersebut. Berbagai tindak intimidasi dan kekerasan dialami oleh kaum buruh yang lantang memperjuangkan nasibnya.

Di tingkat Perusahaan, manajemen perusahaan tekstil yang padat karya menggunakan konsep “harmoni” untuk mengontrol para buruh. Manajemen perusahaan biasanya merekrut karyawan baru melalui “getok tular” atau dari mulut ke mulut oleh internal karyawan perusahaan. Rekrutmen semacam ini diharapkan dapat dengan mudah memilih orang-orang yang mempunyai  semangat kerja tinggi, loyal dan patuh terhadap perintah atasan. Selain itu rekrutmen ini juga merupakan cara ampuh untuk mengontrol buruh karena si pemberi rekomendasi secara moral nanti harus ikut mengontrol karyawan baru yang direkomendasikannya. Cara control lain terhadap buruh adalah melalui struktur kerja yang hirarkhis dengan pengawasan oleh coordinator atau mandor.

Nilai lain yang dikembangkan oleh manajemen Perusahaan adalah “saling tolong menolong”. Perusahaan mengharapkan mereka bisa membangtu memberi perkerjaan kepada para buruh, namun sebaliknya mereka berharap buruh juga menolong perusahaan dengan bekerja keras dan patuh agar Perusahaan bisa meraih untung seoptimal mungkin.

Konflik antara buruh dan perusahaan mulai muncul karena perbedaan kepentingan, terutama terkait dengan upah, kondisi kerja, dan keamanan kerja. Perusahaan yang dikejar target untuk maksimalisasi keuntungan, sering melakukan penyimpangan terhadap hak normative karyawan sepertu upah rendah, cuti, asuransi kesehatan dan lain-lain. Perusahaan berani melakukan pelanggaran tersebut karena bargaining position mereka yang kuat. Kaum buruh sendiri pada posisi tawarnya  lemah dan terpaksa menerima perlakukan perusahaan karena mereka sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan peluang kerja di tempat lain sangat terbatas. Sebagian besar buruh kasar (blue collar), bekerja di perusahaan sambil mencari peluang tambahan penghasilan karena gaji dari Perusahaan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (bersama keluarga).

Dari kacamata buruh, konsep nilai “harmoni” dan “tolong menolong”  tersebut dirasakan lebih menguntungkan Perusahaan. Namun untuk melakukan protes atau perlawanan terbuka, kaum buruh perlu berpikir panjang karena posisi mereka yang lemah dan membutuhkan pekerjaan. Kaum buruh kebanyakan melakukan “perlawanan dalam diam” dengan melakukan sabotase seperti membolos kerja, tidak hadir dan pulang tepat waktu serta tidak terlalu memperhatikan kualitas hasil kerja.

Secara spesifik terdapat tiga tipe buruh dalam mensikapi manajemen Perusahaan:

  1. Para buruh yang mengutamakan harmoni dan kedamaian/ketentraman. Mereka ini cenderung loyal, nerimo  dan menjaga hubungan mereka terbebas dari konflik.
  2. Para buruh yang opportunis yang berusaha menjalin hubungan baik dengan manajemen untuk kepentingan/keuntungan  pribadi. Mereka ini bisa jadi mata-mata untuk mengontrol buruh yang dianggap agresif.
  3. Para buruh yang memahami hak-hak buruh dan mengkritik Perusahaan atas pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan-aturan ketenaga kerjaan yang berlaku.

 Adanya hegemoni  dimana negara dan perusahaan bekerja sama untuk menjaga dominasi mereka atas buruh melalui penggunaan ideologi dan kebijakan yang memperkuat status quo, telah menimbulkan hubungan yang timpang antara perusahaan dan buruh. Untuk memperbaiki situasi tersebut, peran Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan mediator perlu dikembalikan  ke posisi yang netral dan adil. Konflik-konflik Perusahaan dan buruh tidak harus dihindari, tetapi dijadikan sebagai bahan dialog menuju terciptanya harmoni sosial yang baru serta  resolusi yang adil dan berkelanjutan.

 


Thursday, August 08, 2024

“Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”.

 


 “Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi”.

Pidato pengukuhan Guru Besar dalam kajian Jurnalisme  tanggal 10 Maret 2022

Oleh: Profesor Ana Nadhya Abrar

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 2022

33 halaman

 

Menurut Sartono Kartodirdjo, biografi sudah mulai ada sejak zaman Romawi. Sejak zaman Romawi sudah muncul biografi, antara lain yang ditulis oleh Tacitus mengenai kaisar-kaisar Romawi. Tradisi penulisan biografi selanjutnya sangat penting dalam penulisan sejarah. Tradisi penulisan biografi memperkuat gambaran betapa besarnya peranan tokoh politik dalam sejarah, bahkan sering menjurus kepada pendapat seolah-olah sejarah dibuat oleh tokoh atau orang besar dalam sejarah (Kartodirdjo, 1993). Penulisan biografi mempunyai manfaat untuk bisa membantu memahami dinamika sejarah karena sejarah bisa dipahami melalui tokoh yang dikisahkan, menganalisis tempat dan waktu yang menjadi setting sejarah sang tokoh dan lain-lain.

Biografi yang baik tidak hanya menceritakan riwayat hidup tokoh, tetapi juga menjelaskan catatan pertanggungjawaban sumber informasi sehingga biograf (penulis biografi) melakukan penelitian yang sungguh-sungguh dengan berbagai sumber (Kuntowijoyo, 2003). Biografi yang baik juga menggambarkan kisah perjalanan hidup seorang tokoh yang bisa menjadi inspirasi positif bagi orang lain dalam membangun masa depannya.

Penulisan Biografi, bisa dilakukan oleh sejahrawan, wartawan atau profesi lainnya. Meski demikian hasil penelitian Safari Daud terhadap 30 biografi menunjukkan, sebagian besar biograf adalah wartawan. Banyaknya biograf yang berlatarbelakang wartawan mungkin disebabkan mereka sudah terbiasa melakukan praktek pengumpulan informasi, menganalisis, menuliskan dan menyajikan informasi kepada public.

 

Ada beberapa kisi-kisi penting penerapan jurnalisme dalam penulisan biografi yakni:

1.        Batas Atas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:  Meningkatkan Intelektualitas Khalayak.

·        Menulis sebuah biografi hendaknya merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kualitas intelektual public dalam bentuk tulisan. Dalam konteks ini seorangbiograf harus bisa menentukan “angle” atau sudut pandang sebuah penulisan yang bisa menstimulasi pembaca untuk merenungkan, menganalisis dan mengambil pembelajaran dari situasi yang dialami oleh tokoh yang baersangkutan.

2.        Batas Kanan Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Mengutamakan Nilai Kemanusiaan

·        Nilai yang utama agar suatu biografi menarik menurut Ana Nadhya Abrar (2005) adalah nilai manusiawi. Ini masuk akal. Karena, dengan nilai manusiawi itu khalayak bisa tersentuh perasaannya. Kisah yang disajikan bisa menimbulkan tawa, tangis, haru, senang, bahkan marah. Semakin menyentuh kisah itu, semakin lama pesannya tertanam dalam pikiran khalayak. Kalau sudah begini, bukan mustahil pesan itu menjadi inspirasi baru bagi mereka.

3.        Batas Bawah Jurnalisme dalam Penulisan Biografi:  Memanfaatkan Jurnalisme Investigasi

·        Biografi bisa menunjukkan kisah masa lalu seorang tokoh. Namun biografi juga memiliki fungsi mengungkapkan misteri masa lalu sang tokoh. Ia bisa memuaskan rasa penasaran khalayak. Ia bahkan bisa menjawab berbagai teka-teki atau spekulasi yang selama ini beredar di kalangan khalayak. Tentu tidak mudah memperoleh informasi yang bisa menjawab sebuah teka-teki atau membongkar sebuah misteri. Soalnya, tidak jarang informasi tersebut bersifat rahasia. Untuk itu, diperlukan teknik mengumpulkan fakta yang canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini, dalam jurnalisme, biasa disebut investigasi. Lalu, fakta yang diperoleh dengan menggunakan investigasi, disebut jurnalisme investigasi.

·        Melalui jurnalisme investigasi, yang dicari, kata Jakob Oetama, bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak. “Tetapi latar belakang, riwayat dan prosesnya, hubungan kausal maupun hubungan interaktif”. (Oetama, 2003). Bertolak dari sinilah, kemudian kita mengetahui jurnalisme investigasi menggunakan seluruh teknik mengumpulkan fakta yang dikenal dalam jurnalisme. Ia meliputi press release, konperensi pers, wawancara dan dokumen. Khusus yang dua terakhir ini, biasanya wawancara dengan narasumber rahasia dan menelusuri dokumen rahasia. Yang namanya rahasia, tentu posisinya tersembunyi. Karena tersembunyi, usaha untuk menemukannya sangat sulit. Itulah sebabnya tidak banyak wartawan yang bersedia mempraktikkan jurnalisme investigasi.

4.        Batas Kiri Jurnalisme dalam Penulisan Biografi: Membentuk Selera Narasi

·        Di dalam jurnalisme, terdapat pedoman dasar untuk mengumpulkan fakta. Pedoman ini dikenal dengan 5W + 1H, yakni singkatan dari What (apa), Who (siapa), When (kapan), Where (di mana), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Jawaban keenam pertanyaan inilah yang kemudian ditulis menjadi berita.

·        Cara menyajikan informasi dalam bentuk narasi akan ikut menentukan apakah sebuah biografi akan terus dibaca atau segera ditinggalkan. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, lugas dan menarik. Akan tetapi jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Begitu juga dia harus memperhatikan ejaan yang benar. Akhirnya, dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat

·        Biograf berkerja untuk tokoh yang ditulisnya dan khalayak   pembaca. Dalam bekerja untuk tokoh, seorang biograf harus menampilkan semua wacana yang terkandung dalam diri sang tokoh. Dalam bekerja untuk khalayak pembaca, seorang biograf harus menyajikan tali-temali kasus yang diberitakan secara obyektif.

Penutup

Bagi jurnalisme, tujuan akhir sebuah biografi adalah menyampaikan wacana yang terkandung dalam diri tokoh yang dikisahkan. Wacana yang lahir dari biografi menjadi penting di samping narasi yang berkualitas. Dari sekian banyak wacana yang ditampilkan biografi, tentu ada wacana utama yang harus ditangkap oleh khalayak.

Semua wacana yang ditampilkan itu bertumpu pada bukti-bukti yang objektif. Bertolak dari bukti inilah seorang biograf memahami dan menjelaskan kenyataan yang ada. Dalam konteks ini, dia membutuhkan imajinasi agar tulisannya bisa jadi hidup dan berarti. Namun, dalam menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi pada diri tokoh yang dikisahkannya, dia harus memiliki kepekaan tentang cara bertutur yang baik.

Ketika seorang biograf menggunakan teknis jurnalisme dalam bertutur tentang tokoh yang dikisahkannya, dia tidak mengambil oper peran sejarawan. Dia hanya menampilkan pesona sejarah. Dia menampilkan fakta yang penting, menarik, dramatis dan mengandung human interest. Semua fakta ini mengisyaratkan pentingnya nilai kemanusiaan. Pengutamaan nilai kemanusiaan ini menjadi batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi.

Batas kanan jurnalisme itu bukan satu-satunya batas yang perlu dipertimbangkan biograf dalam menulis biografi menggunakan teknis jurnalisme. Ada lagi batas kiri jurnalisme, yakni membentuk selera narasi; batas atas jurnalisme, yakni meningkatkan intelektualitas khalayak; dan batas bawah jurnalisme, yakni memanfaatkan jurnalisme investigasi. Keempat batas ini menjadi dasar teknis jurnalisme dalam menulis biografi. Ketika keempatnya saling membentuk garis, sesungguhnya ia membentuk ruangan yang harus diisi oleh jurnalisme dalam penulisan biografi. Inilah yang bisa disebut cara mengintegrasikan jurnalisme ke dalam penulisan biografi. Inilah pula sumbangan jurnalisme bagi penulisan biografi.

 

(disarikan dari pidato pengukuhan Prof. Ana Nadhya Abrar, https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/18/2022/03/Prof.-Ana-Nadya-Abrar.pdf)

Monday, August 05, 2024

Jurusan Ilmu Sosiatri: "Hidup" Tak Banyak Orang Tahu, "Mati" Jangan Dulu.

 


Jurusan Ilmu Sosiatri:  "Hidup" Tak Banyak Orang Tahu,  "Mati" Jangan Dulu.

Penulis: Susetiawan

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  ISSN 1410-4946

Volume 9, Nomor 2, November 2005 (179 - 203)

 

Artikel ini merupakan sebuah refleksi dan otokritik dari Pak Susetiawan yang menjadi pengajar di Jurusan Ilmu Sosiatri FISIPOL UGM.  Beliau merasa Jurusan Ilmu Sosiatri yang didirikan sejak tahun 1957 memang bergerak namun seperti jalan di tempat. Publik jarang sekali mengetahui keberadaan jurusan Ilmu Sosiatri ini. Bahkan lowongan kerja di instansi pemerintah pun seringkali tidak mencantumkan alumni jurusan Ilmu Sosiatri dipersilahkan sebagai pelamar.

Jurusan ilmu Sosiatri awal mulanya didirikan untuk membantu menjawab persoalan sosial yang ada paska kemerdekaan. Nama Sosiatri itu sendiri diambil dari analogi Psikologi (ilmu Kejiwaan) dan Psikiatri (ilmu Penyakit Jiwa). Makanya Ilmu Sosiologi (ilmu yang mempelajari Hubungan antar Manusia) mempunyai turunan Ilmu Sosiatri (ilmu yang mempelajari penyakit-penyakit sosial dalam Masyarakat). Meski demikian dalam perkembangannya, Ilmu Sosiatri tidak hanya mempelajari ilmu penyakit masyarakat namun juga mempelajari pengembangan masyarakat. Bahkan konten Pengembangan Masyarakat menjadi lebih dominan.   

Di level internasional istilah “Sosiatri” jarang ditemukan. Ada satu-dua istilah Sosiatri tapi lebih merupakan bagian bidang psikiatri yang berkaitan dengan konflik lingkungan sosial. Pak Sus melihat minimnya istilah Sosiatri di level internasional akhirnya juga menghambat Upaya pengembangan jejaring keilmuan.

Meskipun  istilah Ilmu Sosiatri berkembang di Indonesia dan sangat jarang ditemukan di dunia internasional, namun kalau ditilik dari ruang lingkup utama yang mencakup “Pemberdayaan Masyarakat”, kita tidak bisa meng-klaim bahwa “pemberdayaan Masyarakat” adalah ilmu dari pribumi. Karena Pengembangan Masyarakat juga telah berkembang lama di negara-negara lain. Kita melakukan pembaharuan hanya dari sisi istilah dan ideologi semata.

Di sisi lain membuang atau mengganti nama Sosiatri juga bukan hal mudah, karena nama sosiatri mempunyai nilai sejarah hasil pemikiran para guru besar saat itu. Ruang lingkup Ilmu Sosiatri  yang berdekatan dengan Pengembangan Masyarakat sebetulnya lebih dekat dengan “Community Development”. Namun mengapa para guru besar lebih memilih istilah “Ilmu Sosiatri”?? Pak Sus menduga para guru besar saat itu tidak menyukai istilah “community development” karena  istilah community development dekat dengan idiologi rezim kapitalis liberal. Indonesia yang baru merdeka harus berani mengeluarkan istilah baru yang lebih menonjolkan nasionalisme ke-Indonesiaan-nya. Sehingga seandainya terjadi perubahan nama Sosiatri hendaknya jangan sampai menghilangkan ruh ideologinya.

Untuk membumikan Jurusan Ilmu Sosiatri, Pak Sus menyarankan perlunya: (1) meninjau penamaan dan ruang lingkup kajian Ilmu Sosiatri dengan memperhatikan ruh akademik Ilmu Sosiatri yang berorientasi pada national character building (2) kajian terhadap output dari proses pendidikan formal dan konsekwensi perubahan kurikulum, Pak Sus menyarankan keluaran Ilmu Sosiatri adalah fasilitator pemberdayaan masyarakat atau agen-agen pembangunan  (3) kajian terhadap profesi ataui keahlian khusus yang akan didalami oleh jurusan Ilmu Sosiatri, yang dalam hal ini Pak Sus menyarankan Ilmu Sosiatri bisa mengembangkan profesi agen-agen perubahan/Pembangunan yang punya keberpihakan kepada kaum marjinal seperti yang banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat.

 

 

 

Sunday, August 04, 2024

Guru Kemanusiaan; Memoar Intelektualisme dan Aktivisme Susetiawan

 


Guru Kemanusiaan; Memoar Intelektualisme dan Aktivisme Susetiawan.

Editor: Krisdyatmiko

Penerbit Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan , FISIPOL-UGM

Yogyakarta, 2024

ISBN

306 halaman

 

Buku ini merupakan kumpulan tulisan kesan-kesan dari kolega, mantan mahasiswa dan mahasiswa terhadap Professor Susetiawan yang purna tugas di tahun 2023. Beliau yang biasa dipanggil akrab dengan sebutan Pak Sus merupakan seorang guru besar Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (dulu disebut Ilmu Sosiatri), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM).

Bagi saya, Pak Sus merupakan sosok dosen yang sudah “purna”  dalam menjalankan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi.  Dalam bidang Pendidikan Ilmiah, beliau merupakan sosok yang sangat menguasai materi ajar. Beliau mampu mengupas berbagai teori dan materi yang berat dengan Bahasa sederhana yang mudah dipahami. Pak Sus juga mempunyai pengetahuan yang luas dan up to date yang mudah “connect” dengan topik-topik skripsi dan tesis mahasiswa bimbingannya. Dari sisi  metodologi mengajar, beliau tanpa bantuan media ajar (seperti bahan presentasi) mampu menjelaskan materi dengan sangat fasih, runtut dan lengkap. Dalam mengajar, beliau suka membangun kedekatan fisik dan emosional dengan cara berkeliling ke meja para mahasiswa. Meski sudah sepuh, Pak Sus juga mau belajar teknologi mengajar jarak jauh ketika pandemi COVID merebak dimana-mana. Beliau dengan kemauan kerasnya terus belajar agar bisa melayani mahasiswa dengan sebaik-baiknya. Dari sisi ideologi, Pak Sus tidak mau pendidikan kita menjiplak habis metode dan content dari negara luar. Beliaupun mengembangkan matakuliah tentang Local Knowledge Management yang berusaha menggali dan mempromosikan kearifan lokal masyarakat. 

Dalam bidang Penelitian Ilmiah, Pak Sus terlibat dalam banyak penelitian. Bahkan beliau juga sempat menjadi pimpinan  di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK UGM). Beliau juga sempat aktif menjadi Dewan Penasehat di Yayasan Institute for Research dan Empowerment (IRE) Yogyakarta. Dalam beberapa kegiatan penelitian ini, integritas Pak Sus dkk diuji karena temuan lapangan seringkali berbeda dengan “pesan sponsor” dari penyandang dana, dan Pak Sus dkk lebih memilih untuk mengutarakan fakta yang senyatanya meski harus menghadapi resiko berseberangan dengan sponsornya.

Dalam bidang Pengabdian Masyarakat, Pak Sus banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial termasuk menjadi relawan ketika Jogjakarta tertimpa bencana, beliau juga aktif menolak RUU Sumberdaya air yang dirasakan merugikan kepentingan petani dan pemakai air, fasilitasi konflik Masyarakat dalam pengelolaan SDA   dan pernah menjadi penasehat (Musytasyar) PW Nahdhlatul Ulama Yogyakarta.

Berbicara tentang Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), tidak lengkap kiranya bila tidak menyebut peran strategis Pak Sus dkk. Pak Sus di tahun 2005 menulis artikel Jurusan Ilmu Sosiatri: “Hidup” tak banyak orang tahu, “Mati” jangan dulu. Tulisan ini merupakan salah satu otokritik tentang Jurusan Ilmu Sosiatri yang dirasakan tidak begitu dikenal Masyarakat maupun ruang lingkup akademis yang kurang fokus. Melalui serial diskusi, Pak Sus berhasil membidani Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) sebagai nama baru jurusan Ilmu Sosiatri yang disahkan tahun 2010.  Departemen PSdK ini mempunyai fokus melahirkan alumni yang mempunyai kompetensi di bidang: (1) analisis kebijakan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, (2) tenaga pemberdayaan Masyarakat, (3) tenaga pengelola Corporate Social Responsibility (CSR) di Perusahaan. Refocusing  Departemen PSdK ini berdampak positif yang diindikasikan dengan semakin banyaknya Lembaga yang bekerjasama dengan Departemen PSdK dan meningkatnya jumlah calon mahasiswa yang mendaftar di Departemen PSdK. Beliau pulalah yang berperan besar mendorong adanya Prodi S2 dan S3 untuk Pembangunan Sosial di FISIPOL UGM. Beliau juga yang mendorong terbentuknya Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia yang beranggotakan beberapa Departemen/Program Study  Pembangunan Sosial atau yang sejenis dari berbagai Perguruan Tinggi negeri dan swasta. APSI berusaha membangun kurikulum standar untuk  bidang Pembangunan Sosial, dengan tetap mengakomodir ciri khas masing-masing Perguruan Tinggi. 

Pak Sus yang biasa berpenampilan sederhana dengan topi fedora, mobil Datsun tua-nya dan pipa rokoknya, merupakan sosok yang tawadhu (rendah hati). Di saat orang berlomba-lomba mencari prestise dengan segala cara berburu gelar Profesor, sejak bertahun lalu Pak Sus malah gak mau dipanggil professor sekalipun dalam kehidupan kampus.  Sikap rendah hati tersebut dilengkapi dengan sifat sabar ketika menghadapi mahasiswa Tidak jarang Pak Sus yang proaktif menghubungi mahasiswa untuk mendorong mereka agar segera melanjutkan skripsi/Tesis atau penelitiannya. Beliau seorang “coach” yang handal, yang bisa mengeksplorasi kemampuan mahasiswa bimbingannya sehingga bisa menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas. Beliau juga merupakan sosok egaliter yang mampu bergaul akrab dengan siapapun baik dengan pejabat, akademisi, mahasiswa maupun petani kecil. 

Pak Sus walaupun menjadi senior, beliau tidak egoistis. Beliau mendorong kaderisasi dengan memberikan kesempatan kepada dosen yang lebih muda untuk tampil dalam berbagai forum. Beliau mendorong dosen-dosen muda untuk mengembangkan karir melalui pendidikan yang lebih tinggi. Beliau legowo memberikan tongkat estafet kepada generasi yang lebih muda.

Sebagai intelektual akademisi maupun sebagai pribadi, Pak Sus menunjukkan keberpihakan yang tinggi terhadap kaum marjinal. Beliau tidak segan-segan terlibat dalam akksi kemanusiaan dan advokasi untuk membantu yang lemah, dan seringkali dengan biaya pribadi. Keberpihakan tersebut juga tercermin dengan integritasnya yang berpegang pada “kebenaran akademis” yang terkadang harus berseberangan “penyandang dana penelitian” ataui pihak lain. Berulang kali beliau dkk masuk black list dan tidak mendapatkan tawaran proyek karena sikap tegasnya itu.

Selamat purna tugas Pak Sus. Njenengan sudah memberikan contoh utuh bagaimana ilmu digali, dikembangkan dan diamalkan. Semoga rekan-rekan dosen di Departemen PSdK bisa melanjutkan inisiatif dan kerja keras Pak Sus…Semoga semua kerja keras dan tauladan Pak Sus menjadi amalan yang mengalirkan pahala yang melimpah sepanjang masa…..